Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya Kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan Makalah
Gizi Kedaruratan tentang Kebijakan Dunia dan Nasional Mengenai
Bencana.
Tidak lupa Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan dalam penyelesaian Makalah ini. Kami menyadari, dalam
Makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan belum
banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang Kami miliki. Oleh karena itu,
Kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, demi perbaikan dan
meminimalkan kesalahan dalam pembutan Makalah untuk kedepannya. Semoga
dapat bermanfaat bagi Kami pada khusunya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 10 Oktober 2016

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................................. 2
BAB I...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................................... 3
BAB II..................................................................................................................... 4
ISI.......................................................................................................................... 4
2.1 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia.......................................5
2.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia.................6
2.3 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Jepang..........................................10
2.4 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Uni Eropa......................................12
2.4 Kesepakatan Respon Bencana di Asia dan Pasifik......................................17
BAB III.................................................................................................................. 16
PENUTUP.............................................................................................................. 20
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 20
3.2 Saran.......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 21

2
BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran


bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam
musibah tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam
mengantisipasi bencana. Disamping itu, kejadian-kejadian bencana tersebut pun semakin
menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan dalam
penanggulangan bencana.
Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias (Sumatera
Utara) tahun 2004 telah membuka wawasan pengetahuan di Indonesia dan bahkan di dunia.
Kejadian tersebut mengubah paradigma manajemen penanggulangan bencana dari yang
bersifat tanggap darurat menjadi paradigma pencegahan dan pengurangan risiko bencana
(PRB). Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan pada berbagai
tahapan kegiatan dan intervensi, yang berpedoman pada kebijakan pemerintah yaitu Undang-
Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah
terkait lainnya.
Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan.
Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang, maka kenyataannya
sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan
terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (semacam
disaster management act).
Oleh karena itu, pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan menjadi
landasan atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko bencana dalam
penanggulangan bencana.

3
BAB II

ISI

Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam. Tengoklah musibah datang
silih berganti. Gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera
Utara 26 Desember 2004, gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, lalu tsunami di pantai
Selatan Jawa pada 17 Juli 2006. Kesemuanya adalah suatu momentum berharga bagi
pemerintah dan bangsa Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata betul bahwa negara ini
begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut. Bahwa, ternyata kita belum memiliki
manajemen penanggulangan bencana yang baik.
Contoh paling nyata adalah penanganan bencana tsunami pantai selatan Jawa 17 Juli
2006. Tsunami pantai selatan telah menelan korban jiwa sekitar 531 jiwa dan 280 jiwa
lainnya hilang. Kerusakan fisik yang terjadi luar biasa besarnya karena terpaan tsunami
mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya.
Sebenarnya skala kerusakan dapat diminimalisir apabila negara Indonesia memiliki
manajemen peringatan dini yang baik. Apabila kita cepat belajar dari tsunami Aceh-Sumut
2004. Karena Hawai Pacific Tsunami Warning Center dan Japans Meteorological Agency
sebelumnya telah mengeluarkan peringatan (warning) akan kemungkinan terjadinya tsunami
15 menit setelah gempa terjadi. Dan, memang tsunami kemudian menyapu pantai selatan
Jawa 45 menit setelah gempa terjadi tanpa sedikitpun ada peringatan dari pemerintah pusat
ataupun pemerintah setempat. Kalaupun pemerintah berkehendak memberikan peringatan,
medianya-pun terbatas. Tak ada alarm ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap saat dapat
difungsikan (Grundy, 2006).
Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul informasi menyesatkan pasca bencana.
Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya.
Sehingga membuat masyarakat setempat kembali panik dan berlarian tak beraturan hingga
kembali memakan korban jiwa.
Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga
seringkali tak bisa dicegah, namun manusia memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang
semestinya bisa dimaksimalkan untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya (damages)
bencana alam.
Dalam suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) ada dua
kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan
4
kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana
dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster
recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster
preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi
dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari
disaster mitigation dan disaster preparedness (Makki, 2006).
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca
bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum
bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita
memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi
potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.

