Anda di halaman 1dari 7

Tidak sedikit yang berasumsi bahwa UUD 1945 mempunyai satu

kesempatan untuk diadakannya amandemen. Adalah Dewan Perwakilan


Daerah (DPD) yang menjadi point utama pembahasannya. Tidak hanya
dari DPD sendiri yang mengusulkan untuk dilakukannya penguatan
wewenang maupun peran terhadap DPD. Melainkan para sarjana,
akademisi, juga lembaga survei yang ikut simpati dengan menuliskan
gagasan untuk menyetujui akan hal tersebut.

Indonesia dengan sistem bikameralnya sedang berada dalam masa


proses menuju demokrasi yang didambakan. Seperti yang kita tahu, DPD
adalah sebuah produk amandemen UUD 1945. DPD masih berumur
belasan tahun, tepatnya 15 tahun. 15 tahun adalah waktu yang terlalu
cepat untuk sebuah proses. Bisa kita ingat kembali tanggal 16 oktober
1945 saat Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X
dalam sidang II KNP dijakarta dengan putusan mengalihkan KNP sebagai
dewan penasehat pemerintah menjadi lembaga legislatif (DPR). Disaat
itulah DPR lahir dan berproses hingga sekarang. nyatanya hingga
mendekati ulangtahunnya yang ke-72 nanti, masih terjadi masalah kinerja
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masih banyak orang yang
belum dengan sukarela menganggukkan kepala pertanda setuju terhadap
akuntabilitas DPR. Point-nya DPD membutuhkan waktu lebih, bukan hanya
sekedar 15 tahun.

Lingkaran Survei Indonesua (LSI) Denny JA merekam dari waktu ke


waktu tingkat kepercayaan terhadap DPR. Pada Januari 2010, tingkat
kepercayaan terhadap DPR sebesar 64.70 %. Pada Desember 2010,
tingkat kepercayaan terhadap DPR sebesar 62.30 %. Pada Oktober 2012,
kepercayaan terhadap DPR sebesar 57.40 %. Dan pada Desember 2015,
hanya sebesar 40 % yang percaya terhadap DPR.

Terlihat jelas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR


menurun setiap tahunnya. bahkan DPR menempati urutan terendah
tingkat kepercayaan publik. kabar buruknya adalah DPD berada diatas,
menempati posisi kedua urutan terendah tingkat kepercayaan publik pada
tahun 2015. Terdapat pekerjaan rumah terhadap kedua lembaga legislatif
ini. Tidak hanya itu, belum lama sejumlah 10 anggota DPD menggugat
Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib, yang salah
satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan Pimpinan DPD dari lima
tahun menjadi 2,5 tahun ke Mahkamah Agung (MA) dan alhasil
permohonan ditolak.

Dikutup dari detik.com berita dengan judul Pakar Hukum: Niat


DPD Berebut Kekuasaan, Putusan MA Tak Didengar. hal pertama
yang terpikir ketika membaca judul tersebut adalah stigma terhadap DPD
dan kenyataannya-pun tidak jauh berbeda dengan stigma tersebut. akhir
cerita, DPD mengisi waktu dengan kesia-siaan karena membahas
permasalahan salah ketik oleh MA, bahkan perdebatan dan bukan
membahas fungsi dan wewenang yang telah diamanatkan.

Di sisi ini terlihat bahwa DPD belumlah melakukan kerja melampau


batas kemampuannya dan dengan tak gentar meminta agar UUD 1945
harus diamandemen. Dua buah hal yang kontradiktif. Nyatanya tak hanya
DPR, lembaga legislatif (yang katanya) non-partai, DPD-pun juga belum
disayang rakyat.

Tidak hanya DPD yang menghendaki adanya Amandemen. Lembaga


Survei Indonesia juga menyetuji akan hal itu dengan menyatakan publik
umumnya (73%) mendukung gagasan dilakukannya perubahan atau
amandemen UUD yang berkaitan dengan DPD agar DPD punya wewenang
legislatif yang sejajar dengan DPR yang berkaitan dengan kepentingan
daerah.

Juga Efriza dan Rozi (2010), menjelaskan bahwa Parlemen Indonesia


masuk dalam kategori mediumstrength-bicameralism, yaitu satu dari 2
elemen yang hilang dalam definisi Lipjhart.

Kemudian erfriza dan rozi menghendaki adanya amandemen UUD


1945 pasal 22 D agar DPD mempunai fungsi veto (menolak ), atau
lebihnya mempunyai kewenangan yang sama antara DPD dengan DPR,
agar sistem bikameral yang diterapkan menjadi stong bicameralism
dengan kamar yang simetris. Namun kemudian akan timbul pertanyaan
baru yaitu perbedaan antara kedua lembaga legislatif (selain background
politik dan jumlah) jika kewenangannya sama.

Hal yang disampaikan oleh para sarjana seperti Efriza dan


Syafuan Rozi, juga lembaga survei yang mengatasnamakan masyarakat,
juga akademisi dengan hipotesa dalam paper-nya adalah baik adanya.
Tidak ada yang salah dengan gagasan amandemen UUD 1945. Muaranya
adalah menambah kekuatan DPD untuk memperbaiki keadaan.

Menurut saya pribadi ada beberapa hal yang terlewat sebelum MK


menjatuhkan putusan amandemen. Yang dibutuhkan saat ini adalah
memaksimalkan sisem bikameral yang ada. DPR maupun DPD belum
mencapai batas maksimalnya. Apabila nanti kinerja lembaga legislatif
mencapai batas maksimal dan penuh apresiasi oleh masyarakat dan
dalam waktu yang sama memunculkan ketimpangan peran terhadap DPD,
barulah penambahan wewenang DPD perlu ditinjak lanjuti, bahkan
amandemen UUD 1945.

