A. Definisi
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang
ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di
mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu ( Smeltzer,
2002).
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu
penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi
bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas
disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai
dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan
nafas) (Joyce M. Black, 1996 : 504).
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible
dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma
bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan ( The American Thoracic Society ).
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma
bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Departement | Emergency_Nursing
2
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
d. Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.
C. Faktor Pencetus Serangan Asthma Bronkiale
Departement | Emergency_Nursing
3
Departement | Emergency_Nursing
4
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis.
Gejala klinis asma dapat dibagi menjadi:
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
2) Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
3) Whezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
6) BGA belum patologis
E. Patofisiologi
Alergen,infeksi.exercise (stimulus
imunologik&non immunologik)
Merangsang sel B
Departement
IgE diikat oleh mastosit|mel.reseptor
Emergency_Nursing
pd
jln nafas
Spasme otot
bronkus
Inefektif pola
nafas
kerusakan
pertukaran gas
Departement | Emergency_Nursing
6
mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang
diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma
dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan
dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel
tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag
dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan
tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi
atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada
permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke
dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh
mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut
(konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan,
kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang
berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper
rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi
terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien
asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas
berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas
bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau
histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara
klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik
Departement | Emergency_Nursing
7
sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan
saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel
radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia
dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi
tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya
penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta
hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya
sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang
produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu
keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan
meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah.
Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA).
Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang
direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga
menimbulkan asma bronkiale.
2. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen
tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah
raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik.
Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf
simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam
keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa.
Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang
mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam
membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner
kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan
dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 35 cyclic AMP. cAMP ini
kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat
pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus.
Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih
Departement | Emergency_Nursing
8
dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini
dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
3. Asma Bronkiale Campuran (Mixed)
Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun
ekstrinsik.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right
bundle branch block).
Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia
4. Test fungsi paru
Departement | Emergency_Nursing
9
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
H. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara
Departement | Emergency_Nursing
10
Obat-obatan
a. Bronkodilator.
Obat utama yang mengatasi obstruksi saluran napas adalah bronkodilator,
tiga golongan bronkodilator adalah simpatomimetik, antikolinergik dan golongan
xanthin.
Obat golongan simpatomimetik merupakan bronkodilator utama oleh
karena obat ini bekerja merigaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya
produksi siklik AMP dan menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas. Siklik
AMP yang meningkat juga menghambat pelepasan mediator seperti histamin dan
SRS-A yang menimbulkan bronkospasme. Obat ini juga meningkatkan kecepatan
aliran lendir di trakea. Obat beta stimulan yang bekerja selektif terhadap reseptor
beta-2 metaproterenol yaitu beta agonis seperti terbutalin (Bricasma), fenoterol
(Berotec), orciprenalin (Alupent), salbutamol (Ventolin, Salbuvene), procaterol
(Meptin), dan hexoprenalin (Iprado)l, mempunyai efek bronkodilatasi yang besar
serta efek perangsangan kardiak yang minimal.
Pemberian beta-2 agonis ini dapat menimbulkan tremor, dengan
meneruskan pemberian obat gejala samping ini akan berkurang. Pemberian beta-2
agonis secara inhalasi akan mengurangi efek samping, selain itu juga
menimbulkan efek terapeutik yang lebih cepat serta dapat memobilisasi lendir.
Golongan antikolinergik atau anti muskarinik seperti ipratropium bromid
(Atrovent), bekerja secara kompetisi antagonis dengan asetilkolin. Asetilkolin
adalah substansi penghantar pada refleks vagal, akibat aktivitas substansi ini terjadi
bronkokonstriksi.
ug/ml.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid paling sering digunakan pada asma, manfaatnya sangat jelas
terutama pada asma akut berat, walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti; selain bersifat sebagai anti radang, obat ini juga bekerja meningkatkan
kerja obat-obat perangsang adenoreseptor. Kortikosteroid topikal seperti
beklomethason dipropionat dan budesonide yang diberikan secara inhalasi
memberikan manfaat dalam mencegah EIA dan menurunkan hiperreaktivitas
bronkus serta mempunyai efek samping yang sangat kecil.
