Bab 1-5
Bab 1-5
PENDAHULUAN
1
penyakit infeksi lebih jarang ditemui. Hal ini sesuai dengan hygiene hypothesis.
Multipel sklerosis, DM tipe I, inflammatory bowel diseases (khususnya penyakit
Crohn), lupus eritematosus sistemik (LES), sirosis bilier primer, miastenia gravis,
tiroiditis autoimun, hepatitis, dan artritis reumatoid adalah beberapa contoh
penyakit autoimun yang umum dijumpai.9,12 Page et al (2012) menyatakan
penyakit autoimun dengan insidens tertinggi adalah artritis reumatoid, penyakit
tiroid autoimun, dan uveitis.11
Dari berbagai penelitian yang sedang berkembang saat ini diketahui bahwa
aktivasi sel B dan sel T autoimun dapat dipengaruhi oleh reseptor imunitas
alamiah seperti Toll-like receptors yang dapat mengenali struktur molekul
patogen.3,11 Ngo et al (2014) menyatakan bahwa penyakit autoimun berhubungan
erat dengan gen human leukocyte antigen (HLA) melalui mekanisme yang
melibatkan variabilitas genetik pada respon imun.10 Castro et al (2010)
menyatakan baik komponen imunitas alamiah maupun imunitas adaptif dapat
berperan sebagai pemeriksaan imunologis dalam membantu diagnosis penyakit
autoimun.1
2
diagnosis.9 Berbagai pemeriksaan laboratorium diperlukan, termasuk pemeriksaan
dasar seperti hitung darah lengkap, pemeriksaan metabolik lengkap, reaktan fase
akut, komponen imunologis, serologis, flow cytometry, analisis sitokin, dan HLA.
Walaupun, beberapa pemeriksaan tidak spesifik, seperti laju endap darah (LED),
tetapi ini bermanfaat untuk menilai derajat aktivitas penyakit. Pemeriksaan ini
bermanfaat dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit
autoimun, serta membantu memperkirakan prognosis atau kerusakan berbagai
organ.1,8
3
BAB 2
PENYAKIT AUTOIMUN
Innate
Naturally Artificially
acquired acquired
Genetic
Complement
barriers
Interferons
Active Passive Active Passive
Physical Chemical Inflammatory Phagocytosis Physical
barriers barriers response barriers
Antibodies, T cells,
accesorry cells, and
cytokines
4
2.2 Penyakit Autoimun Non-spesifik
Penyakit autoimun non-spesifik organ disebut juga sebagai penyakit
autoimun reumatik. Kelompok ini terutama menyerang otot dan sendi. Kelompok
penyakit autoimun lainnya dikelompokkan berdasarkan organ utama yang
terlibat.8,11,12
Sejumlah penyakit autoimun disertai dengan gejala reumatik, karenanya
disebut penyakit autoimun reumatik. Sebagai contoh, artritis reumatoid, LES,
polimialgia reumatika, sklerosis sitemik, sindrom Sjogren, polimiositis,
dermatomiositis, arteritis dengan nekrosis (necrotizing arteritis), sarkoidosis, dan
sejumlah spektrum sindrom yang serupa.8
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Autoimun menurut Organ Utama yang Terlibat. 8
No. Organ Utama Penyakit Autoimun
1. Hepatobiliar Hepatitis autoimun, sirosis bilier primer.
2. Gastrointestinal IBD, penyakit chron, penyakit seliac, gastritis autoimun.
3. Jantung dan Miokarditis autoiumun dan dilated cardiomyopathy, anemia
Darah pernisiosa, purpura trombositopenik autoimun, anemia
hemolitik autoimun, anemia aplastik idiopatik.
4. Muskuloskeletal Polimiositis, dermatomiositis, fibromialgia.
5. Endokrin Penyakit autoimun tiroid, hashimoto atrofik subakut,
penyakit graves, DM tipe I, pankreatitis autoimun, hipofisis
autoimun, penyakit addison atau adrenalitis autoimun
6. Ginjal Nefropati IgA, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis
fokal dan segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif.
7. Paru Pneumonia interstitial idiopatik, hipertensi arterial pulmonel.
BAB 3
PEMERIKSAAN IMUNOLOGIS PADA PENYAKIT AUTOIMUN
5
Penyakit autoimun menyebabkan abnormalitas pada pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil pemeriksaan laboratorium akan ditemukan adanya
penyimpangan kadar enzim spesifik organ atau abnormalitas proses metabolik.
