Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

Autoimunitas adalah respon imun adaptif melawan self-antigen yang


ditandai dengan hilangnya self-tolerance terhadap antigen ini. Pada autoimunitas,
homeostasis imunitas normal hilang seperti terdapatnya respon yang tidak normal
terhadap jaringan tubuh sendiri.1,2,3 Penyakit autoimun diperkenalkan dengan
istilah horror autotoxicus oleh Paul Ehrlich. Pada penyakit ini, terdapat respons
dan kerusakan jaringan tubuh yang dicetuskan oleh autoimunitas, diakibatkan oleh
disregulasi proses dan jalur imun yang terlibat dalam imunitas normal.2

Perkembangan penyakit autoimun ini melibatkan proses yang rumit,


diawali dengan pengenalan self-antigen oleh limfosit yang berperan dalam
kerusakan organ. Penyakit autoimun bersifat herediter dengan banyak lokus yang
terlibat dalam menentukan kerentanan individu.4,5 Pengaruh lingkungan tertentu
seperti asap rokok, sinar ultraviolet, atau agen infeksius akan berkombinasi
dengan predisposisi genetik mengawali proses penyakit.3,6 Karakteristik utama
penyakit autoimun adalah terdapatnya sel T self-reactive, autoantibodi, dan reaksi
inflamasi.1,7,8

Lerner et al (2015) menyatakan bahwa terdapat peningkatan kejadian


penyakit autoimun pada dekade terakhir. Frekuensi penyakit autoimun ini telah
meningkat secara bermakna dalam 30 tahun terakhir.9 Page et al (2012)
mengemukakan bahwa penyakit autoimun berkisar sekitar 3% pada populasi
Amriksa Utara dan Eropa, lebih dari 75% mengenai perempuan. Insidens penyakit
autoimun dipengaruhi oleh peningkatan jumlah populasi, sebagai contoh jumlah
penderita DM tipe I.10 Diperkirakan terdapat sekitar 30.000 kasus baru DM tipe I
di Amerika Serikat per tahun, yang berarti bahwa terdapat insidens 10 kasus per
100.000 populasi. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa terdapat insidens 1,3
kasus baru pada setiap 1.000 wanita dan 0,5 kasus baru pada setiap 1.000 laki-laki
di Amerika Serikat pada tahun 1996.11

Di negara barat, peningkatan penyakit autoimun sejalan dengan


peningkatan penyakit yang disebabkan oleh alergi dan keganasan, sementara itu

1
penyakit infeksi lebih jarang ditemui. Hal ini sesuai dengan hygiene hypothesis.
Multipel sklerosis, DM tipe I, inflammatory bowel diseases (khususnya penyakit
Crohn), lupus eritematosus sistemik (LES), sirosis bilier primer, miastenia gravis,
tiroiditis autoimun, hepatitis, dan artritis reumatoid adalah beberapa contoh
penyakit autoimun yang umum dijumpai.9,12 Page et al (2012) menyatakan
penyakit autoimun dengan insidens tertinggi adalah artritis reumatoid, penyakit
tiroid autoimun, dan uveitis.11

Thomas et al (2010) mengemukakan bahwa pada tahun 2003, penyakit


autoimun menempati urutan keenam atau ketujuh sebagai penyebab kematian
tersering pada wanita berusia kurang dari 75 tahun. Untuk mengurangi mortalitas
dan morbiditas terkait dengan penyakit autoimun ini, perlu pengenalan dan
diagnosis secara tepat pada berbagai kondisi klinis yang dicurigai didasari oleh
autoimunitas.13 Dalam hal ini penting peranan pemeriksaan imunologis, tetapi
walaupun demikian pemeriksaan imunologis harus diawali dengan pemeriksaan
komprehensif pada pasien yaitu meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Page
et al (2012) menyatakan terdapat gejala dan tanda yang bervariasi pada penyakit
autoimun. Hal ini bervariasi dari organ spesifik hingga sistemik. 11 Kemudian, pada
keadaan tertentu dengan adanya indikasi yang jelas, diperlukan pemeriksaan
imunologis untuk menunjang diagnosis.12

Dari berbagai penelitian yang sedang berkembang saat ini diketahui bahwa
aktivasi sel B dan sel T autoimun dapat dipengaruhi oleh reseptor imunitas
alamiah seperti Toll-like receptors yang dapat mengenali struktur molekul
patogen.3,11 Ngo et al (2014) menyatakan bahwa penyakit autoimun berhubungan
erat dengan gen human leukocyte antigen (HLA) melalui mekanisme yang
melibatkan variabilitas genetik pada respon imun.10 Castro et al (2010)
menyatakan baik komponen imunitas alamiah maupun imunitas adaptif dapat
berperan sebagai pemeriksaan imunologis dalam membantu diagnosis penyakit
autoimun.1

Lerner et al (2015) menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap pasien yang


berpotensi menderita penyakit autoimun masih sulit dilakukan karena tidak hanya
satu jenis pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk menunjang

2
diagnosis.9 Berbagai pemeriksaan laboratorium diperlukan, termasuk pemeriksaan
dasar seperti hitung darah lengkap, pemeriksaan metabolik lengkap, reaktan fase
akut, komponen imunologis, serologis, flow cytometry, analisis sitokin, dan HLA.
Walaupun, beberapa pemeriksaan tidak spesifik, seperti laju endap darah (LED),
tetapi ini bermanfaat untuk menilai derajat aktivitas penyakit. Pemeriksaan ini
bermanfaat dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit
autoimun, serta membantu memperkirakan prognosis atau kerusakan berbagai
organ.1,8

Wieslander (2010) mengemukakan bahwa terdapat banyak jenis


pemeriksaan antibodi pada berbagai penyakit autoimun dengan sensitivitas dan
spesifisitasnya masing-masing. Sebagai contoh pemeriksaan ANA memiliki
sensitivitas yang tinggi yaitu 95%, tetapi spesifisitas yang rendah terhadap LES.
Sebaliknya, anti-Sm memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 15%, tetapi
spesifisitas yang tinggi yaitu >95% terhadap LES.14

Pemeriksaan laboratorium memiliki peranan penting dalam mengevaluasi


pasien dengan kecurigaan menderita penyakit autoimun.12 Hasil pemeriksaan ini
dapat mengkonfirmasi diagnosis, memperkirakan derajat beratnya penyakit,
menilai prognosis, dan bermanfaat untuk memantau aktivitas penyakit.
Pemeriksaan laboratorium secara komprehensif pada dugaan penyakit autoimun
dikaitkan dengan klinis pasien akan memberikan pemahaman yang lebih baik
dalam mendiagnosis penyakit autoimun.1,14 Oleh karena itu, penting disusun refrat
dengan judul Pemeriksaan Imunologis pada Penyakit Autoimun.

3
BAB 2
PENYAKIT AUTOIMUN

2.1 Sistem Imun


Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit khususnya penyakit infeksi.
Kelompok sel, jaringan, dan molekul yang memerantarai resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun. Reaksi sel-sel dan molekul ini terhadap infeksi
mikroba disebut respon imun. Sistem imun tetutama berfungsi mencegah dan
melawan infeksi.5,6
HOST
DEFENSES

Innate

First line of Second line of Acquired, third


defense defense line of defense

Naturally Artificially
acquired acquired
Genetic
Complement
barriers
Interferons
Active Passive Active Passive
Physical Chemical Inflammatory Phagocytosis Physical
barriers barriers response barriers

Antibodies, T cells,
accesorry cells, and
cytokines

Gambar 2.1 Klasifikasi Sistem Imun.4

Sistem imun diklasifikasikan menjadi sistem imun alamiah (innate) dan


sistem imun adaptif (acquired). Sistem imun alamih memberikan perlindungan
segera melawan invasi mikroba, sementara sistem imun adaptif memberikan
perlindungan lebih lambat tetapi lebih spesifik melawan infeksi. 4,5 Produk sel
imun ini dapat digunakan untuk kepentingan klinis. Sebagai contoh, antibodi yang
merupakan bagian dari sistem imun spesifik, dapat digunakan untuk pemeriksaan
laboratorium untuk kepentingan diagnostik dan penelitian.5

4
2.2 Penyakit Autoimun Non-spesifik
Penyakit autoimun non-spesifik organ disebut juga sebagai penyakit
autoimun reumatik. Kelompok ini terutama menyerang otot dan sendi. Kelompok
penyakit autoimun lainnya dikelompokkan berdasarkan organ utama yang
terlibat.8,11,12
Sejumlah penyakit autoimun disertai dengan gejala reumatik, karenanya
disebut penyakit autoimun reumatik. Sebagai contoh, artritis reumatoid, LES,
polimialgia reumatika, sklerosis sitemik, sindrom Sjogren, polimiositis,
dermatomiositis, arteritis dengan nekrosis (necrotizing arteritis), sarkoidosis, dan
sejumlah spektrum sindrom yang serupa.8

2.3 Penyakit Autoimun Spesifik


Penyakit autoimun spesifik organ adalah penyakit autoimun yang terjadi
akibat respon secara langsung terhadap antigen yang hanya terdapat pada organ
tertentu. Pada beberapa penyakit autoimun, autoantibodi berikatan dengan self-
antigen pada organ dan kemudian menyebabkan kerusakan sel. Pada keadaan
lainnya, autoantibodi berikatan dengan self-antigen dan kemudian merangsang
overstimulation atau supresi fungsi normal sel.14

