Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

OLEH

FRIEDA HESTY FARININGTYAS

24010214140062

JURUSAN STATISTIKA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2014
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam UUD 1945 salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini tergambar jelas bahwasanya jalan satu-satunya untuk mencapai cita-cita tersebut adalah melalui
pendidikan.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-
bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)

Selain itu sesuai dengan apa yang ada didalam UUD 1945 kita ketahui bahwa :

a) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan ( pasal 31 ayat 1);


b) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya (pasal 31 ayat 2);
c) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang (pasal 31 ayat 3);
d) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional (pasal 31 ayat 4);
e) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia
(pasal 31 ayat 5)

Pendidikan menjadi dasar dalam berkehidupan. Tanpa pendidikan manusia tidak akan berarti.
Dengan pendidikan, manusia diharapkan berbudi pekerti luhur dan berintelektual agar dapat bersaing
sesuai dengan perkembangan zaman. Namun yang terjadi, kini makna pendidikan sendiri telah bergeser
dari harfiahnya. Salah satu komponen pendidikan yang mendasar adalah sistem pendidikan. Setiap terjadi
pergantian pemimpin, sistem pendidikannya berganti pula. Seolah-olah pendidikan dapat dijadikan suatu
permainan yang mereka rancang sedemikian rupa dan mereka berikan kepada masyarakat tanpa berpikir
panjang apa dampak dengan adanya sistem pendidikan tersebut.
Dengan dalih bahwasanya sistem pendidikan yang lama adalah kuno, dengan seenaknya
mengganti kemudian menerapkannya kepada masyarakat tanpa adanya kajian lebih mendalam. Disinilah
peran pemerintah sangat menentukan. Konsistensi pemerintah dalam hal pendidikan sangat dibutuhkan
masyarakat, mulai dari sistem pendidikan yang dianut, mekanisme dan segala regulasi, tanpa adanya
unsur-unsur kepentingan pribadi/ kelompok yang mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara.

BAB II

PERMASALAHAN

Mutu pendidikan masih menjadi permasalahan utama bagi bangsa Indonesia, berdasarkan hasil
penelitian United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2013 tentang Indeks Pengembangan
Manusia (IPM) menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara yang diteliti.
Terdapat tiga dimensi utama yang digunakan sebagai dasar evaluasi IPM. Ketiga dimensi tersebut adalah
hidup panjang yang sehat, akeses terhadap ilmu pengetahuan, dan standar kehidupan yang layak.
Indonesia memperoleh indeks 0,684 (skala 0-1). Dan jika dibanding negara-negara ASEAN yang
dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-5 dari sebelas negara ASEAN. Indonesia
berada diatas Myanmar, Laos, Kamboja, Timor Leste, Vietnam dan Filipina, dan dibawah Singapura,
Brunei, Malaysia dan Thailand. Hasil tersebut dapat menggambarkan salah satu aspek yakni aspek ilmu
pengetahuan (pendidikan) Indonesia yang masih rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization ( UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang mengurus bidang pedidikan. Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring
Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan oleh UNESCO,
indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) sebesar 0,934. Nilai ini
menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai
0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional.
Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008 berada di level 54 dari 131 negara.
Jauh dibawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21
dan Singapura pada urutan ke-7.
Menurut Umaedi (2000), dari berbagai pengamatan dan analisis. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, antara lain adalah pergeseran
makna pendidikan sesungguhnya, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang tidak
konsekuen, mutu pendidikan yang tidak mengalami peningkatan secara merata, komponen
kepemimpinan kepala sekolah dan mutu guru , kesejahteraan guru, biaya pendidikan yang dirasa
mahal oleh berbagai kalangan, suasana belajar mengajar, dan sisi psikologis murid yang masih diabaikan.

Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, tanpa disadari pendidikan mempunyai dampak
yang begitu luar biasa terhadap keberlangsungan suatu bangsa. Kunci utama kesuksesan suatu bangsa
terletak pada kualitas dan kuantitas masyarakatnya yang dapat dilihat salah satunya dari faktor
pendidikannya. Karena dari sinilah penerus-penerus bangsa akan lahir sebagai penerus bangsanya.
BAB III
PEMBAHASAN

Permasalahan pertama adalah dunia pendidikan Indonesia sakit. Bagi orang-orang yang
berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami sakit. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena bergesernya makna
sesungguhnya pendidikan itu sendiri. Secara harfiah pendidikan diharapkan dapat menciptakan manusia
yang unggul dan berakhlak mulia, manusia yang dapat membuat perubahan bagi dunia dan bermanfaat
bagi kesejahteraan umat manusia.
Tetapi nyatanya kini pendidikan justru tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yanga ada. Pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia
robot. Pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah. dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (pengetahuan/kognitif)
dan perilaku belajar yang merasa (sikap/afektif). Unsur integrasi cenderung hilang yang terjadi justru
unsur disentegrasi. Padahal belajar tidak hanya berpikir. Sebab ketika seseorang sedang belajar, maka
orang tersebut juga melakukan kegiatan lain seperti mengamati, membandingkan, menganalisis dan
menyimpulkan.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai deretan intruksi dari
guru kepada murid. Sistem seperti itulah yang turun-temurun ada dalam sistem pendidikan kita sehingga
lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang siap pakai saat telah memasuki dunia kerja.
Pemikiran bahwa mengeyam pendidikan adalah untuk bekerja seharusnya mulai diubah menjadi
mengeyam pendidikan adalah untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri, independen, kreatif serta
kebermanfaatnnya dapat dirasakan oleh orang lain. Dengan menciptakan lapangan kerja secara mandiri
diharapkan dapat mengurangi kebergantungannya terhadap negara sehingga dapat membantu mengurangi
beban negara dalam hal penyediaan lapangan kerja yang semakin tahun semakin terbatas. Selain itu
dengan menciptakan lapangan pekerjaan secara mandiri kita juga mampu memberikan pemasukan kepada
negara yang nantinya akan dialokasikan ke sektor-sektor lain.
Kedua, kebijakan dan penyelanggaraan pendidikan nasional di Indonesia masih menggunakan
pendekatan education production atau input-out analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila
dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini
akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap apabila input pendidikan sudah
terpenuhi, maka mutu pendidikan akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak
terjadi. Hal ini karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu
memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses
pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia , sistem pendidkan Finlandia memakai cara yang
berlainan dengan negara lain yaitu, dengan meminimumkan test dan memaksimalkan kolaborasi.
Finlandia menjamin kesetaraan pendidikan dan mengutamakan proses pendidikan yang memahami
keunikan dan peningkatan mutu yang dicapai. Pendidikan yang ramah dengan guru yang berkualitas dan
pelayanan maksimal serta mengisi kelas dengan siswa berlatar belakang berbeda itulah faktor yang
membuat pendidikan Finlandia menjadi yang terbaik. Meminimumkan test, tidak memberikan pekerjaan
rumah, tidak ada kegiatan belajar tambahan diluar jam sekolah, tidak ada ranking, dan tidak ada ujian
nasional begitulah sistem pendidikan di Finlandia. Finlandia lebih mengutamakan kolaborasi daripada
kompetisi.
Pendidikan di negara-negara yang memiliki rating pendidikan terbaik di dunia umumnya
menerapkan sistem pengawasan yang ketat, akuntabilitas yang kuat atas hasil belajar siswa, memecat
guru yang kurang berkualitas, dan menutup sekolah yang bermasalah. Sementara di Finlandia sedikit
berbeda, Finlandia menggunakan sistem meningkatkan kekuatan pengajaran, membatasi tes siswa,
mengutamakan tanggung jawab sebelum akuntabilitas, mendukung kepemimpinan dan dinas pendidikan.
Cara Finlandia dalam mengontrol pendidikan dengan menanam kepercayaan, memperbesar otonomi, dan
menoleransi keragaman pendidikan. Tak heran education development index (EDI) Finlandia terus
mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menunjukkan angka 0,879.
Ketiga, mutu pendidikan yang tidak mengalami peningkatan secara merata. Mutu pendidikan
yang tidak mengalami peningkatan secara merata juga disebabkan karena penyelenggaraan pendidikan
nasional dilakukan secara birokratik-sentralistrik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan yang sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang
dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Selain itu,
minimnya peran serta masyarakat, khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama
ini kebanyakan orangtua/ masyarakat menyerahkan sepenuhnya dan seutuhnya pendidikan putra-putrinya
kepada lembaga pendidikan. Padahal justru yang efektif dalam mengelola anak-anak tersebut adalah
orangtua dalam lingkup keluarga. Sehingga diharapkan selain lembaga pendidikan yang berperan
orangtua dan keluarga juga diharapkan berperan dan sama-sama kuat. Lembaga pendidikan dan orang tua
juga seharusnya menciptakan situasi belajar-mengajar yang nyaman bagi anak tersebut agar tujuan yang
diinginkan dapat tercapai.
Selain itu, sekolah sebagai sistem harus menekankan pada proses belajar mengajar sebagai
pemberdayaan siswa, yang dilakukan melalui interaksi perilaku siswa, baik didalam maupun di luar kelas.
Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan siswa, maka penekanannya bukan