Sebagai contoh pada hepatitis autoimun yang dapat bermanifestasi sebagai
peningkatan transaminase dan bilirubin. Hal yang harus diperhatikan adalah hasil
pemeriksaan laboratorium yang tidak normal ini dapat berkaitan dengan toksisitas
obat.1
Pemeriksaan imunologis pada penyakit autoimun meliputi pemeriksaan
berbagai komponen yang terlibat pada respon imun yang terkait dengan
perjalanan penyakit autoimun tersebut. Wieslander (2010) menyatakan pada
kecurigaan atas suatu penyakit autoimun, perlu dicatat bahwa penemuan
autoantibodi hanya dapat digunakan untuk menunjang diagnosis, karena
autoantibodi dapat terbentuk tanpa adanya suatu penyakit atau hanya sebagai
fenomena sementara selama infeksi. Hasil pemeriksaan yang positif atau negatif
dapat tidak bermanfaat untuk diagnosis jika tidak terdapat kriteria klinis penyakit.
Pada beberapa penyakit, pemeriksaan ini dapat berguna untuk memantau
konsentrasi autoantibodi yang sesuai dengan perkembangan penyakit, prognosis
atau efek terapi.14
6
dengan proses inflamasi kronis. Sebagian protein serum lainnya mengalami
perubahan pada reaksi akut (naik atau turun), tetapi dalam rentang yang sempit.16
Protein lainnya, seperti albumin, tidak sensitif merangsang peningkatan
sintesis sitokin inflamasi. Kadar albumin dapat mempengaruhi kadar laju endap
darah yaitu dengan peningkatan konsentrasi albumin plasma, dapat menyebabkan
peningkatan laju endap darah.1,15 Pada keadaan stres kronis, albumin
menyebabkan penurunan sintesis sitokin inflamasi sehingga menyebabkan
berkurangnya kadar sitokin di dalam serum. Castro et al (2010) menyatakan
marker inflamasi bukanlah diagnostik untuk inflamasi, tetapi lebih mencerminkan
abnormalitas yang diakibatkan oleh penyakit autoimun, infeksi, keganasan, dan
penyakit lainnya.1
7
Istilah C-Reactive Protein berasal dari reaktivitas protein ini terhadap
polisakarida C pada dinding sel S.pneumoniae. CRP adalah suatu protein pada
kelompok imunitas alamiah yang membantu mengopsonisasi patogen untuk
fagositosis dan mengaktivasi sistem komplemen. Produksi CRP dikontrol oleh IL-
1, IL-6, dan TNF-. Perubahan konsentrasi CRP serum terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan LED. Oleh karena itu, CRP dapat dapat mencerminkan
inflamasi akut dengan lebih baik.1 Feldman et al (2013) menyatakan bahwa tidak
seperti LED, CRP merupakan protein serum yang stabil yang pemeriksaannya
tidak sensitif terhadap waktu dan tidak dipengaruhi oleh komponen serum
lainnya.16 Kushner (2014) mengemukakan dari suatu penelitian kohort
disimpulkan terdapat suatu kesenjangan antara CRP dan LED pada 12,5% pasien.
CRP dinyatakan sebagai penanda yang lebih baik terhadap aktivitas penyakit
dibandingkan dengan LED.15
Derajat inflamasi secara langsung berhubungan dengan konsentrasi CRP.
Kadar kurang atau sama dengan 2 mg/dL dinilai normal, sementara kadar lebih
dari 2 mg/dL menunjukkan adanya inflamasi dan atau infeksi. Akhir-akhir ini
pemeriksaan high sensitivity CRP (hs-CRP) telah banyak digunakan. Pemeriksaan
ini lebih baik mengidentifikasi inflamasi derajat rendah dan penting dalam
mengevaluasi penyakit jantung dan kondisi inflamasi lainnya.1 Gheita et al (2012)
menyatakan bahwa dengan berkembangnya hs-CRP, telah terjadi peningkatan
sensitivitas pemeriksaan beberapa kali lipat sehingga dapat mendeteksi inflamasi
kronik derajat rendah. Pemeriksaan hs-CRP ini telah banyak digunakan dalam
menentukan derajat aktivitas penyakit pada berbagai penyakit reumatik termasuk
SLE.17 Lipson et al (2012) menyatakan pemeriksaan hs-CRP pada LES masih
belum direkomendasikan.18
3.1.3 Feritin
Feritin serum adalah protein yang berguna untuk menyimpan besi dan
sintesisnya diatur oleh besi intraseluler, sitokin (TNF-, IL-1, dan IL-6), produk
stres oksidatif, dan faktor pertumbuhan. Peningkatan kadar feritin menunjukkan
kondisi sepsis, inflamasi, atau keganasan. Penyakit seperti Stills disease,
systemic-onset juvenile idiopathic arthritis, hemophagocytic lymphohistiocytosis,
8
dan iron overload diseases, termasuk hemokromatosis atau hemosiderosis, harus
dipertimbangkan jika ditemukan peningkatan kadar ferritin serum.1
Orbach et al (2007) menyatakan bahwa hiperferitinemia berhubungan
dengan inflamasi, infeksi, dan keganasan. Selama inflamasi, keadaan relative iron
deficiency disebabkan oleh redistribusi besi, dengan penurunan kadar besi pada
serum dan peningkatan dalam makrofag (stimulus utama terhadap produksi
siderofor).19 Kamen et al (2006) menyimpulkan TNF- dan IL-1 secara tunggal
ataupun bersama-sama dapat menginduksi ekspresi rantai H feritin pada adiposit
tikus, sel otot manusia, dan jenis sel lainnya. 20 Rosario et al (2013)
mengemukakan bahwa hiperferitinemia diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun seperti LES, artritis reumatoid, dan sindrom antifosfolipid.21
LES 23% Kadar feritin serum selama stadium penyakit yang lebih aktif
meningkat.
