Anda di halaman 1dari 24

1

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN


PADA KLIEN DENGAN ASMA

A. Definisi
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang
ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di
mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu ( Smeltzer,
2002).
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu
penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi
bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas
disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai
dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan
nafas) (Joyce M. Black, 1996 : 504).
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible
dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma
bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan ( The American Thoracic Society ).

B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.

1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma
bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

Departement | Emergency_Nursing
2

2. Faktor presipitasi
a. Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :


1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
c. Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang
timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena
jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d. Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.
C. Faktor Pencetus Serangan Asthma Bronkiale

Departement | Emergency_Nursing
3

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asthma bronkiale atau sering


disebut sebagai faktor pencetus adalah :
1. Alergen
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan
serangan asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides
pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan
laut dan sebagainya.
2. Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu
faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan
dua pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran nafas (Sundaru, 1991).
3. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan sebagai penyebab asthma tetapi sebagai pencetus asthma,
karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita
asthma bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asthma terutama pada
orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan
anak-anak (Yunus, 1994).
4. Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila
melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda
paling mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan
jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik
yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.
5. Obat-obatan. Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat
tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
6. Polusi udara. Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik /
kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida
fotokemikal, serta bau yang tajam.
7. Lingkungan kerja. Diperkirakan 2 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya
adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).
D. Manifestasi klinis

Departement | Emergency_Nursing
4

Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis.
Gejala klinis asma dapat dibagi menjadi:
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
2) Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
3) Whezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
6) BGA belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan


1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Whezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak nafas berat dan dada seolah olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
4) Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
7) Sianosis
8) BGA Pa O2 kurang dari 80%
9) Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik

E. Patofisiologi
Alergen,infeksi.exercise (stimulus
imunologik&non immunologik)

Merangsang sel B

Membentuk IgE dg bantuan sel T helper

Departement
IgE diikat oleh mastosit|mel.reseptor
Emergency_Nursing
pd
jln nafas

Inefektif bersihan jln nafas Syndrom


Antigen
Tubuh diikat IgE ygo/ada
terpajan pd sel ygKurang
Peningkatan keb.O
Sumbatan dissuse ulang
Penyempitan
Obstruksi
Peningkatan saluran
jln
antigen
kerja
Edema
nafas
Perub.nutrisi<keb.
pengetahuan
bronkus Penurunan intake
inflamasi
ansietas
dispnea
hiperventilasi
Retensi
2Mastosit melepas
immobilisasi
kelelahan
Mastosit mediator
degranulasi
mastosit radang
5

Spasme otot
bronkus

Inefektif pola
nafas

kerusakan
pertukaran gas

F. Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi


1. Asma Bronkiale
Asidosis Tipe Atopik (Ekstrinsik)
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen
respiratorik
yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-
lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells
(APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1)

Departement | Emergency_Nursing
6

mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang
diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma
dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan
dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel
tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag
dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan
tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi
atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada
permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke
dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh
mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut
(konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan,
kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang
berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper
rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi
terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien
asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas
berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas
bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau
histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara
klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik

Departement | Emergency_Nursing
7

sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan
saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel
radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia
dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi
tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya
penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta
hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya
sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang
produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu
keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan
meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah.
Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA).
Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang
direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga
menimbulkan asma bronkiale.
2. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen
tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah
raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik.
Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf
simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam
keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa.
Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang
mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam
membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner
kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan
dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 35 cyclic AMP. cAMP ini
kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat
pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus.
Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih

Departement | Emergency_Nursing
8

dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini
dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
3. Asma Bronkiale Campuran (Mixed)
Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun
ekstrinsik.

G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.


Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :

Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right
bundle branch block).
Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia
4. Test fungsi paru

Departement | Emergency_Nursing
9

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal


eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
6. Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. Hanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi
hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai
sedang PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi
alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal
atau meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.
b. Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya infeksi
c. Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini menurun dengan
pemberian kortikosteroid.

H. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara
Departement | Emergency_Nursing
10

2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma


3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit
asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga
penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerja sama dengan
dokter atau perawat yang merawatnya.
Penatalaksanaan dapat dibagi atas penatalaksanaan umum dan khusus.
Penatalaksanaan umum meliputi tindakan pendidikan pada penderita serta usaha-usaha
menghindari faktor pencetus dan hal lain yang dapat memperberat perjalanan penyakit;
sedangkan penatalaksanaan khusus adalah pemberian obat-obatan, terapi inhalasi dan
tindakan lain.
Penatalaksanaan umum
1. Pendidikan terhadap penderita dan keluarga penderita; keluarga perlu mendapat
penjelasan tentang penyakit serta faktor-faktor pencetus dan yang memperburuk
keadaan, sehingga mereka berperan aktif dalam usaha pencegahan. Juga penjelasan
tentang cara pemakaian obat, sehingga pemakaiannya tepat dan benar.
2. Menghindari faktor pencetus yang bersifat iritasi, seperti debu, gas dan zat kimia.
3. Menghindari perubahan suhu yang tiba-tiba.
4. Menghindari kelelahan fisik yang berlebihan terutama pada pendrita exercise-
induced asthma (asma yang disebabkan oleh aktivitas atau latihan).
5. Menghindari atau mengurangi stres dan menstabilkan emosi.
6. Menghindari zat-zat alergen pada penderita asma ekstrinsik seperti bulu binatang,
tepung sari, makanan tertentu dan lainnya.
7. Menghindari infeksi, karena infeksi terutama di saluran napas bagian atas sering
menjadi pencetus asma.
8. Makanan yang cukup dan bergizi agar daya tahan meningkat; obat-obatan sering
menimbulkan mual-mual dan menyebabkan berkurangnya nafsu makan.
9. Cairan yang cukup, agar dapat mengencerkan reak atau dahak sehingga mudah
dikeluarkan.
10. Imunoterapi dengan jalan desensitisasi, yaitu menyuntikkan ekstrak antigen yang
menimbulkan alergi secara berulang-ulang. Ini hanya bermanfaat pada sebagian
penderita asma dengan riwayat alergi.
Penatalaksanaan khusus
Meliputi pemakaian obat-obatan, terapi respirasi dan usaha rehabilitasi.
Departement | Emergency_Nursing
11

Obat-obatan
a. Bronkodilator.
Obat utama yang mengatasi obstruksi saluran napas adalah bronkodilator,
tiga golongan bronkodilator adalah simpatomimetik, antikolinergik dan golongan
xanthin.
Obat golongan simpatomimetik merupakan bronkodilator utama oleh
karena obat ini bekerja merigaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya
produksi siklik AMP dan menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas. Siklik
AMP yang meningkat juga menghambat pelepasan mediator seperti histamin dan
SRS-A yang menimbulkan bronkospasme. Obat ini juga meningkatkan kecepatan
aliran lendir di trakea. Obat beta stimulan yang bekerja selektif terhadap reseptor
beta-2 metaproterenol yaitu beta agonis seperti terbutalin (Bricasma), fenoterol
(Berotec), orciprenalin (Alupent), salbutamol (Ventolin, Salbuvene), procaterol
(Meptin), dan hexoprenalin (Iprado)l, mempunyai efek bronkodilatasi yang besar
serta efek perangsangan kardiak yang minimal.
Pemberian beta-2 agonis ini dapat menimbulkan tremor, dengan
meneruskan pemberian obat gejala samping ini akan berkurang. Pemberian beta-2
agonis secara inhalasi akan mengurangi efek samping, selain itu juga
menimbulkan efek terapeutik yang lebih cepat serta dapat memobilisasi lendir.
Golongan antikolinergik atau anti muskarinik seperti ipratropium bromid
(Atrovent), bekerja secara kompetisi antagonis dengan asetilkolin. Asetilkolin
adalah substansi penghantar pada refleks vagal, akibat aktivitas substansi ini terjadi
bronkokonstriksi.

Golongan xanthin merupakan bronkodilator yang paling lama digunakan.


Obat ini bekerja menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yakni enzim yang
menginaktifkan siklik-AMP. Obat ini menyebabkan kadar siklik AMP tinggi
sehingga menimbulkan bronkodilatasi. Pemberian obat ini dikombinasi dengan
golongan lain akan memberikan efek sinergisme. Pemberian kombinasi akan
memberikan dosis yang rendah dengan efek samping yang kurang.
Dosis toksik dapat menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, gelisah,
kejang dan perubahan kesadaran. Bila dosis terapi tidak menimbulkan efek dapat
dilakukan pemantauan kadar obat dalam darah. Kadar terapeutik ialah 10--20
Departement | Emergency_Nursing
12

