Anda di halaman 1dari 6

Kejadian 37:1-11

Yakub menyayang Yusuf lebih daripada anak-anaknya yang lain. Sikap Yakub tersebut
seperti menggemakan pengalaman pribadinya, yaitu dia disayang oleh Ribka ibunya,
sedangkan Esau kakaknya disayang oleh Ishak. Yakub dibesarkan dalam keluarga yang
menganakemaskan salah satu anggota keluarga, sehingga dia juga menyayang Yusuf, anaknya
yang bungsu secara menyolok. Di hadapan anak-anaknya, Yakub memberi Yusuf sebuah
jubah yang maha indah. Tindakan Yakub tersebut menimbulkan reaksi berupa kemarahan dan
kebencian kepada Yusuf. Mereka iri-hati terhadap Yusuf. Apalagi Yusuf beberapa kali
menceritakan mimpi-mimpinya bahwa saudara-saudara, ayah dan ibunya akan berlutut di
hadapannya. Karena itu saat saudara-saudara Yusuf memiliki kesempatan, mereka segera
menceburkan dia ke sumur tua lalu menjualnya sebagai budak di Mesir dengan harga 20
keping perak.

Dalam renungan kita hari ini, apa kesan pertama teman-teman terhadap kisah Yusuf ini?
Atau paling tidak, mari kita mencoba berada di dalam posisi saudara-saudaranya Yusuf, kira-
kira apa kesan yang mereka dapatkan mengenai saudara kecil mereka, Yusuf?

Faktanya:
- Yusuf dalam ayatnya yang ke dua dikatakan bahwa ia menyampaikan kepada ayah mereka
mengenai kejahatan-kejahatan kakak-kakaknya. Bagaimana perasaan kakak-kakaknya itu?
Mungkin di saat itu kakak-kakak Yusuf mulai menilai Yusuf sebagai seorang yang paling rese
sedunia, sok ikut campur ... tukang ngadu. Cepu kata anak jaman sekarang mah.
- Satu lagi, ayah mereka seakan-akan mengistimewakan Yusuf. Meng-anak-emaskan Yusuf
dibandingkan dengan saudara-saudara Yusuf yang lain. Dalam ayat 3 dikatakan begini ...
Mungkin ketika kakak-kakak Yusuf melihat Yusuf mengenakan jubah yang maha indah itu
mereka akan menilai Yusuf sebagai penjilat bapaknya ... anak yang selalu baik-baikin
bapak untuk mendapatkan sesuatu atau karena ada maunya (penyakit lama buat kakak-kakak
yang punya adek di rumah kan begitu ya). Atau mungkin juga di saat mereka berkumpul dan
Yusuf mengenakan jubahnya yang indah itu, kakak-kakaknya akan menilai Yusuf sebagai
orang yang ... sombong, manja, sok, tukang pamer ... dll.
- Yang terakhir adalah ... Yusuf bermimpi dan kemudian menceritakan mimpinya itu kepada
kakak-kakaknya dan juga kepada ayahnya ... ayat 5-10 dikatakan begitu. Udah sombong, sok,
manja, tukang ngadu .. sekarang tambah satu lagi ...tukang tidur, pemalas .. makanya cuma
bisa mimpi yang kurang kerjaan aja, mana mungkin kami akan melakukan apa yang di
dalam mimpinya si tukang tidur itu ...

Ternyata, dengan semua hal itu saudara-saudara Yusuf mendapatkan kesan yang negatif
dan buruk terhadap Yusuf, adik kecil mereka itu. Sehingga dikatakan dalam ayat 11 bahwa
mereka menjadi iri hatinya. Benih kebencian mulai muncul diantara mereka terhadap pribadi
Yusuf. Dan mulai saat itu, saudara-saudara Yusuf berusaha untuk menjatuhkan Yusuf .. dan
yang lebih parah lagi adalah berusaha untuk menyingkirkan Yusuf dari tengah keluarga
mereka .... bahkan kalau perlu, di bunuh aja sekalian. Apa yang terjadi? Kakak-kakak Yusuf
tidak berusaha untuk memahami adik kecil mereka itu sebagai mana adanya diri Yusuf
sendiri. Kesan yang mereka dapatkan dari Yusuf adalah kesan yang negatif, sehingga mereka
juga berpikir jelek selalu terhadap setiap perilaku dan tindakan Yusuf.
Jika tadi kita sudah mencoba untuk melihat kisah ini dari sudut pandang kakak-kakak
Yusuf, mari kita mencoba kali ini untuk melihat kisah ini dari sudut pandang Yusuf. Apakah
mungkin dalam hal ini Yusuf menyampaikan segala sesuatu yang ia alami, ia rasakan dan ia
lihat itu dengan jujur apa adanya?
- Ketika Yusuf menyampaikan kepada ayah mereka tentang kejahatan kakak-kakaknya itu, ya
memang karena mereka begitu ... nakal, jahat.
- Yusuf juga menceritakan kepada kakak-kakaknya dan ayahnya tentang mimpi-mimpinya
itu, juga dengan jujur apa adanya. Ia sedang curhat tentang mimpi-mimpinya.

