Anda di halaman 1dari 15

A.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam skenario ini antara lain:
1. Bagaimanakah patosisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaannya?
3. Apa saja indikasi terapi yang diberikan kepada pasien?
4. Bagaimanakah hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien?
5. Bagaimanakah mekanisme respon imun pada lansia?
6. Apa saja indikasi rehabilitasi medik pada geriatri?
7. Apakah ada hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai hilangnya gerakan anatomi karena perubahan fungsi fisiologis,
yang dalam praktek sehari-hari mungkin lebih dikenal sebagai bed rest atau ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas di tempat tidur, dan berpindah tempat (Laksmi et al, 2008).
Dalam praktek medis dan rehabilisasi medis, istilah imobilisasi diterapkan untuk
menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis akibat berkurangnya aktivitas. Imobilisasi dapat
menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat dari
perubahan tekanan gravitasi dan penurunan fungsi motorik. Organ yang sering terkena antara lain
muskuloskeletal (osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan masa otot), kardiovaskuler
(peningkatan heart rate, penurunan perfusi myocardium, penurunan volume plasma, hiperkoagulasi),
integumen (dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri, resistensi insulin, hiperlipidemia), gastrointestinal
(inkontinensia urin dan alvi, gangguan pengosongan vesika urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri
(depresi, psikosis, penurunan kognitif) (Laksmi et al, 2008).
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis interdisiplin
dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien. Dilakukan
pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang
mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi bila
terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus
imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyerta lainnya. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral. Program latihan dan remobilisasi dimulai
ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi
1
(pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (iosotonik, isometrik, isokinetik)
latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-
alat bantu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus
konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. Lakukan remobilisasi segera dan
bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen (Carpenito, 1999).
Komplikasi pada pasien-pasien imobilisasi antara lain:
1. Trombosis vena dalam, merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya
multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan
risko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang
meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi
darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya
gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa
rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai (Craven dan Hirnle, 2000).
2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat
menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli
paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena
dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai
bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan
yang dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan penyebab kesakitan dan
kematian pada pasien lanjut usia (Craven dan Hirnle, 2000).
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot.
Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi
sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh (Craven dan
Hirnle, 2000).
4. Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi
tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut (Craven dan Hirnle, 2000).
5. Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara reabsorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum,
menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan
kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang (Craven dan
Hirnle, 2000).
6. Ulkus Dekubitus
2
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut
dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia
lanjut berkisar atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada kulit
atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin
yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan
pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan (Craven dan
Hirnle, 2000).
7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi berbaring ke
duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya
sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior
terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung
sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak
30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya
fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang
sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia (Craven dan Hirnle, 2000).
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada
posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah
terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan
infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami
imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih (Craven dan Hirnle, 2000).
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin yang akibatnya akan
terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan
metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi
sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan
imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi
hipoproteinemia (Craven dan Hirnle, 2000).
10. Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di
usus besar, absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih keras (Craven dan
Hirnle, 2000).

3
B. Ulkus Dekubitus
1. Definisi
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang
didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu
lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Potter & Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis
jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan
permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa
metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi
metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan
iskemi jaringan.
2. Faktor Risiko Dekubitus
Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:
a. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan, beresiko
tinggi menggalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang
mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu
bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar, sehingga ketika pasien sadar dan
berorientasi mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan
Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap
dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara
mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus.
Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik.
Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar
85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8%
populasi ini (Potter dan Perry, 2005).
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu
melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat
merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien
koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain
itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung.

4
Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif
dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya. Pasien yang menggunakan
gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan
gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit
jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga
leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka
dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005).
e. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat
perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi
semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry,
2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen
negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien
mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi
buruk biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah 3g/ 100 ml) dan anemia
(Potter dan Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein
pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin
rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar albumin serum kurang
tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang
terbaik untuk semua kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total protein
dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema
interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan
yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level
oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry,
2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang
mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan
ekstrasel ke dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan risiko terjadi
dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap
tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry,
2005).
3. Patogenesis Dekubitus
5
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:
a. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
b. Durasi dan besarnya tekanan
c. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan. Semakin besar
tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry,
2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan
eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah
ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika
tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia,
maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka
sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena
kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus
dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke
epidermis (Potter dan Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat
menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang paling
rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena
adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan
jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan
mengalami gangguan (Potter dan Perry, 2005).