ug/ml.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid paling sering digunakan pada asma, manfaatnya sangat jelas
terutama pada asma akut berat, walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti; selain bersifat sebagai anti radang, obat ini juga bekerja meningkatkan
kerja obat-obat perangsang adenoreseptor. Kortikosteroid topikal seperti
beklomethason dipropionat dan budesonide yang diberikan secara inhalasi
memberikan manfaat dalam mencegah EIA dan menurunkan hiperreaktivitas
bronkus serta mempunyai efek samping yang sangat kecil.
c. Disodium kromoglikat (DSCO)
Bekerja menghambat degranulasi dan penglepasan mediator oleh sel mast
terutama pada mukosa bronkus. Dengan demikian obat ini mencegah
bronkospasme, obat ini dapat digunakan sebagai pencegah timbulnya serangan
asma.
d. Antihistamin
Yang digunakan adalah ketotifen, anti histamin yang mempunyai efek
antianafilaktik dan menghambat kerja PAF (platelet aggregating factor). Obat ini
bermanfaat pada golongan asma ekstrinsik. Selain golongan obat-obat di atas
diberikan juga obat-obat penyerta atau pembantu, atas dasar indikasi. Obat-obat
penyerta itu antara lain adalah:
e. Antibiotika, diberikan bila ada tanda-tanda infeksi, yaitu adanya perubahan warna
sputum.
f. Mukolitik untuk mengencerkan sputum dapat diberikan mucohexin atau N-acetyl
cystein dan jenis lain.
g. Ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran sputum, yaitu gliseril guaiakolat
dan obat batuk hitam. Obat antihistamin lain umumnya tidak diberikan karena
dapat mengentalkan sekret, kecuali bila jelas terlihat tanda-tanda alergi. Obat
penenang seperti luminal juga tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat
pernapasan.
Terapi inhalasi
1. Terapi aerosol
Inhalasi bronkodilator sangat efektif pada serangan bronkospasme akut. Pemberian
dapat dengan nebulizer atau dengan spacer.
Departement | Emergency_Nursing
13

Bronkodilator inhalasi mempunyai efek terapi yang cepat dan efek samping yang
rendah. Perlu petunjuk yang jelas cara pemakaian aerosol agar tidak terjadi
kesalahan teknik.
2. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan pada penderita dalam serangan yang berat dan ada tanda-
tanda hipoksemia.
Rehabilitasi
1. Fisioterapi
Diberikan terutama untuk memobilisasi reak, bermanfaat pada penderita asma
kronik dengan produksi sputum yang kental.
Fisioterapi juga dapat berbentuk latihan pernapasan/senam pernapasan. Hal ini
selain mengefektifkan kerja otot-otot pernapasan juga memberikan rasa percaya
diri yang besar para
penderita.
2. Rehabilitasi psikis
Pendekatan psikis berguna untuk mengurangi stres dan menstabilkan emosi
penderita. Terutama pada penderita-penderita dengan emosi labil atau bila faktor
emosi sangat berperan dalam mencetuskan serangan.
Kesimpulan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma hendaklah secara terpadu dan melaksanakan pendekatan terapi
lain selain pemakaian obat-obatan. Bronkodialtor adalah obat yang utama pada
pengobatan asma. Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan hiperreaktivitas
bronkus. Pemberian obat-obatan secara inhalasi akan memberikan efek yang tepat serta
efek samping yang kecil.
Pengobatan Selama Serangan Status Asthmatikus:
a Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c Aminophilin bolus 5 mg/KgBB diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutkan
drip RL atau D5 maintenance (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/KgBB/24 jam.
d Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara subkutan.
e Dexamethasone 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f Antibiotik spektrum luas.

Departement | Emergency_Nursing
14

(Pedoman Penatalaksanaan Status Asthmatikus UPF Paru RSUD Dr. Soetomo


Surabaya).

I. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
Suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa jam sampai beberapa
hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim. Status
asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian, oleh karena itu :
- Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan
terhadap usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan.
- Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor yang
merangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu, infeksi
saluran napas, stress emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin, dan lain-lain)
2. Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal
3. Hipoksemia
Hipoksemia (atau Hypoxaemia) secara umum didefinisikan sebagai penurunan
tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-kadang khusus kurang dari yang,
tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup baik konsentrasi oksigen terlarut dan
oksigen yang terikat pada hemoglobin.
4. Pneumothoraks
b. Kolaps paru-paru / pneumothoraks (Pneumothorax) adalah penimbunan
udara atau
c. gas di dalam rongga pleura yang dapat mengakibatkan tekanan udara
meningkat dan
d. menurunnya kapasitas vital paru-paru sehingga akan menyebabkan
kegagalan pernafasan.
4. Emfisema
Empesema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran
secara abnormal saluran napas bagian distal broncus terminalis, disertai dengan
kerusakan alveoli yang irreversible.