2.1 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia


Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan.
Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang, maka
kenyataannya sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana
ataupun kebijakan terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana
dan pengungsi (semacam disaster management act).
Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 2009 pemerintah dan
DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi
(sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan Undang-Undang
tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan
sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/ Sumut tahun 2004
terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam
proses pembahasan yang entah kapan akan diundangkan.
Regulasi yang tersedia saat ini hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No.
111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman
Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui
Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001.
Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan
Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990,

5
Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka,
namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat
Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres
Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk
juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.
Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999pun tidak bertahan lama. Sebabnya
antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan
Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah
kemudian menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris
Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP.
Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris
Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan;
(2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan,
kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan-kegiatan : (1) penyelamatan (2)
pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat
Bakornas PBP, 2001).

2.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di


Indonesia
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 belum terdapat aturan yang jelas tentang
penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana, pada kejadian dan
kerugian seperti apa suatu kejadian dikatakan sebagai bencana. Disamping itu juga
belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan status (nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota) bencana serta siapakah yang berwenang dan dapat melakukan
penetapan status bencana. Ini akan berdampak pada sistem penganggaran serta
pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta sumber dari dana penanggulangan,
apakah yang berasal dari APBD Kabupaten/kota, provinsi atau APBN.
Masih banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 24/2007 yang belum
dibuat, sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana
yang diatur dalam Undang-undang. Disamping itu, masih terdapat berbagai aturan yang

6
saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan tata
ruang, aturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan yang terkait
dengan keuangan dan lain-lain. Masalah lainnya yang juga cukup penting dalam upaya
mengarusutamakan penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan
pembangunan adalah belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana
dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan untuk masalah kemiskinan, otonomi daerah
dan pengelolaan sumber daya alam.
Disamping isu tersebut di atas masih terdapat beberapa isu kelembagaan yang
harus segera diselesaikan dan cenderung menghambat proses implementasi sistem
penanggulangan bencana, karena beberapa pertimbangan berikut:
a. Dengan status lembaga setingkat menteri (BNPB), banyak instansi K/L yang
meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana
secara efektif di lapangan.
b. Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan akan memakan waktu
lama, belum lagi masalah kualitas SDM yang terbatas, sistem penggajian yang
belum jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana
serta peran unsur pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar
BNPB.
c. Fungsi Pelaksana dari BNPB punya kecendrungan untuk berbenturan dengan
fungsi departemen-departemen teknis lainnya yang terkait dengan
penanggulangan bencana.
d. Fungsi koordinasi antara BNPB dan BPBD akan cendrung sulit dilaksanakan
secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat daerah akan tunduk kepada
Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing.

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1


mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

7
Tabel 1 . Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana di Indonesia

UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa


pemerintah daerah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Selanjutnya pada ayat 2a dinyatakan bahwa Badan Penanggulangan
Bencana Daerah pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; ayat 2b
menambahkan pada tingkat kabupaten/kota, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Hal tersebut bertentangan
dengan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang
menentukan bahwa pimpinan/kepala badan eselonnya sama dengan
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain.

8
Dari Permendagri No. 48 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pembentukan Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) BPBD diketahui bahwa
BPBD juga memiliki fungsi melebihi SKPD lain di daerah karena memiliki
tiga fungsi besar, yaitu koordinasi, komando, sekaligus operasi. Hal
tersebut berbeda dengan SKPD daerah yang umumnya hanya memiliki
satu atau dua fungsi saja. Hal ini dapat mengakibatkan kekacauan tata
kelembagaan daerah karena fungsi BPBD bisa jadi mengambil alih
beberapa fungsi yang selama ini diselenggarakan oleh sejumlah SKPD.
Kondisi ini justru dapat memperbesar kemungkinan terjadinya tumpang
tindih tugas dan fungsi penanggulangan bencana di lapangan.

9
2.3 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Jepang
Jepang adalah negara Asia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan
Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Terletak pada zona mobil circum-Pacific
dan memiliki kondisi geografi, topografi, dan meteorologi yang khas, membuat gempa
bumi, hujan deras dan banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai
(typhoon) sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Bedanya, negara ini memiliki
kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik. Termasuk, dimilikinya sejumlah
regulasi dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan manajemen penanggulangan
bencana terpadu.
Sebelum tahun 1960, Jepang belum-lah memiliki kebijakan penanganan bencana
yang terpadu (integrated disaster management). Titik baliknya terjadi sejak terjadi badai
besar Ise-Wan pada tahun 1959 yang disebut sebagai the Epoch-Making Turning Point.
Sejak itu pendekatan penanggulangan bencana berubah dari response oriented approach
kepada preventive approach. Kemudian dari Individual approach menjadi comprehensive
multi-sectoral approach. Juga, dibenamkan sejumlah besar investasi untuk program-
program pengurangan resiko bencana (Investment for disaster reduction).

10
Pada tahun 1961 Jepang melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961)
yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain:
Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di
tingkat nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi dengan organisasi-
organisasi multi sektoral.
Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di
tingkat nasional, prefektur, dan kota/ municipality.
Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk
respon gawat darurat .
Penanggulangan bencana alam di Jepang dilakukan utamanya oleh pemerintah
kota/ municipal. Apabila skalanya terlalu besar, maka pemerintah prefektur dan nasional
akan turun tangan. Upaya koordinatif dan integratif semacam ini yang didukung oleh
program promosi konservasi bumi tingkat nasional, peningkatan teknologi meteorologi,
penyempurnaan sistem komunikasi bencana dan manajemen bencana, telah terbukti
dapat mengurangi dampak bencana dan meminimalisir korban jiwa dalam bencana di
Jepang selama ini.
Faktor sukses berikutnya, adalah tersedianya sejumlah besar kebijakan
penanggulangan bencana yang komprehensif dan integratif. Bahkan, tak hanya sejak
tahun 1960. Kebijakan setingkat Undang-Undang (act) ini telah dirintis sejak tahun abad
18-an dan berlanjut hingga kini.
Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam
menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula-lah Indonesia. Sebagai negari yang
sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang
jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah ini.
Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus
segera dirintis dan dikembangkan. Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi
bencana mesti segera dibiasakan. Pusat-pusat studi dan pelatihan menghadapi bencana
wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya. Juga, kebijakan dan manajemen
penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan.
Tak ada alternatif lain bagi Indonesia saat ini selain menggesa lahirnya kebijakan
penanganan bencana yang komprehensif dan integratif. Kebijakan ini bisa bernama UU
Penanggulangan Bencana atau apapun. Karena, satu Undang-Undang saja tak cukup
untuk mengatur ribuan permasalahan di bidang penanggulangan bencana. Maka, perlu

11
ada kebijakan yang integratif. Semisal, mengamandemen UU terkait di wilayah lain
(kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dll), supaya selaras
dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat UU baru di wilayah yang
belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU tentang sungai,
tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan bahaya
nuklir.
Karena membuat UU yang lengkap dan integratif cukup memakan waktu dan dana,
maka barangkali prioritas utama saat ini adalah menggesa lahirnya UU Penanggulangan
Bencana (yang mudah-mudahan segera diikuti oleh UU terkait di wilayah yang lain).
Kami memantau bahwa banyak sekali pihak-pihak yang sebenarnya telah memberi
masukan bahkan membantu membuatkan draft UU tersebut ke DPR. Disamping itu,
pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen
internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in
Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional dan beberapa lembaga internasional seperti OCHA (UN Office
for Coordination of Humanitarian Affairs) ataupun lembaga lain yang bergerak di bidang
intervensi kemanusiaan.
Selain itu, secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi
Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees)
Karena, tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia lahir banyak pengungsi
yang hijrah dan terlantar di negara lain.
Selain pengungsi, masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam
negeri (Internally Displaced Persons - IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari
Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara. Masalah
perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU
Penanggulangan Bencana atau dibuatkan Undang-Undang tersendiri. Rujukannya adalah
pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for
Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998.

