Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN BPH

(BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

A. PENGERTIAN
Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan selular
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses
penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009)
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
(Price&Wilson 2005)
Benigna Prostat Hipertropi adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra,
menyebabkan gejala urinaria. (Nursalam dan Fransisca, 2006).
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan BPH (Hiperplasia prostat
benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup
orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria..

B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang
erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa faktor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

C. PATOFISIOLOGI
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia,
jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan
intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah.
Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan
kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah,
kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat
sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir. seringkali Prostat
Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra
abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid
puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine
dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia
Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam
beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan
mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi
oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala iritatif meliputi :
a) Peningkatan frekuensi berkemih
b) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d) Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a) Pancaran urin melemah
b) Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c) Kalau mau miksi harus menunggu lama
d) Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f) Urin terus menetes setelah berkemih
g) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia
karena penumpukan berlebih.
h) Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang
besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik.

E. DERAJAT BPH
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba, sisa urine 50 100 cc dan beratnya + 20 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine
lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
2. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
3. Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
4. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai
penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
5. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan
volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG
dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin
dan batu ginjal.
6. BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan
radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal
apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan
sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks
urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari
obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa
kencing, dan pemeriksaan colok dubur
2. Terapi medikamentosa
a) Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang.
b) Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil.
3. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah
yaitu : Retensi urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran
kemih berulang, tanda obstruksi berat seperti hidrokel, ada batu saluran kemih
a) Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang
kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil
dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan
disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena
pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan
cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan
melalui uretra.
1) Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas
2) Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat
mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan
pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
3) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat
yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca
prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan
bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak
menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat
menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus
aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat
itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir
ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis
pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.
b) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.
c) TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan
irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi
uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah
dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%),
impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka
biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Sebelum Operasi
a) Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, suku bangsa
b) Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri saat berkemih, sulit kencing
2) Frekuensi berkemih meningkat
3) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
4) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
5) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
6) Pancaran urin melemah
7) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
8) Urin terus menetes setelah berkemih
9) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
c) Data Obyektif
1) Ekspresi wajah tampak menahan nyeri
2) Terpasang kateter
2. Sesudah Operasi
a) Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
b) Data Obyektif
1) Ekspresi tampak menahan nyeri
2) Ada luka post operasi tertutup balutan
3) Tampak lemah
4) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
3. Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang
dialami pasien.
4. Pengkajian fisik
a) Gangguan dalam berkemih seperti sering berkemih, terbangun pada malam hari
untuk berkemih, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, nyeri pada saat
miksi, pancaran urin melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, jumlah air kencing
menurun dan harus mengedan saat berkemih, nyeri di pinggang, punggung, rasa
tidak nyaman di perut.
b) Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik
c) Kaji status emosi : cemas, takut
d) Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e) Kaji tanda vital
5. Kaji pemeriksaan diagnostik : Pemeriksaan radiografi, Urinalisa, Lab seperti kimia
darah, darah lengkap, urin
6. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan
proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
2. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses
bedah.
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor
biologi
4. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih.
Post operasi
1. Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
3. Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan
informasi.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.
5. Disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten dari TURP
C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Pre operasi
DX 1 : Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
NOC : Pain control (control nyeri)
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam nyeri klien
akan berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mengetahui penyebab dari nyeri
2) Klien dapat mendeteksi dengan segera adanya serangan dari
nyeri
3) Klien dapat mengurangi nyeri dengan tanpa menggunakan
obat
4) Klien dapat menggunakan obat anti nyeri sesuai dengan
resep yang dianjurkan
NIC 1 : Pain Management
Intervensi :

1) Pantau/ catat karakteristik nyeri (respon verbal, non verbal, dan respon
hemodinamik) klien.
2) Kaji lokasi nyeri dengan memantau lokasi yang ditunjuk oleh klien.
3) Kaji intensitas nyeri dengan menggunakan skala 0-10.
4) Tunjukan sikap penerimaan respon nyeri klien dan akui nyeri yang klien rasakan.
5) Jelaskan penyebab nyeri klien.
6) Bantu untuk melakukan tindakan relaksasi, distraksi, massage.

NIC 2 : Pemberian Analgetik


Intervensi :

1) Kolaborasi pemberian analgetik ( ibuprofen, naproksen, ponstan) dan Midol.

DX II : Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses


bedah.

