Anda di halaman 1dari 23

FARMAKOTERAPI

DIABETES MELITUS

Disusun Oleh :

Dewi Maemunah

Fatmawati

Rosniah

Sri Andriani

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak bisa menggunakan insulin
dengan efektif. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas yang
membiarkan glukosa dalam sirkulasi darah masuk ke dalam sel tubuh dimana
glukosa tersebut akan dikonversi menjadi energi yang dibutuhkan oleh otot dan
jaringan. Seseorang dengan penyakit diabetes tidak dapat menyerap glukosa
dengan benar sehingga glukosa tersebut tetap berada dalam sirkulasi darah atau
disebut hiperglikemia yang dapat merusak jaringan tubuh setiap waktu. Kerusakan
ini dapat menyebabkan kelumpuhan dan komplikasi kesehatan (International
Diabetes Federation, 2013).
Data studi global menunjukkan, pada tahun 2013 dilaporkan lebih dari 21
juta kelahiran dipengaruhi oleh diabetes selama hamil. Diabetes juga telah
menyebabkan 5,1 juta kematian. Pada tahun 2013 sebanyak 382 juta orang telah
terkena penyakit diabetes, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
pada tahun 2035 dengan peningkatan paling tinggi adalah diabetes tipe 2.
Sedangkan Indonesia menempati urutan ke tujuh di dunia untuk negara dengan
penderita diabetes terbanyak setelah China, India, Amerika, Brazil, Rusia dan
Mexico (International Diabetes Federation, 2013).
Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah terdapat gejala DM dan kadar
random plasma glukosa sebesar 200 mg/dL, kadar glukosa puasa 126 mg/dL,
kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa 200 mg/dL, dan kadar
glikosilat hemoglobin atau HbA1c 8% (Priyanto, 2008).
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes melitus, yaitu (ADA, 2015) Diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe
2, Diabetes melitus Gestasional, Diabetes tipe lain.
Oleh karena diabetes merupakan salah satu penyakit degenerative yang
membutuhkan penanganan terapi yang tepat maka perlu dilakukan studi literatur
mengenai manajemen terapinya yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
ISI

2.1. Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnomarlitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan
komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati.
Faktor risiko untuk DM yaitu memiliki riwayat diabetes dalam
keluarga obesitas (berat badan melebihi 20% dari berat badan ideal atau
BMI lebih dari 25 kg/m2), kurang aktivitas fisik, sebelumnya pernah
diidentifikasi memiliki glukosa toleransi lemah, serta pasien dengan
hipertensi (TD 140/90 mmHg), pasien dengan kadar HDL rendah yaitu <
35 mg/dL, pasien dengan kadar trigliserida lebih dari 250 mg/dL, memiliki
riwayat diabetes gestasional, dan memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan kardiovaskular (Dipiro et al., 2008).

2.2. Tanda dan Gejala


a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane
dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat
atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam
sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai
akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic
(poliuria) ( Bare & Suzanne, 2002).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi
sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus
teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum
(polidipsia) ( Bare & Suzanne, 2002).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya
kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan
menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan
lebih banyak makan (poliphagia) ( Bare & Suzanne, 2002).
d. Penurunan berat badan
Glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel
akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan
penurunan secara otomatis (Bare & Suzanne, 2002).
e. Malaise atau kelemahan

2.3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti:
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75
g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan
khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Tabel 1. Kriteria penegakkan diagnosis diabetes melitus (ADA, 2011)


Kadar HbA1c 6,5%
Atau
Glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya
asupan kalori selama paling sedikit 8 jam.
Atau

2 jam setelah pemberian glukosa oral 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan seperti yang dianjurkan WHO, yaitu dengan
menggunakan pemberian beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air.
Atau
Pasien dengan gejala khas hiperglikemia dan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa darah sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir.

Cara pelaksanaan TTGO:


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok

Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah
pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.
Tabel 2. Macam Kadar Glukosa (PERKENI, 2011)

2.4. Patofisiologi
1. Diabetes Melitus Tipe I
DM tipe 1 (DMT1) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes.
Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa
dewasa yang disebabkan oleh kerusakan sel pankreas akibat autoimun,
sehingga terjadi defisiensi insulin absolut (Sukandar, dkk., 2009). Hal yang
paling sering terjadi adalah hasil mediasi penghancuran kekebalan sel
pankreas, namun tidak diketahui dalam jangka waktu yang lama atau proses
idiopatik yang dapat berkontribusi. Tidak diketahuiapakah ada satu atau
lebih faktor pendorong yang memulai proses autoimun (Dipiro et al, 2008).
Proses autoimun ini dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan
autoantibodi yang beredar ke berbagai antigen sel . Antibodi yang paling
sering terdeteksi terkait dengan DM tipe 1 adalah antibodi sel islet. Tes
untuk antibodi sel islet, bagaimanapun, sulit untuk membakukan di
laboratorium. Antibodi lain yang beredar yang lebih mudah diukur meliputi
autoantibodi insulin, antibodi yang diarahkan terhadap dekarboksilase asam
glutamat, antibodi insulin terhadap fosfatase tirosin islet, dan beberapa
lainnya. Lebih dari 90% dari orang yang baru didiagnosis dengan DM tipe 1
memiliki satu atau lebih antibodi. Tahap praklinis autoimun sel
mendahului diagnosis DM tipe 1 hingga 9 sampai 13 tahun. Autoimunitas
dapat mengirim di beberapa orang yang mungkin kurang-rentan, atau dapat
berkembang menjadi kegagalan sel pada orang lain. Antibodi ini
umumnya dianggap penanda penyakit dari kehancuran mediator -sel.
Gangguan autoimun nonpancreatic lain yang terkait dengan DM tipe 1,
yang paling sering adalah Tiroiditis Hashimoto, namun sejauh mana
keterlibatan organ dapat berkisar dari tidak ada organ yang rusak sampai
kerusakan polyglandular (Dipiro et al, 2008).
Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar
akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini
akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan
ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner and Suddarth, 2002).

2. Diabetes Melitus Tipe II


Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada
diabetestipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun
terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa
yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang
tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur (Brunner and
Suddarth, 2002).
Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa tidak terjadi
pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi
tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk
berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan
dengan sindrom resistensi insulin. Komplikasi mikrovaskular berupa
retinopati, neuropati, dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular
berupa penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular periferal
(Sukandar et al, 2009).
3. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
DMG didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang pertama diakui
selama kehamilan. Gestational diabetes mempersulit sekitar 7% dari semua
kehamilan. Deteksi klinis adalah penting, sebagai terapi akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas perinatal (Dipiro et al, 2008).

2.5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Terapi Non Farmakologi
a. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak. Tujuan pengaturan
diet pada diabetes adalah mencapai dan kemudian mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati kadar normal (Ditjen, 2005).
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Asupan lemak
dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi. Bahan makanan yang perlu dibatasi
adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain daging berlemak dan susu penuh. Protein dibutuhkan sebesar 10-
20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah seafood
(ikan, udang, cumi, dan lan-lain), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe
(PERKENI, 2011).
b. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga
ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang dan lain sebagainya. Olahraga akan
memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa
(Ditjen, 2005).
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).
2. Terapi farmakologis
a. Insulin
Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang disekresi oleh
sel beta pankreas. Insulin disimpan dalam bentuk kompleks dengan ion
Zink. Sintesis dan pelepasannya dipicu oleh glukosa, asam amino dan
asam lemak, serta sel beta dan alfa adrenergik. Mekanisme kerja insulin
yaitu berikatan dengan tirosin kinase yang menyebabkan peningkatan
transport glukosa pada sel otot dan jaringan adiposa yang menyebabkan
adanya beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh. Pada hepar insulin
dapat menghambat produksi glukosa, menghambat glikogenolisis dan
meningkatkan sintesis glikogen, meningkatkan sintesis trigliserida, serta
meningkatkan sintesis protein. Pada otot insulin dapat meningkatkan
transport glukosa, meningkatkan sintesis glikogen, dapat meningkatkan
sintesis protein. Sementara pada jaringan lemak, insulin dapat
meningkatkan transport glukosa, mengakibatkan terjadinya lipogenesis,
serta intraseluler lipolisis (Priyanto, 2008).
b. Jenis Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita
DM tipe 1. Terapi insulin pertama kali digunakan pada tahun 1922,
berupa insulin regular, diberikan sebelum makan dan ditambah sekali
pada malam hari. Namun saat ini telah dikembangkan beberapa jenis
insulin yang memungkinkan pemberian insulin dalam berbagai macam
regimen. Jenis insulin dan profil kerjanya dapat dlihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya

Jenis Insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja


(jam) (jam) (jam)
Kerja cepat (rapid acting) 0,15-0,35 1-3 3-5
(aspart, glulisine, dan lispro)
Kerja pendek (regular/soluble) 0,5-1 2-4 5-8
Kerja menengah
Semilente 1-2 4-10 8-16
NPH 2-4 4-12 12-24
IZS lente type 3-4 6-15 18-24
Insulin basal
Glargine 2-4 Tidak ada 24*
Detemir 1-2 6-12 20-24
Kerja panjang
Ultralente type 4-8 12-24 20-30
Insulin campuran
Cepat-menengah 0,5 1-12 16-24
Pendek-menengah 0,5 1-12 16-24
IZS = insulin zinc suspension; NPH = neutral protamine Hagedorn insulin.
1) Insulin Kerja Cepat (rapid acting)
Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam
bentuk dimer dan heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan
lama awitan kerjanya. Insulin Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak
membentuk agregat dimer maupun heksamer, sehingga dapat
dipergunakan sebagai insulin kerja cepat. Ketiganya merupakan analog
insulin kerja pendek (insulin reguler) yang dibuat secara biosintetik.
Pada insulin Lispro, urutan asam amino 28 (prolin) dan 29 (lisin) dari
rantai B insulin dilakukan penukaran menjadi 28 untuk lisin dan 29
untuk prolin. Sedangkan pada insulin Aspart, asam amino prolin di
posisi ke-28 rantai B insulin diganti dengan asam aspartat. Insulin
Glulisine merupakan insulin kerja cepat terbaru dengan modifikasi
urutan asam amino ke-3 (lisin) dan ke-29 (glutamat) dari rantai B
insulin secara simultan (PERKENI, 2009).
Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyai
awitan kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit, dan
lama kerja berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemia sama
dengan insulin regular (PERKENI, 2009).

Gambar 1. Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting).

Dengan sifat-sifat di atas, insulin kerja cepat direkomendasikan


untuk digunakan pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat
sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari, atau regimen basal-
bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif
digunakan: Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah
yang biasa terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2
kali sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah. Setelah
makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada anak
prapubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi,
balita, dan anak prasekolah). Pada penggunaan CSII (continuous
subcutaneous insulin infusion) atau pompa insulin. Hiperglikemia dan
ketosis saat sakit (PERKENI, 2009).
2) Insulin Kerja Pendek (short acting)
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal
sebagai insulin reguler. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan
akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah. Kadang-
kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit)
sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada
regimen 2 kali sehari (PERKENI, 2009).
Gambar 2. Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting).

Penderita DM tipe 1 yang berusia balita sebaiknya


menggunakan insulin jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia
akibat pola hidup dan pola makan yang seringkali tidak teratur.
Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut pemakaian
insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah
(PERKENI, 2009).
3) Insulin Kerja Menengah (intermediate acting)
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk suspensi sehingga terlihat
keruh. Mengingat lama kerjanya maka lebih sesuai bila digunakan
dalam regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-
bolus. Sebelum digunakan, insulin harus dibuat merata konsentrasinya,
jangan dengan mengocok (dapat menyebabkan degradasi protein),
tetapi dengan cara menggulung-gulung di antara kedua telapak tangan.
Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah
memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting
terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian
besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini (PERKENI, 2009).
DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan,
minum, dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai
kontrol metabolik yang baik. Apabila orangtua segan untuk
menggunakan regimen insulin dengan insulin kerja menengah secara
multipel (2 kali sehari), penggunaan satu kali sehari masih
dimungkinkan pada golongan usia ini dengan terlebih dahulu
memperhatikan efek insulin terhadap kontrol metaboliknya (PERKENI,
2009).
Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia
adalah Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn).
Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente). Insulin Isophane paling
sering digunakan pada anak, terutama karena memungkinkan untuk
digabung dengan insulin reguler dalam satu syringe tanpa adanya
interaksi (insulin reguler bila dicampur dengan insulin lente dalam satu
syringe, akan terjadi reaksi sehingga mengurangi efek kerja insulin
jangka pendek) (PERKENI, 2009).

Gambar 3. Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediate


acting).

4) Insulin Kerja Panjang (long acting)


Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa
kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal
bolus. Profil kejanya pada diabetisi anak sangat bervariasi, dengan efek
akumulasi dosis, oleh karena itu penggunaan analog insulin basal
mempunyai keunggulan dibandingkan ultralente (PERKENI, 2009).

Gambar 4. Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting).