2.4 Kebijakan Penanggulangan Bencana di Uni Eropa


Komisi Eropa mengambil pendekatan lintas sektoral bencana manajemen risiko
dalam Uni Eropa (UE) dan seterusnya. Berikut adalah bidang kebijakan utama di mana
Uni Eropa mengambil tindakan:
1. Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Sipil

12
Komisi Eropa, melalui Bantuan Kemanusiaan dan
Perlindungan Sipil departemen, membantu lebih dari 120 juta
korban konflik dan bencana di seluruh dunia setiap tahun. Uni
Eropa berkomitmen untuk mengurangi kerentanan dan
membangun ketahanan terhadap stres masa depan dan
guncangan sebagai pra-syarat untuk pengurangan kemiskinan
dan pembangunan berkelanjutan dan untuk membuat
manajemen risiko pendekatan bagian integral dari semua Uni
Eropa bantuan kemanusiaan dan pemrograman bantuan
pembangunan di semua sektor dan konteks.
Ketentuan baru dalam undang-undang perlindungan sipil
Uni Eropa direvisi mengatur kerangka kerja untuk pelaksanaan
manajemen risiko bencana lintas sektoral kebijakan,
mempromosikan pendekatan yang komprehensif untuk semua
alam dan buatan manusia risiko seluruh fase siklus manajemen
bencana: pencegahan, kesiapsiagaan dan respon.
2. Aksi Iklim
Mencegah potensi risiko yang terkait dengan perubahan iklim merupakan
prioritas utama bagi Uni Eropa. Eropa bekerja keras untuk memotong emisi gas
rumah kaca substansial dan untuk mempromosikan adaptasi perubahan iklim,
sementara mendorong negara-negara lain dan daerah untuk melakukan hal yang
sama.
Uni Eropa berada di trek untuk memenuhi target untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca dengan 20% pada tahun 2020 dibandingkan dengan tingkat tahun 1990.
Pada tahun 2030, Uni Eropa bertujuan untuk mengurangi emisi oleh setidaknya
40%, meningkatkan pangsa energi terbarukan untuk setidaknya 27%, dan
meningkatkan efisiensi energi oleh setidaknya 27%. Tindakan iklim yang semakin
terintegrasi ke dalam berbagai bidang kebijakan Uni Eropa. Paling sedikit20% dari
960.000.000.000 anggaran Uni Eropa untuk periode 2014-2020 akan dihabiskan
untuk perubahan iklim tindakan yang terkait.
Kebijakan pembangunan Uni Eropa juga akan memberikan kontribusi untuk
komitmen secara keseluruhan ini, dengan perkiraan 14000000000 atas tahun
2014-2020 untuk belanja iklim di negara berkembang. Hal ini akan dicapai tidak