NOC : Anxiety Control


Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam cemas klien
akan berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas
2) Klien mampu mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
3) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

NIC : Anxiety Reduction ( Penurunan Kecemasan )


Intervensi:
1) Identifikasi tingkat kecemasan
2) Gunakan pendekatan yang menenangkan
3) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
4) Libatkan keluarga untuk mendampingi pasien
5) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan , ketakutan ,
persepsi

DX III : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


faktor biologis
NOC : Nutritional status: Adequacy of nutrient
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam diharapkan klien
dapat terpenuhi kebutuhan nutrisinya dengan kriteria hasil :
1) Berat badan klien dalam batas normal
2) Intake dan output klien seimbang
3) Turgor kulit klien baik
NIC : Nutritional Management ( Manajemen nutrisi)
Intervensi :

1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori


2) Kaji kemampuan klien untuk mendapat nutrisi yang dibutuhkan
3) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien

Post operasi
DX I : Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
NOC : Pain control (control nyeri)
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam nyeri klien
akan berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mengetahui penyebab dari nyeri
2) Klien dapat mendeteksi dengan segera adanya serangan dari
nyeri
3) Klien dapat mengurangi nyeri dengan tanpa menggunakan
obat
4) Klien dapat menggunakan obat anti nyeri sesuai dengan
resep yang dianjurkan
NIC 1 : Pain Management
Intervensi :

1) Pantau/ catat karakteristik nyeri (respon verbal, non verbal, dan respon
hemodinamik) klien.
2) Kaji lokasi nyeri dengan memantau lokasi yang ditunjuk oleh klien.
3) Kaji intensitas nyeri dengan menggunakan skala 0-10.
4) Tunjukan sikap penerimaan respon nyeri klien dan akui nyeri yang klien rasakan.
5) Jelaskan penyebab nyeri klien.
6) Bantu untuk melakukan tindakan relaksasi, distraksi, massage.

NIC 2 : Pemberian Analgetik


Intervensi :

1) Kolaborasi pemberian analgetik ( ibuprofen, naproksen, ponstan) dan Midol.

DX II : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive pembedahan


NOC : Kontrol Infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kontrol infeksi selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Jumlah leukosit dalam batas normal
3) Klien menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NIC 1 : Pengetahuan : Kontrol Infeksi
Intervensi:
1) Ajarkan teknik mencuci tangan dengan benar
2) Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
NIC 2 : Proteksi Infeksi
Intervensi :
1) Kaji tanda tanda infeksi
2) Lakukan perawatan aseptik pada semua jalur IV
3) Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
NIC 3 : Manejemen Obat
Intervensi:
1) Pemberian Antibiotika

DX III : Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya
paparan informasi.
NOC : Knowledge : disease process
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
keluarga dan pasien memahami kondisi, prognosis dan pengobatan penyakit,
dengan kriteria hasil :
1) Klien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan
pengobatan
2) Klien mampu mengidentifikasi hubungan tanda atau gejala
dengan proses penyakit.
3) Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan
tindakan.
NIC : Teaching : disease process
Intervensi:

1) Jelaskan patofisiologi dari penyakit


2) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
dengan cara yang benar
3) Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
4) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang
tepat
5) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses
pengontrolan penyakit.

DX IV : Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.


NOC : Self care : Activity of Daily Living ( ADLs)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan defisit
perawatan diri teratasi dengan kriteria hasil :
1) Klien terbebas dari bau badan
2) Klien menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3) Klien dapat melakukan ADLs tanpa bantuan
NIC : Self care assistane : ADLs
Intervensi :
1) Monitor kemampuan klien untuk melakukan perawatan diri yang mandiri
2) Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self care
3) Ajarkan klien atau keluarga untuk mendorong kemandirian , untuk memberikan
bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya
4) Dorong untuk melakukan secara mandiri tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya
5) Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan

D. EVALUASI
Pre operasi
DX I :
- Mengungkapkan nyeri berkurang, rileks.
- Dapat beraktivitas secara tepat.

DX II :
- Pasien nyaman menjalani masa perawatan
- Pasien mampu menerima diri sendiri dan tidak gelisah

DX III :
- Berat badan klien dalam batas normal
- Intake dan output klien seimbang
- Turgor kulit klien baik

Post Operasi
DX I :
- Mengungkapkan nyeri berkurang, rileks.
- Dapat beraktivitas secara tepat.
DX II :
- Penyambuhan luka tepat waktu
- Pasien mampu mengidentifikasi intervensi untuk penurunan resiko infeksi

DX III :
- Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan
- Mengidentifikasi hubungan tanda atau gejala dengan proses penyakit
- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan a;asan tindakan.

DX IV :
- Klien terbebas dari bau badan
- Klien menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
- Klien dapat melakukan ADLs tanpa bantuan
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH . Diakses pada


tanggal 5 Maret 2017 pukul 17.00 WIB

Madjid dan Suharyanto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : TIM

Nursalam Baticaca, Fransisca. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika

Price, S , Wilson, L. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : Diagnosis Nanda,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai