Anda di halaman 1dari 9

A.

PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang
berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit
immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang
abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara
tidak teratur dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal
sehingga mengganggu fungsi sel normal lain (Permono, 2005).
B. EPIDEMOLOGI
Epidemiologi Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus
kanker baru yang didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar
2.970 (21%) dari kasus-kasus ini merupakan Leukemia Limfoblastik Akut
(LLA). Tingkat kejadian tahunan AS untuk LLA dibawah usia 20 tahun adalah
35,0 per satu juta penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih
tinggi daripada perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada
kejadian LLA antara ras kulit hitam dan kulit putih, dimana anak-anak kulit
putih memiliki insiden hampir 2 kali lipat lebih besar. Puncak insidens LLA
paling tinggi terjadi pada usia 2-5 tahun. Secara internasional, terdapat
variasi antara kejadian LLA pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan rata-
rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per juta untuk laki-laki dan 7-43 per
juta untuk wanita (Robinson, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, leukemia akut menduduki
peringkat pertama pasien keganasan pada anak dalam kurun waktu 10 tahun
(1991-2000) yaitu 524 kasus atau 59% dari seluruh keganasan pada anak.
Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis sebagai leukemia
limfoblastik akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia nonlimfoblastik akut dan
sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia mieoloblastik kronis. Insiden dari LLA
pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru (Widiaskara, et al, 2010).
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi leukemia akut belum diketahui, akan tetapi faktor-faktor berikut ini
penting dalam patogenesis leukemia: 1. Radiasi ionisasi. 2. Bahan-bahan
kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut (LMA)). 3. Obat-
obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau dalam
kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA). 4. Pertimbangan
Genetik: Kembar identik: Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada
usia dibawah 5 tahun, risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%.
Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah empat
kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Kelainan kromosom:
Grup Interval Risiko Waktu Trisomi 21 (sindrom Down) 1 di 95 <10 tahun
Sindrom Bloom 1 di 8 <30 tahun Anemia Fanconi 1 di 12 <16 tahun
.Peningkatan kejadian dengan kondisi genetik sebagai berikut: (1)
Agammaglobulinemia kongenital (2) Sindrom Polandia (3) Sindrom
Shwachman Diamond (4) Ataksia telangiectasia (5) Sindrom Li-Fraumeni
(mutasi gen p-53) (6) Neurofibromatosis (7) Diamond-Blackfan anemia (8)
Penyakit Kostmann. Sebagian besar kasus leukemia tidak berasal dari
kecenderungan genetik yang diwariskan, tetapi dari perubahan genetik
somatik (Lanzkowsky,2008).

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO
(2008) berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA
(LLA sel B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe
dengan translokasi t (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene
rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom (diploidi). Subtipe
merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan
prognosis. Pada T-LLA (LLA sel T) kariotipe abnormal ditemukan pada 50% -
70% kasus (Hoffbrand, 2013). Sedangkan secara morfologik, menurut FAB
(French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu: 1. L1 : LLA
dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA. 2. L2 : Sel lebih
besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan
sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA. 3. L3 : LLA mirip dengan
limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya
merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)

Gambar 2.1. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1(Roganovic, 2013)


Gambar 2.2. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-2 (Roganovic, 2013)

Gambar 2.3. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-3 (Roganovic, 2013)

Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi: 1. Sel pra-B awal : 60%-


70% dari pasien LLA dengan precursor sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan
tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin (cIg), sehingga disebut dengan LLA
umum, Juga terdapat human leukocyte antigen (HLA)- DR. 2. Sel pra-B : 20%-30%
dari pasien LLA dengan precursor sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan dari
tipe sel B, lebih matur dari sel pra-B awal,

namun kurang matur dari sel B. ditemukan antigen CD10 dan HLA-DR, memiliki
prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel pra-B awal. 3. Sel pra-B transisional
: Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan, CD10 negatif, dan terdapat beberapa
ketidaknormalan pada kromosom, prognosis paling buruk. 4. Sel T :
10%-15% LLA, biasanya pada anak yang lebih tua, hitung leukosit lebih tinggi dan
prognosisnya lebih jelek dibandingkan prekursor sel B. 5. Sel B mature :
1%-2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM positif, terdapat antigen CD19, CD20,
dan HLA-DR (Orkin, et al., 2009).

2.1.5. Gambaran Klinis Gambaran klinis terjadi karena hal-hal berikut: Kegagalan
Sumsum Tulang 1. Anemia (pucat, letargi, dan dispnea); 2. Neutropenia (demam,
malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianus, atau
bagian lain); 3. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan
menoragia) (Hoffbrand, 2013).
Infiltrasi Organ Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang,
limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri
kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus
mungkin menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien
mengalami demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi.
Manifestasi yang

lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan mediastinum


pada LLA sel T (Hoffbrand, 2013). Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan
massa ekstranodus dengan blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut
limfoma limfoblastik, tetapi diterapi juga seperti LLA (Hoffbrand,2013).

2.1.6 Gambaran Laboratorium Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan


untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang
tepat, yaitu : 1. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.
Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira
sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000mm (Fianza,
2009). 2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk
konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani
prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang
sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat
tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi
gambaran sitologi (Fianza, 2009). 3. Sitokimia Gambaran morfologi sel blast pada
apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA
dari leukemia mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah
enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik,
yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia juga

10
berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase
asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan
hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan
oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow
cytomerty (Fianza, 2009). 4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai
untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap : a.
Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A, CD22,
cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT. b. Untuk sel T : CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8 dan TdT. c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen
mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang
bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia
bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk (Fianza, 2009). 5.
Pemeriksaan lainnya Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke
SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum, laktat
dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes fungsi hati dan
ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum pengobatan dimulai.
Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di tulang dan massa di
mediastinum yang khas untuk T-LLA (Hoffbrand, 2013).

11

2.1.7. Faktor Prognostik Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi (HR) bila jumlah
leukosit darah tepi >50.000/ml, ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat,
jumlah total blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm, ada masa di
mediastinum, dan umur <1 tahun atau >10 tahun (Widiaskara, et al, 2010). Pasien
yang berusia antara 1 dan 9 dengan awal WBC (White Blood Count) <50.000 / mm
(Risiko Standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B LLA, memiliki angka
ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80%. Para pasien yang tersisa (risiko tinggi)
memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 65%. Faktor-faktor yang harus
dimasukkan dalam klasifikasi risiko adalah: 1. Umur: Pasien di bawah usia 1 tahun
dan lebih dari 10 tahun memiliki prognosis yang lebih buruk dari anak-anak dengan
usia > 1 tahun dan <10 tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis
terburuk. 2. Jumlah sel darah putih: Anak-anak dengan WBC yang tinggi cenderung
memiliki prognosis yang buruk. 3. Imunofenotipe: pre-B LLA memiliki prognosis
terbaik. Mature T-sel LLA memiliki kelangsungan hidup yang lebih buruk karena
hubungannya dengan usia yang lebih tua dan lebih tingginya angka WBC pada saat
diagnosis. Mature B-sel LLA sebelumnya memiliki prognosis buruk dengan risiko
kekambuhan yang cepat dan keterlibatan SSP tetapi terapi agresif baru-baru ini
telah meningkatkan prognosis. 4. Indeks DNA > 1,16 hyperdiploid LLA dengan
jumlah kromosom lebih dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik karena
peningkatan apoptosis dan meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi. 5.
Sitogenetik: Kombinasi trisomi kromosom 4, 10, dan 17 dikaitkan dengan risiko
kegagalan pengobatan yang sangat rendah dan hasil yang baik. Translokasi
melibatkan penataan ulang MLL pada 11q23 telah dikaitkan dengan prognosis yang
lebih buruk. Philadelphia kromosom t (9; 22) (Q34; Q11) LLA adalah translokasi
paling sulit untuk diobati dan memiliki prognosis buruk. Hypodiploid LLA juga
berhubungan dengan prognosis yang buruk.

12

6. Penyakit SSP: Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan faktor
prognostik yang merugikan meskipun intensifikasi terapi dengan iradasi SSP dan
tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin tanpa peningkatan WBC
(status CNS2) juga dikaitkan dengan hasil yang buruk. 7. Respon awal terhadap
terapi induksi: Pasien yang tidak mengalami remisi pada akhir terapi induksi
memiliki prognosis yang sangat buruk. Hasil sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari
ke 14 terapi induksi juga telah digunakan untuk memperkirakan respon terhadap
terapi (Lanzkowsky, 2008).

2.1.8. Pengobatan Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi


dua,yaitu terapi spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk
mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau
sebagai akibat terapi (Bakta, 2006). 1. Terapi Spesifik (Kemoterapi) Menurut
Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2 klasifikasi berdasarkan
faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR) dan risiko normal (Standard
Risk/SR). Pada pasien dengan risiko tinggi, terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi,
konsolidasi, reinduksi, dan rumatan (maintenance). Sedangkan pada pasien dengan
risiko standar, terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan
(maintenance) (Pertiwi, et al., 2013) a. Fase induksi Tujuan terapi remisi-induksi
adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari beban awal sel-sel leukemia dan
untuk mengembalikan hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase
pengobatan ini hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid (prednisone,
prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen lainnya
(biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak-

13

anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan hampir semua
dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih obat selama terapi remisi-
induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan
tingkat remisi lengkap sekitar 98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen
untuk orang dewasa. Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat
dan terjadi pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi
obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.(Pui,et al 2006). Terapi induksi yang
terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya, menyebabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Selain itu siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi
anthracycline menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang
dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien yang lebih
tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam sistem saraf pusat dan
waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan deksametason di induksi dan terapi
post remisi tampaknya memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf
pusat dan sistemik dibandingkan baik prednisone atau prednisolon. Namun, satu
studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan dalam konteks
perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil yang serupa dengan yang
dicapai dengan deksametason (Pui, et al., 2006). Namun, perlu diingat bahwa remisi
tidak sama dengan kesembuhan. Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung
sejumlah besar sel tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua
pasien akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah
pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai
remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif (Hoffbrand, 2013).

14
b. Fase Konsolidasi (intensifikasi) Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat
kemoterapi untuk mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban tumor ke tingkat
yang sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan selama
intensifikasi pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup banyak (Hoffbrand,
2013). Pada protokol tipikal berisi vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosid,
etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam berbagai
kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk anak, dengan jumlah
yang lebih banyak kadang digunakan untuk dewasa (Hoffbrand, 2013). c. Fase
reinduksi Fase reinduksi - pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi
awal yang diberikan selama beberapa bulan pertama remisi merupakan salah satu
komponen dari suksesnya protokol LLA. Penting untuk dicatat bahwa vincristine
tambahan dan prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak
menguntungkan, diperkirakan bahwa perbaikan yang terjadi adalah karena
peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti asparaginase. Karena sering
terjadinya osteonekrosis setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang
diselidiki sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi (Pui, et al., 2006). d. Fase
rumatan (maintenance) Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin
(6 MP) per oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan
diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi (Bakta, 2006). 2. Terapi Suportif Terapi
suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik
karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus
ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka penderita dapat
meninggal karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi
akibat-akibat yang ditimbulkan

15

oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat.
Terapi suportif yang diberikan adalah : a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi
PRC (Packed Red Cells) untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk
calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari. b. Terapi
untuk mengatasi infeksi, terdiri atas : 1) Antibiotika adekuat 2) Transfusi konsentrat
granulosit 3) Perawatan khusus (isolasi) 4) Hemopoietic growth factor c. Terapi
untuk mengatasi perdarahan terdiri atas : Transfusi konsentrat trombosit untuk
mempertahankan trombosit. d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu : 1)
Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapharesis.
Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit. 2) Pengelolaan
sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol dan
alkalinisasi urine (Bakta,2006).

Anda mungkin juga menyukai