Yang tidak jelas adalah, apakah Yusuf memahami situasi dan kondisi yang ada? Dalam
hal ini, apakah Yusuf memahami apa yang akan menjadi pikiran dan perasaan kakak-
kakaknya ketika Yusuf mengadukan kejahatan mereka itu kepada ayah mereka; Atau apakah
Yusuf memang sengaja hendak pamer dengan jubah mahaindahnya itu; Atau bahkan apakah
Yusuf sadar bahwa menceritakan mimpi-mimpinya itu justru semakin memperburuk suasana
di rumah?
Satu hal yang mesti kita ingat lagi adalah Yusuf pada waktu itu masih muda ... Yusuf
masih berumur 17 tahun (ayat 2)... Yusuf masih muda dan belum bisa berpikir panjang.
Sampai-sampai penulis Alkitab menekankan dan mengingatkan kepada kita bahwa Yusuf
pada waktu itu, ia masih muda.
Jadi, menurut saya ... yang paling dekat penafsirannya adalah Yusuf sebenarnya hanya
ingin menyampaikan segala sesuatu yang ia alami, ia rasakan dan ia lihat itu dengan jujur dan
apa adanya. Tak ada niat untuk melukai hati, sombong, atau bahkan menjilat bapaknya.
banyak orang yang mungkin seringkali hanya menilai seseorang hanya berdasarkan
subjektivitas kita saja, bukan penilaian yang objektif. Karena mereka hanya menilai
seseorang dari sudut pandang mereka, kesan mereka ... tetapi seringkali tidak berusaha
mencoba untuk memahami orang lain itu dari sudut pandangnya sendiri ... memahami orang
lain sebagaimana adanya dirinya sendiri itu. Banyak orang yang terlalu cepat untuk berpikir
negatif tentang sikap perilaku dan tindakan orang lain.

Sikap iri-hati yang menggerakkan saudara-saudara Yusuf untuk mencelakai dia. Yusuf
hampir saja dibunuh. Kakaknya Ruben yang berhasil mencegah saudara-saudaranya
membunuh Yusuf. Namun mereka sepakat untuk menyingkirkan Yusuf dari kehidupan
bersama. Dengan menyingkirkan Yusuf, saudara-saudara Yusuf berpikir bahwa ayahnya akan
lebih memerhatikan dan menyayang mereka. Sayangnya Yakub mengalami kesedihan yang
begitu dalam dan terus berkabung meratapi kepergian Yusuf. Iri-hati menghancurkan
hubungan persaudaraan dan persahabatan, yaitu menimbulkan kepedihan yang begitu dalam,
permusuhan, upaya menganiaya dan membunuh. Makna iri-hati adalah nafsu yang tak
terpuaskan sebab lahir dari tindakan mengingini milik orang lain, sehingga mencari berbagai
macam cara untuk merebut dan mengambil milik orang lain tersebut.
Sebaliknya dengan mengukir prestasi dan berkarya untuk kesejahteraan sesama, kita
tidak akan memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk iri-hati. Sebab sumber dari iri-hati
adalah ketidakpuasan diri, yaitu ego yang rapuh dan tidak aman. Karena itu mengembangkan
sikap iri-hati berarti kita sedang mengembangkan kepribadian yang rapuh dan semakin tidak
aman. Amsal 14:30 berkata: Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati
membusukkan tulang. Sikap iri-hati dapat diatasi bilamana kita mengembangkan sikap
bersyukur (grateful) dan perasaan puas (contentment), sehingga mampu menghargai setiap
berkat Tuhan yang kita alami. Dengan menghargai berkat Tuhan, kita dimampukan menjadi
diri sendiri secara otentik. Kelebihan orang lain mendorong kita untuk belajar lebih giat
mengembangkan setiap karunia dan talenta, dan kekurangan orang lain mendorong kita untuk
membantu dan memperlengkapi dia. Sebaliknya orang yang iri-hati tidak dapat melihat
kelebihan orang lain sehingga memusuhi, dan merendahkan orang yang dianggap memiliki
kekurangan.

Mengawali renungan kita hari ini, saya membawa satu gambar ini: .... Saya mau
nanya, apa yang teman-teman lihat di sana?