c. Disodium kromoglikat (DSCO)
Bekerja menghambat degranulasi dan penglepasan mediator oleh sel mast
terutama pada mukosa bronkus. Dengan demikian obat ini mencegah
bronkospasme, obat ini dapat digunakan sebagai pencegah timbulnya serangan
asma.
d. Antihistamin
Yang digunakan adalah ketotifen, anti histamin yang mempunyai efek
antianafilaktik dan menghambat kerja PAF (platelet aggregating factor). Obat ini
bermanfaat pada golongan asma ekstrinsik. Selain golongan obat-obat di atas
diberikan juga obat-obat penyerta atau pembantu, atas dasar indikasi. Obat-obat
penyerta itu antara lain adalah:
e. Antibiotika, diberikan bila ada tanda-tanda infeksi, yaitu adanya perubahan warna
sputum.
f. Mukolitik untuk mengencerkan sputum dapat diberikan mucohexin atau N-acetyl
cystein dan jenis lain.
g. Ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran sputum, yaitu gliseril guaiakolat
dan obat batuk hitam. Obat antihistamin lain umumnya tidak diberikan karena
dapat mengentalkan sekret, kecuali bila jelas terlihat tanda-tanda alergi. Obat
penenang seperti luminal juga tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat
pernapasan.
Terapi inhalasi
1. Terapi aerosol
Inhalasi bronkodilator sangat efektif pada serangan bronkospasme akut. Pemberian
dapat dengan nebulizer atau dengan spacer.
Departement | Emergency_Nursing
13
Bronkodilator inhalasi mempunyai efek terapi yang cepat dan efek samping yang
rendah. Perlu petunjuk yang jelas cara pemakaian aerosol agar tidak terjadi
kesalahan teknik.
2. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan pada penderita dalam serangan yang berat dan ada tanda-
tanda hipoksemia.
Rehabilitasi
1. Fisioterapi
Diberikan terutama untuk memobilisasi reak, bermanfaat pada penderita asma
kronik dengan produksi sputum yang kental.
Fisioterapi juga dapat berbentuk latihan pernapasan/senam pernapasan. Hal ini
selain mengefektifkan kerja otot-otot pernapasan juga memberikan rasa percaya
diri yang besar para
penderita.
2. Rehabilitasi psikis
Pendekatan psikis berguna untuk mengurangi stres dan menstabilkan emosi
penderita. Terutama pada penderita-penderita dengan emosi labil atau bila faktor
emosi sangat berperan dalam mencetuskan serangan.
Kesimpulan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma hendaklah secara terpadu dan melaksanakan pendekatan terapi
lain selain pemakaian obat-obatan. Bronkodialtor adalah obat yang utama pada
pengobatan asma. Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan hiperreaktivitas
bronkus. Pemberian obat-obatan secara inhalasi akan memberikan efek yang tepat serta
efek samping yang kecil.
Pengobatan Selama Serangan Status Asthmatikus:
a Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c Aminophilin bolus 5 mg/KgBB diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutkan
drip RL atau D5 maintenance (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/KgBB/24 jam.
d Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara subkutan.
e Dexamethasone 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f Antibiotik spektrum luas.
Departement | Emergency_Nursing
14
I. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
Suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa jam sampai beberapa
hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim. Status
asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian, oleh karena itu :
- Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan
terhadap usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan.
- Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor yang
merangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu, infeksi
saluran napas, stress emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin, dan lain-lain)
2. Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal
3. Hipoksemia
Hipoksemia (atau Hypoxaemia) secara umum didefinisikan sebagai penurunan
tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-kadang khusus kurang dari yang,
tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup baik konsentrasi oksigen terlarut dan
oksigen yang terikat pada hemoglobin.
4. Pneumothoraks
b. Kolaps paru-paru / pneumothoraks (Pneumothorax) adalah penimbunan
udara atau
c. gas di dalam rongga pleura yang dapat mengakibatkan tekanan udara
meningkat dan
d. menurunnya kapasitas vital paru-paru sehingga akan menyebabkan
kegagalan pernafasan.
4. Emfisema
Empesema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran
secara abnormal saluran napas bagian distal broncus terminalis, disertai dengan
kerusakan alveoli yang irreversible.
