Anda di halaman 1dari 6

PENGAWETAN MAKANAN

Pengawet makanan termasuk salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari
produk pangan, apalagi di zaman yang serba instan dan praktis ini. Penggunaan
pengawet makanan bertujuan untuk memperpanjang usia makanan/minuman serta
mencegah dari kontaminasi mikroba yang merusak makanan.
Jenis pengawet sendiri ada dua, yakni pengawet alami dan pengawet
buatan/sintetis. Dilihat dari segi harga, mungkin pengawet buatan jauh lebih murah,
namun penggunaan dalam jangka panjang dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Dibandingkan pengawet buatan, pengawet alami dinilai lebih aman dan baik untuk
kesehatan. Simak beberapa bahan yang bisa dijadikan pengawet alami berikut ini:
1. Garam
Garam termasuk pengawet alami yang juga ampuh menangkal
microorganisme penyebab kerusakan makanan. Contoh makanan yang diawetkan
menggunakan garam, misalnya : ikan asin, asinan sayur, dan lain sebagainya.
2. Gula pasir
Gula pasir tidak hanya memberikan rasa manis, tapi juga berfungsi
mengawetkan makanan karena microorganisme tidak bisa tahan hidup
didalamnya. Bahan yang bisa diawetkan dnegan gula pasir, antara lain : manisan,
selai, dan lain sebagainya.
3. Gula merah
Seperti halnya gula tebu, gula merah juga berfungsi sebagai pemanis
sekaligus pengawet. Ini bisa digunakan untuk mengawetkan masakan, serundeng
daging, bacem, dan lain sebagainya.
4. Kunyit
Selain memberikan efek warna yang bagus, kunyit juga berfungsi sebagai
pengawet. Bahan yang biasa diawetkan menggunakan kunyit, antara lain : tahu
kuning, ikan bumbu kuning, dan lain sebagainya.
5. Cengkih
Tidak hanya berfungsi sebagai penambah aroma makanan, cengkih juga
berfungsi mengawetkan makanan dan mencegah tumbuhnya jamur pada makanan.
6. Kayu manis
Selain berfungsi menambah aroma makanan, kayu manis juga mengandung
asam benzoat yang ampuh membantu mengawetkan makanan, misalnya :
penggunaan pada selai dan minuman.
7. Lemon
Lemon kaya vitamin C yang membantu melenyapkan microorganisme
perusak gizi makanan sehingga dapat membantu mengawetkan bahan makanan.
Caranya : sebelum disimpan, Anda bisa melumuri daging, ikan, ayam atau sayuran
dengan air lemon.
8. Cuka
Cuka mengandung zat yang mampu membunuh microorganisme dan bakteri
pembusuk makanan. Contoh makanan yang diawetkan dnegan cuka, misalnya :
acar, makanan kaleng, dan lainnya. Anda juga bisa melumurkan pada daging,
ayam, ikan mentah sebelum disimpan dalam kulkas.
9. Minyak
Minyak berfungsi memperlambat proses oksidasi sehingga microorganisme
lebih cepat mati. Untuk itu, tak heran jika makanan yang digoreng memiliki
ketahanan lebih lama dibandingkan direbus.
10. Bawang putih
Bawang putih tidak hanya berfungsi menyedapkan masakan, tapi juga
pengawet karena mengandung zat-zat yang ampuh membunuh bakteri yang
bersifat merusak makanan.
Wah, ternyata banyak sekali bahan-bahan alami yang bisa membantu menjaga
makanan/minuman agar awet dan tahan lebih lama. Semoga informasi tentang
pengawet alami yang aman dan baik untuk kesehatan diatas dapat bermanfaat untuk
kita semua.
Pengawet buatan ini ada berbagai macam, antara lain:
a. Asam asetat
Asam asetat dikenal di kalangan masyarakat sebagai asam cuka. Bahan ini
menghasilkan rasa masam dan jika jumlahnya terlalu banyak akan mengganggu
selera karena bahan ini sama dengan sebagian isi dari air keringat kita. Asam
asetat sering dipakai sebagai pelengkap ketika makan acar, mi ayam, bakso, atau
soto. Asam asetat mempunyai sifat antimikroba. Makanan yang memakai
pengawet asam cuka antara lain acar, saos tomat, dan saus cabai.
b. Benzoat
Benzoat banyak ditemukan dalam bentuk asam benzoat maupun natrium
benzoat (garamnya). Berbagai jenis soft drink (minuman ringan), sari buah, nata
de coco, kecap, saus, selai, dan agar-agar diawetkan dengan menggunakan bahan
jenis ini.
c. Sulfit
Bahan ini biasa dijumpai dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit.
Potongan kentang, sari nanas, dan udang beku biasa diawetkan dengan
menggunakan bahan ini.
d. Propil galat
Digunakan dalam produk makanan yang mengandung minyak atau lemak dan
permen karet serta untuk memperlambat ketengikan pada sosis. Propil galat juga
dapat digunakan sebagai antioksidan. Propianat Jenis bahan pengawet propianat
yang sering digunakan adalah asam propianat dan garam kalium atau natrium
propianat. Propianat selain menghambat kapang juga dapat menghambat
pertumbuhan bacillus mesentericus yang menyebabkan kerusakan bahan
makanan. Bahan pengawetan produk roti dan keju biasanya menggunakan bahan
ini.
e. Garam nitrit
Garam nitrit biasanya dalam bentuk kalium atau natrium nitrit. Bahan ini
terutama sekali digunakan sebagai bahan pengawet keju, ikan, daging, dan juga
daging olahan seperti sosis, atau kornet, serta makanan kering seperti kue kering.
Perkembangan mikroba dapat dihambat dengan adanya nitrit ini. Misalnya,
pertumbuhan clostridia di dalam daging yang dapat membusukkan daging.
f. Sorbat
Sorbat yang terdapat di pasar ada dalam bentuk asam atau garam sorbat.
Sorbat sering digunakan dalam pengawetan margarin, sari buah, keju, anggur, dan
acar. Asam sorbat sangat efektif dalam menekan pertumbuhan kapang dan tidak
memengaruhi cita rasa makanan pada tingkat yang diperbolehkan.
Semua pengawet yang telah diuraikan di atas merupakan pengawet yang diijinkan
untuk dipakai dan mendapatkan lisensi secara internasional oleh badan kesehatan
dunia (WHO) dengan kadar yang diijinkan.