sekedar mengajarkan sesuatu kepada siswa dan kemudian menyuruhnya mengerjakan soal agar
memiliki jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar, akan tetapi proses belajar mengajar
yang mampu menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-
eksperimentasi untuk menemukan kemungkinankemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru),
memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi,
memberikan kemerdekaan, dan memberikan toleransi terhadap kekeliruan-kekeliruan akibat
kreativitas berpikir (Gorton, 1976; Novak & Gowin 1984: Sternberg, 1999: Armstrong, 1994;
Gardner, 1993).
Pengukuran mutu pendidikan di Indonesia salah satunya ditandai dengan pencapaian
prestasi belajar. Prestasi belajar ini dapat dilihat sebagai suatu hasil dari proses belajar yang telah
dilakukan, baik pada setiap akhir materi pelajaran, akhir semester maupun pada akhir tahun
pelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2013
tentang Indeks Pengembangan Manusia (IPM) menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-108 dari
187 negara yang diteliti. Indonesia memperoleh indeks 0,684 (skala 0-1). Dan jika dibanding negara-
negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-5 dari sebelas
negara ASEAN. Indonesia berada diatas Myanmar, Laos, Kamboja, Timor Leste, Vietnam dan Filipina,
dan dibawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Terdapat tiga dimensi utama yang digunakan
sebagai dasar evaluasi IPM. Ketiga dimensi tersebut adalah hidup panjang yang sehat, akeses terhadap
ilmu pengetahuan, dan standar kehidupan yang layak. Hasil tersebuat dapat menggambarkan salah satu
aspek yakni aspek ilmu pengetahuan (pendidikan) Indonesia yang masih rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational,
Scientific, and Cultural Organization ( UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus
bidang pedidikan. Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The
Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan oleh UNESCO, indeks pembangunan
pendidikan atau education development index (EDI) sebesar 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di
posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium
berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional.
Daya saing Indonesia menurut Word Economic Forum, 2007-2008 berada di level 54 dari 131 negara.
Jauh dibawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21
dan Singapura pada urutan ke-7. Berbeda dengan Indonesia, Finlandia berada di urutan negara
pendidikan terbaik di dunia, setidaknya diukur dari kemampuan siswa dalam matematika, sains, dan
membaca, menurut penilaian yang diberlakukan oleh Organization for economic Coorporation and
Development (OECD)
Keempat, komponen kepemimpinan kepala sekolah dan mutu guru. Rendahnya
profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas), guru-
guru yang layak mengajar untuk tingkat sekolah dasar (SD) baik negeri maupun swasta ternyata
hanya 28,94%, guru sekolah menengah pertama (SMP) negeri 54,12%, swasta 60,99% , guru
sekolah menengah atas (SMA) negeri 65,29%, swasta 64,37%, guru sekolah menengah kejuruan
(SMK) negeri 55,91%, swasta 58,26%.
Sekolah sebagai suatu unit organisasi pendidikan formal merupakan wadah kerja sama
sekelompok orang (guru, kepala sekolah, dan siswa) untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(ditetapkan). Pencapaian tujuan sekolah, baik kuantitas maupun kualitasnya, sangat tergantung
pada orang-orang yang terhimpun dalam lembaga (sekolah) itu. Keberhasilan sekolah banyak
ditentukan oleh para guru dan kepala sekolah, meskipun keberhasilan kerja guru juga sangat
dipengaruhi banyak faktor. Salah satu faktor yang berperan penting adalah peran pokok yang
dimainkan oleh kepala sekolah melalui kepemimpinan yang mampu menciptakan semangat kerja
guru yang tinggi. Semangat kerja yang tinggi itu tentunya dimaksudkan untuk menunjang
terwujudnya tujuan organisasi sekolah.
Disamping itu kepala sekolah hendaknya menjadi pemimpin yang efektif bagi siswanya,
para guru, dan orang tua murid dan masyarakat. Sebagai pemimpin siswa, kepala sekolah
diharapkan memberi bimbingan dan pembinaan demi keberhasilan belajar siswa. Sebagaimana
dikutip pada Campbell (1977), Mantja (1996) menjelaskan bahwa pembinaan siswa mencakup :
(1) mengembangkan potensi-potensi dasar setiap siswa.
(2) membantu siswa agar meiliki kehidupan yang lebih baik.
(3) mengembangkan kemampuan intelektual, sosial, emisonal, dan fisik.
Sebagai pemimpin para guru, kepala sekolah diharapkan melakukan pembinaan untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugasnya. Jelasnya bahwa kepala
sekolah dan guru yang merupakan instrumental proces pada lembaga persekolahan secara
langsung punya keterkaitan yang erat. Masing-masing mereka secara langsung atau secara tidak
langsung memiliki hubungan langsung atau tidak langsung terhadap prestasi belajar siswa.
Gagne (1974), menyatakan bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh bakat, fasilitas
pendukung, proses belajar mengajar dan pengajaran. Sedangkan menurut (Dunkin dan Biddle,
1974), ada empat variabel pokok yang dapat mempengaruhi hasil belajar yaitu, kepemimpinan
dalam proses belajar mengajar, potensi guru, potensi siswa dan dukungan sarana pendidikan.
Kesejahteraan tenaga pendidik (guru) juga perlu menjadi perhatian untuk kita semua,
karena dirasa oleh para pendidik bahwasanya pemerintah kurang memperhatikan kesejahteraan
mereka sehingga akan berdampak pada kinerja pendidik tersebut yang akan turut mempengaruhi
kualitas peserta didik dalam hal ini adalah murid atau siswa. Dikutip dari The Guardian, dari 30 negara
yang menjadi anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), dapat dilihat
daftar penghasilan tenaga pendidik 30 negara anggota OECD.