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Autoimun menurut Organ Utama yang Terlibat. 8
No. Organ Utama Penyakit Autoimun
1. Hepatobiliar Hepatitis autoimun, sirosis bilier primer.
2. Gastrointestinal IBD, penyakit chron, penyakit seliac, gastritis autoimun.
3. Jantung dan Miokarditis autoiumun dan dilated cardiomyopathy, anemia
Darah pernisiosa, purpura trombositopenik autoimun, anemia
hemolitik autoimun, anemia aplastik idiopatik.
4. Muskuloskeletal Polimiositis, dermatomiositis, fibromialgia.
5. Endokrin Penyakit autoimun tiroid, hashimoto atrofik subakut,
penyakit graves, DM tipe I, pankreatitis autoimun, hipofisis
autoimun, penyakit addison atau adrenalitis autoimun
6. Ginjal Nefropati IgA, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis
fokal dan segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif.
7. Paru Pneumonia interstitial idiopatik, hipertensi arterial pulmonel.
BAB 3
PEMERIKSAAN IMUNOLOGIS PADA PENYAKIT AUTOIMUN

5
Penyakit autoimun menyebabkan abnormalitas pada pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil pemeriksaan laboratorium akan ditemukan adanya
penyimpangan kadar enzim spesifik organ atau abnormalitas proses metabolik.
Sebagai contoh pada hepatitis autoimun yang dapat bermanifestasi sebagai
peningkatan transaminase dan bilirubin. Hal yang harus diperhatikan adalah hasil
pemeriksaan laboratorium yang tidak normal ini dapat berkaitan dengan toksisitas
obat.1
Pemeriksaan imunologis pada penyakit autoimun meliputi pemeriksaan
berbagai komponen yang terlibat pada respon imun yang terkait dengan
perjalanan penyakit autoimun tersebut. Wieslander (2010) menyatakan pada
kecurigaan atas suatu penyakit autoimun, perlu dicatat bahwa penemuan
autoantibodi hanya dapat digunakan untuk menunjang diagnosis, karena
autoantibodi dapat terbentuk tanpa adanya suatu penyakit atau hanya sebagai
fenomena sementara selama infeksi. Hasil pemeriksaan yang positif atau negatif
dapat tidak bermanfaat untuk diagnosis jika tidak terdapat kriteria klinis penyakit.
Pada beberapa penyakit, pemeriksaan ini dapat berguna untuk memantau
konsentrasi autoantibodi yang sesuai dengan perkembangan penyakit, prognosis
atau efek terapi.14

3.1 Marker Inflamasi


Marker inflamasi adalah protein serum yang dihasilkan sebagai respon
terhadap inflamasi. Protein ini terutama dihasilkan oleh hepar dalam berespon
terhadap stres, dikenal juga dengan reaktan fase akut. Reaktan fase akut ini
diinduksi oleh sitokin-sitokin pro-inflamasi meliputi IL-1, IL-6, dan TNF-.
Beberapa contoh reaktan fase akut seperti CRP, fibrinogen, dan haptoglobin.1
Kushner (2014) menyatakan bahwa reaktan fase akut ini adalah penanda yang
paling sering digunakan pada kondisi inflamasi akut.15
Penanda reaktan fase akut terdiri atas C-reactive protein (CRP), LED,
feritin, komplemen, dan lainnya. Feldman et al (2013) menyatakan bahwa kadar
reaktan fase akut ini mengalami peningkatan 100 kali lipat atau lebih pada pasien

6
dengan proses inflamasi kronis. Sebagian protein serum lainnya mengalami
perubahan pada reaksi akut (naik atau turun), tetapi dalam rentang yang sempit.16
Protein lainnya, seperti albumin, tidak sensitif merangsang peningkatan
sintesis sitokin inflamasi. Kadar albumin dapat mempengaruhi kadar laju endap
darah yaitu dengan peningkatan konsentrasi albumin plasma, dapat menyebabkan
peningkatan laju endap darah.1,15 Pada keadaan stres kronis, albumin
menyebabkan penurunan sintesis sitokin inflamasi sehingga menyebabkan
berkurangnya kadar sitokin di dalam serum. Castro et al (2010) menyatakan
marker inflamasi bukanlah diagnostik untuk inflamasi, tetapi lebih mencerminkan
abnormalitas yang diakibatkan oleh penyakit autoimun, infeksi, keganasan, dan
penyakit lainnya.1

3.1.1 Laju Endap Darah (LED)


Laju endap darah adalah pemeriksaan kuantitatif sel darah merah yang
mengendap dalam tabung selama waktu tertentu dan dipengaruhi oleh konsentrasi
protein serum dan interaksi sel darah merah dengan protein ini. Inflamasi
menyebabkan peningkatan laju endap darah. Banyak faktor yang mempengaruhi
LED yaitu umur pasien, jenis kelamin, morfologi sel darah merah, konsentrasi
hemoglobin, dan kadar imunoglobulin serum. Castro et al (2010) menyatakan
bahwa walaupun LED bukanlah alat diagnostik, LED dapat digunakan untuk
memantau aktivitas penyakit dan respon terapi. Sebagai contoh pada pasien
dengan artritis reumatoid, LED berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Nilai LED
yang normal seringkali menyertai kesuksesan terapi yang menyebabkan resolusi
status inflamasi.1
Kushner (2014) menyatakan bahwa selama proses inflamasi, LED
dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi fibrinogen, protein-protein lainnya yang
berperan dalam proses koagulasi, dan globulin-. Non-spesifisitas LED
disebabkan oleh karena seringkali hasil pemeriksaan LED positif palsu
(mengalami peningkatan tanpa adanya inflamasi, dibandingkan dengan C-reactive
protein). Juga, LED berespon lebih lambat terhadap reaksi fase akut sehingga
menyebabkan adanya hasil negatif palsu pada awal proses inflamasi. Normalisasi
kadar LED terjadi dalam waktu beberapa minggu hingga bulan.15
3.1.2 C-Reactive Protein (CRP)

7
Istilah C-Reactive Protein berasal dari reaktivitas protein ini terhadap
polisakarida C pada dinding sel S.pneumoniae. CRP adalah suatu protein pada
kelompok imunitas alamiah yang membantu mengopsonisasi patogen untuk
fagositosis dan mengaktivasi sistem komplemen. Produksi CRP dikontrol oleh IL-
1, IL-6, dan TNF-. Perubahan konsentrasi CRP serum terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan LED. Oleh karena itu, CRP dapat dapat mencerminkan
inflamasi akut dengan lebih baik.1 Feldman et al (2013) menyatakan bahwa tidak
seperti LED, CRP merupakan protein serum yang stabil yang pemeriksaannya
tidak sensitif terhadap waktu dan tidak dipengaruhi oleh komponen serum
lainnya.16 Kushner (2014) mengemukakan dari suatu penelitian kohort
disimpulkan terdapat suatu kesenjangan antara CRP dan LED pada 12,5% pasien.
CRP dinyatakan sebagai penanda yang lebih baik terhadap aktivitas penyakit
dibandingkan dengan LED.15
Derajat inflamasi secara langsung berhubungan dengan konsentrasi CRP.
Kadar kurang atau sama dengan 2 mg/dL dinilai normal, sementara kadar lebih
dari 2 mg/dL menunjukkan adanya inflamasi dan atau infeksi. Akhir-akhir ini
pemeriksaan high sensitivity CRP (hs-CRP) telah banyak digunakan. Pemeriksaan
ini lebih baik mengidentifikasi inflamasi derajat rendah dan penting dalam
mengevaluasi penyakit jantung dan kondisi inflamasi lainnya.1 Gheita et al (2012)
menyatakan bahwa dengan berkembangnya hs-CRP, telah terjadi peningkatan
sensitivitas pemeriksaan beberapa kali lipat sehingga dapat mendeteksi inflamasi
kronik derajat rendah. Pemeriksaan hs-CRP ini telah banyak digunakan dalam
menentukan derajat aktivitas penyakit pada berbagai penyakit reumatik termasuk
SLE.17 Lipson et al (2012) menyatakan pemeriksaan hs-CRP pada LES masih
belum direkomendasikan.18

3.1.3 Feritin
Feritin serum adalah protein yang berguna untuk menyimpan besi dan
sintesisnya diatur oleh besi intraseluler, sitokin (TNF-, IL-1, dan IL-6), produk
stres oksidatif, dan faktor pertumbuhan. Peningkatan kadar feritin menunjukkan
kondisi sepsis, inflamasi, atau keganasan. Penyakit seperti Stills disease,
systemic-onset juvenile idiopathic arthritis, hemophagocytic lymphohistiocytosis,

8
dan iron overload diseases, termasuk hemokromatosis atau hemosiderosis, harus
dipertimbangkan jika ditemukan peningkatan kadar ferritin serum.1
Orbach et al (2007) menyatakan bahwa hiperferitinemia berhubungan
dengan inflamasi, infeksi, dan keganasan. Selama inflamasi, keadaan relative iron
deficiency disebabkan oleh redistribusi besi, dengan penurunan kadar besi pada
serum dan peningkatan dalam makrofag (stimulus utama terhadap produksi
siderofor).19 Kamen et al (2006) menyimpulkan TNF- dan IL-1 secara tunggal
ataupun bersama-sama dapat menginduksi ekspresi rantai H feritin pada adiposit
tikus, sel otot manusia, dan jenis sel lainnya. 20 Rosario et al (2013)
mengemukakan bahwa hiperferitinemia diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun seperti LES, artritis reumatoid, dan sindrom antifosfolipid.21

Tabel 3.1 Hubungan Hiperferitinemia dengan Berbagai Penyakit Autoimun. 21


Hiperferitinemia (%) Hubungan antara Hiperferitinemia dengan Penyakit
Autoimun
RA 4% Feritin konsentrasi tinggi ditemukan pada cairan sinovial dan
sel sinovial.
Korelasi yang bermakna antara kadar feritin serum dengan
aktivitas penyakit oleh skor DAS28 pasien AR.