Pengawetan Makanan Chitosan

Teknologi Rekayasa Chitosan sebagai Pengawet


Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata misalnya
udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein (21%), lemak
(0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor.
Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku, udang kering, udang
kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009).
Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur
memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$
368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, 2005).
Dari proses pembekuan, 40% dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan
kepala) (Rekso, 2001). Di Indonesia udang mengalami proses cold storage yaitu
bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah.
Limbah udang ini dapat mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu
dimanfaatkan. Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah
tersebut mengandung senyawa chitin yang dapat diubah menjadi chitosan (Haryani
dkk, 2007).
Chitin dalam cangkang udang, terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan
dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan
lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari
cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan
pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk mendapatkan chitosan
dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan
sebagai bahan pengawet makanan, karena chitosan memiliki polikation bermuatan
positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009) dan
mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negatif seperti protein,
polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk, 2008). Selain itu,
molekul chitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang
merupakan komponen pembentukan protein (Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H
pada gugus amina yang memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan
hidrogen (Rochima, 2009).
Menurut Hardjito (2006) pada prinsipnya untuk mengawetkan makanan
membutuhkan chitosan dengan konsentrasi 1,5 % (dalam 1 liter air dibutuhkan 15
gram chitosan) sedangkan aplikasi chitosan sebagai bahan pengawet dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pencampuran dan perendaman pada bahan pangan. Salah satu
penelitian tentang aplikasi chitosan dengan cara perendaman yaitu penelitian yang
telah dilakukan oleh Hardjito (2006) dan hasilnya menunjukkan bahwa tahu yang
telah diberi chitosan dengan konsentrasi 1,5% mempunyai rasa, bau, tekstur yang
hampir sama dengan tahu tanpa pemberian chitosan, dan tahu mampu bertahan
selama tiga hari yaitu cukup dicelup (dip) selama 5-10 menit dalam larutan chitosan
lalu dipindah ke rendaman air biasa saat pengangkutan.
Menurut Standar Industri Indonesia (1992) tahu merupakan suatu produk berupa
padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp) dengan
cara pengendapan proteinnya dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang
diijinkan (Farida, 2002). Suciati (2003) menyatakan bahwa tahu sebagai salah satu
produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah kekurangan protein bagi
masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu sendiri yang relatif murah dan
terjangkau.
Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan protein
kedelai. Dalam perdagangan dikenal dua jenis tahu, yaitu tahu biasa dan tahu Cina.
Pada pembuatan tahu Cina, kedelai direbus terlebih dahulu sebelum direndam dan
biasanya mempunyai ukuran lebih besar (Koswara, 1992).
Tahu telah menjadi daging tiruan di Cina sejak 2000 tahun yang lalu. Kini sudah
menyebar di seluruh penjuru dunia dan menjadi semakin populer. Hal ini terjadi
karena meningkatnya tuntutan pilihan pangan, yang menginginkan makanan segar,
sehat dan tidak terlalu memberatkan lambung, berkalori rendah, protein tinggi, sedikit
manis yang memudahkan penggunaan dalam berbagai hidangan (Winarno, 1993).
Standar Industri Indonesia (1992) menyatakan bahwa yang disebut tahu adalah suatu
produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai
(Glycine sp) dengan cara pengendapan proteinnya dengan atau tanpa penambahan
bahan lain yang diijinkan (Farida, 2002).
Tahu yang diproduksi di Kota Batu pada saat ini proses pengolahannya masih
dilakukan secara tradisional. Sehingga daya simpan tahu yang diproduksi memiliki
tingkat keawetan yang cukup rendah. Berdasarkan observasi yang dilakukan terhadap
mitra PKMT, tingkat keawetan tahu yang diproduksi hanya bertahan sekitar 2 hari
setelah diproduksi padahal permintaan konsumen tahu di Kota Batu cukup tinggi.
Oleh karena itu perlu adanya suatu teknologi rekayasa tepat guna dalam hal
pengawetan tahu, yaitu dengan menggunakan chitosan dari kulit udang. Selain dapat
mengawetkan tahu, chitosan dari kulit udang dapat meningkatkan kadar protein tahu
dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah kulit
udang sehingga teknologi rekayasa ini diberi nama Chitosan".

Anda mungkin juga menyukai