5) Insulin kerja campuran
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran
yang mempunyai pola kerja bifasik, terdiri dari kombinasi insulin kerja
cepat dan menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah
dikemas oleh pabrik. Sediaan yang ada adalah kombinasi 30/70 artinya
terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan 70% insulin kerja
menengah. Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita.
Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai
kontrol metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak
bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut: Penderita muda dengan
pendidikan orang tua yang rendah, penderita dengan masalah
psikososial individu maupun pada keluarganya, para remaja yang tidak
senang dengan perhitungan dosis insulin campuran yang rumit,
penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil
(PERKENI, 2009).

Gambar 5. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran


6) Insulin basal analog
Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang
mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini
sudah tersedia insulin glargine dan detemir, keduanya mempunyai profil
kerja yang lebih terduga dengan variasi harian yang lebih stabil
dibandingkan insulin NPH. Insulin ini tidak direkomendasikan untuk
anak-anak di bawah usia 6 tahun. Perlu digaris bawahi, bahwa insulin
glargine serta detemir tidak dapat dicampur dengan insulin jenis
lainnya. Mengingat sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak
(peakless) dengan lama kerja hingga 24 jam, maka glargine dan detemir
direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan
NPH, glargine dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-16 tahun, namun secara
keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin
glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia
nocturnal berat (PERKENI, 2009).

Gambar 6. Profil farmakokinetik insulin basal.

a. Obat hipoglikemik oral


Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk
membantu penanganan DM tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral
yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia)
serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada (Ditjen, 2005).
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemicu Sekresi Insulin
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan
pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivatfenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPARg),suatu reseptor
inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
3) Penghambat glukoneogenesis (Metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki
ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL)
dan hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan latulens.
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon
peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini
disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh
enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1
(9,36) amide yang tidak aktif. Sekresi GLP1 menurun pada DM
tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP1bentuk aktif merupakanhal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP4
(penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analogincretin=GLP1agonis). Berbagai obat yang
masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.

3. Algoritma Terapi Diabetes Melitus


Algoritma terapi DM tipe 2 tanpa dekompensasi dapat dilihat pada gambar
berikut.
DM Tahap I Tahap

GHS

GHS
+
monoterapi

Catatan: GHS
GHS = gaya hidup sehat +
Dinyatakan gagal bila terapi selama 2-3 bulan pada tiap tahap tidak mencapai target terapi HbA1
Kombinasi 2
Bila tidak ada pemeriksaan HbA1c dapat dipergunakan pemeriksaan glukosa darah
Rata-rata hasil pemeriksaan beberapa kali glukosa darah dikonversikan ke HbA1c menurut criteria
Jalur alternatif, bila:
Tidak terdapat insulin
Diabetisi betul-betul menolak insuli
*Insulin intensif : penggunaan insulin basal bersamaan denganKendali
insulinglukosa
prandialbelum optimal

GHS
+
Kombinasi 3
BAB III
PENUTUP
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak bisa menggunakan insulin
dengan efektif. Seseorang dengan penyakit diabetes tidak dapat menyerap glukosa
dengan benar sehingga glukosa tersebut tetap berada dalam sirkulasi darah atau
disebut hiperglikemia yang dapat merusak jaringan tubuh setiap waktu.
Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah terdapat gejala DM dan kadar
random plasma glukosa sebesar 200 mg/dL, kadar glukosa puasa 126 mg/dL,
kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa 200 mg/dL, dan kadar
glikosilat hemoglobin atau HbA1c 8% (Priyanto, 2008).
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes melitus, yaitu (ADA, 2015) Diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe
2, Diabetes melitus Gestasional, Diabetes tipe lain.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2011. Standards of Medical Care in Diabetes.


Diabetes Care Journal. 34. (1)
American Diabetes Association. 2015. Standards of Medical Care in Diabetes.
Diabetes Care Journal. 38. (1)

Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H.
Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan) Edisi 8. Jakarta : EGC.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.,
2008, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
1205-1241, The McGraw-Hill Companies, Inc. New York, United States
of America.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Diabetes Melitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
International Diabetes Federation. 2013. IDF Diabetes Atlas, 6th Ed. International
Diabetes Federation

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe


2 di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Priyanto. 2008. Farmakologi dan Terminologi Medis. Jakarta: Leskonfi

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan
Kusnandar. 2009. ISO Farmakoterapi, 26, PT ISFI Penerbitan. Jakarta
Barat.

Anda mungkin juga menyukai