Departement | Emergency_Nursing
15

J. Pengkajian

a Pengumpulan data.
1 Identitas klien.
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada
penyakit status asthmatikus. Alamat menggambarkan kondisi lingkungan
tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan
asthma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam keluarga
atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta
bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen.
Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan
Diagnosa medis.
2 Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan
keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti
dengan gejala-gejala lain yaitu : Wheeezing, Penggunaan otot bantu
pernapasan, kelelahan gangguan kesadaran, sianosis serta perubahan tekanan
darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
3 Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi
saluran napas atas, sakit tenggorokan,tonsillitis, sinusitis, polip hidung.
Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai
sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asthma.
4 Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang
riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota
keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma ini lebih ditentukan
oleh faktor genetik.
5 Riwayat spikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi
serangan asthma baik gangguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan
sekitar sampai lingkungan kerja.
Departement | Emergency_Nursing
16

6 Pola fungsi kesehatan


Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Gejala asthma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup
normal sehingga klien dengan asthma harus merubah gaya hidupnya sesuai
kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan asthma
Pola nutrisi dan metabolisme
Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi,
dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. (Hudak dan
Gallo;1997)
Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna
bentuk, konsentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam
melaksanakannya.
Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi
berapa lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan
yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien
Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga,
bekerja dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat menjadi faktor pencetus
terjadinya asthma yang disebut dengan Exercise Induced Asthma.
Pola hubungan dan peran
Gejala asthma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani
kehidupan secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan
hubungan dan peran klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat
ataupun lingkungan kerja.
Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya. Persepsi
yang salah dapat menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara
memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan
klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan
asthma meningkatkan kemungkinan serangan asthma yang berulang.
Departement | Emergency_Nursing
17

Pola sensori dan kognitif


Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep
diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami klien
sehingga kemungkinan terjadi serangan asthma yang berulang akan
semakin tinggi.
Pola reproduksi seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien.
Masalah ini akan menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya serangan asthma.
Pola penangulangan stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik
pencetus serangan asthma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres.
Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara
penanggulangan terhadap stresor.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang
Maha Esa serta pendekatan diri pada Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif dan adaptif.
7 Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan
suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan,
penggunaan otot-otot pembantu pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir
lengket dan posisi istirahat klien
Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi,
turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus,
ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut
di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam.
c Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat
Departement | Emergency_Nursing
18

trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun
hilang kesadaran.
d Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres
yang di rasakan klien.
e Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis, alergi dan
fungsi olfaktori.
Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan
mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara.
Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesaran tiroid
serta penggunaan otot-otot pernafasan.
Thorak
Inspeksi
Dada diinspeksi terutama postur bentuk dan kesimetrisan, adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis,
frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.
Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus.
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor.
Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih
dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan
Wheezing.
i) Kardiovaskuler.
Jantung di kaji ada atau tidaknya pembesaran jantung dan suara
jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya
pulsus paradoksus.
j) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, nyeri, serta tanda-tanda infeksi (Hudak
Departement | Emergency_Nursing
19

dan Gallo;1997)
k) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi
pada extremitas.
8 Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan spirometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma.
b) Laboratorium.
1 Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat
hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratori.
2 Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari adema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel
sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat
adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa
antibiotik.
(3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000
1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung
sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru
disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat.
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat
hipoksia atau hiperkapnea.
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya
proses patologik di paru atau komplikasi asthma seperti pneumothorak,
Departement | Emergency_Nursing
20

pneumomediastinum, atelektosis dan lain lain.


f Elektrokardiogram
Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus, ini
karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmonal dan beban jantung
kanan . Sinus takikardi sering terjadi pada asthma.
b. Analisa data
Data yang dikumpulkan harus dianalisa untuk menentukan masalah klien.
Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi pengelompokan data,
mengidentifikasi kesenjangan dan menentukan pola dari data yang terkumpul
serta membandingkan susunan atau kelompok data dengan standart nilai normal,
menginterprestasikan data dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil dari analisa
adalah pernyataan masalah keperawatan.

K. Diagnosa Keperawatan
a Bersihan jalan nafas inefektif yang berhubungan dengan sekresi kental
peningkatan produksi mukus dan bronkospasme
b Gangguan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan
kelelahan akibat kerja pernafasan.
c Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO 2, peningkatan
sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Tucker;1993).
d Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.