13
hanya melalui didedikasikan program tentang perubahan iklim dan pengurangan
risiko bencana, tetapi juga oleh perubahan iklim sepenuhnya mengintegrasikan di
lain sektor kerjasama yang dipilih sebagai daerah prioritas oleh negara-negara mitra
Uni Eropa, seperti energi, pertanian dan lain.
Di tingkat global, Uni Eropa adalah di garis depan perundingan internasional
untuk perjanjian iklim global baru karena akan selesai pada bulan Desember 2015
dan mulai berlaku pada tahun 2020.
3. Lingkungan Hidup
Selama dekade terakhir Uni Eropa telah menempatkan berbagai undang-undang
lingkungan. Akibatnya, udara, air dan polusi tanah memiliki secara signifikan
berkurang. undang-undang bahan kimia telah dimodernisasi dan penggunaan
banyak zat beracun atau berbahaya telah dibatasi. 7 tahunProgram Aksi Lingkungan
/ Environment Action Programme (EAP) akan membimbing Eropakebijakan
lingkungan hingga 2020.
EAP akan mengejar tiga tujuan utama:
1. Melindungi, melestarikan dan meningkatkan modal alam Uni Eropa;
2. Mengubah Uni Eropa menjadi sumber daya yang efisien, hijau, dan ekonomi
rendah karbon kompetitif
3. Menjaga warga Uni Eropa dari tekanan yang berhubungan dengan lingkungan
dan risiko terhadap kesehatan dankesejahteraan (melalui mis Petunjuk mengenai
Banjir).
4. Kerjasama dan Pembangunan Internasional
Kerjasama dan pembangunan internasionaluni eropa kerjasama
pembangunan mendukung berbagai program dipengurangan risiko bencana. The
Intra-ACP Kerjasama telah mengalokasikan 180.000.000 sejak tahun 2008
untukmengatasi risiko yang ada dan muncul disebabkan oleh bencana alam. Ini
mungkin dengan bekerja sama dengan aktor-aktor kunci aktif pengurangan risiko
bencana seperti sebagai: Uni Afrika, African Development Bank, Bencana
KaribiaEmergency Management Agency, Bank Pembangunan Karibia, Sekretariat
Komunitas Pasifik, Fasilitas Global untuk Bencana Pengurangan dan Pemulihan
dan Kantor PBB untuk Risiko Bencana Pengurangan. Tindakan nyata yang
disampaikan pada kebijakan dan legislatif kerangka kerja untuk risiko bencana
pengurangan dan adaptasi perubahan iklim, identifikasi risiko, pengurangan risiko
dan kesiapan, risiko pembiayaan dan pemulihan tangguh.
14
Aliansi Perubahan Iklim (GCCA) adalah sebuah inisiatif Uni Eropa
diluncurkan pada tahun 2007 yang membahasadaptasi dan mitigasi perubahan
iklim, pengarus utamaan, pengurangan risiko bencana dan / atau mengurangi emisi
dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD). The GCCA telah disalurkan 316,5
juta untuk mendukung 50 program di 38 negara dan delapan wilayah dan sub
wilayah di Afrika, Karibia, Pasifik dan Asia Tenggara. Program tertentu yang
mendukung pengurangan risiko bencana yangdilaksanakan di sembilan negara.
Sejak 2009, dengan penerapan Strategi Uni Eropa mendukung
pengurangan risiko bencana dalam mengembangkanpengurangan risiko bencana
negara, Komisi Eropa telah menjadi arus utama dalam pembangunan kebijakan
kerjasama dan program. Pada tahun 2013, Uni Eropa mengadopsi rencana
Ketahanan Action, mempromosikan ketahanan sebagai tujuan utama dari bantuan
