Anda di halaman 1dari 4

30

BAB IV
ANALISA KASUS

Spondilitis tuberculosis merupakan bentuk tuberculosis ekstra paru


yang penting secara klinis karena gejala sisanya berupa deformitas vertebra dan
deficit neurologis oleh karena kompresi medulla spinalis. Pengenalan dini dan
terapi yang tepat menjadi penting untuk meminimalkan gejala sisanya.
Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih rentan
terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Apabila sudah ditemukan deformitas
berupa kifosis, maka pathogenesis TB spinal umumnya sudah berjalan selama
kurang lebih tiga sampai empat bulan.(4,6) Pasien pada laporan kasus ini seorang
laki-laki usia 36 tahun dengan keluhan sesak nafas disertai nyeri dan rasa tidak
nyaman pada dada,punggung, belakang leher, dan kelemahan kedua tungkai
disertai rasa kebas dan mati rasa yang hilang timbul pada kedua tungkai. dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan didapatkan diagnosis Tn Andri (36 tahun) dengan Dipsnea et causa
Spondilitis TB. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalahartikan sebagai neoplasma atau spondilitis piogenik lainnya, diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi
defromitas tulang belakang dan defisit neurologis.(6) Diagnosis Spondilitis TB
pada pasien ini didasarkan pada gejala klinis yang didapatkan melalui
anamnesis, riwayat pernah kontak dengan penderita TB sejak kecil disertai
nyeri dan rasa tidak nyaman pada tulang-tulang yang menopang berat tubuh
(punggung, pinggul dan tungkai) dan defisit neurologis berupa pernah
mengalami paraparese inferior selama 1 tahun pada tahun 2010 dan didukung
oleh foto rontgen thorax dengan interpretasi spondilitis TB thorachal. Menurut
penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra thoracal
dilaporkan pada 71% kasus spondilitis TB, diikuti dengan vertebra lumbal, dan
31

yang terakhir vertebra sevikal. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami
lesi di dua hingga empat corpus vertebra. Pada orang dewasa spondilitis TB
banyak terjadi pada vertebra thorachal bagian bawah dan lumbal bagian atas,
khususnya thoracal 12 dan lumbal 1.(6) Pada pasien ini spondylitis tuberculosis
terjadi pada vertebra thoracal dan lumbal. Nyeri punggung belakang adalah
keluhan paling awal, sering tidak spesifik dan membuat diagnosis yang dini
menjadi sulit. maka dari itu setiap pasien TB paru dengan keluhan mengidap
nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum terbukti
sebaliknya.(6) Pada pasien ini terdapat nyeri punggung yang menjalar ke tungkai
dan bersifat hilang timbul yang muncul sejak kecil sampai saat ini.
Kemungkinan nyeri tersebut terjadi akibat deformasi mekanik ganglion radiks
dorsalis dan saraf spinal, tanda-tanda deficit neurologis yang sudah dialami oleh
pasien ini kemungkinan menunjukkan bahwa pasien derajat potts disease pada
pasien ini sudah mencapai derajat III yang ditandai dengan terdapat kelemahan
anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita serta
terdapat hipestesia sampai anestesia.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bentuk deformitas berupa
perubahan kurvatura vertebra thoracalis sampai lumbalis sehingga
menimbulkan kesan kifosis(gibbus) dan pigeon chest yang dimulai sejak kecil
dan khas pada penderita spondilitis TB disertai abses dengan diameter 2 cm,
tinggi 1,5 cm pada punggung kiri yang tidak nyeri tekan dan kemungkinan
berisi pus perkijuan. Terjadinya perubahan kurvatura vertebrae tersebut
kemungkinan diakibatkan oleh adanya suatu lesi destruktif pada diskus
invertebralis yang menyebar secara hematogen melalui pleksus venosus batson
dari satu focus infeksi vertebra sehingga menyebabkan kolapsnya diskus
invertebralis dan kurvatura vertebrae menjadi condong kedepan. Pernafasan
yang cepat sehingga pasien merasa sesak dapat diakibatkan oleh hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau oleh
infiltrasi kuman TB, walaupun dari banyak kasus spondilitis TB pada umumnya
32