MS 8% Kadar feritin secara bermakna meningkat dalam serum dan


cairan LCS hanya pada pasien MS aktif progresif kronis.
Hiperferitinemia berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki
dan MS yang lebih progresif.

LES 23% Kadar feritin serum selama stadium penyakit yang lebih aktif
meningkat.
Hiperferitinemia berhubungan dengan serositis dan
menifestasi hematologi.
Hiperferitinemia berhubungan dengan trombositopenia,
antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin pada penyakit
LES yang aktif.

APS Primer 8%, Pada pasien ini, hiperferitinemia berhubungan dengan


Sekunder 9% trombosis vena, manifestasi kardiak, neurologi, dan
hematologi.

3.1.4 Komplemen

9
Cascade complement adalah jalur yang kompleks, merupakan tahapan
pengaktifan enzim proteolitik, protein regulator, dan reseptor permukaan sel yang
menjadi perantara dan meningkatkan aktivasi baik imunitas humoral maupun
seluler. Jalur klasik diawali oleh pengikatan kompleks imun pada C1q dan
melibatkan C4 dan C2. Jalur alternatif melibatkan faktor B, D, dan properdin.
Baik jalur alternatif maupun klasik melibatkan komponen C3.1
Pemeriksaan komplemen dalam serum dibagi atas pemeriksaan komponen
individual dan pemeriksaan imunokimiawi untuk C3 dan C4. Pemeriksaan
komponen lainnya jarang diperlukan, kecuali bila ada dugaan defisiensi genetik
dan kelainan fungsional. Semua komponen komplemen dapat berfungsi sebagai
acute-phase reactant.1 Castro et al (2010) menyatakan pemeriksaan komplemen
yang hanya dilakukan satu kali memberikan nilai yang terbatas, oleh karena itu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan serial.8
3.1.4.1 Inhibitor C1 (C1-INH)
Penghambat C1 harus diukur apabila ada kecurigaan angioedem herediter.8
Angioedem akibat defisiensi C1 esterase inhibitor (C1-INH) dapat herediter,
tetapi dapat juga didapat. Junior et al (2010) melaporkan bahwa angioedem
autoimun yang terjadi sekunder akibat LES jarang ditemukan.22

Tabel 3.2 Defisiensi Komplemen dan Penyakit Terkait.14


Defisiensi Komplemen Penyakit
C1q, C1r, C1s, C4, C2 Penyakit kompleks imun seperti glomerulonefritis,
vaskulitis, dan LES.

C3 Infeksi sistemik oleh bakteri berkapsul, infeksi piogenik,


glomerulonefritis membranoproliferatif, LES.

Faktor B Infeksi Neiseria.

Properdin, Faktor D Infeksi Neiseria sistemik (terutama Neisseria meningitis).

C5, C6, C7, C8, C9 Infeksi Neiseria sistemik berulang.

Faktor H, Faktor I Defisiensi C3 sekunder, sindrom uremik hemolitik,


glomerulonefritis membranoproliferatif.

C1-inhibitor Angioedem herediter.

10
Dari pemeriksaan laboratorium, kadar C4 yang rendah dan kadar C3 yang
normal menunjukkan diagnosis angioedem terkait dengan defisiensi C1-INH.
Cicardi et al (2010) menyatakan bahwa angioedem yang didapat ditandai dengan
defisiensi C1 inhibitor dan hiperaktivasi jalur klasik komplemen.23
3.1.4.2 C3 dan C4
Peningkatan C3 dan C4 ditemukan pada reaksi fase akut dan inflamasi
kronis seperti pada LES, terutama yang disertai dengan kelainan ginjal.
Pemeriksaan C3 dan C4 ini akan membantu pemantauan pengobatan penderita
glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar C4 yang rendah ditemukan pada penderita
dengan angioedem herediter, krioglobulinemia atau defisiensi genetik C4. 8
Martinez et al (2010) menyatakan bahwa pemeriksaan serial kadar C3 dan C4
bermanfaat untuk pemantauan perkembangan penyakit atau pengobatan pada
beberapa jenis glomerulonefritis, LES, dan vaskulitis. Bila awalnya rendah,
biasanya kembali ke kadar normal pada saat remisi.24
Kadar C3 yang rendah ditemukan pada penderita dengan glomerulonefritis
membranoproliferatif atau lipodistrofi parsial. Kadarnya menjadi normal pada
tahapan konvalensens.8 Knioyobi (2015) menyatakan dalam suatu laporan kasus
bahwa selama periode penyembuhan glomerulonefritis akut post-streptokokus,
kadar komplemen C3 akan kembali normal dalam waktu 6-8 minggu. Kadar C3
yang persisten rendah menunjukkan penyebab lain glomerulonefritis.25

3.1.5 Imunoglobulin
Pemeriksaan imunoglobulin adalah berupa pemeriksaan IgG, IgM, dan
IgA dari serum, teknik hemaglutinasi, reaksi presipitasi, dan elektroforesis.
Pemeriksaan ini tidak hanya penting dalam membantu mendiagnosis penyakit
autoimun, tetapi juga penyakit lainnya yang melibatkan imunoglobulin seperti
penyakit infeksi dan limfoproliferatif.8 Sebagai contoh, Wieslander (2010)
mengemukakan bahwa pemeriksaan IgG dan IgA diindikasikan pada penyakit
kulit autoimun seperti pemfigoid untuk membedakannya dengan pemfigus.14
Hemaglutinasi adalah cara menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel
darah merah sebagai contoh pada anemia hemolitik autoimun. Sebagai antigen
dapat digunakan sel darah merah atau antigen yang mensensitisasi sel darah

11
merah. Uji coombs direk merupakan cara untuk menemukan antibodi yang dapat
mengaglutinasikan sel darah merah dengan efektif. Bila antibodi dicampur dengan
sel darah merah, aglutinasi terjadi segera. Hal ini menunjukkan uji coombs direk
yang positif. Pada hemaglutinasi direk, antigen merupakan komponen intrinsik sel
darah merah. IgM dalam cairan biologis akan diikat oleh antigen spesifik pada sel
darah merah walaupun ada muatan negatif pada sel darah merah oleh karena jarak
potensial maksimal antara dua tempat ikatan antigen tidak dapat dicegah. 8 Karp et
al (2016) menyatakan bahwa pemeriksaan coombs direk ini tidak 100% sensitif
ataupun spesifik untuk anemia hemolitik, walaupun pemeriksaan coombs direk ini
sering digunakan untuk penelusuran kemungkinan hemolitik. 26 Uji coombs indirek
merupakan cara menemukan antibodi yang tidak begitu efektif mengaglutinasikan
sel darah merah. Mungkin pada permukaan sel darah merah tidak tersedia cukup
antigen untuk mengikat antibodi. Cara ini dapat digunakan untuk mencari antigen
yang bukan berasal dari sel darah merah.8,27

Tabel 3.3 Pola Reaktivitas Imunoglobulin pada Anemia Hemolitik Autoimun.27


Anti-IgG Anti-C3d Tipe AIHA
+ + Warm AIHA (67%)
+ - Warm AIHA (20%)
- + Paroxysmal Cold Hemoglobinuria, Warm AIHA
(13%)

3.1.6 Krioglobulin
Krioglobulin adalah imunoglobulin yang mengendap secara reversibel
pada suhu di bawah 37oC dari serum. Pada penyakit tertentu, antibodi ini dapat
berikatan dengan protein komplemen dan peptida lainnya membentuk kompleks
imun dan menyebabkan kerusakan jaringan. Terdapat tiga jenis krioglobulin.
Krioglobulin tipe I adalah imunoglobulin monoklonal, jenis yang paling sering
adalah isotype IgM. Krioglobulin tipe II adalah IgG poliklonal dan IgM
monoklonal. Krioglobulin tipe III adalah kombinasi antara IgG poliklonal dan
IgM poliklonal.1,28
Pada flebotomi, semua komponen darah dimasukkan ke dalam tabung
tanpa anti-koagulan dan dipertahankan pada suhu tubuh sampai terjadinya

12
koagulasi (sekitar satu jam). Sampel darah kemudian disentrifus dan bekuan darah
dipisahkan. Serum ditempatkan pada suhu 4oC selama beberapa hari. Bahan ini
kemudian diperiksa setiap hari untuk menentukan apakah protein telah
mengendap. Saat presipitat telah terbentuk, sampel kemudian disentrifus lagi dan
endapan diperiksa pada tabung yang telah dikalibrasi.1
Castro et al (2010) menyatakan bahwa krioglobulin adalah indikator non-
spesifik pada suatu penyakit. Krioglobulin tipe II dan III dapat berikatan dengan
komplemen, berhubungan dengan hepatitis C dan vaskulitis pembuluh darah
kecil. Adanya komponen imunoglobulin multipel pada krioglobulin dikenal
dengan mixed cryoglobulin.1 Mixed cryoglobulin ini terkait dengan sindrom
sjogren, LES, dan sirosis bilier. Motyckova et al (2011) menyatakan bahwa hasil
pemeriksaan krioglobulin ini dapat positif palsu pada pengambilan, penyimpanan,
dan transpor sampel yang tidak sesuai prosedur. 28

3.2 Autoantibodi

Terdeteksinya autoantibodi pada pasien belum memastikan diagnosis suatu


penyakit autoimun. Walaupun demikian, pemeriksaan serologis positif yang
mengikuti gejala dan tanda suatu penyakit dapat mendukung diagnosis.
Autoantibodi juga dapat terdeteksi pada individu yang sehat dan pasien lainnya
tanpa penyakit autoimun. Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya autoantibodi ini. Saat ini, pemeriksaan yang dipilih adalah
dengan metode ELISA (Enzyme Immunosorbent Assays) karena lebih hemat
biaya.1

Autoantibodi dibagi menjadi organ non-spesifik dan organ spesifik.