4. Klasifikasi Luka Dekubitus


Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan
menggunakan sistem nilai atau tahapan:
a. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak
berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.
b. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
c. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang
mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka
secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
d. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan;
atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis,
dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).
5. Komplikasi Luka Dekubitus
6
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi pada
luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis.
c. Septikemia
d. Anemia
e. Hipoalbuminemia
f. Kematian
6. Tempat terjadinya Luka Dekubitus
Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus
lateral, trochanter besar, dan tuberostis iskial. Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang
sering terkena luka dekubitus adalah:
a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah
bokong dan tumit.
b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku,
daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki.
c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.
7. Penatalaksanaan Dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus
dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang
immobili dan konfusio. Usaha untuk meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan
memakai sistem skor Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian dekubitus untuk memprediksi
timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan berdasarkan pengalaman klinik
yang mencakup lima variabel yaitu kondisi fisik, kondisi mental, aktifitas, mobilitas dan
inkontinensia. Maksimum skor yang dapat dicapai pada skala ini adalah 20. Skor lebih dari 18 berarti
risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk
kategori sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi dengan menampilkan
sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda. Keunggulan skala ini adalah karena sangat
simpel untuk digunakan dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya. Dengan
evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan berikutnya adalah menjaga
kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan
baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang.
Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/ sekreta harus
dibersihkan dengan hati-hati agar tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al,
2009).
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya
dekubitus adalah:
a. Meningkatkan status kesehatan penderita.

7
Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki dan menjaga
keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan
hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan, mengatasi/
mengobati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM (Hidayat et al, 2009).
b. Mengurangi/ memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah.
1) Alih posisi/ alih baring/ tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Kekurangan pada
cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat
kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
2) Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita,
misalnya kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang
temperatur airnya dapat diatur.
3) Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu,
dapat dikurangi antara lain:
a.) Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya atau duduk
dikursi.
b.) Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh
penderita.
c.) Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal
sebagai alas tubuh penderita (Hidayat et al, 2009).
Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khususnya pada tempat-tempat
yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usaha diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk
memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringan upaya penyembuhan akan
lebih rumit (Hidayat et al, 2009).
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang
dihadapi:
a. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit yang kemerahan dibersihkan
hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/ hari.
b. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat
aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara
hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga
untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/ granulasi. Penggantian balut dan salep ini
jangan terlalu sering karena malahan dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada
infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat diusahakan dapat mengalir keluar. Balut

8
jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya
udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika
luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin
diperlukan.
d. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik.
Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab
akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/ epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi
perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan
nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada
daerah luka. Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh
darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini
dapat mencapai 40% (Hidayat et al, 2009).

C. Skor Norton
Skor Norton merupakan skor untuk mengukur resiko dekubitus, terdiri dari 5 komponen yaitu
kondisi fisik umum, kesadaran, aktivitas, mobilitas, dan inkotinensia (Pranarka, 2011).

Skor Norton untuk mengukur risiko dekubitus

9
NAMA PENDERITA SKOR TANGGAL
Kondisi fisik umum:
- Baik 4
- Lumayan 3
- Buruk 2
- Sangat buruk 1
Kesadaran:
- Komposmentis 4
- Apatis 3
- Konfus/Soporis 2
- Stupor/Koma 1
Aktivitas :
- Ambulan 4
- Ambulan dengan bantuan 3
- Hanya bisa duduk 2
- Tiduran 1
Mobilitas :
- Bergerak bebas 4
- Sedikit terbatas 3
- Sangat terbatas 2
- Tak bisa bergerak 1
Inkontinensia :
- Tidak 4
- Kadang-kadang 3
- Sering Inkontinentia urin 2
- Sering Inkontinentia alvi dan urin 1
skor total

Keterangan:
Skor < 14: risiko tinggi terjadinya ulkus dekubitus
Skor < 12: peningkatan risiko 50x lebih besar terjadinya ulkus dekubitus
Skor 12-13: risiko sedang
Skor >14 : risiko kecil (Pranarka, 2011).

D. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis, dan
alveoli yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur. Pneumonia menjadi
bentuk infeksi saluran napas bawah yang paling sering dijumpai (Stoppler, 2013).
2. Patogenesis
Pneumonia dapat ditularkan melalui droplet yang mengandung organisme penyebab
pneumonia. Patogen yang paling sering dijumpai adalah kuman Streptococcus pneumonia. Patogen
dapat masuk ke trakea terutama dari aspirasi bahan orofaring dan menyebabkan infeksi pada
parenkim paru setelah melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel silia
dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen), dan seluler (makrofag, limfosit, dan sitokinnya).
Mekanisme lain penyebaran adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru dan secara hematogen (Sudoyo
et al, 2009). Patogen yang masuk ke paru-paru akan berkolonisasi di alveoli sehingga terjadi
10
akumulasi cairan dan pus pada area ini sebagai bentuk mekanisme perlawanan tubuh terhadap infeksi
(Stoppler, 2013).
3. Gejala dan Diagnosis
Gejala klinis yang timbul antara lain sesak napas, demam, menggigil, batuk berdahak,
malaise, anoreksia, dan penurunan berat badan. Pneumonia virus ditandai dengan batuk kering dan
non produktif, mialgia, dan malaise (Sudoyo et al, 2009).
Diagnosis pneumonia berdasarkan gejala-gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Tanda fisis pada pneumonia yaitu tanda konsolidasi paru yang meliputi perkusi paru
pekak, suara napas tambahan ronki nyaring, dan suara napas bronkial. Sedangkan pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiologis, laboratorium, dan kultur kuman dari
sputum bila patogen kausa adalah bakteri. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan kesuraman
homogen pada lobus paru akibat adanya infiltrat. Distribusi infiltrat pada lobus inferior sugestif
untuk kuman aspirasi seperti Staphylococcus. Infiltrat pada lobus superior sering ditimbulkan
Klebsiella spp. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang menandai adanya
infeksi bakteri. Leukosit yang normal/ rendah disebabkan infeksi virus atau pada infeksi berat
sehingga tidak terjadi respons leukosit seperti pada orang tua (Sudoyo et al, 2009).
4. Pneumonia pada usia lanjut
Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia karena adanya imobilitas
pada lansia. Retensi sputum dan aspirasi mudah terjadi pada pasien geriatri akibat imobilisasi. Pada
posisi berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
dinding dada terbatas sehingga sputum sulit keluar. Selain itu, daya pegas elastik alveoli pada lansia
menurun sehingga terjadi perubahan tekanan penutup saluran udara kecil. Kondisi tersebut
memudahkan lansia mengalami pneumonia (Sudoyo et al, 2009).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah pemberian obat untuk menghilangkan agen
infeksi. Bakteri menjadi penyebab tersering pneumonia sehingga biasanya pemberian antibiotik
dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang keluar. Antibiotik yang diberikan biasanya
adalah kombinasi golongan beta laktam dan macrolide. Golongan beta laktam (penisilin G,
amoxicillin, dan lain-lain) merupakan antibiotik spektrum luas yang akan mengganggu proses
sintesis dinding sel kuman. Golongan macrolide (azitromisin, eritromisin, dan sebagainya) memiliki
mekanisme pengikatan dengan subunit ribosom 50s dan menghambat disosiasi peptidil tRNA dari
ribosom sehingga sintesis protein tergantung RNA terganggu (Kamangar, 2011).
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumonia ekstrapulmoner seperti meningitis,
arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema (Sudoyo et al, 2009).

E. Rehabilitasi Medik pada Lansia

Program rehabilitasi medik diberikan pada penderita secara bersama-


sama oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi medik, fisioterapis,
11
okupasiterapis, terapi wicara, ortotis-prostetis, petugas sosial medik, dan
psikolog. Dengan mengevaluasi kemajuan penderita maka program bisa
berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penderita, yang masing-masing
individu berbeda. Di bawah ini contoh program terapi yang sering diberikan
pada lansia, antara lain:
1. Program Fisioterapi
Dalam penanganan terapi latihan untuk lansia dimulai dengan aktifitas
fisik ringan kemudian bertahap hingga maksimal yang dapat dicapai individu.
Misalnya:
a. Aktifitas di tempat tidur: positioning, alih baring, latihan aktif dan pasif
lingkup gerak sendi.
b. Mobilisasi: latihan bangun sendiri, duduk, pindah tempat, berdiri,
berjalan.
c. Melakukan aktifitas sehari-hari: mandi, makan, berpakaian
(Ambarwati, 2009).
2. Program Okupasi
Latihan ditunjukkan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-hari,
dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung
pada aktifitas yang diinginkan (Ambarwati, 2009).
3. Program Ortotik-Prostetik
Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktifitas lansia maka
seorang ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti
bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita (Ambarwati,
2009).
4. Program Terapi Wicara
Program ini bukan hanya untuk wicara saja, tetapi juga ditujukan untuk
latihan menelan kalau ada kelemahan otot-otot sekitar tenggorok (Ambarwati,
2009).
5. Program sosial-medik
Petugas sosial medik memerlukan data pribadi, keluarga, kondisi rumah,
tingkat sosial ekonomi. Hal ini penting untuk mendukung program lain, misalnya
seorang lansia yang tinggal di rumah yang banyak anak tangga, sebisa mungkin
dibuat landai atau kamar dibuat dekat kamar mandi (Ambarwati, 2009).
6. Program Psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan kondisi
emosionalnya, yang mempunyai ciri-ciri khas pada lansia, misalnya tipe agresif,
atau konstruktif. Diperlukan juga motivasi agar lansia mau melakukan latihan,
mau berkomunikasi, dan bersosialisasi. Hal ini diperlukan dalam pelaksanaan
program lain agar hasilnya bisa lebih baik (Ambarwati, 2009).