Hiperferitinemia berhubungan dengan serositis dan
menifestasi hematologi.
Hiperferitinemia berhubungan dengan trombositopenia,
antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin pada penyakit
LES yang aktif.
3.1.4 Komplemen
9
Cascade complement adalah jalur yang kompleks, merupakan tahapan
pengaktifan enzim proteolitik, protein regulator, dan reseptor permukaan sel yang
menjadi perantara dan meningkatkan aktivasi baik imunitas humoral maupun
seluler. Jalur klasik diawali oleh pengikatan kompleks imun pada C1q dan
melibatkan C4 dan C2. Jalur alternatif melibatkan faktor B, D, dan properdin.
Baik jalur alternatif maupun klasik melibatkan komponen C3.1
Pemeriksaan komplemen dalam serum dibagi atas pemeriksaan komponen
individual dan pemeriksaan imunokimiawi untuk C3 dan C4. Pemeriksaan
komponen lainnya jarang diperlukan, kecuali bila ada dugaan defisiensi genetik
dan kelainan fungsional. Semua komponen komplemen dapat berfungsi sebagai
acute-phase reactant.1 Castro et al (2010) menyatakan pemeriksaan komplemen
yang hanya dilakukan satu kali memberikan nilai yang terbatas, oleh karena itu
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan serial.8
3.1.4.1 Inhibitor C1 (C1-INH)
Penghambat C1 harus diukur apabila ada kecurigaan angioedem herediter.8
Angioedem akibat defisiensi C1 esterase inhibitor (C1-INH) dapat herediter,
tetapi dapat juga didapat. Junior et al (2010) melaporkan bahwa angioedem
autoimun yang terjadi sekunder akibat LES jarang ditemukan.22
10
Dari pemeriksaan laboratorium, kadar C4 yang rendah dan kadar C3 yang
normal menunjukkan diagnosis angioedem terkait dengan defisiensi C1-INH.
Cicardi et al (2010) menyatakan bahwa angioedem yang didapat ditandai dengan
defisiensi C1 inhibitor dan hiperaktivasi jalur klasik komplemen.23
3.1.4.2 C3 dan C4
Peningkatan C3 dan C4 ditemukan pada reaksi fase akut dan inflamasi
kronis seperti pada LES, terutama yang disertai dengan kelainan ginjal.
Pemeriksaan C3 dan C4 ini akan membantu pemantauan pengobatan penderita
glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar C4 yang rendah ditemukan pada penderita
dengan angioedem herediter, krioglobulinemia atau defisiensi genetik C4. 8
Martinez et al (2010) menyatakan bahwa pemeriksaan serial kadar C3 dan C4
bermanfaat untuk pemantauan perkembangan penyakit atau pengobatan pada
beberapa jenis glomerulonefritis, LES, dan vaskulitis. Bila awalnya rendah,
biasanya kembali ke kadar normal pada saat remisi.24
Kadar C3 yang rendah ditemukan pada penderita dengan glomerulonefritis
membranoproliferatif atau lipodistrofi parsial. Kadarnya menjadi normal pada
tahapan konvalensens.8 Knioyobi (2015) menyatakan dalam suatu laporan kasus
bahwa selama periode penyembuhan glomerulonefritis akut post-streptokokus,
kadar komplemen C3 akan kembali normal dalam waktu 6-8 minggu. Kadar C3
yang persisten rendah menunjukkan penyebab lain glomerulonefritis.25
3.1.5 Imunoglobulin
Pemeriksaan imunoglobulin adalah berupa pemeriksaan IgG, IgM, dan
IgA dari serum, teknik hemaglutinasi, reaksi presipitasi, dan elektroforesis.
