Anda di halaman 1dari 4

NILAI-NILAI POLITIK YANG TERKANDUNG DI

PERISTIWA KARBALLAH
Pada setiap bulan Muharram yang dijadikan momentum pergantian tahun baru Islam,
setidaknya terdapat dua peristiwa besar, yaitu Hijrah dan Asyura. Peristiwa pertama oleh
sebagian besar kaum muslimin disebut sebagai awal kebangkitan Islam dimana sebelumnya
dipahami berada di bawah bayang-bayang ketakutan, penindasan dan pengusiran. Hijrah
kemudian menjadi momentum untuk membangun masa depan Islam di bawah kepemimpinan
Rasulullah SAW. Peristiwa kedua adalah peristiwa yang tidak begitu banyak diketahui orang,
yakni hari dimana terbantainya kebenaran dan kemanusiaan, terbunuhnya pengawal risalah
Ilahiah Sayyidina Husain, yang kemudian disebut sebagai Hari Asyura atau Tragedi Karbala. Di
Karbala inilah pada tanggal 10 Muharram tahun 61 hijrah, terjadi sebuah tragedi kemanusiaan
yang paling mengenaskan dalam bentangan panjang sejarah umat manusia. Betapa tidak, di atas
bumi Karbala tersebut Sayyidina Husain putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang juga
sekaligus cucu Rasulullah SAW, dibantai secara keji bersama belasan orang keluarganya serta 72
orang sahabatnya oleh penguasa zalim, despotik dan otoriter, dibawah komando Yazid putra
Muawiyah.

Di Padang Karbala, selain menjadi saksi bisu tertumpahnya darah suci Ahli Bait (keluarga) Nabi
yang merupakan tambang risalah dan bahtera keselamatan, juga sekaligus sebagai tempat
ditancapkannya tonggak perjuangan dalam menentang segala bentuk penindasan demi
menegakkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Tragedi ini
sendiri berusaha untuk dikaburkan dan ditutup-tutupi dari sejarah perjuangan umat Islam,
khususnya bagi orang-orang yang tidak sanggup menerima kenyataan sejarah. Namun lewat
fakta sejarah ini pula, tersingkaplah kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran hakiki dan sejati,
dimana sebelumnya tampak samar-samar oleh perlakuan orang-orang yang mengejar kekuasaan
dengan mengatasnamakan agama, mengatasnamakan kebenaran dan mengatasnamakan Islam.
Dan pada konteks inilah Sayyidina Husain bangkit melawan segala bentuk tipu daya,
ketidakadilan serta penindasan.

Tragedi Karbala menjadi sebuah peristiwa sejarah yang besar dan agung, karena di dalamnya
terdapat beberapa faktor yang mendukung antara lain :

Pertama, pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya, yaitu Sayyidina Husain, keluarga dan
sahabatnya yang setia. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nila-nilai luhur seperti
kesucian, keiklasan, kesetiaan, pengorbanan dan senantiasa komitmen dan konsisten terhadap
misi perjuangan yang diembannya. Dalam ruang yang terbatas ini, rasanya tidak cukup untuk
menguraikan satu persatu dari pribadi-pribadi agung dalam peristiwa monumental tersebut.
Namun sebagai contoh, kita coba telusuri sosok Sayyidina Husain. Sayyidina Husain salah satu
dari Ahli Bait Rasulullah SAW yang disucikan, sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan
Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan noda dan dosa dari kamu wahai Ahlul
Bait serta mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS. Al-Ahzab : 33), maka Sayyidina Husain
memang menjadi sentral dari seluruh rangkaian episode perjuangan yang terjadi. Sebagai
seorang pemimpin, beliau telah menjalankan peran dengan sempurna yakni melindungi
kehormatan, harta dan darah mereka-mereka yang dipimpinnya. Itulah perjanjian yang mengikat
pemimpin dengan pengikutnya, sekaligus menjadi kontrak sosial yang pada gilirannya mengikat
pengikut untuk menaati dan mengikuti perintahnya. Jika kontrak ini dilanggar maka gugurlah
kewajiban menaatinya. Sebagai penggantinya, kita harus menentangnya, melawannya, dan
bahkan memeranginya. Karena pemimpin semacam ini oleh Sayyidina Husain dikategorikan
telah memutuskan janjinya. Sayyidina Husain melakukan perlawanan kepada penguasa zalim,
karena komitmennya untuk menaati Tuhan. Bukan perebutan kekuasaan yang mendorongnya
mengangkat bendera perjuangan, bukan kerakusan akan kekayaan yang menyebabkannya
menabuh genderang peperangan. Ia hanya ingin menjalankan perjanjiannya kepada Allah dan
Rasul-Nya.