No. Negara Penghasilan / tahun (Rp) No. Negara Penghasilan/ tahun (Rp)

1. Swiss 837.952.320 16. Portugal 421.167.840

2. Belanda 704.625.120 17. Perancis 408.748.320

3. Jerman 654.216.480 18. Nowergia 403.390.880

4. Belgia 626.698.720 19. Slovenia 395.476.480

5. Korea 576.411.840 20. Swedia 384.883.360

6. Irlandia 575.924.800 21. Italia 383.056.960

7. Jepang 559.243.680 22. Islandia 358.948.480

8. Australia 535.744.000 23. Yunani 313.532.000

9. Finlandia 521.254.560 24. Israel 238.040.800

10. Inggris Raya 510.296.160 25. Republik Ceko 226.595.360

11. Denmark 507.860.960 26. Turki 209.183.680

12. Spanyol 505.547.520 27. Chili 199.808.160


13. Amerika 504.816.960 28. 180.691.840
Brazil
Serikat

14. Austria 455.504.160 29. Hungaria 179.717.760

15. Selandia Baru 423.237.760 30. Indonesia 34.458.080

Sumber : www.theguardian.com

Berbeda dengan Indonesia, profesi guru di Finlandia sangat berharga dan dihormati melalui
pemberian upah yang memadai. Pemerintah Finlandia menyadari bahwa kesejahteraan guru menjadi salah
satu faktor penting dalam perkembangan pendidikan di negara tersebut. Tak khayal banyak anak muda
yang bercita-cita menjadi guru. Pemilihan calon guru di Finlandia sangat ketat hanya 5% pelamar yang
diterima untuk pendidikan S1 dan 20% untuk pelamar S2. Sehingga dengan seleksi yang ketat
menghasilkan guru yang berkualitas.