Pemeriksaan ini tidak hanya penting dalam membantu mendiagnosis penyakit
autoimun, tetapi juga penyakit lainnya yang melibatkan imunoglobulin seperti
penyakit infeksi dan limfoproliferatif.8 Sebagai contoh, Wieslander (2010)
mengemukakan bahwa pemeriksaan IgG dan IgA diindikasikan pada penyakit
kulit autoimun seperti pemfigoid untuk membedakannya dengan pemfigus.14
Hemaglutinasi adalah cara menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel
darah merah sebagai contoh pada anemia hemolitik autoimun. Sebagai antigen
dapat digunakan sel darah merah atau antigen yang mensensitisasi sel darah
11
merah. Uji coombs direk merupakan cara untuk menemukan antibodi yang dapat
mengaglutinasikan sel darah merah dengan efektif. Bila antibodi dicampur dengan
sel darah merah, aglutinasi terjadi segera. Hal ini menunjukkan uji coombs direk
yang positif. Pada hemaglutinasi direk, antigen merupakan komponen intrinsik sel
darah merah. IgM dalam cairan biologis akan diikat oleh antigen spesifik pada sel
darah merah walaupun ada muatan negatif pada sel darah merah oleh karena jarak
potensial maksimal antara dua tempat ikatan antigen tidak dapat dicegah. 8 Karp et
al (2016) menyatakan bahwa pemeriksaan coombs direk ini tidak 100% sensitif
ataupun spesifik untuk anemia hemolitik, walaupun pemeriksaan coombs direk ini
sering digunakan untuk penelusuran kemungkinan hemolitik. 26 Uji coombs indirek
merupakan cara menemukan antibodi yang tidak begitu efektif mengaglutinasikan
sel darah merah. Mungkin pada permukaan sel darah merah tidak tersedia cukup
antigen untuk mengikat antibodi. Cara ini dapat digunakan untuk mencari antigen
yang bukan berasal dari sel darah merah.8,27
3.1.6 Krioglobulin
Krioglobulin adalah imunoglobulin yang mengendap secara reversibel
pada suhu di bawah 37oC dari serum. Pada penyakit tertentu, antibodi ini dapat
berikatan dengan protein komplemen dan peptida lainnya membentuk kompleks
imun dan menyebabkan kerusakan jaringan. Terdapat tiga jenis krioglobulin.
Krioglobulin tipe I adalah imunoglobulin monoklonal, jenis yang paling sering
adalah isotype IgM. Krioglobulin tipe II adalah IgG poliklonal dan IgM
monoklonal. Krioglobulin tipe III adalah kombinasi antara IgG poliklonal dan
IgM poliklonal.1,28
Pada flebotomi, semua komponen darah dimasukkan ke dalam tabung
tanpa anti-koagulan dan dipertahankan pada suhu tubuh sampai terjadinya
12
koagulasi (sekitar satu jam). Sampel darah kemudian disentrifus dan bekuan darah
dipisahkan. Serum ditempatkan pada suhu 4oC selama beberapa hari. Bahan ini
kemudian diperiksa setiap hari untuk menentukan apakah protein telah
mengendap. Saat presipitat telah terbentuk, sampel kemudian disentrifus lagi dan
endapan diperiksa pada tabung yang telah dikalibrasi.1
Castro et al (2010) menyatakan bahwa krioglobulin adalah indikator non-
spesifik pada suatu penyakit. Krioglobulin tipe II dan III dapat berikatan dengan
komplemen, berhubungan dengan hepatitis C dan vaskulitis pembuluh darah
kecil. Adanya komponen imunoglobulin multipel pada krioglobulin dikenal
dengan mixed cryoglobulin.1 Mixed cryoglobulin ini terkait dengan sindrom
sjogren, LES, dan sirosis bilier. Motyckova et al (2011) menyatakan bahwa hasil
pemeriksaan krioglobulin ini dapat positif palsu pada pengambilan, penyimpanan,
dan transpor sampel yang tidak sesuai prosedur. 28
3.2 Autoantibodi
13
Autoantibodi organ spesifik ditemukan pada anemia hemolitik berupa
antibodi panas dan antibodi dingin. Autoantibodi organ spesifik juga ditemukan
pada tiroiditis, penyakit adrenal, anemia pernisiosa, dan sindrom Sjogren.