Kedua, nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Inilah yang menjadi spirit
gerakan dan perjuangan di Karbala. Pesan tersebut terangkum dalam khutbah Imam Husain
ketika menegaskan misi sucinya : Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan
keangkuhan dan mencari perang. Sungguh aku keluar kesini untuk mencari ishlah demi
kepentingan umat datukku Muhammad SAW. Aku ingin menegakkan yang maruf dan mencegah
yang mungkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku Ali al-
Murthada

Ketiga, Kesyahidan atau syahadah. Hal ini sebagai konsekuensi dari perjuangan yang menjadi
pilihan kesadaran. Karena itu, ketika tekad sucinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan tersebut diancam oleh musuh-musuh Allah, Sayyidina Husain menjawab dengan
kalimat terkenalnya yang kemudian menggerakkan seluruh semangat pejuang Islam yang datang
setelahnya. In kana dinu Muhammad lam yastaqim illa bi qatly, faya suyufu khudzini
Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa tegak kecuali dengan merenggut nyawaku, maka aku
rela bersimbah darah demi tegaknya agama Muhammad SAW.

Ketika kita mencoba merefleksikan peristiwa asyura tersebut dalam konteks sekarang ini,
sebagaimana yang sementara berlangsung dalam kehidupan sosial politik kekinian, maka
muncul pertanyaan-pertanyaan serta rasa skeptis terhadap realitas yang terjadi. Hal ini
disebabkan beberapa hal antara lain :

Pertama, sulitnya saat ini menemukan pemimpin atau tokoh yang mempunyai kepribadian
luhur, integritas, kepekaan sosial, keberpihakan terhadap masyarakat atau orang yang
dipimpinnya. Fenomena tersebut semakin diperparah oleh gerakan perubahan yang terjadi
dengan tanpa arah dan orientasi yang jelas. Pergeseran kekuasaan dari orde baru ke orde
reformasi di tahun 1998, justru menyisakan problem baru dengan bermunculannya figur-figur
pahlawan kesiangan, berjiwa opurtunistik, bermental korup serta gila kekuasaan. Hal ini
menyebabkan gagalnya agenda reformasi dan perjuangan dalam melakukan perubahan tatanan
menuju ke arah yang lebih baik. Kegagalan seperti ini akan terus kita alami, manakala estafet
kepemimpinan selalu diserahkan kepada orang-orang yang tidak tercerahi baik secara intelektual
maupun secara spiritual. Karena itulah Sayyidina Husain mengajarkan pada kita bahwa sebelum
menyatakan kepatuhan pada perjanjian kita dengan pemimpin, kita harus mengetahui dahulu
kualitas pemimpin tersebut.
Kedua, Pola kepemimpinan tidak berlandaskan pada nilai-nilai tetapi pada kekuasaan. Oleh
sebab itu sama sekali tidak memiliki spirit perjuangan. Hal ini bisa dilihat dari pemahamannya
yang dangkal tentang nilai-nilai universalitas dan juga aspek moralitas. Kalaupun masalah nilai-
nilai tersebut diperbincangkan itu hanya sekadar lip service belaka, dan tidak berusaha untuk
diimplementasikan dalam realitas. Karena orientasi dan sasarannya adalah kekuasaan, maka
tidak mengherankan kalau segala cara ditempuh demi pencapaian target yang didambakan.
Sebagai contoh belakangan ini adalah kasus hiruk pikuknya mafia hukum, money politic dalam
berbagai penyelenggaraan pemilu di berbagai daerah, serta sejumlah kebohongan dan janji-janji
yang tak pernah ditepati dari para pemimpin dan pejabat negeri ini di hampir semua level, baik
lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Ketiga, tidak mempunyai jiwa patriotisme dan pengorbanan, oleh karenanya mereka senantiasa
berusaha mempertahankan status quo. Akibatnya mereka itu kadangkala tidak sanggup
menerima kenyataan bila suatu saat harus digantikan, diturunkan apalagi digulingkan. Lihatlah
betapa pemimpin negeri ini pada setiap tingkatan kekuasaan, yang senantiasa berusaha bertahan
pada singgasana kekuasaan, tanpa berpikir sedikit pun untuk melakukan proses transformasi dan
alih generasi sesuai dengan tuntutan zaman dalam perubahan tatanan yang sedang berlangsung.
Kata Ali bin Abi Thalib k.w. hasbul mar-u min irfanih, ilmuhu bizamanih, cukuplah sebagai
tanda kearifan seseorang, yaitu pengetahuannya mengenai tanda-tanda zamannya.