Departement | Emergency_Nursing
21

L. Rencana dan Intervensi Keperawatan

M. N. Diagnosa O. NOC P. NIC


No Keperawatan
Q. R. Bersihan jalan V. Setelah dilakukan tindakan keperawatan BI. Monitoring:
1 nafas Inefektif 1. Frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan
selama x24 jam jalan nafas tetap efektif
S. pernafasan.
T. Berhubungan W. Kriteria hasil: 2. Warna kulit (adanya sianosis)
dengan: 3. Auskultasi bunyi nafas
X. Y. Kriteria Z.
- Retensi sekret 4. Catat ada tidaknya suara nafas tambahan
N Sc
- Spasme jalan nafas 5. Evaluasi reflek batuk
- Mucus berlebihan BJ.
AA. AB. Batuk (-) AC. BK. Mandiri:
- Eksudat di alveoli
1 5 6. Tinggikan kepala tempat tidur atau posisikan
- Alergi (asma)
AD. AE. Tidak ada suara AF. klien semifowler
- Hyperplasia dinding
2 nafas tambahan (rhonki, 5 7. Lakukan penghisapan secret (suction) sesuai
bronchial
wheezing) kebutuhan, catat warna dan jumlah
- Infeksi
AG. AH. Ekspansi dada AI. secret/sputum
U.
3 maksimal (pernafasan 5 BL.
dalam) dan simetris BM. Pendidikan kesehatan:
AJ. AK. RR=12- AL. 1. Ajari cara batuk efektif
4 20x/menit 5 2. Ajari tehnik nafas dalam
AM. AN. Pola nafas regular AO. 3. Anjurkan klien untuk minum minuman
5 5 hangat
AP. AQ. Tidak mengalami AR. BN.
6 gangguan pemenuhan 5 BO. Kolaborasi:
istirahat 1. Berikan obat-obatan mukolitik sesuai
AS. AT.Sianosis (-) AU. indikasi
7 5 2. Berikan oksigen sesuai indikasi
AV. AW. Tidak mengalami AX.
8 kesulitan berbicara 5
AY. AZ. Dispnea (-) BA.
22

9 5
BB. BC. Sputum (-) BD.
1 5

BE. BF.Orthopnea (-) BG.


1 5

BH. Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
BP. BQ. Diagnosa BR. NOC BS. NIC
No Keperawatan
BT. BU. Pola BY. Setelah dilakukan tindakan keperawatan DJ.Monitoring :
2 Napas Inefektif selama x24 jam pola nafas menjadi efektif 1. Pola nafas, hitung dan catat frekuensi
BV. BZ. pernafasan
BW. Berhubu CA. Kriteria hasil: 2. Tanda-tanda distress pernafasan (kelelahan,
ngan dengan: dispnea, takipnea, bradipnea, retraksi otot
CB. CC. Kriteria CD.
- Kecemasan dada, sianosis)
N Sc
- Hiperventilasi DK.
- Sindrom hipoventilasi DL. Mandiri:
CE. CF.Tidak ada perubahan CG. 1. Atur posisi head up/semifowler 45 derajat
- Disfungsi
1 ekskursi dada 5 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas misal,
neuromuscular
CH. CI. Bradipnea (-) CJ. dengan penghisapan secret/sputum (suction)
- Kelelahan otot respirasi
2 5 sesuai kebutuhan
BX.
CK. CL. Ekspansi dada CM. DM.
3 maksimal (pernafasan 5 DN. Pendidikan kesehatan:
dalam) dan simetris 1. Ajari tehnik nafas dalam
CN. CO. RR=12- CP. DO.
4 20x/menit 5
23

CQ. CR. Pola nafas regular CS. DP.Kolaborasi:


5 5 1. Berikan oksigen sesuai indikasi
CT. CU. Inspirasi : CV. 2. Berikan obat-obatan sedasi/muscle
6 ekspirasi = 1 : 2 5 relaxan/bronkodilator sesuai indikasi
CW. CX. Pernafasan mulut CY.
7 (-) 5
CZ. DA. Orthopnea (-) DB.
8 5
DC. DD. Takipnea (-) DE.
9 5
DF. DG. Tidak ada DH.
1 penggunaan otot bantu 5
pernafasan
DI. Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
DQ.

DR.
24

DS. DAFTAR PUSTAKA


DT.

1 Arif Mansyoer(1999). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jilid I. Media


Acsulapius. FKUI. Jakarta.

2 Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

3 Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

4 Doenges, EM(2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC.

5 Heru Sundaru(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.

6 Hudack&gallo(1997). Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.

7 Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2


Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001.

8 Tucker, SM(1998). Standar Perawatan Pasien. Jakarta. EGC.

9 Yunus, Faisal. 1990. Penatalaksanaan Rasional Asma Bronkial. Bagian Pulmonologi,


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta

10 Ihksan. 2001. Pedoman Penatalaksanaan Status Asmatikus UPF Paru RSD Dr.
Soetomo Surabaya.
DU.
DV.
DW.
DX.
DY.
DZ.
EA.
EB.
EC.
ED.

Anda mungkin juga menyukai