PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur pulau Jawa. Tepatnya
di kecamatan Tegal delimo Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Alas
Purwo merupakan suaka marga satwa sekaligus Taman Nasional dengan luas
430.420 Ha.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, hutan mangrove,
hutan tropis dataran rendah (hutan heterogen), dan sebagian hutan tanaman,
padang rumput, dan hutan bambu. Adapun cuplikan yang diambil berada pada
area hutan heterogen Alas Purwo yang mana di dalam tanahnya didiami oleh
berbagai fauna tanah.
Secara umum Taman Nasional Alas Purwo kondisi geografisnya
bervariasi, dengan puncak tertinggi pada gunung Linggamanis (322 m dpl). Pada
dataran rendah terdapat rawa-rawa terletak di sebelah barat. Di sebelah timur
terdapat bukit Gampang yang terjal. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo
didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Salah satu bagian dari hutan tropik
dataran rendah yaitu hutan pantai.
Menurut Odum, 1993 hutan pantai terdiri dari dua daerah yang berbeda,
yaitu hutan mangrove dan hutan campuran. Hutan mangrove terdapat di sepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan
campuran pohonnya selalu hijau dan tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi,
karena curah hujan tinggi, kandungan humus tinggi, dan penyinaran matahari
lebih lama.
Pada ekosistem daratan, organisme tanah merupakan pengurai yang
berfungsi untuk mengubah bahan organik menjadi senyawa lain yang bermanfaat
bagi kesuburan tanah. Fauna tanah seperti keong, bekicot, dan rayap sangat
penting peranannya dalam proses dekomposisi, sebelum proses dekomposisi lebih
lanjut oleh mikroorganisme tanah (Hakim, 1986 dalam Andayani, 2001). Hewan
tanah biasa ditemukan di tempat teduh, tanah yang lembab, sampah padang
rumput, di bawah kayu lapuk, dan tempat lembab yang lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, yaitu habitat yang bermacam-macam pada
hutan pantai, dimungkinkan mempunyai keanakaragaman jenis fauna tanah yang
berbeda. Berkaitan dengan hal tersebut maka diadakan observasi dengan judul
Studi Keanekaragaman Dan Kemerataan Hewan Tanah Di Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur.
B. Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis hewan tanah yang terdapat di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis hewan tanah di
hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Mengetahui pola distribusi jenis hewan tanah di hutan pantai Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi.
4. Mengetahui spesies hewan tanah yang paling dominan di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
C. Manfaat Penelitian
1. Dengan menerapkan metode Pitfall Trap, mahasiswa dapat mengetahui
keanekaragaman, kemerataan, serta kekayaan jenis hewan tanah di hutan
pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis hewan tanah yang ada di hutan pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Mahasiswa mengetahui kehidupan organisme dalam tanah dan peranannya
bagi ekosistem yang ditempatinya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
. . .
.
. .
.
. .
. . .
A B C
Gambar 2.1 Pola sebaran populasi A. acak, B. mengelompok, C. seragam
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif untuk
memperoleh informasi tingkat keanekaragaman dan kemerataan hewan tanah di
Taman Nasional Alas Purwo Bayuwangi.
B. Obyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis hewan tanah yang
berada di hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo Bayuwangi. Sedangkan
sampel dalam penelitian ini adalah jenis hewan tanah yang tertangkap dalam
sumur jebakan (Pitfall Trap).
2. Bahan
Larutan alkohol 15 % Larutan formalin 70%
Larutan gliserin 15% Larutan aquades
E. Prosedur Kerja
1. Melakukan observasi untuk mengetahui lokasi penelitian di hutan pantai
Triangulasi Alas Purwo Banyuwangi.
2. Menentukan lokasi pengambilan cuplikan yang dimulai dari bagian tepi pantai
menuju hutan pantai sebanyak 25 plot untuk masing-masing kelompok.
3. Memasang jebakan Pitfall Trap pada masing-masing plot (gambar 3.1):
a) Menggali tanah sedalam + 10 cm dengan alat penggali tanah,
b) Memasukkan gelas air mineral yang telah berisi campuran aquades, alkohol
15%, dan gliserin 15% (perbandingan 3 : 1 : 1) ke dalam tanah yang telah
digali,
c) Meratakan permukaan tanah dengan bagian mulut gelas air mineral,
d) Menutupi gelas air mineral dengan serasah daun.