Di Karbala Sayyidina Husain membawa pesan Islam Muhammadi, yakni kemurnian Islam
Muhammad SAW. Beliau menentang Islam Umawi, yakni Islam Bani Umayyah yang
mencampuradukkan antara haq dan batil. Bagi Al-Husain, agama Islam tidak boleh dijadikan
alat untuk kepentingan kalangan elit atau kelas tertentu. Pesan suci Nabi tidak boleh dipelintir
untuk kepentingan nafsu-nafsu setan. Ajaran Allah tidak boleh dijual dengan harga yang murah.
Dalam logika Al-Husain, kita harus berani mengatakan tidak untuk setiap kebatilan, apalagi
kebatilan yang berimplikasi luas terhadap kehidupan kemanusiaan. Tapi bagaimana? Awalnya
harus dengan membangkitkan semangat misi revolusi Ilahiah yang ada dalam hati dan akal
pikiran kita. Pahlawan agung kita Husain bin Ali boleh hilang. Namun spiritnya jangan pernah
lenyap dari jiwa kita. Biarkan ia menyala dan berkobar-kobar membakar seluruh eksistensi kita,
untuk kemudian memberikan nyawa kepada jutaan manusia lain yang tertindas. Itulah sebuah
kemenangan yang maha dahsyat yang terus menuai hasilnya dari generasi ke generasi, dari abad
ke abad. Dan kemenangan itu pula yang melestarikan perjalanan Islam Muhammadi, Islam yang
dibangun di atas pembelaan hak-hak kaum tertindas dengan darah dan air mata.

Revolusi Imam Husain di Padang Karbala yang meskipun terjadi kurang lebih empat belas abad
yang telah lalu, tampaknya masih memiliki relevansi dalam konteks kehidupan kita sekarang ini,
terutama berkenaan dengan kandungan nilai-nilai yang terdapat di dalam peristiwa tersebut.
Nilai-nilai universal seperti kesucian, keluhuran, keadilan dan kemanusiaan memang sangat kita
butuhkan dalam membangun bangsa ini yang sementara mengalami keterpurukan di berbagai
bidang kehidupan. Karena itu, sudah semestinya Tragedi Karbala dengan segala substansinya,
berusaha untuk kita jadikan pelajaran (ibrah) untuk kemudian ditarik masuk dalam realitas sosial
kita dan selanjutnya diterjemahkan dan diartikulasikan dalam berbagai macam aspek serta
dimensi kehidupan yang ada. Demikianlah makna dari ungkapan : Setiap Hari adalah Asyura,
Setiap Tempat adalah Karbala dan Setiap Waktu adalah Muharram.
TUGAS TEORI PERBANDINGAN POLITIK

DISUSUN OLEH:

NAMA : MUSTAFA HARYANTO

NPM : 15-831-033

MATA KULIAH : TEORI PERBANDINGAN POLITIK

JURUSAN : HUBUNGAN INTERNASIONAL

Anda mungkin juga menyukai