eksternal Uni Eropa dengan pengurangan risiko bencana memainkan peran utama
dalam mengatasi akar penyebab bencana alam.
5. Data Ruang di Layanan Darurat
Copernicus Darurat Service Management (EMS) telah beroperasi sejak
April 2012. Ini mendukung manajer krisis, otoritas perlindungan sipil dan pelaku
bantuan kemanusiaan berurusan dengan alambencana, situasi darurat buatan
manusia dan krisis kemanusiaan, serta mereka yang terlibat dalam kegiatan
kesiapsiagaan dan pemulihan.
Copernicus adalah program ruang observasi bumi Uni Eropa di bawah
sipilkontrol. Copernicus memonitor bumi untuk mendukung, antara
lain,perlindungan lingkungan dan upaya perlindungan sipil dan sipil keamanan dan
mendorong inisiatif global.
Copernicus memiliki enam berbeda layanan: manajemen darurat, Suasana
Monitoring, Kelautan pemantauan lingkungan, pemantauan Tanah, Perubahan
iklim, dan Keamanan
6. Riset dan Inovasi
Uni Eropa telah mendukung multi-nasional dan penelitian interdisipliner
dan inovasi di bidang bencana alam sejak akhir 1980-an. Fokus ditempatkan
terutama pada bahaya iklim dan geologi-terkait seperti banjir, kekeringan, tanah
longsor, longsoran, kebakaran hutan, gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Sejauh ini, penelitian Uni Eropa dan inovasi telah memungkinkan pengembangan
metode dan teknologi untuk meningkatkan bahaya dan risiko penilaian, peramalan
15
dan monitoring, manajemen dan mitigasi, sepertiserta manajemen krisis. alat yang
dikembangkan mengatasi seluruh riskreductionrantai dan telah diintegrasikan ke
dalam kerangka kerja yang kuat yangdapat mendukung pengambilan keputusan di
semua tingkatan. Selain itu, inovatifinfrastruktur penelitian telah dikembangkan,
untuk memimpin kemajuan dibidang yang relevan dari ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Horizon 2020, Program 2014-2020 Uni Eropa Kerangka Penelitian dan
Inovasi, akan mendorong, antara lain, pengembangan inovatifdan solusi
pengurangan risiko sistemik. Tujuan keseluruhan adalah untuk meningkatkan
ketahanan masyarakat dan ekosistem terhadap bahaya alam, menangani secara
bersamaan ekonomi, tujuan lingkungan dan sosial.
7. Ilmu untuk Pengurangan Risiko Bencana
Layanan ilmu di rumah Uni Eropa, Pusat Penelitian Bersama ternyata ilmu
menjadi informasi yang dapat digunakan dan saran berbasis ilmu pengetahuan
untuk kebijakan ditujukan untuk pengurangan risiko bencana. Ini juga
menyediakan analisis berbasis ilmu pengetahuan kesiapsiagaan darurat dan
kegiatan tanggap terkoordinasi. Saya mendukung pekerjaan operasional lembaga
Uni Eropa dan strategis mereka mitra termasuk organisasi-organisasi PBB, serta
pengembangan dan pemantauan kebijakan yang bertujuan pengurangan risiko
bencana.
Melalui kemitraan ilmiah di Uni Eropa dan di tingkat internasional, Joint
Research Centre melakukan penelitian dalam peringatan dini, kerentanan dan
analisis risiko dan penilaian dampak. Misalnya, kegiatan penutup Joint Research
Centredefinisi standar untuk bangunan yang lebih aman dan berbagi data kerugian
bencana dan pengembangan global kesadaran bencana dan sistem
memperingatkan.