Autoantibodi juga memiliki nilai prediksi diagnostik yaitu dapat ditemukan dalam
fase preklinis sebelum gejala penyakit ditemukan dan digunakan sebagai petanda
aktivitas.8 Pada penyakit autoimun organ non-spesifik, antigen sasaran ditemukan
secara luas dalam tubuh, biasanya berupa komponen nukleus semua jenis sel,
sedangkan pada penyakit autoimun organ spesifik, antigen sasaran ditemukan
pada satu organ atau satu jenis sel. Pada penyakit tertentu seperti artritis reumatoid
dan lupus eritematosus sistemik, ditemukan autoantibodi organ non-spesifik.1

13
Autoantibodi organ spesifik ditemukan pada anemia hemolitik berupa
antibodi panas dan antibodi dingin. Autoantibodi organ spesifik juga ditemukan
pada tiroiditis, penyakit adrenal, anemia pernisiosa, dan sindrom Sjogren.
Autoantibodi terhadap leukosit dan trombosit ditemukan pada beberapa penyakit
autoimun yang diinduksi obat.8 Berikut tabel mengenai sensitivitas dan spesifisitas
berbagai pemeriksaan autoantibodi berdasarkan penyakit autoimun.14

Tabel 3.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Autoantibodi.14

Penyakit Antibodi Sensitivitas % Spesifisitas


%
LES ANA positif 95 Low
Anti ds-DNA 70 >90
Anti Sm 15 >95
Anti RNP 10 >95
Anti PCNA 3 >95
Anti-histon 70 Low
Anti-SSA (Ro) 30 Low
Anti-SSB (La) 20 Low

Lupus diinduksi obat ANA positif >90 Low


Anti histon 80 Medium
MPO-ANCA 80 Medium

MCTD ANA positif >95 Low


Anti rRNP >90 >95

Sindrom Sjogren ANA positif 80 Low


Anti SSA 50 Medium
Anti SSB 40 Medium

Skleroderma ANA positif 90 Low


Anti sentromer 40 >90
Anti Scl70 15 >90

Polimiositis/ ANA positif 40 Low


dermatomiositis Anti Jo-1 25 High
Anti nRNP 40 Low

Sindrom Antifosfolipid Anti kardiolipin 100 Medium


Anti 2 glikoprotein 1 70 High

AR Anti-CCP 75 High

14
3.2.1 Autoantibodi Nuklear

3.2.1.1 Antinuclear Antibody (ANA)

Antibodi terhadap antigen nuklear terdiri atas berbagai golongan antibodi


yang bereaksi dengan antigen nuklear, nukleolar atau antigen perinuklear. ANA
merupakan nama kolektif untuk semua autoantibodi terhadap antigen nuklear utuh
yang ditemukan dalam kromatin, nukleolus, nukleoplasma, matriks nuklear atau
membran nuklear. Secara klasik, ANA merupakan petanda serologis diagnosis
lupus eritematosus sistemik (LES), tetapi ANA juga sering ditemukan pada
sebagian besar penyakit autoimun.8 Antibodi utama pada kelompok ANA ini
meliputi anti ds-DNA, anti-Smith (Sm), dan anti-ribonukleoprotein (RNP) untuk
diagnosis LES, antihiston antibodies untuk LES yang diinduksi obat, anti-
Ro/SSA, anti La/SSB untuk sindrom Sjogren, dan anti-sentromer, anti Scl 70
antibodi untuk skleroderma.35

Wieslander (2010) menyatakan bahwa indikasi pemeriksaan ANA adalah


pada kecurigaan adanya penyakit kolagen; LES, skleroderma, MCTD, sindrom
sjogren primer, dan hepatitis kronis aktif. 14 Tujuan pemeriksaan ini tidak hanya
untuk diagnostik, tetapi juga untuk memantau perjalanan penyakit. Soto et al
(2013) menyatakan bahwa secara umum, pasien-pasien dengan manifestasi klinis
suatu penyakit autoimun, pemeriksaan pertama yang dianjurkan adalah ANA
dengan metode imunofluoresens (IF) menggunakan sel Hep-2 karena
sensitivitasnya tinggi. Penelusuran lebih lanjut terhadap antigen yang dikenali
ANA-IF adalah dengan pemeriksaan yang lebih spesifik seperti ELISA,
radioimmunoassay (RIA) atau electroimmunotransferase (EIT).33 Namun, karena
waktu dan biaya yang mahal untuk mengerjakannya, saat ini sebagian besar
dilakukan dengan metode ELISA.8

Titer ANA yang tinggi (1/640) ditemukan pada LES, MCTD, skleroderma,
sindrom sjogren primer, hepatitis kronis aktif, dan purpura
hipergamaglobulinemia.14 Dalam titer rendah, dapat juga ditemukan pada populasi
usia lanjut.8 Beberapa kondisi fisiologis dan patologis dapat menyebabkan
terbentuknya ANA pada populasi non-reumatik, seperti kehamilan, usia lanjut,

15
riwayat keluarga dengan penyakit autoimun, infeksi, penyakit kardiovaskular, dan
keganasan. Hal ini merupakan tantangan standardisasi dalam interpretasi. Soto et
al (2013) menyatakan terdapatnya banyak pasien dengan titer antibodi yang tinggi
yang tidak memiliki gejala klinis penyakit autoimun. Hal ini kemungkinan akibat
adanya antigen dalam sirkulasi yang berasal dari proses sintesis multifaktorial
ataupun yang secara alamiah berasal dari sel CD5+. Oleh karena itu, harus
diperhatikan secara detail titer ANA dari hasil pemeriksaan.33

Gambar 3.1 Algoritma Pemeriksaan ANA dan Antibodi Spesifik pada Penyakit
Reumatik.35

16
Tabel 3.5 Berbagai ANA Pattern, Antibodi Anti-nuklear dan Kaitannya dengan
Penyakit Autoimun.35

Hernandez et al (2010) menyatakan bahwa pemeriksaan ini telah


dievaluasi pada suatu penelitian retrospektif dan telah dibuktikan bahwa nilai
prediktif positif rendah karena banyaknya hasil positif palsu terkait dengan
berbagai kondisi. Untuk penyakit reumatik spesifik, pemeriksaan ANA
menghasilkan nilai prediktif positif 11%, nilai prediktif negatif 97%, sensitivitas
97%, dan spesifisitas 85%.34 Birtane (2012) mengemukakan bahwa ANA-IF
memiliki sensitivitas yang tinggi pada LES dan skleroderma, tetapi spesifisitanya
rendah pada penyakit ini.35 Pada penelitian Soto et al (2013), presentase pasien
LES dengan ANA positif adalah 49%, dengan rentang frekuensi 6-50%.33

17
3.2.1.2 Anti-double stranded DNA (Anti ds-DNA)

Autoantibodi terhadap ds-DNA sangat spesifik untuk LES dan merupakan


petanda penting dalam diagnosis dan pemantauan LES. Namun, beberapa
penderita dengan penyakit reumatik lain atau hepatitis kronis aktif juga
menunjukkan peningkatan titer sedang.8 Anti ds-DNA telah terbentuk sebelum
onset klinis penyakit dan berhubungan dengan manifestasi yang berat dari lupus
seperti glomerulonefritis. Terdapat hubungan antara penyakit ginjal pada pasien
LES dengan anti ds-DNA.36

Antibodi anti ds-DNA terbentuk sebagai akibat adanya autoreaktivitas sel


B. Target potensial antibodi anti ds-DNA adalah aktin yang berikatan dengan
protein -aktinin. Berdasarkan berbagai teori, high avidity anti ds-DNA yang
berikatan silang dengan protein -aktinin berhubungan dengan penyakit ginjal.
Ikatan dengan protein -aktinin biasanya ditemukan pada pasien LES dengan
penyakit ginjal. Ikatan anti ds-DNA dengan protein -aktinin terjadi pada
glomerulus.36,37