4. Mengambil jebakan Pitfall Trap setelah + 24 jam.
5. Memasukkan spesimen ke dalam botol film yang telah ditetesi formalin 70%
sebanyak 3 tetes.
6. Mengidentifikasi spesimen hewan tanah di lapangan.
7. Melakukan kegiatan identifikasi lanjutan di Laboratorium Ekologi ruang 109
di gedung Biologi Universitas Negeri Malang.
d
e
Tanah a Tanah
b
c
No. Taksa
Stasiun X
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Total
H
E
R
H = - Pi ln Pi
Keterangan: Pi = n/N
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
n : Jumlah masing-masing spesies
N : Jumlah total spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
2) Setelah memperoleh indeks keanekaragaman ShanonWiener, selanjutnya
menghitung nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:
H'
E
ln .S
Keterangan: E : Indeks kemerataan evennes
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
3) Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indeks
Richness:
S 1
R
ln .N
Keterangan: R : Indeks Richness
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
4) Untuk mengetahui dominansi suatu spesies dilakukan perhitungan nilai
dominansi sebagai berikut:
n
D 100%
N
Stasiun H E R
1 2,37608 0,78045 4,19227
2 2,54213 0,78976 4,7466
3 2,02403 0,6288 4,16975
4 2,24535 0,70652 4,641
5 2,19032 0,65047 5,18695
6 1,34439 0,44158 3,46534
7 2,26472 0,73267 3,91015
8 2,18037 0,69538 4,25026
9 1,67524 0,52044 4,17205
10 2,58123 0,8019 4,71736
11 1,83484 0,55064 4,41473
12 2,72507 0,80121 6,05745
13 2,26851 0,68078 5,31349
14 2,32229 0,73073 4,72518
15 2,37216 0,70447 5,91191
16 2,55908 0,85424 4,69942
17 2,56798 0,83078 4,56009
18 2,32448 0,77593 3,73912
19 2,66368 0,81756 5,96708
20 2,76567 0,90841 4,82726
21 1,85935 0,72491 2,98111
22 2,41049 0,8694 3,83433
23 2,34738 0,86682 3,82142
24 2,2152 0,83939 3,37649
25 2,08875 0,79148 3,21539
Grafik 4.1. Grafik Nilai Indeks Keanekaragaman Hewan Tanah di Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Grafik 4.2. Grafik Nilai Indeks Kemerataan Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Grafik 4.3. Grafik Nilai Indeks Kekayaan Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2) Kemerataan
Berdasarkan analisis tentang nilai indeks kemerataan, diperoleh indeks
kemerataan yang berkisar antara 0 0,90841. Indeks kemerataan ini digunakan
untuk melihat kemerataan pembagian individu di antara spesies yang ada (Odum,
1993 dalam Fatawi, 2002). Indeks kemerataan yang berkisar antara 0 0,90841
yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kondisi habitat pada semua lokasi
penelitian adalah heterogen, artinya kondisi faktor biotik dan abiotiknya lebih
bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mabdoan (1996) dalam Wulandari
(1999) dalam Fatawi (2002) bahwa keberadaan individu masing-masing spesies
pada suatu lokasi cukup berimbang jika nilai indeks kemerataan (Evennes) relatif
mendekati 1.
Nilai indeks kemerataan tertinggi terdapat pada stasiun 20 ini
menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut hewan tanah yang ditemukan memiliki
batas toleransi yang hampir sama terhadap kondisi abiotik dan ketersediaan
sumber daya yang ada.
3) Kekayaan
Dari hasil penelitian diperoleh nilai indeks kekayaan jenis yang berkisar
antara 2,98111 6,05745. Nilai indeks kekayaan tertinggi terdapat pada stasiun
12. Menurut Odum (1993) dalam Fatawi (2002) indeks kekayaan jenis cukup
tinggi artinya jenis fauna tanah yang menghuni lokasi tersebut cukup beragam,
sehingga memiliki kondisi lingkungan yang optimum. Karena banyak macam
jenis yang mendiami habitat tersebut, maka kemungkinan dapat terjadi rantai
makanan yang panjang dan peluang yang lebih besar untuk terjadinya interaksi
antar anggota penyusunnya, sehingga kondisi lingkungannya mantap.