2.5 Kesepakatan Respon Bencana di Asia dan Pasifik


Kesepakatan terhadap respon bencana dikembangkan dalam rangka
menanggapi himbauan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dan para pemangku kepentingan kemanusiaan lain dalam
Regional Humanitarian Partnership Workshop for the Asia Pacific Region di
tahun 2011 yang diselenggarakan di Shanghai, Cina untuk menyusun satu
panduan yang membantu para manajer bencana dalam memahami
16
interaksi antara mekanisme-mekanisme respon kemanusiaan di tingkat
nasional, regional, dan internasional. Tujuan dibuatnya kesepakatan
tersebut antara lain:
Untuk menciptakan pemahaman yang sama tentang perangkat dan
layanan-layanan yang ada di kawasan Asia dan Pasifik.
Untuk mendukung pengambilan keputusan darurat di dalam
bencana-bencana berskala kecil, menengah dan besar.
Untuk membantu dalam mencari ahli teknis internasional sebelum
dan pada saat bencana.
Untuk memfasilitasi kemitraan-kemitraan antar aktor kemanusiaan.

Ada dua kesepakatan yang mengikat negara-negara di Asia dan Pasifik yang mengatur
kesiapsiagaan dan aksi respon bencana:
1. Perjanjian ASEAN tentang Penanggulangan Bencana dan Respon Bencana (ASEAN
Agreement on Disaster Management and Emergency Response/AADMER).
2. Mekanisme Respon Cepat terhadap Bencana Alam (Natural Disaster Rapid Response
Mechanism/NDRRM) SAARC.
Perjanjian ASEAN tentang Penanggulangan Bencana dan Respon Bencana
(AADMER) adalah sebuah kerangka kerja multi-ancaman bahaya dan kebijakan regional
yang mengikat secara hukum untuk kerja sama, koordinasi, bantuan teknis, dan mobilisasi
sumber daya dalam semua aspek penanggulangan bencana di 10 negara Anggota ASEAN.
AADMER bertujuan untuk menyediakan satu mekanisme yang efektif untuk terwujudnya
pengurangan korban jiwa dan kerugian asset-aset sosial, ekonomi dan lingkungan secara
substansial, dan untuk secara bersama-sama melakukan respon keadaan darurat melalui
upaya-upaya nasional yang terpadu dan kerja sama regional dan internasional yang
ditingkatkan. Program Kerja AADMER untuk periode 2010-2015 merupakan
pengejawantahan maksud dan semangat AADMER dalam rencana aksi yang lengkap dan
menyeluruh. Melalui Prosedur Tetap untuk Penyelenggaraan Kesiagaan Regional dan
Koordinasi Operasi-Operasi Bantuan Bencana dan Respon Keadaan Darurat Bersama
(SASOP), AADMER memampukan negara-negara anggota ASEAN untuk memobilisasi dan
menngirimkan sumber daya untuk respon darurat. SASOP ditandatangani Negara-negara
Anggota ASEAN pada 2005 dan mulai diberlakukan pada Desember 2009, yang mendasari
pembentukan Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN untuk Penanggulangan

17
Bencana Alam (AHA Centre) di Jakarta pada tahun 2011. Pusat tersebut berperan dalam
memfasilitasi kerja sama dan koordinasi di antara negara anggota ASEAN, PBB, serta
berbagai negara atau organisasi internasional lainnya.
Mekanisme Respon Cepat terhadap Bencana Alam (Natural Disaster Rapid
Response Mechanism/NDRRM) dari Asosiasi Asia Selatan untuk Kerjasama Regional
(South Asian Association for Regional Cooperation/SAARC) adalah sebuah kesepakatan
regional dalam penanggulangan bencana yang memperkuat mekanisme-mekanisme yang ada
untuk respon cepat terhadap bencana. NDRRM mewajibkan Negara-negara Anggota SAARC
untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan administratif dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Hal ini termasuk tindakan-tindakan untuk meminta
dan menerima bantuan; melakukan pengkajian kebutuhan; memobilisasi peralatan, personil,
materi-materi dan fasilitas-fasilitas lain; membuat pengaturan kesiagaan tingkat regional,
termasuk persediaan darurat; dan memastikan adanya kendali mutu terhadap barang-barang
bantuan darurat. NDRRM ditandatangani oleh negara-negara anggota SAARC pada 2011 dan
saat ini sedang dalam proses untuk diratifikasi oleh mereka.

Ada sejumlah kesepakatan penting antar negara-negara yang tidak mengikat yang
juga mengatur aksi kemanusiaan internasional untuk mewujudkan respon bencana yang
efektif, sebagai berikut:
1. Resolusi Sidang Umum PBB 46/182.
2. Pedoman Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
(International Federation of the Red Cross Red Cresent Societies/IFRC) untuk Fasilitasi dan
Regulasi Dalam Negeri tentang Bantuan Bencana Internasional dan Bantuan Pemulihan
Awal.
3. Resolusi Organisasi Kepabeanan Dunia (World Customs Organization) tentang Peran
Pabean dalam Bantuan Darurat Bencana Alam.
4. Kesepakatan FRANZ untuk Kawasan Pasifik Selatan.
Resolusi Sidang Umum PBB 46/182 menetapkan peran PBB dalam
mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan internasional ketika sebuah pemerintah meminta
bantuan eksternal. Resolusi tersebut membentuk sejumlah mekanisme PBB untuk
memperkuat keefektifan aksi kemanusiaan internasional, yaitu Dana Respon Keadaan
Darurat Pusat (Central Emergency Response Fund/CERF), Proses Penggalangan Dana
Terkonsolidasi (Consolidated Appeal Process/CAP), Emergency Relief Coordinator (ERC),