tidak disertai TB paru.(6,7) Cold abses pada pasien ini dapat menyebar
membentuk abses paravertebrae yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar
punggung berupa pembengkakan.(6) Terjadinya gangguan neurologis berupa
gangguan fungsi motorik, sensorik dan autonom menandakan bahwa penyakit
telah lanjut, meski masih dapat ditangani. Defisit neurologis terjadi pada 12-50
persen penderita berupa paraplegia, paraparesis, hiperestesia dan sindrom kauda
equina.(6,8) Jenis defisit neurologi pada pasien ini kemungkinan adalah gangguan
motoris tanpa disertai gangguan sensoris dan auotonom. Gangguan motoris
pada pasien ini berupa paraparesis inferior yang ditandai dengan pasien sulit
menggerakkan kedua tungkai dan terasa lemah, namun rangsang nyeri (+) dan
BAB-BAK (+) normal. Keadaan lanjut pada pasien ini juga ditandai dengan
adanya gibbus atau tonjolan tulang punggung belakang yang menonjol dan jelas
terlihat sehingga menimbulkan bentuk vertebrae kifosis.
Pemeriksaan penunjang rontgen yang menunjukkan spider sign (+)
yang menandakan terjadinya penyempitan jarak sela antar costae akibat erosi
dan iregularitas dari badan vertebrae. Pada pasien ini sudah menandakan
keadaan lanjut yang ditandai dengan kolapsnya vertebra kearah anterior
sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina
collapse dan bentuk tubuh menjadi kifosis disertai pigeon chest.
Pemeriksaan laboratoris spondilitis TB dapat menggunakan PCR
(Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. Lain
halnya dengan kultur yang memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini sangat
akurat dan cepat (24 jam). Namun, memerlukan biaya yang lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan lainnya.(6). Selain itu, diagnosa spondilitis TB yang
disertai dengan TB paru juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium.(7) Pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam) penting dalam
menegakkan diagnosis TB Paru. Namun PCR dan BTA pada pasien ini tidak
diperiksa karena dahak dari pasien tidak ada dan batuk sudah berkurang dan
pertimbangan biaya untuk pemeriksaan PCR.
33

Pasien diberikan terapi farmakologis dan non farmakologis.


Farmakologis diberikan IVFD RL gtt xx/m untuk menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit, inj.ceftriaxon 2x1g (iv) sebagai antibiotik, dan obat oral berupa
ambroxol 3x1 syrup sebagai pengencer dahak, metilprednisolone 3x4 tablet
untuk mengurangi respon inflamasi sistemik, paracetamol 3x1 kaplet
menurunkan demam dan mengurangi nyeri, neurodex 1x1 kaplet untuk nutrisi
saraf dan RHZE sebagai multidrug kemoterapi terhadap penyakit tuberkulosis.
British Medical Council menyarankan bahwa spondilitis TB torakolumbal
dengan lesi vertebra multiple, tingkat servikal, dan dengan deficit neurologis
harus diberkan kemoterapi OAT selama 9-12 bulan.(6,7) The Medical Research
Council Committee for Research for Tuberculosis in the Tropics menyatakan
bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan selama masa pengobatan.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga telah merumuskan regimen terapi
OAT untuk pasien TB, untuk kategori I, yaitu TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu , termasuk TB spinal, diberikan 2RHZE(HRZS) fase inisial
dilanjutkan 6 HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai
dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal
pengobatan, relaps, atau drop out diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan
5HRE fase lanjutan.(6,13) Terapi medika mentosa dikatakan gagal jika dalam 3-4
minggu, nyeri dan atau deficit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan
setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah
baring.(6,13)
Untuk terapi non-farmakologis diberikan edukasi (disarankan untuk
membatasi aktivitas, tirah baring), terapi gizi (diet tinggi protein dan tinggi
karbohidrat).

Anda mungkin juga menyukai