DM Terapi
DM Terapi
DIABETES MELITUS
Disusun Oleh :
Dewi Maemunah
Fatmawati
Rosniah
Sri Andriani
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak bisa menggunakan insulin
dengan efektif. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas yang
membiarkan glukosa dalam sirkulasi darah masuk ke dalam sel tubuh dimana
glukosa tersebut akan dikonversi menjadi energi yang dibutuhkan oleh otot dan
jaringan. Seseorang dengan penyakit diabetes tidak dapat menyerap glukosa
dengan benar sehingga glukosa tersebut tetap berada dalam sirkulasi darah atau
disebut hiperglikemia yang dapat merusak jaringan tubuh setiap waktu. Kerusakan
ini dapat menyebabkan kelumpuhan dan komplikasi kesehatan (International
Diabetes Federation, 2013).
Data studi global menunjukkan, pada tahun 2013 dilaporkan lebih dari 21
juta kelahiran dipengaruhi oleh diabetes selama hamil. Diabetes juga telah
menyebabkan 5,1 juta kematian. Pada tahun 2013 sebanyak 382 juta orang telah
terkena penyakit diabetes, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
pada tahun 2035 dengan peningkatan paling tinggi adalah diabetes tipe 2.
Sedangkan Indonesia menempati urutan ke tujuh di dunia untuk negara dengan
penderita diabetes terbanyak setelah China, India, Amerika, Brazil, Rusia dan
Mexico (International Diabetes Federation, 2013).
Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah terdapat gejala DM dan kadar
random plasma glukosa sebesar 200 mg/dL, kadar glukosa puasa 126 mg/dL,
kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa 200 mg/dL, dan kadar
glikosilat hemoglobin atau HbA1c 8% (Priyanto, 2008).
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes melitus, yaitu (ADA, 2015) Diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe
2, Diabetes melitus Gestasional, Diabetes tipe lain.
Oleh karena diabetes merupakan salah satu penyakit degenerative yang
membutuhkan penanganan terapi yang tepat maka perlu dilakukan studi literatur
mengenai manajemen terapinya yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
ISI
2.1. Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnomarlitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan
komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati.
Faktor risiko untuk DM yaitu memiliki riwayat diabetes dalam
keluarga obesitas (berat badan melebihi 20% dari berat badan ideal atau
BMI lebih dari 25 kg/m2), kurang aktivitas fisik, sebelumnya pernah
diidentifikasi memiliki glukosa toleransi lemah, serta pasien dengan
hipertensi (TD 140/90 mmHg), pasien dengan kadar HDL rendah yaitu <
35 mg/dL, pasien dengan kadar trigliserida lebih dari 250 mg/dL, memiliki
riwayat diabetes gestasional, dan memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan kardiovaskular (Dipiro et al., 2008).
2.3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti:
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75
g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan
khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
2 jam setelah pemberian glukosa oral 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan seperti yang dianjurkan WHO, yaitu dengan
menggunakan pemberian beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air.
Atau
Pasien dengan gejala khas hiperglikemia dan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa darah sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir.
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah
pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.
Tabel 2. Macam Kadar Glukosa (PERKENI, 2011)
2.4. Patofisiologi
1. Diabetes Melitus Tipe I
DM tipe 1 (DMT1) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes.
Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa
dewasa yang disebabkan oleh kerusakan sel pankreas akibat autoimun,
sehingga terjadi defisiensi insulin absolut (Sukandar, dkk., 2009). Hal yang
paling sering terjadi adalah hasil mediasi penghancuran kekebalan sel
pankreas, namun tidak diketahui dalam jangka waktu yang lama atau proses
idiopatik yang dapat berkontribusi. Tidak diketahuiapakah ada satu atau
lebih faktor pendorong yang memulai proses autoimun (Dipiro et al, 2008).
Proses autoimun ini dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan
autoantibodi yang beredar ke berbagai antigen sel . Antibodi yang paling
sering terdeteksi terkait dengan DM tipe 1 adalah antibodi sel islet. Tes
untuk antibodi sel islet, bagaimanapun, sulit untuk membakukan di
laboratorium. Antibodi lain yang beredar yang lebih mudah diukur meliputi
autoantibodi insulin, antibodi yang diarahkan terhadap dekarboksilase asam
glutamat, antibodi insulin terhadap fosfatase tirosin islet, dan beberapa
lainnya. Lebih dari 90% dari orang yang baru didiagnosis dengan DM tipe 1
memiliki satu atau lebih antibodi. Tahap praklinis autoimun sel
mendahului diagnosis DM tipe 1 hingga 9 sampai 13 tahun. Autoimunitas
dapat mengirim di beberapa orang yang mungkin kurang-rentan, atau dapat
berkembang menjadi kegagalan sel pada orang lain. Antibodi ini
umumnya dianggap penanda penyakit dari kehancuran mediator -sel.
Gangguan autoimun nonpancreatic lain yang terkait dengan DM tipe 1,
yang paling sering adalah Tiroiditis Hashimoto, namun sejauh mana
keterlibatan organ dapat berkisar dari tidak ada organ yang rusak sampai
kerusakan polyglandular (Dipiro et al, 2008).
Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar
akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini
akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan
ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner and Suddarth, 2002).
GHS
GHS
+
monoterapi
Catatan: GHS
GHS = gaya hidup sehat +
Dinyatakan gagal bila terapi selama 2-3 bulan pada tiap tahap tidak mencapai target terapi HbA1
Kombinasi 2
Bila tidak ada pemeriksaan HbA1c dapat dipergunakan pemeriksaan glukosa darah
Rata-rata hasil pemeriksaan beberapa kali glukosa darah dikonversikan ke HbA1c menurut criteria
Jalur alternatif, bila:
Tidak terdapat insulin
Diabetisi betul-betul menolak insuli
*Insulin intensif : penggunaan insulin basal bersamaan denganKendali
insulinglukosa
prandialbelum optimal
GHS
+
Kombinasi 3
BAB III
PENUTUP
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak bisa menggunakan insulin
dengan efektif. Seseorang dengan penyakit diabetes tidak dapat menyerap glukosa
dengan benar sehingga glukosa tersebut tetap berada dalam sirkulasi darah atau
disebut hiperglikemia yang dapat merusak jaringan tubuh setiap waktu.
Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah terdapat gejala DM dan kadar
random plasma glukosa sebesar 200 mg/dL, kadar glukosa puasa 126 mg/dL,
kadar glukosa 2 jam setelah tes toleransi glukosa 200 mg/dL, dan kadar
glikosilat hemoglobin atau HbA1c 8% (Priyanto, 2008).
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes melitus, yaitu (ADA, 2015) Diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe
2, Diabetes melitus Gestasional, Diabetes tipe lain.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H.
Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan) Edisi 8. Jakarta : EGC.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.,
2008, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
1205-1241, The McGraw-Hill Companies, Inc. New York, United States
of America.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Diabetes Melitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
International Diabetes Federation. 2013. IDF Diabetes Atlas, 6th Ed. International
Diabetes Federation
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan
Kusnandar. 2009. ISO Farmakoterapi, 26, PT ISFI Penerbitan. Jakarta
Barat.