Mungkin banyak di antara kita yang langsung menjawab, itu kan gambar sebuah
segitiga hitam. Yups, memang benar bahwa ini adalah sebuah gambar yang
berbentuk segitiga berwarna hitam. Akan tetapi saya ingin bertanya sekali lagi,
Adakah di antara kita yang ketika melihat gambar ini untuk kali pertamanya juga
memerhatikan bahwa ada kertas putih yang menjadi media bagi gambar segitiga
berwarna hitam ini? Saya hanya menebak saja bahwa kebanyakan dari kita
mungkin tidak akan langsung melihat pada kertas putihnya, melainkan dengan
segera langsung melihat saja pada gambar segitiga berwana hitam yang ada di
media kertas putih ini.

Yang saya mau katakan dengan permainan kecil tadi adalah seringkali ada banyak
orang melihat sesuatu itu tidak secara utuh, tidak dengan sebagaimana adanya
dirinya secara menyeluruh. Ada banyak orang yang amat lebih mudah menilai
sesuatu, termasuk orang lain di sini, hanya berdasarkan kesan pertama yang kita
dapatkan dan kita temukan paling awal. Kesan pertama begitu menggoda,
selanjutnya terserah Anda ... begitu kata iklan parfum tempo dulu. Masalahnya di
sini, iya kalau kesan pertama yang kita dapatkan itu adalah kesan yang baik ... gak
akan ada masalah ... Tetapi bagaimana jika kesan pertama yang kita dapatkan
ketika kita melihat diri orang lain itu adalah kesan yang buruk, negatif?

Hal itulah yang sebenarnya bisa membuat kita semua bisa memiliki penghakiman
secara menyeluruh (padahal hanya melihat kesan pertamanya saja) terhadap
sesuatu. Sekali lagi, iya kalau bagus kesan pertamanya, kalau buruk? Ujung-
ujungnya kita bisa terperangkap dalam sebuah pengetahuan bahwa sesuatu atau
bahkan orang lain itu buruk, negatif. Lebih repot lagi kalau ditambah dengan obrolan
tentang kesan pertama yang buruk itu ... makin parah. Kenapa? Sebab pendapat
kita yang berdasarkan kesan pertama itu, belum tentu benar ...

Dalam pembacaan Alkitab kita hari ini, apa kesan pertama bapak, ibu dan teman-
teman muda terhadap kisah Yusuf ini? Apa kesan pertama kita terhadap Yusuf? Atau
paling tidak, mari kita mencoba berada di dalam posisi saudara-saudaranya Yusuf,
kira-kira apa kesan yang mereka dapatkan mengenai saudara kecil mereka, Yusuf?

Faktanya:
- Yusuf dalam ayatnya yang ke dua dikatakan bahwa ia menyampaikan kepada ayah
mereka mengenai kejahatan-kejahatan kakak-kakaknya. Bagaimana perasaan
kakak-kakaknya itu? Mungkin di saat itu kakak-kakak Yusuf mulai menilai Yusuf
sebagai seorang yang paling rese sedunia, sok ikut campur ... tukang
ngadu. Cepu kata anak jaman sekarang mah.
- Satu lagi, ayah mereka seakan-akan mengistimewakan Yusuf. Meng-anak-
emaskan Yusuf dibandingkan dengan saudara-saudara Yusuf yang lain. Dalam ayat
3 dikatakan begini ... Mungkin ketika kakak-kakak Yusuf melihat Yusuf
mengenakan jubah yang maha indah itu mereka akan menilai Yusuf sebagai
penjilat bapaknya ... anak yang selalu baik-baikin bapak untuk mendapatkan
sesuatu atau karena ada maunya (penyakit lama buat kakak-kakak yang punya adek
di rumah kan begitu ya). Atau mungkin juga di saat mereka berkumpul dan Yusuf
mengenakan jubahnya yang indah itu, kakak-kakaknya akan menilai Yusuf sebagai
orang yang ... sombong, manja, sok, tukang pamer ... dll.
- Yang terakhir adalah ... Yusuf bermimpi dan kemudian menceritakan mimpinya itu
kepada kakak-kakaknya dan juga kepada ayahnya ... ayat 5-10 dikatakan begitu.
Udah sombong, sok, manja, tukang ngadu .. sekarang tambah satu lagi ...tukang
tidur, pemalas .. makanya cuma bisa mimpi yang kurang kerjaan aja, mana mungkin
kami akan melakukan apa yang di dalam mimpinya si tukang tidur itu ...

Ternyata, dengan semua hal itu saudara-saudara Yusuf mendapatkan kesan yang
negatif dan buruk terhadap Yusuf, adik kecil mereka itu. Sehingga dikatakan dalam
ayat 11 bahwa mereka menjadi iri hatinya. Benih kebencian mulai muncul diantara
mereka terhadap pribadi Yusuf. Dan mulai saat itu, saudara-saudara Yusuf berusaha
untuk menjatuhkan Yusuf .. dan yang lebih parah lagi adalah berusaha untuk
menyingkirkan Yusuf dari tengah keluarga mereka .... bahkan kalau perlu, di bunuh
aja sekalian.