18
dan Komite Tetap Antar-Lembaga (Inter-Agency Standing Committee/IASC). Resolusi
46/182 diadopsi secara aklamasi oleh Negara-negara Anggota PBB pada 1991.
Pedoman Fasilitasi dan Regulasi Dalam Negeri tentang Bantuan Bencana
Internasional dan Bantuan Pemulihan Awal (Guideline for the Domestic Facilitation and
Regulation of International Disaster Relief and Initial Recovery Assistance IFRC), juga
dikenal sebagai panduan IDRL, merupakan serangkaian rekomendasi yang berupaya
membantu pemerintah-pemerintah dalam menyusun kerangka kerja hukum nasional untuk
operasi-operasi internasional dalam memberikan bantuan darurat bencana. Pedoman ini
menanggapi isu-isu termasuk perihal meminta dan menerima bantuan international;
menerbitkan visa dan ijin kerja bagi personil kemanusiaan internasional; mengurus
kepabeanan untuk barang-barang bantuan darurat; mengurus perpajakan; dan mendapatkan
status personil legal dalam negeri atau hukum. Pedoman secara aklamasi diadopsi oleh semua
negara yang menyepakati Konvensi Jenewa dan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Internasional pada Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
yang ke-30 pada 2007.
Resolusi Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO) tentang Peran Pabean dalam
Bantuan Bencana Alam menyoroti kebutuhan akan kesiapsiagaan bencana dalam
administrasi kepabeanan. Resolusi ini mendorong negara-negara untuk melaksanakan
langkah-langkah yang mempercepat dan membantu pengiriman bantuan. Resolusi ini secara
aklamasi diadopsi oleh Negara-negara Anggota WCO pada 2011.
Perjanjian Perancis, Australia, dan Selandia Baru (France, Australia and New
Zealand/ FRANZ) yang memfasilitasi rasionalisasi operasi-operasi darurat internasional
dalam situasi bencana alam di kawasan Pasifik Selatan. Secara khusus, perjanjian ini
membuat para penandatangan yaitu Perancis, Australia dan Selandia Baru berkomitmen
untuk melakukan pertukaran informasi untuk memastikan penggunaan aset dan sumber daya
lain dengan sebaik-baiknya untuk operasi bantuan darurat. Perjanjian-perjanjian empat pihak
di antara negara-negara donor lain yang menawarkan bantuan juga telah dibuat dengan
mengacu pada Perjanjian FRANZ.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

20
DAFTAR PUSTAKA

More information on the tools and platforms developed by the


Joint Research Centre is available here:
https://ec.europa.eu/jrc/sites/default/files/jrc-science-for-disaster-
risk-reduction-report.pdf diakses pada tanggal 9 Oktober 2016,
pukul 20.15 wib

https://drracfjkteng.files.wordpress.com/2009/08/microsoft-word-putri-
sortaria2.pdf di unduh pada tanggal 10 Oktober 2016, pukul 11.36 wib

Kurniawati, Chandra. 2015. Kajian Permasalahan Kebijakan Penetan status


Bencana, Kelembagaan BPBD, dan Pengelolaan Bantuan Pasca Terbitnya UU
Nomor 24 Tahun 2007. Dalam Jurnal Tata Kelola dan Akuntabilitas Keuangan
Negara. Volume 1, Nomor 1, Juli 2015: 95-106. Di unduh pada tanggal 10
Oktober 2016, puul 12.29 wib.

Anda mungkin juga menyukai