Autoantibodi terhadap leukosit dan trombosit ditemukan pada beberapa penyakit
autoimun yang diinduksi obat.8 Berikut tabel mengenai sensitivitas dan spesifisitas
berbagai pemeriksaan autoantibodi berdasarkan penyakit autoimun.14
AR Anti-CCP 75 High
14
3.2.1 Autoantibodi Nuklear
Titer ANA yang tinggi (1/640) ditemukan pada LES, MCTD, skleroderma,
sindrom sjogren primer, hepatitis kronis aktif, dan purpura
hipergamaglobulinemia.14 Dalam titer rendah, dapat juga ditemukan pada populasi
usia lanjut.8 Beberapa kondisi fisiologis dan patologis dapat menyebabkan
terbentuknya ANA pada populasi non-reumatik, seperti kehamilan, usia lanjut,
15
riwayat keluarga dengan penyakit autoimun, infeksi, penyakit kardiovaskular, dan
keganasan. Hal ini merupakan tantangan standardisasi dalam interpretasi. Soto et
al (2013) menyatakan terdapatnya banyak pasien dengan titer antibodi yang tinggi
yang tidak memiliki gejala klinis penyakit autoimun. Hal ini kemungkinan akibat
adanya antigen dalam sirkulasi yang berasal dari proses sintesis multifaktorial
ataupun yang secara alamiah berasal dari sel CD5+. Oleh karena itu, harus
diperhatikan secara detail titer ANA dari hasil pemeriksaan.33
Gambar 3.1 Algoritma Pemeriksaan ANA dan Antibodi Spesifik pada Penyakit
Reumatik.35
16
Tabel 3.5 Berbagai ANA Pattern, Antibodi Anti-nuklear dan Kaitannya dengan
Penyakit Autoimun.35
17
3.2.1.2 Anti-double stranded DNA (Anti ds-DNA)
18
terhadap LES. Kurang dari 0,5% populasi sehat atau pasien dengan penyakit
autoimun lainnya memiliki antibodi anti ds-DNA, sementara 70% pasien LES
positif. Adanya anti ds-DNA dalam darah pasien lupus beberapa tahun sebelum
manifestasi klinis awal menandakan keterlibatannya pada progresivitas penyakit.37
Cozzani et al (2014) menyatakan bahwa anti ds-DNA memiliki spesifisitas yang
tinggi untuk LES yaitu 70-98% pasien memiliki anti ds-DNA yang positif, juga
bermanfaat untuk pemantauan kondisi klinis pasien (dianjurkan setiap 6 minggu).
Anti ds-DNA ditemukan positif pada 70% pasien nefritis lupus dan 6% pada
pasien neuropsikiatri lupus.38
19
beberapa pasien, anti-CCP mulai positif jauh sebelum onset gejala RA. Dari suatu
penelitian dinyatakan bahwa anti-CCP dapat positif lebih dari 9 tahun sebelum
onset RA.41
Antigen nuklear yang dapat diekstraksi terdiri atas antigen Smith (Sm),
RNP atau U1RNP, anti-SSA (Ro), dan anti-SSB (La). Dinamakan extractable
karena cepat larut atau mudah diekstraksi dalam bufer netral.8
20
LES, sklerosis sistemik, dan MCTD.8 Dema et al (2015) menyatakan antibodi
anti-U1-RNP dideteksi pada 20-30% pasien LES tetapi tidak memperlihatkan
spesifisitas yang baik untuk LES karena sebagian besar autoantibodi ini
ditemukan pada mixed connective tissue disease (MCTD).44 Sarantopoulos et al
(2013) menyatakan antibodi anti-RNP dideteksi pada 30-60% pasien LES, tetapi
tidak spesifik.43Antibodi IgM anti-UI-RNP lebih sering ditemukan pada LES,
sementara IgG anti-UI-RNP tanpa terdeteksinya IgM anti-UI-RNP ditemukan
pada MCTD. Antibodi ini penting untuk diagnosis MCTD karena merupakan
salah satu kriterianya. Antibodi anti-RNP berkaitan dengan fenomena Raynaud
dan gangguan ginjal, walaupun penelitiannya masih terbatas. Antibodi ini juga
ditemukan dalam titer yang rendah pada skleroderma dan juga menunjukkan
adanya fibrosis paru.43,44
21
3.2.1.5 Anti-Signal Recognition Particle (Anti-SRP)
3.2.1.6 Anti-Jo-1
22
Anti-Mi2 mengenal protein kompleks nuklear yang dibentuk oleh sekitar 7
protein melalui transkripsi. Autoantibodi terhadap Mi2 spesifik untuk
dermatomiosis dan berhubungan dengan awitan akut, prognosis yang lebih baik,
dan respon yang baik terhadap pengobatan.8 Ghirardello et al (2009) menyatakan
bahwa autoantibodi anti Mi2 memiliki sensitivitas 4-18% dan spesifisitas 98-
100%. Antibodi ini secara kuat berkaitan dengan dermatomiositis (lebih dari 31%)
dan memiliki nilai prediktif positif yang sangat tinggi.50
23
reumatoid dengan RF positif lebih cenderung menunjukkan artritis progresif,
erosif dengan kehilangan mobilitas sendi, dan juga manifestasi ekstraartikular
seperti nodul reumatoid, vaskulitis, sindrom Felty, dan sindrom Sjogren sekunder.
RF juga ditemukan pada penyakit autoimun lainnya seperti sindrom Sjogren, LES,
krioglobulinemia, penyakit paru (fibrosis interstitial dan silikosis) serta berbagai
penyakit infeksi.8
24
presenting cells (APC) sehingga memiliki fungsi protektif terhadap host selama
infeksi.39
25
ditemukan IgG aPL memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi untuk diagnosis
APS.56
26
Gambar 3.3 Kelompok Vaskulitis Sistemik yang Disebabkan oleh ANCA.54
Pada pasien dengan vaskulitis, lebih dari 90% c-ANCA ditemukan untuk
melawan proteinase 3 (PR3ANCA), sementara sekitar 80-90% p-ANCA
mengenali mieloperoksidase (MPO-ANCA). Walaupun c-ANCA lebih terkait
dengan WG, dan p-ANCA lebih terkait dengan mikroskopis poliangitis (MPA),
idiopathic necrotising crescentic gomerulonepphritis (iNCGN), dan sindrom
churg-strauss (CSS), belum ada spesifisitas absolut. Radice et al (2009)
menyatakan bahwa sekitar 10-20% pasien WG atau MPA (dan 40-50% kasus
CSS) memiliki hasil pemeriksaan ANCA yang negatif.52
27
Kadar ANCA dapat dipantau untuk mengetahui aktivitas penyakit. 52 Titer
ANCA dapat menjadi normal oleh pengobatan, meskipun ANCA yang persisten
positif atau meningkat positif tidak benar-benar memprediksi eksaserbasi
penyakit. Oleh karena itu, ANCA sebaiknya tidak digunakan untuk menilai efikasi
pengobatan. ANCA positif dapat pula ditemukan pada penyakit lain seperti
infeksi, akibat penggunaan obat-obatan seperti obat tiroid terutama propil
tiourasil, dan pada penyakit autoimun lainnya. 8 Radice A (2009) menyatakan hasil
pemeriksaan ANCA dapat ditemukan positif pada berbagai kondisi seperti
inflammatory bowel diseases, penyakit autoimun lainnya, dan infeksi dimana
kepentingan klinisnya masih belum jelas.52
3.3 Sitokin
Sitokin adalah molekul yang dilepas berbagai sel yang berfungsi dalam
komunikasi sel. Peran sitokin pada penyakit autoimun saat ini telah dapat
dijelaskan. Haddad et al (2001) mengemukakan bahwa implikasi klinis sel Th1
dalam patogenesis penyakit autoimun seperti diabetes tipe I, multipel sklerosis,
dan RA telah diketahui. Lebih lanjut, TNF adalah mediator utama pada RA karena
produksinya yang tidak terkontrol akibat sintesis IL-10 yang kurang. Pada pasien
LES, IL-6 dan IL-10 memainkan peran utama. Pada LES, sintesis IL-6 dan
mRNA IL-6 meningkat sekitar 10 kali lipat dibandingkan populasi normal, tetapi
perubahan ini tidak terkait dengan aktivitas penyakit.58
Berdasarkan peran sitokin ini pada penyakit autoimun, sebagai contoh anti
TNF- dapat digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid. Haddad et al (2001)
mengemukakan bahwa dasar rasionalitas terapi medikamentosa humanized anti-
TNF pada RA adalah karena TNF memiliki peran utama pada patogenesis RA. 58
28
Terapi dengan menggunakan anti-TNF- , anti- IL-1, dan anti-IL-6 menunjukkan
hasil yang efektif.8
BAB 4
29
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pemeriksaan imunologis diindikasikan untuk menunjang diagnosis pada
kecurigaan ke arah penyakit autoimun dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
2. Pemeriksaan imunologis, baik imunitas non-spesifik maupun spesifik
(antibodi nuklear dan non-nuklear) memiliki spesifisitas dan sensitivitas
tertentu berdasarkan penyakit autoimun.
3. Apabila dicurigai adanya penyakit autoimun, diawali dengan pemeriksaan
ANA-IF yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan autoantibodi
lainnya.
4. Pemeriksaan autoantibodi tidak hanya bertujuan untuk membantu
diagnosis, sebagian juga sekaligus dapat memantau aktivitas penyakit,
respon terapi dan prognosis.
4.2 Saran
1. Pada pasien dengan klinis penyakit autoimun, diawali dengan pemeriksaan
imunologis ANA-IF sesuai algoritma pemeriksaan ANA dan antibodi
spesifik pada penyakit reumatik.
2. Diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai obat-obatan yang
dapat digunakan dalam terapi penyakit autoimun terkait dengan
pemeriksaan imunologis.
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Castro. Christine, Mark Gourley. Diagnostic Testing and Interpretation of Tests for
Autoimmunity. USA: NIAMS. 2010. P: 1-22.
2. Agarwal. Sandeep K. Autoimmunity and Autoimmune Diseases. Department of
Internal Medicine, Baylor College of Medicine. 2014. P: 1-47.
3. Ray. Sayantan, Nikhil Sonthalia, Supratip Kundu, Satyabrata Ganguly. Autoimune
Disorders: An Overview of Molecular and Cellular Basis in Todays Perspective.
India: Medical College and Hospital Kolkata. 2012. P: 1-12.
4. Lewis. Shier, Jackie Butler, David Shier. Holes Anatomy & Physiology. Trevecca
Nazarene University. 2014. P: 1-62.
5. Abbas. Abul K, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. Basic Immunology Functions and
Disorders of Immune System. Fifth Edition. California: Elsevier. 2016. P: 1-316.
6. Cruvinel. Wilson de Melo, Danilo Mesquita Junior, Julio Antonio Pereira Araujo,
Tania Tieko Takao Catelan, Alexandre Wagner Silva de Souza, Neusa Pereira da
Silva. Immune System- Part 1 Fundamentals of Innate Immunity with Emphasis on
Molecular and Cellular Mechanisms of Inflammatory Response. UNIFESP. 2010. P:
434-51.
7. Thompson. Andrew E. Understanding the Immune System. Columbia: University on
British Columbia. 2007. P: 30.
8. Bratawidjaja. Karnen Garna, Iris Rengganis. Imunologi Dasar. Edisi ke-11. Jakarta:
FKUI. 2014. P: 603-780.
9. Lerner. Aaron, Patricia Jeremias, Torsten Matthias. The World Incidence and
Prevalence of Autoimmune Diseases is Increasing. Israel: SciEP. 2015. P: 151-55.
10. Ngo. S, F.J. Steyn, P.A McCombe. Gender Differences in Autoimmune Disease.
2014. Frontiers in Neuroendocrinology. P: 347-69.
11. Page. L, Du Toit D, Page B. Understanding Autoimmune Disease- a Review Article
for the Layman. 2012.USA: University of Stellenbosch. P: 2-18.
12. Bellone. Matteo. Autoimmune Disease: Pathogenesis. Italy: Encyclopedia of Life
Sciences. 2005. P: 1-2.
13. Thomas. S, Clare G, Liam S. Burden of Mortality Associated with Autoimmune
Diseases among Females in the United Kingdom. American Journal of Public Health.
2010. P: 1-3.
14. Wieslander. Guide to Autoimmune Testing. Weislab AB. 2010. P: 3-89.
15. Kushner I. Acute Phase Reactants. UpToDate. 2014. P: 1-8.
16. Feldman M, Aziz B, Kang G. C-Reactive Protein and Erythrocyte Sedimentation Rate
Discordance. 2013. P: 37-43.
17. Gheita T, Iman I, EL-Gazzar. High-Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) in
Systemic Lupus Erythematosus Patients without Cardiac Involement. The Egyptian
Rheumatologist. 2012. P: 147-52.
18. Lipson A, Alexopoulos N, Hartlage G. Epicardial Adipose Tissue is Increased in
Patients with Systemic Lupus Erythematosus. 2012. P: 389-93.
19. Orbach H, Gisele Z, Howard A. Noverl Biomarkers in Autoimmune Diseases. New
York. 2007. New York Academy of Sciences. P: 385-95.
20. Kamen D, Cooper H. Vitamin D Deficiency in Systemic Lupus Erythematosus. 2006.
P: 114-7.
21. Rosario C, Gisele Z, Esther G, David P, Yehuda S. The Hyperferritinemic Syndrome:
Macrophage Activation Syndrome. BMC Medicine. 2013. P: 1-11.
22. Junior V, Karina S, Fabrico S. Intractable Aquired Autoimmune Angioedema in a
Patient with Systemic Lupus Erythematosus. 2010. P: 104-6.
23. Cicardi M, Andrea Z. AACI. Acquired Angioedema. 2010. P: 6-14.
31
24. Martinez S, Rusicke E, Aygoren P. Pharmacokinetic Analysis of Human Plasma-
Derived Pasteurized C1-inhibitor Concentration in Adults and Children with
Hereditary Angioedema. Transfusion 2010. P: 354-60.
25. Knioyobi. Glomerulonephritis. Nephrotic Syndrome. 2015. P: 4-8
26. Karp J, Karen E, Jun T. Direct Antiglobulin Testing. US. 2016. P: 1-3.
27. Green R, Virginia C. The Antiglobulin Test. 2005. P: 93-110.
28. Motyckova G, Mandakolathur M. Laboratory Testing for Cryoglobulins. Boston:
Wiley-Liss, Inc. 2011. P: 500-2.
29. Zeng D, Yu R, Jie M, Yue Y, Su L, Jia Y, et al. Serum Ceruloplasmin Levels Correlate
Negatively with Liver Fibrosis in Males with Chronic Hepatitis B. China: Oplos.
2013. P: 1-5.
30. Cory W, Eric B. Haptoglobin. American Medical Association. 2014. P: 1-4.
31. Rooney T, Rebecca S, Judy K, Jonathan G, John B, Carl G. Levels of Plasma
Fibrinogen are Elevated in Well-Controlled Rheumatoid Arthritis. USA:
Rheumatology. 2011. P: 1-4.
32. Baker S, Rodney B. Lab Tests Used to Diagnose Lupus. Lupus International. 2011. P:
1-2.
33. Soto M, Nidia H, Ada C, Alfredo H, Jose E, Luis E, et. al. Predictive Value of
Antinuclear Antibodies in Autoimmune Diseases Classified by Clinical Criteria.
Elsevier. 2014. P: 13-22.