Kelima, biaya pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia masih membebankan biaya pendidikan
kepada siswanya. Hal ini dirasa menjadi beban oleh beberapa kalangan terutama kalangan yang kurang
mampu. Meskipun kini terdapat berbagai macam program pemerintah mengenai pendidikan tetapi biaya
pendidikan masih dirasa mahal dan terkadang bantuan yang dialokasikan pemerintah sering tidak merata
dan disalahgunakan. Berbeda dengan Indonesia, Finlandia justru menggratiskan biaya pendidikan untuk
semua kalangan dan semua jenjang, dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Biaya pendidikan
sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Siswa hanya dibebani biaya hidupnya saja. Pemerintah
Finlandia tak tanggung-tanggung mengucurkan dana yang cukup besar untuk memberikan kesempatan
pemerataan pendidikan bagi rakyatnya. Bahkan pemerintah Finlandia sangat terbuka kepada negara-
negara lain dengan memberikan kesempatan bagi negara mana saja untuk mengenyam pendidikan di
Finlandia gratis tanpa ada biaya pendidikan sedikitpun.Dan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari
Pemerintah Finlandia memberi kesempatan kepada siswanya untuk bekerja paruh waktu (part time)
maksimal 20 jam per minggu.

Faktor lain yang mempengaruhi hasil pendidikan di Indonesia berasal dari lingkungan sekolah itu
sendiri. Jika di Indonesia kegiatan belajar mengajar dilakukan secara formal dengan memakai seragam,
hal ini berbeda dengan Finlandia yang membebaskan siswanya dalam hal berpakaian. Kegiatan belajar
mengajar jika biasanya dilakukan di dalam kelas-kelas, Finlandia justru berbeda, proses kegiatan belajar
mengajar dilakukan secara nonformal, siswa bebas ingin belajar dimana saja tanpa dibatasi oleh ruangan,
selain itu siswa berada dalam kondisi yang nyaman, santai dan menyenangkan.

Berbeda juga dengan sistem ujian yang selama ini kita anut, jika selama ini kita mengikuti ujian
setiap tengah semester, akhir semester dan nasional secara serempak pada tempat dan waktu yang sama,
Finlandia justru memberikan otonomi khusus kepada siswanya untuk menentukan jadwal ujian sendiri
sesuai dengan mata pelajaran yang telah ia kuasai. Selain itu ketentuan Ujian Nasional juga berlaku sama
halnya dengan Indonesia, perbedaannya jika Ujian Nasional di Indonesia dilaksanakan setiap akhir
tingkat pada setiap jenjang, wajib diikuti oleh seluruh siswa sebagai dasar pertimbangan kelulusan siswa,
Finlandia tidak setiap tahun melaksanakan Ujian Nasional, Ujian Nasional hanya dilakukan dijenjang
tertentu serta hanya diikuti oleh beberapa siswa yang dipilih seacra acak dari kelompok siswa cerdas,
menengah dan kurang serta hasil ujian ini digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap sistem pendidikan
yang selama ini digunakan.

Hal lain yang mungkin kecil tetapi memberikan dampak yang luar biasa adalah psikologis siswa,
jika selama ini siswa diharuskan menjawab pertanyaan dengan benar sesuai dengan jawaban guru, hal ini
tidak berlaku di Finlandia, di sana siswa tidak diharuskan menjawab dengan benar yang lebih penting dan
utama ialah kesungguhan siswa tersebut. Teguran yang menyatakan bahwa siswa itu salah atau ada
sesuatu yang kurang baik berupa kritik tidak diperkenankan karena dapat menjatuhkan kepercayaan diri
siswa tersebut dengan membuatnya malu. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan, mereka
hanya diminta untuk membandingkan hasil mereka dengan pekerjaan sebelumnya bukan membandingkan
dengan hasil siswa lain. Tidak ada sistem ranking, sehingga setiap siswa diharapkan bangga terhadap
hasil jeripayah mereka sendiri.