Secara konseptual terdapat dua hal yang menjadi pekerjaan rumah


DPD. Adalah Penguatan kapasitas individual dan Konvensi
ketatanegaraan.
Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Pakar hukum tata negara Refli
Harun menilai penguatan kinerja DPD bisa melalui individual. Yaitu, harus
mampu merespon berbagai peristiwa yang ada khususnya di daerah
seperti kasus freeport, pertambangan, dan lain-lain terkait kekayaan alam
di daerah, sehingga bisa menjadi news maker (pembuat berita).

Terdapat hal yang menjadi prioritas disamping masalah


kelembagaan, yaitu kapasitas individual. sudah selaiknya sekarang
(bahkan dari awal) DPD kembali ke Khitah-nya. Pengawasan dan keaktifan
adalah hal yang perlu diagungkan dalam proses pendidikan politik saaat
ini, tak terkecuali DPD. Seperti yang telah diamanatkan UUD 1945,
terdapat tiga point tugas untuuk DPD yaitu fungsi legislasi, pengawasan,
dan penganggaran.

Kendati DPD tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan


Rancangan Undang Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU), bukan
sesuatu yang mustahil ajuan RUU di acc oleh DPR. Satu hal yang perlu
dicatat adalah sejauh mana RUU dari DPD pantas diperjuangkan, serta
merta objektif, fungsional dan mempertahankannya hingga akhir prosedur
(UU). Tidak ada alasan DPR menolak ajuan dari DPD sepanjang memang
benar-benar benar. Begitu juga dengan pengawasan juga
penganggaran.

Kesimpulan yang bisa diambil adalah penguatan sumberdaya


manusia di dalam DPD, bukan DPD yang ecek ecek entah maniak
kekuasaan juga jabatan. Jumlah dan eksistensi bukanlah hal yang pantas
dibanding-bandingkan, tetapi kualitaslah yang mampu menjawabnya.

Selanjutnya, selain amandemen terdapat alternatif lain yaitu


konvensi ketatanegaraan. Seperti yang telah dikatakan Efriza dan Rosi
(508 : 2010) contoh konvensi ketatanegaraan adalah pidato kenegaraan
presiden terhadap MPR setiap tanggal 16 agustus. Efriza dan rosi
menegaskan esensi seremonial pidato ini tidaklah penting, namun
terlepas dari itu terdapat dua hal penting, yakni: pertama, DPD telah
diakui keberadaannya sebagai suatu bagian dari lembaga legislatif yang
harus diperhitungkan oleh presiden dalam pembuatan kebijakan. Ada
intrepetasi atas ketentuan mengenai APBN didalam UUD dan UU Susunan
dan kedudukan (Susduk) yang mekanismenya dalam kaitannya DPD.
Kedua, pidato itu menyatakan pengakuan akan peran DPD sebagai
penyeimbang kepentingan nasional aspirasi daerah.

Kepercayaan akan eksistensi DPD akan mejadi penstimulus untuk


peningkatan kapasitas DPD. Juga pemberitaan beberapa waktu lalu yang
dirilis senayanpost.com dengan judul Jokowi Puji Peran DPD Majukan
Pembangunan Daerah juga merupakan Konvensi ketatanegaraan
secara informal yang akan menjadi angin segar bagi lembaga legislatif ini.
tak hanya itu, konvensi ketatanegaraan menurut saya tidak melulu harus
dilakukan Presiden dengan pidato. Adalah masyarakat sipil tidak
mempunyai alasan untuk tidak melakukannya. Seperti yang tertuang
dalam buku Pendidikan Politik yang ditulis oleh Kartini Kartono. Bahwa
untuk mewujudkan demokrasi sejati (Penguatan kapasitas DPD)
masyarakat harus berperan aktif dalam kegiatan politik oleh DPD.
Bertanggung jawab dengan menyampaikan aspirasinya dengan cara
memahami kondisi lingkungan (khusunya didaerah) untuk disampaikan
kepada DPD. Tidak menatap sebelah mata kepada lembaga DPD. sinergi
adalah satu kata yang akan menggambarkan penguatan peran DPD.

Referensi

Efriza dan rozi. 2010. Parlemen Indonesia. Penerbit Alfabeta.


Bandung

Kartono, kartini. 1989. Pendidikan Politik. Mandar Maju. Bandung

Lingkaran Survei Indonesia. http://lsi.co.id/lsi/wp-


content/uploads/2015/12/FINAL-Konpers-Kepercayaan-terhadap-DPR.pdf

Lembaga Survei Indonesia. http://www.lsi.or.id/riset/371/Rilis-Survei-


Kinerja-DPR-RI
Lembaga Survei Indonesia.
http://www.lsi.or.id/riset/290/amandemen-uud-45-dan-penguatan-
wewenang-dewan-perwakilan-daerah-dpd\

http://www.pikiran-
rakyat.com/politik/2016/03/03/363121/penguatan-kinerja-dpd-bisa-lewat-
institusi-dan-personal

https://news.detik.com/berita/d-3464169/pakar-hukum-niat-dpd-
berebut-kekuasaan-putusan-ma-tak-didengar

https://perpustakaandpr.wordpress.com/?s=resensi+kinerja+dpr

https://www.senayanpost.com/jokowi-puji-peran-dpd-majukan-
pembangunan-daerah/

UUD 1945

UU No. 17 Tahun 2014

Lampiran
Mahrus Dipo

3312414074

Penguatan Kapasitas DPD

Anda mungkin juga menyukai