34. Hernandez R, Cabiede. Immunological Techniques that Support the Diagnosis of the
Autoimmune Diseases. Reumatol. Clin. 2010. P: 173-7.
35. Birtane M. Diagnostic Role of-Anti-Nuclear Antibodies in Rheumatic Diseases.
Turkey: Turk J Rheumatol. 2012. P: 78-89.
36. Giles B, Susan A. Linking Complement and Anti ds-DNA Antibodies in the
Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. USA: NIH Public Access. 2013. P:
10-21.
37. Diamond B, Bloom O, Al Abed Y, Kowal C, Huerta P, Volpe B, et al. Moving
Towards a Cure: Blocking Pathogenic Antibodies in Systemic Lupus Erythematosus.
J Intern Med. 2011. P: 36-44.
38. Cozzani E, Massimo D, Giulia G, Aurora P. Serology of Lupus Erythematosus:
Correlation between Immunopathological Features and Clinical Aspects. Italy.
Hindawi. 2014. P: 1-13.
39. Ingegnoli F, Roberto C, Roberta G. Rheumatoid Factors: Clinical Applications. Italy:
Hindawi. 2013. P: 727-34.
40. A.M Ramos-Levi, M.C Montanez, I. Ortega, M.J Cobo, A.I Calle. A Case of
Biochemical Assay Discrepancy: Interference with Measurement of TSH due to
Rheumatoid Factor. Endocrinologia y Nutricion. 2013. P: 342-45.
41. Song Y, E.H. Kang. Autoantibodies in Rheumatoid Arhtritis: Rheumatoid Factors and
Anticitrullinated Protein Antibodies. Korea: Q J Med. 2010. P: 139-46.
42. Nielen M, Van S, Reesink H, Van de S, Van der H, De Koning, et al. Specific
Autoantibodies Precede the Symptoms of Rheumatoid Artritis. Arthritis Rheum.
2004. P: 380-6.
43. Sarantopoulos A, Panagiota B. Anti-Cyclic Citrullinated Peptides Autoimmunity in
the Pathophysioogy and Diagnosis of Rheumatoid Arthritis. ISSN. 2013. P: 2326-80.
44. Dema B, Nicolas C. Autoantibodies in SLE: Specificities, Isotype, and Receptors.
France: MDPI. 2015. P: 1-10.
32
45. Routsias J, Neufing. B-Cell Epitopes of the Intracellular Autoantigens Ro/SSA and
La/SSB: Tools to Study the Regulation of the Autoimmune Response. J.
Autoimmune. 2010. P: 256-71.
46. Cozzani E, Drosera M, Gasparini G, Patodi A. Serology of Lupus Erythematosus:
Correlation between Immunopatological Features and Clinical Aspects. Autoimmun.
2014. P: 1-12.
47. Longo D. Inflammatory Muscle Diseases. NEJM. 2015. P: 1734-47.
48. Rosen L, Andrew L. Myositis Autoantibodies. NIH Public Access. 2012. P: 1-4.
49. Shinjo S, Mauricio L. Anti-Jo-1 Antisynthetase Syndrome. Brazil. 2010. P: 1-4.
50. Ghirardello A, Sandra Z, Luca L, Elena T, Raffaele B, Pier F, et al. Anti-Mi-2
Antibodies. 2009. P: 1-9.
51. Basu D, John D. Anti-Scl-70. Journal of Autoimmunity. 2005. P: 1-6.
52. Radice A, R.A Sinico. Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies (ANCA). Journal of
Autoimmunity. 2009. P: 1-7.
53. Grayson P, J. Mark, John L, Paul A, Peter A. Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies,
Autoimmune Neutropenia, and Vasculitis. Semine Arthritis Rheum. 2011. P: 424-33.
54. Jennette J, Ronald J. Pathogenesis of Antineutrphil Cytoplasmic Autoantibody-
Mediated Diseases. Nat Rev Rheumatol. 2014. P: 463-73.
55. Lackner K, Nadine M. Antiphospholipid Antibodies: Their Origin and Development.
MDPI. 2016. P: 1-10.
56. Perches P, Daniela P, Andreia L. Augusta M, Felipe M, Ivan E, et al. Evaluation of
Antiphospholipid Antibodies Testing for the Diagnosis of Antiphospholipid
Syndrome. UNIFESP. 2009. P: 241-50.
57. Teng M, Edward P, Joshua J, McElwee M, Smyth J, Andrea M, et al. IL-12 and IL-23
Cytokines. Nature Medicine. 2015. P: 719-22.
58. Haddad A, Bienvenu J, Miossec P. Increased Production of a Th2 Cytokine Profile by
Activated Whole Blood Cells from RA Patients. J. Clin Immunol. 2001. P: 399-403.
59.Choo S. The HLA System: Genetics, Immunology, Clinical Testing, and Clinical
Implications. USA. 2007. P; 11-23.
33