Apa yang terjadi? Kakak-kakak Yusuf tidak berusaha untuk memahami adik kecil
mereka itu sebagai mana adanya diri Yusuf sendiri. Kesan yang mereka dapatkan
dari Yusuf adalah kesan yang negatif, sehingga mereka juga berpikir jelek selalu
terhadap setiap perilaku dan tindakan Yusuf.

Jika tadi kita sudah mencoba untuk melihat kisah ini dari sudut pandang kakak-
kakak Yusuf, mari kita mencoba kali ini untuk melihat kisah ini dari sudut pandang
Yusuf. Apakah mungkin dalam hal ini Yusuf menyampaikan segala sesuatu yang ia
alami, ia rasakan dan ia lihat itu dengan jujur apa adanya?

- Ketika Yusuf menyampaikan kepada ayah mereka tentang kejahatan kakak-


kakaknya itu, ya memang karena mereka begitu ... nakal, jahat.
- Yusuf juga menceritakan kepada kakak-kakaknya dan ayahnya tentang mimpi-
mimpinya itu, juga dengan jujur apa adanya. Ia sedang curhat tentang mimpi-
mimpinya.

Yang tidak jelas adalah, apakah Yusuf memahami situasi dan kondisi yang ada?
Dalam hal ini, apakah Yusuf memahami apa yang akan menjadi pikiran dan
perasaan kakak-kakaknya ketika Yusuf mengadukan kejahatan mereka itu kepada
ayah mereka; Atau apakah Yusuf memang sengaja hendak pamer dengan jubah
mahaindahnya itu; Atau bahkan apakah Yusuf sadar bahwa menceritakan mimpi-
mimpinya itu justru semakin memperburuk suasana di rumah?

Satu hal yang mesti kita ingat lagi adalah Yusuf pada waktu itu masih muda ... Yusuf
masih berumur 17 tahun (ayat 2)... Yusuf masih muda dan belum bisa berpikir
panjang. Sampai-sampai penulis Alkitab menekankan dan mengingatkan kepada
kita bahwa Yusuf pada waktu itu, ia masih muda.

Jadi, ini menurut saya ... yang paling dekat penafsirannya adalah Yusuf sebenarnya
hanya ingin menyampaikan segala sesuatu yang ia alami, ia rasakan dan ia lihat itu
dengan jujur dan apa adanya. Tak ada niat untuk melukai hati, sombong, atau
bahkan menjilat bapaknya.

Cerita tentang pengalaman Yusuf beserta ayah dan kakak-kakaknya dalam perikop
kita saat ini sebenarnya sangat dekat atau bahkan juga sangat mungkin di alami
olleh kita dalam membina dan membangun kehidupan bersama kita, entah di tengah
keluarga kita atau kita sebagai keluarga jemaat Tuhan di gereja.

banyak orang yang mungkin seringkali hanya menilai seseorang hanya berdasarkan
subjektivitas kita saja, bukan penilaian yang objektif. Karena mereka hanya menilai
seseorang dari sudut pandang mereka, kesan mereka ... tetapi seringkali tidak
berusaha mencoba untuk memahami orang lain itu dari sudut pandangnya sendiri ...
memahami orang lain sebagaimana adanya dirinya sendiri itu. Banyak orang yang
terlalu cepat untuk berpikir negatif tentang sikap perilaku dan tindakan orang lain.
Setiap kita adalah pribadi yang tidak sempurna ...
Sehitam-hitamnya lingkaran ini pasti ada titik putihnya.
Dan seputih-putihnya lingkaran ini pasti ada titik hitamnya.
Di dalam diri kita itu, seburuk-buruknya penilaian kita terhadap orang lain ... pasti
ada nilai-nilai baik yang dimiliki dalam diri orang itu. Dan sebaliknya, sebaik-baiknya
seseorang ... kalau mau dicari-cari mah ada aja pasti sesuatu yang tidak baik dalam
dirinya itu.

Kita dipanggil oleh Tuhan dalam persekutuan umat Tuhan di tempat ini bukan karena
kita semua adalah orang-orang yang sempurna. Justru karena kita ini tidak
sempurna maka Tuhan memanggil kita untuk menjadi sempurna di dalam iman
percaya kepada Kristus. Dengan cara apa?

Itu semua hanya dapat kita lakukan ketika kita mulai mengembangkan sikap dan
pemikiran yang baik, yang positif terhadap keberadaan diri orang lain. Di dalam
ketidaksempurnaan diri kita ini, kita dipanggil untuk saling melayani ... saling
memahami .. saling mengasihi ... untuk saling menguatkan dan mengingatkan ...
agar kita menjadi sempurna di dalam Kristus Tuhan yang telah memanggil kita
semua untuk bersekutu menjadi satu keluarga Tuhan di tempat ini.

Anda mungkin juga menyukai