Penting diketahui bahwa tidak semua autoantibodi anti ds-DNA adalah


patogenik membuktikan adanya LES. Giles et al (2012) menyatakan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi potensi patogenik anti ds-DNA adalah isotipe
antibodi: penyakit yang aktif pada manusia berkaitan dengan IgG, bukan IgM atau
IgA, dan subklas IgG2a lebih patogenik dibandingkan dengan IgG1 karena lebih
efektif dalam mengaktifkan komplemen.36

Giles et al (2012) menyatakan bahwa kadar anti ds-DNA ini berfluktuasi


sesuai dengan perubahan aktivitas penyakit. Dalam kombinasi dengan kadar
protein komplemen C3 dan C4, anti ds-DNA merupakan indikator yang kuat
terhadap flare penyakit dan respon terapi pada pasien lupus. Penurunan kadar
komplemen selama flare diyakini sekunder akibat peningkatan produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang menyebabkan kerusakan
jaringan.36

Diamond et al (2011) menyatakan bahwa berbagai penyakit autoimun


disebabkan oleh terbentuknya autoantibodi, tetapi anti ds-DNA sangat spesifik

18
terhadap LES. Kurang dari 0,5% populasi sehat atau pasien dengan penyakit
autoimun lainnya memiliki antibodi anti ds-DNA, sementara 70% pasien LES
positif. Adanya anti ds-DNA dalam darah pasien lupus beberapa tahun sebelum
manifestasi klinis awal menandakan keterlibatannya pada progresivitas penyakit.37
Cozzani et al (2014) menyatakan bahwa anti ds-DNA memiliki spesifisitas yang
tinggi untuk LES yaitu 70-98% pasien memiliki anti ds-DNA yang positif, juga
bermanfaat untuk pemantauan kondisi klinis pasien (dianjurkan setiap 6 minggu).
Anti ds-DNA ditemukan positif pada 70% pasien nefritis lupus dan 6% pada
pasien neuropsikiatri lupus.38

3.2.1.3 Anti-Cyclic Citrullinated Peptide (Anti-CCP/ ACPA)

Sitrunilasi adalah proses dimana arginin diubah menjadi sitrulin.


Sitrulinasi merupakan penanda diferensiasi dan apoptosis selular yang tinggi. Sel-
sel keratin dari epidermis dalam keadaan normal mengekspresikan citrullinated
peptides dalam jumlah besar. Nucleoprotein citrullination ini adalah penanda
degenerasi DNA. Telah dibuktikan bahwa sitrulinasi dari kolagen II fungsional
43
bertanggung jawab pada induksi anti-CCP.

Pada artritis reumatoid, autoantibodi dibentuk terhadap anti-CCP.


Pemeriksaan anti-CCP dan RF lebih membantu untuk menyingkirkan artritis
reumatoid dibandingkan dengan pemeriksaan RF saja. Penemuan anti-CCP pada
penyakit dini yang masih belum terdiferensiasi menandakan penyakitnya
cenderung berlanjut menjadi lebih berat, erosif, dan agresif. Anti-CCP dapat pula
ditemukan pada anak dengan artritis juvenil idiopatik, artritis psoriatik, lupus,
sindrom Sjogren, miopati inflamasi, dan tuberkulosis aktif.8

Song et al (2010) menyatakan bahwa anti- cyclic citrullinated peptide


ditemukan positif pada 70-90% pasien RA. Secara umum, anti-CCP memiliki nilai
diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan RF baik dari segi sensitivitas
maupun spesifisitas.41 Sarantopoulos et al (2013) menyatakan bahwa sensitivitas
anti-CCP adalah 80% dan spesifisitas adalah 99%. Anti-CCP lebih spesifik
terhadap RA dibandingkan dengan RF dan titer yang lebih tinggi menunjukkan
prognosis buruk.43 Onset positif anti-CCP dan RF tidak selalu koinsidens. Pada

19
beberapa pasien, anti-CCP mulai positif jauh sebelum onset gejala RA. Dari suatu
penelitian dinyatakan bahwa anti-CCP dapat positif lebih dari 9 tahun sebelum
onset RA.41

Nielen et al (2004) menyatakan risiko berkembang RA sangat tinggi


apabila ditemukan RF dan anti-CCP secara bersamaan. Titer autoantibodi ini
meningkat saat onset penyakit dan serokonversi dari negatif menjadi positif terjadi
dalam 3 tahun sebelum gejala klinis. Pada sebagian pasien, serokonversi satu atau
kedua antibodi ini terus berlanjut setelah onset RA.42

3.2.1.4 Anti-Extractable Nuclear Antibody

Antigen nuklear yang dapat diekstraksi terdiri atas antigen Smith (Sm),
RNP atau U1RNP, anti-SSA (Ro), dan anti-SSB (La). Dinamakan extractable
karena cepat larut atau mudah diekstraksi dalam bufer netral.8

Antigen Sm (dinamai setelah identifikasi di dalam serum dari seorang


pasien bernama Stephanie Smith) terdiri atas tujuh protein inti (B, D1, D2, D3, E,
F, G) yang membentuk cincin small nuclear ribonucleoprotein (snRNP). Anti-Sm
secara langsung melawan beberapa epitop yang terdistribusi pada semua protein
inti. Antibodi anti-Sm sangat spesifik untuk LES, tetapi hanya ditemukan pada
25% penderita LES. Anti-Sm sebagian besar ditemukan pada pasien LES. Dema
et al (2015) menyatakan bahwa antibodi anti-Sm ini bereaksi dengan sel-sel
neuroblastoma dan dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal pasien
neuropsikiatri lupus.44 Birtane (2012) menyatakan walaupun sensitivitasnya tidak
begitu tinggi untuk LES karena hanya terdeteksi pada 25-30% pasien,
spesifisitasnya sangat tinggi sehingga pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk
mengkonfirmasi diagnosis tetapi tidak untuk menyingkirkan diagnosis. Anti-Sm
ini biasanya berhubungan dengan titer ANA yang tinggi dan tidak dapat
digunakan untuk memantau aktivitas penyakit. Metode pemeriksaan yang
digunakan adalah hemaglutinasi atau ELISA.35

Small nuclear ribonucleoprotein (snRNP) adalah suatu kompleks protein


RNA. Antibodi anti-ribonucleoprotein (anti-RNP) bereaksi dengan protein
U1RNA yang membentuk U1snRNP. Autoantibodi ini ditemukan pada penderita

20
LES, sklerosis sistemik, dan MCTD.8 Dema et al (2015) menyatakan antibodi
anti-U1-RNP dideteksi pada 20-30% pasien LES tetapi tidak memperlihatkan
spesifisitas yang baik untuk LES karena sebagian besar autoantibodi ini
ditemukan pada mixed connective tissue disease (MCTD).44 Sarantopoulos et al
(2013) menyatakan antibodi anti-RNP dideteksi pada 30-60% pasien LES, tetapi
tidak spesifik.43Antibodi IgM anti-UI-RNP lebih sering ditemukan pada LES,
sementara IgG anti-UI-RNP tanpa terdeteksinya IgM anti-UI-RNP ditemukan
pada MCTD. Antibodi ini penting untuk diagnosis MCTD karena merupakan
salah satu kriterianya. Antibodi anti-RNP berkaitan dengan fenomena Raynaud
dan gangguan ginjal, walaupun penelitiannya masih terbatas. Antibodi ini juga
ditemukan dalam titer yang rendah pada skleroderma dan juga menunjukkan
adanya fibrosis paru.43,44

Antibodi anti-nuklear SSA (Ro) dan SSB (La) adalah ribonukleoprotein


(RNP). Ro/SSA terdiri atas empat protein yang berbeda (45,52,54,60 Kda), Ro52,
dan Ro60. La/SSB adalah fosfoprotein dari 40 Kda yang berikatan dengan RNA
kecil.46 Protein ini dapat ditemukan dalam nukleus dan ditranspor menuju
sitoplasma setelah pembentukan kompleks Ro/La RNP. Antibodi anti-nuklear SSA
(Ro) dan SSB (La) sering ditemukan pada penderita dengan sindrom Sjogren.
Anti-SSA dan anti-SSB juga ditemukan pada beberapa subset penderita dengan
LES seperti subcutaneous lupus erythematosus (ruam fotosensitif prominen dan
kadang vaskulitis), tetapi tanpa penyakit ginjal yang berat. Adanya anti-SSA dan
anti-SSB juga berhubungan dengan lupus neonatal, yang menunjukkan adanya
transfer transplasental antibodi (IgG maternal) yang menimbulkan ruam
fotosensitif dan/ atau congenital heart block.8

Routsias et al (2010) menyatakan bahwa antibodi anti-Ro dan anti-La


ditemukan pada 30-40% dan 10-15% masing-masingnya pada pasien LES, dalam
jumlah yang lebih sering ditemukan pada sindrom sjogren. 45 Terdapat beberapa
indikasi pemeriksaan Antibodi anti-nuklear SSA (Ro) dan SSB (La) meliputi
kecurigaan LES dan sindrom sjogren primer (walaupun ANA negatif), ibu dari
bayi dengan lupus neonatal dan congenital heart block, dan pasien LES yang
merencanakan kehamilan.46

21
3.2.1.5 Anti-Signal Recognition Particle (Anti-SRP)