Tidak ada metode pembelajaran ceramah, yang ada hanya suasana pembelajaran yang
menyenangkan dan penerapan belajar aktif. Waktu belajar mengajar di lingkungan sekolah tidak sepadat
di Indonesia, jika biasanya belajar akan berakhir pada pukul 14.30, Finlandia hanya hingga pukul 13.00
serta hari Sabtu-Minggu meruapakan hari libur agar siswa dapat berekreasi bersama keluarga.

Kegemaran membaca sangat didorong di Finlandia, dalam satu minggu siswa di Finlandia
diharuskan telah membaca satu buku, tidak hanya dibaca tetapi juga siswa diminta untuk membuat
resume atas buku yang telah dibaca. Usia mulai mengeyam pendidikan di Finladia dimulai dari usia tujuh
tahun, karena mereka beranggapan pada usia dibawah tujuh tahun merupakan masa dimana mereka
bermain, sehingga tidak ada paksaan untuk mengenyam pendidikan sedini mungkin. Berbeda dengan
Finlandia, di Indonesia, orang tua justru berlomba-lomba untuk memasukkan anak-anak mereka ke
pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak (TK), justru dengan memasukkan mereka ke
bangku sekolah sedini mungkin, anak-anak akan kehilangan masa bermain bersama orangtuanya.

BAB IV

PENUTUP

Permasalahan mengenai pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tak kunjung terselesaikan. Sampai
dengan pergantian pemimpin pun rasanya masalah tersebut diwariskan ke generasi berikutnya. Solusi
yang dapat dilaksanakan diantaranya :

a. Dibutuhkan kesungguhan dari pemerintah dalam segala hal. Perhatian pemerintah terhadap dunia
pendidikan perlu ditingkatkan. Pemerintah diharapkan konsisten dalam menerapkan berbagai
kebijakan yang melibatkan hajat orang banyak. Segala keputusan dan kebijakan harus dikaji lebih
mendalam dan matang. Misalnya tentang penerapan kurikulum, tidak sepantasnya para pembuat
keputusan mengganti kurikulum dengan seenaknya dengan alasan yang tidak masuk akal.

b. Pemerintah diharapkan memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik. Pemerintah dapat


membuat program-program yang akan memacu kinerja tenaga pendidik. Misalnya bonus,
tunjangan, dan sertifikasi. Selain itu juga dapat diselenggarakan berbagai penghargaan untuk
tenaga pendidik agar tenaga pendidik merasa dihormati dan dihargai sehingga tercipta dorongan
untuk terus mengabdi terhadap negara dengan lebih baik.

c. Alokasi dana untuk pendidikan perlu ditingkatkan. Jika sekarang 20% dari anggaran pendapatan
belanja negara telah dialokasikan untuk pendidikan dan dirasa sudah cukup banyak, pemerintah
seharusnya benar-benar menggunakan anggaran tersebut seefektif mungkin. Meminimalisir
berbagai praktek/ tindak penyelewengan agar anggaran tersebut benar-benar dapat dirasakan oleh
dunia pendidikan kita.

d. Selain pemerintah dan tenaga pendidik, masyarakat juga diharapkan turut berpartisipasi aktif.
Tidak menyerahkan sepenuhnya pendidikan putra/putri mereka ke lembaga pendidikan.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

http://unic-jakarta.org/2014/07/25/laporan-pembangunan-manusia-2014-peluncuran-global-implikasi-
lokal/

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/07/24/n97zl2-undp-ipm-indonesia-di-peringkat-108-
dari-187-negara

http://bisnis.liputan6.com/read/2139613/daftar-gaji-guru-di-30-negara-ri-peringkat-berapa?p=2

http://hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/FIN.pdf

Anda mungkin juga menyukai