Departement | Emergency_Nursing
15
J. Pengkajian
a Pengumpulan data.
1 Identitas klien.
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada
penyakit status asthmatikus. Alamat menggambarkan kondisi lingkungan
tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan
asthma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam keluarga
atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta
bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen.
Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan
Diagnosa medis.
2 Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan
keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti
dengan gejala-gejala lain yaitu : Wheeezing, Penggunaan otot bantu
pernapasan, kelelahan gangguan kesadaran, sianosis serta perubahan tekanan
darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
3 Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi
saluran napas atas, sakit tenggorokan,tonsillitis, sinusitis, polip hidung.
Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai
sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asthma.
4 Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang
riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota
keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma ini lebih ditentukan
oleh faktor genetik.
5 Riwayat spikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi
serangan asthma baik gangguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan
sekitar sampai lingkungan kerja.
Departement | Emergency_Nursing
16
trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun
hilang kesadaran.
d Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres
yang di rasakan klien.
e Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis, alergi dan
fungsi olfaktori.
Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan
mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara.
Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesaran tiroid
serta penggunaan otot-otot pernafasan.
Thorak
Inspeksi
Dada diinspeksi terutama postur bentuk dan kesimetrisan, adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis,
frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.
Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus.
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor.
Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih
dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan
Wheezing.
i) Kardiovaskuler.
Jantung di kaji ada atau tidaknya pembesaran jantung dan suara
jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya
pulsus paradoksus.
j) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, nyeri, serta tanda-tanda infeksi (Hudak
Departement | Emergency_Nursing
19
dan Gallo;1997)
k) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi
pada extremitas.
8 Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan spirometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma.
b) Laboratorium.
1 Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat
hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratori.
2 Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari adema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel
sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat
adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa
antibiotik.
(3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000
1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung
sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru
disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat.
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat
hipoksia atau hiperkapnea.
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya
proses patologik di paru atau komplikasi asthma seperti pneumothorak,
Departement | Emergency_Nursing
20
K. Diagnosa Keperawatan
a Bersihan jalan nafas inefektif yang berhubungan dengan sekresi kental
peningkatan produksi mukus dan bronkospasme
b Gangguan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan
kelelahan akibat kerja pernafasan.
c Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO 2, peningkatan
sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Tucker;1993).
d Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
Departement | Emergency_Nursing
21
9 5
BB. BC. Sputum (-) BD.
1 5
BH. Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
BP. BQ. Diagnosa BR. NOC BS. NIC
No Keperawatan
BT. BU. Pola BY. Setelah dilakukan tindakan keperawatan DJ.Monitoring :
2 Napas Inefektif selama x24 jam pola nafas menjadi efektif 1. Pola nafas, hitung dan catat frekuensi
BV. BZ. pernafasan
BW. Berhubu CA. Kriteria hasil: 2. Tanda-tanda distress pernafasan (kelelahan,
ngan dengan: dispnea, takipnea, bradipnea, retraksi otot
CB. CC. Kriteria CD.
- Kecemasan dada, sianosis)
N Sc
- Hiperventilasi DK.
- Sindrom hipoventilasi DL. Mandiri:
CE. CF.Tidak ada perubahan CG. 1. Atur posisi head up/semifowler 45 derajat
- Disfungsi
1 ekskursi dada 5 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas misal,
neuromuscular
CH. CI. Bradipnea (-) CJ. dengan penghisapan secret/sputum (suction)
- Kelelahan otot respirasi
2 5 sesuai kebutuhan
BX.
CK. CL. Ekspansi dada CM. DM.
3 maksimal (pernafasan 5 DN. Pendidikan kesehatan:
dalam) dan simetris 1. Ajari tehnik nafas dalam
CN. CO. RR=12- CP. DO.
4 20x/menit 5
23
DR.
24
2 Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
5 Heru Sundaru(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
10 Ihksan. 2001. Pedoman Penatalaksanaan Status Asmatikus UPF Paru RSD Dr.
Soetomo Surabaya.
DU.
DV.
DW.
DX.
DY.
DZ.
EA.
EB.
EC.
ED.