Anti-SRP, anti-JO-1, anti-Mi-2, dan anti-PM/ Scl merupakan antibodi


spesifik miositis karena spesifisitasnya yang tinggi untuk autoimmune
inflammatory myopathies. Anti-SRP merupakan antibodi terhadap kompleks
protein RNA. Autoantibodi ini terdiri dari 6 protein dan molekul 300-nukleotida
RNA (7SL RNA).8

Longo (2015) menyatakan bahwa miositis autoimun nekrosis seringkali


diperantarai oleh antibodi spesifik melawan SRP dan disertai deposit komplemen
pada kapiler.47 Penderita dengan autoantibodi ini menunjukkan autoimmune
inflammatory myopathies yang nyata yang ditandai dengan kelemahan otot,
awitan akut, dan hasil biopsi otot tanpa inflamasi. Penderita menunjukkan respon
buruk terhadap pengobatan.8,47 Rosen et al (2012) menyimpulkan dari
penelitiannya bahwa terdapat dua kasus yang menunjukkan adanya hubungan
kadar anti-SRP dengan derajat aktivitas penyakit pasien. Oleh karena itu, beberapa
peneliti menganjurkan pemantauan kadar anti-SRP untuk menilai aktivitas
penyakit.48

3.2.1.6 Anti-Jo-1

Anti-Jo-1 merupakan autoantibodi yang tersering ditemukan pada


autoimmune inflammatory myopathies, yang disebut juga sindrom anti-sintetase.
Anti-Jo-1 diarahkan terhadap sintetase histidyl-tRNA (enzim yang mengikat
histidin ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk). Penderita dengan sindrom
antisintetase menunjukkan ciri-ciri yang sangat berbeda dibanding penderita
dengan anti-SRP dan sering disertai dengan kelemahan otot, penyakit paru
interstitial, artritis, dan demam.8

Shinjo et al (2010) menyatakan bahwa antibodi anti-Jo-1 ini ditemukan


pada 20-40% pasien polimiositis dan 5% pasien dermatomiositis. Jenis yang
paling sering ditemukan dalah anti-jo-1 against histidyl-tRNA synthetase.49

3.2.1.7 Anti-Mi-2 dan Anti-PM/ Scl

22
Anti-Mi2 mengenal protein kompleks nuklear yang dibentuk oleh sekitar 7
protein melalui transkripsi. Autoantibodi terhadap Mi2 spesifik untuk
dermatomiosis dan berhubungan dengan awitan akut, prognosis yang lebih baik,
dan respon yang baik terhadap pengobatan.8 Ghirardello et al (2009) menyatakan
bahwa autoantibodi anti Mi2 memiliki sensitivitas 4-18% dan spesifisitas 98-
100%. Antibodi ini secara kuat berkaitan dengan dermatomiositis (lebih dari 31%)
dan memiliki nilai prediktif positif yang sangat tinggi.50

Anti-PM/ Scl adalah autoantibodi terhadap komponen granular nukleolus,


sering ditemukan pada miositis dengan skleroderma. 8 Basu et al (2005)
menyatakan bahwa anti-PM/ Scl sangat berguna untuk membedakan pasien
sklerosis sistemik dengan kontrol dan dengan pasien dengan penyakit jaringan
ikat lainnya. Selain bermanfaat untuk diagnosis, anti-PM/ Scl juga penting dalam
penatalaksanaan pasien dan menentukan prognosis, khususnya pada pasien
dengan keterlibatan kulit yang difus.51

3.2.2 Autoantibodi Non-Nuklear

Autoantibodi non-nuklear adalah autoantibodi dengan sasaran non-


nuklear, juga memainkan peranan penting pada patogenesis penyakit. Antibodi
non-nuklear yang cukup sering diperiksa antara lain antibodi ankardiolipin,
antibodi antineutrofilik sitoplasmik, dan faktor reumatoid.55

3.2.2.1 Rheumatoid Factor

Rheumatoid Factor (RF) adalah imunoglobulin yang memiliki berbagai


isotipe dengan afinitas yang berbeda. Walaupun dinamakan sebagai RF, karena
pertama kali ditemukan pada pasien artritis reumatoid, RF dapat ditemukan pada
pasien autoimun lainnya dan pada penyakit non-autoimun, juga pada populasi
sehat.39

Rheumatoid Factor diperlukan dalam evaluasi penderita yang mungkin


menderita artritis reumatoid, mengingat sensitivitasnya 70% dan spesifisitasnya
70%. RF tidak ditemukan pada 15% penderita artritis reumatoid. Sekitar 15%
populasi sehat dapat menunujukkan titer RF yang rendah. Penderita artritis

23
reumatoid dengan RF positif lebih cenderung menunjukkan artritis progresif,
erosif dengan kehilangan mobilitas sendi, dan juga manifestasi ekstraartikular
seperti nodul reumatoid, vaskulitis, sindrom Felty, dan sindrom Sjogren sekunder.
RF juga ditemukan pada penyakit autoimun lainnya seperti sindrom Sjogren, LES,
krioglobulinemia, penyakit paru (fibrosis interstitial dan silikosis) serta berbagai
penyakit infeksi.8

Gambar 3.2 Alur Diagnosis Pasien dengan RF Positif.39

Ingegnoli et al (2013) menyatakan bahwa RF dapat ditemukan pada pasien


yang tidak menderita penyakit reumatik. Infeksi dan penyakit kronis lainnya dapat
menyebabkan terbentuknya RF, tetapi tidak seperti pada artritis reumatoid (AR),
RF yang dideteksi selama infeksi hanya bersifat sementara. RF diketahui dapat
meningkatkan klirens kompleks imun dan dapat berfungsi sebagai antigen-

24
presenting cells (APC) sehingga memiliki fungsi protektif terhadap host selama
infeksi.39

A.M Ramos et al (2013) menyatakan RF dapat ditemukan pada 40-50%


pasien dengan infeksi hepatitis C (HCV), frekuensi ini dapat mencapai 76%.
Produksinya diduga akibat inflamasi kronis yang dicetuskan virus. Oleh karena itu
dianjurkan untuk pemeriksaan antibodi HCV pada pasien dengan peningkatan
kadar RF.40

Song et al (2010) menyatakan bahwa rheumatoid factor IgM adalah jenis


RF utama pada RA dan dideteksi pada 60-80% pasien RA. Spesifisitas RF pada
RA meningkat pada titer yang tinggi (misalnya IgM RF >/ 50 IU/ ml) dan dengan
isotipe IgA. Titer RF yang tinggi dan isotipe IgA juga berkaitan dengan erosi
tulang, manifestasi ekstra-artikular, dan prognosis yang lebih buruk.41

3.2.2.2 Anti-Cardiolipin Antibody (ACA)

Pada penyakit autoimun, antibodi yang secara in-vitro mencegah atau


memanjangkan koagulasi disebut anti-phospholipid (aPL), juga disebut ACA atau
lupus antikoagulan, oleh karena diarahkan terhadap fosfolipid dan protein yang
mengikat fosfolipid. 2-glikoprotein 1 merupakan salah satu determinan antigenik
utama dari antibodi antifosfolipid. Adanya antibodi terhadap antigen ini
berhubungan dengan sindrom anti-phospholipid (APS) yang berperan pada
individu dengan trombosis vena dan/ atau arteri, keguguran berulang, dan
trombositopenia.8,55

Antikardiolipin IgG menunjukkan nilai prediksi trombosis yang lebih


tinggi dibandingkan IgM atau IgA.8 Lackner et al (2016) menyatakan bahwa pada
beberapa kelompok yang diteliti, sebagian besar antibodi aPL yang terbentuk
adalah isotipe IgG, bukan IgM.55 Pada penelitian oleh Perches et al (2009)
dinyatakan bahwa aPL ditemukan pada 97,1% pasien APS dengan 100% isotipe
IgM, 23,3% isotipe IgG, dan 4,9% isotipe IgA. Sensitivitas IgM aPL untuk
mendiagnosis APS adalah 92% dan spesifisitasnya adalah 1,2%, sementara
sensitivitas IgG adalah 40% dan spesifisitasnya adalah 82,5%. Tidak adanya

25
ditemukan IgG aPL memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi untuk diagnosis
APS.56

Ingegnoli et al (2013) mengemukakan bahwa aPL ditemukan pada 30-40%


pasien LES, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat dideteksi pada
penyakit autoimun lainnya, infeksi, penyakit yang diinduksi obat, juga pada
populasi sehat. Sekitar setengah pasien LES memiliki antibodi aPL sehingga dapat
juga menderita sindrom antifosfolipid, suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan trombosis vena atau arteri rekuren, masalah kehamilan, trombositopenia,
anemia hemolitik, dan peningkatan kadar aPL yang persisten. 39 Sindrom
antifosfolipid dapat terjadi independen atau bersama dengan penyakit rematik
sistemik.8

3.2.2.3 Myeloperoxidase (MPO) dan Proteinase-3 (PR-3)

Determinan antigenik ANCA yang penting untuk menemukan vaskulitis


adalah MPO dan PR-3. Vaskulitis yang positif disebut PR3-ANCA positif atau
MPO-ANCA positif. Adanya MPO atau PR-3 akan membantu dalam menentukan
jenis dan aktivitas penyakit. Antibodi terhadap MPO atau PR-3 adalah prediktif
untuk berbagai sindrom vaskulitis.8