12
PEMBAHASAN

Pada skenario didapatkan bahwa pasien dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak mau makan,
lemas, dan nampak gelisah serta sudah 5 hari tidak buang air besar. Umur pasien adalah 80 tahun, hal
ini menunjukkan bahwa pasien termasuk dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak perubahan
dan penurunan dalam beberapa aspek termasuk aspek kesehatannya. Tidak mau makan adalah gejala yang
sering dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah penurunan
indra penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter. Karena pasien tidak mau makan,
kebutuhan energinya pun tidak mencukupi sehingga pasien nampak lemas. Kesulitan BAB dapat disebabkan
oleh sudah menurunnya fungsi pleksus mesenterikus ditambah dengan adanya imobilisasi sehingga
menyebabkan lamanya feses transit di kolon. Feses mengalami peningkatan absorbsi air dan menjadi keras.
Hampir 2 minggu pasien tiduran terus, karena lemas dan batuk berdahak, tidak berdarah,
tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada dan tidak mau berobat. Batuk berdahak dapat disebabkan
oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan. Adaknya infeksi pada
paru akan mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial. Eksudat atau
dahak ini akan merangsang saluran nafas untuk mengeluarkannya melalui suatu mekanisme yaitu batuk.
Tidak adanya darah dalam dahak menunjukkan bahwa tidak terjadi perlukaan pada saluran napas. Tidak
adanya demam sering terjadi pada kasus infeksi yang dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa
hal diantaranya adalah karena terjadi penurunan produksi endogen pirogen dan berkurangnya sensitifitas
reseptor endogen pirogen di hipotalamus. Penurunan sensifitas reseptor rangsang nyeri serta penurunan
produksi mediator inflamasi menyebabkan pasien tidak mengalami nyeri.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/ 70 mmHg, RR 30x/ menit, T 36C,
HR 108x/ menit. Kesadaran apatis dalam Glaslow Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-13, berada di
antara compos mentis dan somnolen. Tekanan darah 120/ 70 mmHg dalam batas normal. Respiration rate
terdapat peningkatan (normal 14-20x/ menit), temperatur dalam batas normal (suhu oral rata-rata usia lanjut
36C). Heart rate terdapat peningkatan (normal 60-100x/ menit). Berbagai studi menunjukkan suhu tubuh
inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi,
penyakit, dan obat-obatan.
Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial,
dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru
(contoh: pneumonia) maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas suara lebih keras,
nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia).
Ketiga hasil pemeriksaan paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda
konsolidasi paru meliputi perkusi redup/ pekak pada daerah paru dengan kelainan, ronkhi basah kasar, dan
13
suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga peningkatan frekuensi nafas 24x/menit dan dapat
disertai syok septik dengan gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.
Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor
Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi ulkus dekubitus pada pasien. Punggung bawah
merupakan salah satu predileksi ulkus dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian
derajat dilakukan dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat I), dermis/
subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan sudah terlihat otot dan tulang (derajat
IV). Skor Norton merupakan alat untuk menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor 12
menunjukkan bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan risiko 50x lebih
besar.
Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (4000-11.000/ mm3). Pneumonia
pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang
didapatkan leukositosis.
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada pasien telah
dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk
menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah
dehidrasi dan hipoglikemi, serta untuk indikasi adanya peningkatan frekuensi pernafasan, dimana pemberian
oksigenasi ini diberikan jika frekuensi pernafasan > 24 kali/ menit. Sedangkan pemberian antibiotik
dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan
antibiotik empirik bersprektum luas yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya
infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis
dan pemilihan jenis antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses
menua serta komorbid yang ada pada lansia yang seluruhnya akan berakibat pada terjadinya perubahan
distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat. Untuk pasien pneumonia yang dirawat dirumah
sakit dapat diberikan klindamisin dan seftazidim.
Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien disesuaikan derajatnya.
Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat, selain pemberian kasur dekubitus diperlukan
penatalaksanaan sesuai derajatnya seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan terapi
rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan
pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien.
Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal,
yang termasuk pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas
penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.
Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang gerak, posisi yang tepat
dengan mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas
dudukan kaki) mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang
normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan sekresi. Keempat, pemeliharaan sirkulasi
14
yang adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan
nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

15

Anda mungkin juga menyukai