Cytoplasmic-ANCA dan PR-3 meningkatkan positive predictive value


untuk vaskulitis yang disertai ANCA, terutama wagener granulomatosis. ANCA
dengan MPO serta PR-3 sering membantu diagnosis sindrom churg-strauss.8

3.2.2.4 Antineutrophyl Cytoplasmic Antibody (ANCA)

Antineutrophyl cytoplasmic antibody bereaksi dengan granul pada


sitoplasma neutrofil. ANCA merupakan penyebab berbagai jenis vaskulitis yang
dapat menyerang berbagai organ tubuh. Walaupun pembuluh darah kecil dominan
dikenai, ANCA dapat mengenai berbagai permbuluh darah, baik arteri, arteriol,
kapiler, venula, dan vena. Jennette et al (2014) menyatakan berbagai penyakit
yang terkait dengan vaskulitis sebagai akibat terdapatnya ANCA ini merupakan
indikasi untuk dilakukan pemeriksaan ANCA.54

26
Gambar 3.3 Kelompok Vaskulitis Sistemik yang Disebabkan oleh ANCA.54

Radice et al (2009) menyatakan bahwa ANCA adalah penanda yang


spesifik dan sensitif pada vaskuitis sistemik terkait ANCA. Dengan pemeriksaan
imunofluoresens indirek, didapatkan dua pola fluoroskopik yang dapat dikenali
yaitu pewarnaan sitoplasmik difus (c-ANCA), dan pewarnaan perinuklear atau
nuklear (p-ANCA).52 Gambaran imunofluoresens ini diperlukan untuk
membedakan berbagai ANCA yang berhubungan dengan sindrom vaskulitis. 8
Grayson et al (2011) mengemukakan bahwa ANCA terkait dengan neutropenia
autoimun, tetapi vaskulitis sistemik jarang terjadi pada keadaan neutropenia
dengan ANCA yang positif.53

Pada pasien dengan vaskulitis, lebih dari 90% c-ANCA ditemukan untuk
melawan proteinase 3 (PR3ANCA), sementara sekitar 80-90% p-ANCA
mengenali mieloperoksidase (MPO-ANCA). Walaupun c-ANCA lebih terkait
dengan WG, dan p-ANCA lebih terkait dengan mikroskopis poliangitis (MPA),
idiopathic necrotising crescentic gomerulonepphritis (iNCGN), dan sindrom
churg-strauss (CSS), belum ada spesifisitas absolut. Radice et al (2009)
menyatakan bahwa sekitar 10-20% pasien WG atau MPA (dan 40-50% kasus
CSS) memiliki hasil pemeriksaan ANCA yang negatif.52

27
Kadar ANCA dapat dipantau untuk mengetahui aktivitas penyakit. 52 Titer
ANCA dapat menjadi normal oleh pengobatan, meskipun ANCA yang persisten
positif atau meningkat positif tidak benar-benar memprediksi eksaserbasi
penyakit. Oleh karena itu, ANCA sebaiknya tidak digunakan untuk menilai efikasi
pengobatan. ANCA positif dapat pula ditemukan pada penyakit lain seperti
infeksi, akibat penggunaan obat-obatan seperti obat tiroid terutama propil
tiourasil, dan pada penyakit autoimun lainnya. 8 Radice A (2009) menyatakan hasil
pemeriksaan ANCA dapat ditemukan positif pada berbagai kondisi seperti
inflammatory bowel diseases, penyakit autoimun lainnya, dan infeksi dimana
kepentingan klinisnya masih belum jelas.52

3.3 Sitokin

Sitokin adalah molekul yang dilepas berbagai sel yang berfungsi dalam
komunikasi sel. Peran sitokin pada penyakit autoimun saat ini telah dapat
dijelaskan. Haddad et al (2001) mengemukakan bahwa implikasi klinis sel Th1
dalam patogenesis penyakit autoimun seperti diabetes tipe I, multipel sklerosis,
dan RA telah diketahui. Lebih lanjut, TNF adalah mediator utama pada RA karena
produksinya yang tidak terkontrol akibat sintesis IL-10 yang kurang. Pada pasien
LES, IL-6 dan IL-10 memainkan peran utama. Pada LES, sintesis IL-6 dan
mRNA IL-6 meningkat sekitar 10 kali lipat dibandingkan populasi normal, tetapi
perubahan ini tidak terkait dengan aktivitas penyakit.58

Pemeriksaan sitokin sangat rumit, mengingat sifat molekul kecil yang


tidak stabil. Cara pemeriksaan yang digunakan adalah flow cytometry dan ELISA.
Sitokin yang berperan pada penyakit autoimun secara umum terutama adalah IL-
1, IL-6, dan TNF-. Dalam penelitiannya, Michele et al (2015) menyatakan
bahwa IL-12 memiliki peran yang sangat penting terkait respon inflamasi yang
diperantarai sel T.57

Berdasarkan peran sitokin ini pada penyakit autoimun, sebagai contoh anti
TNF- dapat digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid. Haddad et al (2001)
mengemukakan bahwa dasar rasionalitas terapi medikamentosa humanized anti-
TNF pada RA adalah karena TNF memiliki peran utama pada patogenesis RA. 58

28
Terapi dengan menggunakan anti-TNF- , anti- IL-1, dan anti-IL-6 menunjukkan
hasil yang efektif.8

Keterbatasan penggunaan sitokin dalam praktek klinis adalah karena


kurangnya spesifisitas molekul ini. Karena kadarnya dalam sirkulasi yang sangat
rendah, hanya peningkatan kadarnya yang dapat dideteksi dalam cairan biologis.
Penggunaan sitokin kadang terbatas pada situasi khusus seperti untuk mendeteksi
awal neonatal lupus, diperiksa IL-6 atau IL-1 pada jam-jam pertama post-partum.
Pemeriksaan sitokin tampak bermanfaat sebagai alat untuk memilih agen
terapiutik yang sesuai dan memantau efisiensi dan toleransi terhadap imunoterapi.
Diantara berbagai sitokin ini, hanya sebagian kecil sitokin yang lazim diperiksa
pada praktek klinis.58

3.4 Human Leukocyte Antigen (HLA)

Human Leukocyte Antigen adalah sinonim dari Major Histocompatility


Complex (MHC). Deteksi tipe HLA dapat dilakukan secara rutin. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan berbagai metode seperti dengan gel elektroforesis, polymerase
chain reaction, ELISA, dan cara baru yang menggunakan high-throughput
detection of nucleic acid. Banyak antigen MHC, terutama HLA kelas I dan II,
dihubungkan dengan penyakit reumatik.8

Choo (2007) menyatakan bahwa HLA-B27 ditemukan pada sekitar 90-


95% penderita ankylosing spondylitis kulit putih dibandingkan dengan hanya 7-
8% pada populasi umum. HLA-DR1 dan HLA-DR4 meningkatkan risiko
polyarticular juvenile idiopathic arthritis. HLA-DR3 dan HLA-DR2 berhubungan
dengan lupus pada populasi Kaukasia.59

BAB 4

29
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pemeriksaan imunologis diindikasikan untuk menunjang diagnosis pada
kecurigaan ke arah penyakit autoimun dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
2. Pemeriksaan imunologis, baik imunitas non-spesifik maupun spesifik
(antibodi nuklear dan non-nuklear) memiliki spesifisitas dan sensitivitas
tertentu berdasarkan penyakit autoimun.
3. Apabila dicurigai adanya penyakit autoimun, diawali dengan pemeriksaan
ANA-IF yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan autoantibodi
lainnya.
4. Pemeriksaan autoantibodi tidak hanya bertujuan untuk membantu
diagnosis, sebagian juga sekaligus dapat memantau aktivitas penyakit,
respon terapi dan prognosis.

4.2 Saran
1. Pada pasien dengan klinis penyakit autoimun, diawali dengan pemeriksaan
imunologis ANA-IF sesuai algoritma pemeriksaan ANA dan antibodi
spesifik pada penyakit reumatik.
2. Diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai obat-obatan yang
dapat digunakan dalam terapi penyakit autoimun terkait dengan
pemeriksaan imunologis.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Castro. Christine, Mark Gourley. Diagnostic Testing and Interpretation of Tests for
Autoimmunity. USA: NIAMS. 2010. P: 1-22.
2. Agarwal. Sandeep K. Autoimmunity and Autoimmune Diseases. Department of
Internal Medicine, Baylor College of Medicine. 2014. P: 1-47.
3. Ray. Sayantan, Nikhil Sonthalia, Supratip Kundu, Satyabrata Ganguly. Autoimune
Disorders: An Overview of Molecular and Cellular Basis in Todays Perspective.
India: Medical College and Hospital Kolkata. 2012. P: 1-12.
4. Lewis. Shier, Jackie Butler, David Shier. Holes Anatomy & Physiology. Trevecca
Nazarene University. 2014. P: 1-62.
5. Abbas. Abul K, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. Basic Immunology Functions and
Disorders of Immune System. Fifth Edition. California: Elsevier. 2016. P: 1-316.
6. Cruvinel. Wilson de Melo, Danilo Mesquita Junior, Julio Antonio Pereira Araujo,
Tania Tieko Takao Catelan, Alexandre Wagner Silva de Souza, Neusa Pereira da
Silva. Immune System- Part 1 Fundamentals of Innate Immunity with Emphasis on
Molecular and Cellular Mechanisms of Inflammatory Response. UNIFESP. 2010. P:
434-51.
7. Thompson. Andrew E. Understanding the Immune System. Columbia: University on
British Columbia. 2007. P: 30.
8. Bratawidjaja. Karnen Garna, Iris Rengganis. Imunologi Dasar. Edisi ke-11. Jakarta:
FKUI. 2014. P: 603-780.
9. Lerner. Aaron, Patricia Jeremias, Torsten Matthias. The World Incidence and
Prevalence of Autoimmune Diseases is Increasing. Israel: SciEP. 2015. P: 151-55.
10. Ngo. S, F.J. Steyn, P.A McCombe. Gender Differences in Autoimmune Disease.
2014. Frontiers in Neuroendocrinology. P: 347-69.
11. Page. L, Du Toit D, Page B. Understanding Autoimmune Disease- a Review Article
for the Layman. 2012.USA: University of Stellenbosch. P: 2-18.
12. Bellone. Matteo. Autoimmune Disease: Pathogenesis. Italy: Encyclopedia of Life
Sciences. 2005. P: 1-2.
13. Thomas. S, Clare G, Liam S. Burden of Mortality Associated with Autoimmune
Diseases among Females in the United Kingdom. American Journal of Public Health.
2010. P: 1-3.
14. Wieslander. Guide to Autoimmune Testing. Weislab AB. 2010. P: 3-89.
15. Kushner I. Acute Phase Reactants. UpToDate. 2014. P: 1-8.
16. Feldman M, Aziz B, Kang G. C-Reactive Protein and Erythrocyte Sedimentation Rate
Discordance. 2013. P: 37-43.
17. Gheita T, Iman I, EL-Gazzar. High-Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) in
Systemic Lupus Erythematosus Patients without Cardiac Involement. The Egyptian
Rheumatologist. 2012. P: 147-52.
18. Lipson A, Alexopoulos N, Hartlage G. Epicardial Adipose Tissue is Increased in
Patients with Systemic Lupus Erythematosus. 2012. P: 389-93.
19. Orbach H, Gisele Z, Howard A. Noverl Biomarkers in Autoimmune Diseases. New
York. 2007. New York Academy of Sciences. P: 385-95.
20. Kamen D, Cooper H. Vitamin D Deficiency in Systemic Lupus Erythematosus. 2006.
P: 114-7.
21. Rosario C, Gisele Z, Esther G, David P, Yehuda S. The Hyperferritinemic Syndrome:
Macrophage Activation Syndrome. BMC Medicine. 2013. P: 1-11.
22. Junior V, Karina S, Fabrico S. Intractable Aquired Autoimmune Angioedema in a
Patient with Systemic Lupus Erythematosus. 2010. P: 104-6.
23. Cicardi M, Andrea Z. AACI. Acquired Angioedema. 2010. P: 6-14.

31
24. Martinez S, Rusicke E, Aygoren P. Pharmacokinetic Analysis of Human Plasma-
Derived Pasteurized C1-inhibitor Concentration in Adults and Children with
Hereditary Angioedema. Transfusion 2010. P: 354-60.
25. Knioyobi. Glomerulonephritis. Nephrotic Syndrome. 2015. P: 4-8
26. Karp J, Karen E, Jun T. Direct Antiglobulin Testing. US. 2016. P: 1-3.
27. Green R, Virginia C. The Antiglobulin Test. 2005. P: 93-110.
28. Motyckova G, Mandakolathur M. Laboratory Testing for Cryoglobulins. Boston:
Wiley-Liss, Inc. 2011. P: 500-2.
29. Zeng D, Yu R, Jie M, Yue Y, Su L, Jia Y, et al. Serum Ceruloplasmin Levels Correlate
Negatively with Liver Fibrosis in Males with Chronic Hepatitis B. China: Oplos.
2013. P: 1-5.
30. Cory W, Eric B. Haptoglobin. American Medical Association. 2014. P: 1-4.
31. Rooney T, Rebecca S, Judy K, Jonathan G, John B, Carl G. Levels of Plasma
Fibrinogen are Elevated in Well-Controlled Rheumatoid Arthritis. USA:
Rheumatology. 2011. P: 1-4.
32. Baker S, Rodney B. Lab Tests Used to Diagnose Lupus. Lupus International. 2011. P:
1-2.
33. Soto M, Nidia H, Ada C, Alfredo H, Jose E, Luis E, et. al. Predictive Value of
Antinuclear Antibodies in Autoimmune Diseases Classified by Clinical Criteria.
Elsevier. 2014. P: 13-22.
34. Hernandez R, Cabiede. Immunological Techniques that Support the Diagnosis of the
Autoimmune Diseases. Reumatol. Clin. 2010. P: 173-7.
35. Birtane M. Diagnostic Role of-Anti-Nuclear Antibodies in Rheumatic Diseases.
Turkey: Turk J Rheumatol. 2012. P: 78-89.
36. Giles B, Susan A. Linking Complement and Anti ds-DNA Antibodies in the
Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. USA: NIH Public Access. 2013. P:
10-21.
37. Diamond B, Bloom O, Al Abed Y, Kowal C, Huerta P, Volpe B, et al. Moving
Towards a Cure: Blocking Pathogenic Antibodies in Systemic Lupus Erythematosus.
J Intern Med. 2011. P: 36-44.
38. Cozzani E, Massimo D, Giulia G, Aurora P. Serology of Lupus Erythematosus:
Correlation between Immunopathological Features and Clinical Aspects. Italy.
Hindawi. 2014. P: 1-13.
39. Ingegnoli F, Roberto C, Roberta G. Rheumatoid Factors: Clinical Applications. Italy:
Hindawi. 2013. P: 727-34.
40. A.M Ramos-Levi, M.C Montanez, I. Ortega, M.J Cobo, A.I Calle. A Case of
Biochemical Assay Discrepancy: Interference with Measurement of TSH due to
Rheumatoid Factor. Endocrinologia y Nutricion. 2013. P: 342-45.
41. Song Y, E.H. Kang. Autoantibodies in Rheumatoid Arhtritis: Rheumatoid Factors and
Anticitrullinated Protein Antibodies. Korea: Q J Med. 2010. P: 139-46.
42. Nielen M, Van S, Reesink H, Van de S, Van der H, De Koning, et al. Specific
Autoantibodies Precede the Symptoms of Rheumatoid Artritis. Arthritis Rheum.
2004. P: 380-6.
43. Sarantopoulos A, Panagiota B. Anti-Cyclic Citrullinated Peptides Autoimmunity in
the Pathophysioogy and Diagnosis of Rheumatoid Arthritis. ISSN. 2013. P: 2326-80.
44. Dema B, Nicolas C. Autoantibodies in SLE: Specificities, Isotype, and Receptors.
France: MDPI. 2015. P: 1-10.

32
45. Routsias J, Neufing. B-Cell Epitopes of the Intracellular Autoantigens Ro/SSA and
La/SSB: Tools to Study the Regulation of the Autoimmune Response. J.
Autoimmune. 2010. P: 256-71.
46. Cozzani E, Drosera M, Gasparini G, Patodi A. Serology of Lupus Erythematosus:
Correlation between Immunopatological Features and Clinical Aspects. Autoimmun.
2014. P: 1-12.
47. Longo D. Inflammatory Muscle Diseases. NEJM. 2015. P: 1734-47.
48. Rosen L, Andrew L. Myositis Autoantibodies. NIH Public Access. 2012. P: 1-4.
49. Shinjo S, Mauricio L. Anti-Jo-1 Antisynthetase Syndrome. Brazil. 2010. P: 1-4.
50. Ghirardello A, Sandra Z, Luca L, Elena T, Raffaele B, Pier F, et al. Anti-Mi-2
Antibodies. 2009. P: 1-9.
51. Basu D, John D. Anti-Scl-70. Journal of Autoimmunity. 2005. P: 1-6.
52. Radice A, R.A Sinico. Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies (ANCA). Journal of
Autoimmunity. 2009. P: 1-7.
53. Grayson P, J. Mark, John L, Paul A, Peter A. Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies,
Autoimmune Neutropenia, and Vasculitis. Semine Arthritis Rheum. 2011. P: 424-33.
54. Jennette J, Ronald J. Pathogenesis of Antineutrphil Cytoplasmic Autoantibody-
Mediated Diseases. Nat Rev Rheumatol. 2014. P: 463-73.
55. Lackner K, Nadine M. Antiphospholipid Antibodies: Their Origin and Development.
MDPI. 2016. P: 1-10.
56. Perches P, Daniela P, Andreia L. Augusta M, Felipe M, Ivan E, et al. Evaluation of
Antiphospholipid Antibodies Testing for the Diagnosis of Antiphospholipid
Syndrome. UNIFESP. 2009. P: 241-50.
57. Teng M, Edward P, Joshua J, McElwee M, Smyth J, Andrea M, et al. IL-12 and IL-23
Cytokines. Nature Medicine. 2015. P: 719-22.
58. Haddad A, Bienvenu J, Miossec P. Increased Production of a Th2 Cytokine Profile by
Activated Whole Blood Cells from RA Patients. J. Clin Immunol. 2001. P: 399-403.
59.Choo S. The HLA System: Genetics, Immunology, Clinical Testing, and Clinical
Implications. USA. 2007. P; 11-23.

33

Anda mungkin juga menyukai