Sebagaimana halnya dengan indeks keanekaragaman dan indeks
kemerataan, tingginya indeks kekayaan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, seperti jenis vegetasi tumbuhan, kondisi lingkungan yang lebih
heterogen dan kompleks, serta pH tanah.
A. Kesimpulan
1. Dalam observasi ini ditemukan jenis-jenis hewan tanah sejumlah 170 spesies.
Spesies Tulorchesia capensis dan Monomorium sp. ditemukan pada hampir
semua plot sampel.
2. Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,34439 - 2,76567,
keanekaragaman tertinggi pada stasiun 20 dan terendah pada stasiun 6. Untuk
Indeks kemerataan berkisar antara 0,44158 - 0,90841. Nilai indeks kemerataan
tertinggi pada stasiun 20, sedangkan yang terendah pada stasiun 6. Sedangkan
nilai indeks kekayaan jenis berkisar antara 2,9811 6,05745. Nilai indeks
kekayaan tertinggi terdapat pada stasiun 12 sedangkan yang terendah pada
stasiun 21.
3. Pola distribusi hewan tanah pada 25 stasiun umumnya mengelompok, merata,
dan acak. Sebaran besar penyebarannya secara mengelompok, hanya sedikit
saja yang merata.
4. Spesies hewan tanah di hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo yang paling
dominan adalah Tulorchesia capensis.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pengukuran faktor biotik dan faktor abiotik dari
lingkungan sehingga didapatkan data yang dapat menunjukkan hubungan
konkret antara keberadaan hewan dengan kondisi lingkungannya.
2. Sebaiknya kompilasi data dilakukan lebih awal supaya memperlancar
pembuatan laporan.
3. Kerja sama antar kelompok perlu ditingkatkan guna kelancaran pembuatan
laporan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur pulau Jawa. Tepatnya
di kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Alas Purwo
merupakan suaka marga satwa sekaligus Taman Nasional dengan luas 430.420
Ha. Berdasarkan keputusan menteri kehutanan No.283/kpts-II/1992 tanggal 26
Februari 1992 secara resmi taman nasional ini ditetapkan sebagai Taman
Nasional.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan konservasi flora dan
fauna yang didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Menurut Syafei (1990)
hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik dataran rendah. Pada hutan ini
hutan jatuh sepanjang tahun, umumnya dengan satu bulan atau lebih dengan
periode relatif kering. Suhu dan laju penyinaran adalah tinggi dan sangat kecil
adanya variasi musim. Hutan pantai terbagi atas dua daerah yang berbeda yaitu
hutan mangrove dan hutan campuran (Odum, 1993). Pertumbuhan yang secara
terus-menerus pada daerah beriklim tropis ini mampu menunjang jumlah biomasa
hewan yang hidup di kawasan hutan sehingga rantai makanan panjang dan sangat
kompleks.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, hutan mangrove,
hutan tropis dataran rendah (hutan heterogen), dan sebagaian hutan tanaman,
padang rumput, dan hutan bambu. Adapun cuplikan yang diambil berada pada
area hutan heterogen Alas Purwo yang mana di dalam tanahnya didiami oleh
berbagai fauna tanah.
Secara umum Taman Nasional Alas Purwo kondisi geografisnya
bervariasi, dengan puncak tertinggi pada gunung Linggamanis (322 m). Pada
dataran rendah terdapat rawa-rawa terletak di sebelah barat. Di sebelah timur
terdapat bukit Gampang yang terjal. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo
didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Salah satu bagian dari hutan tropik
dataran rendah yaitu hutan pantai (Irawan, 1999).
Berdasarkan sebaran vegetasi tumbuhan yang ada di kawasan hutan pantai
Taman Nasional Alas Purwo ini dari tepi pantai ke arah daratan, vegetasi berubah
dari vegetasi mangrove menjadi vegetasi hutan heterogen. Fisiognomi vegetasinya
memiliki kanopi yang lebat sehingga cahaya matahari tidak sampai ke dasar
hutan. Kondisi ini berpengaruh terhadap hewan di dalamnya. Menurut Syafei
(1990) hewan yang hidup di suatu daerah (habitat) tertentu memiliki cara khas
ynag bergantung pada spesies tumbuhannya.
Serangga merupakan golongan hewan yang dominant di muka bumi
sekarang ini. Dalam jumlah, mereka melebihi semua hewan melata darat lainnya
dan praktis mereka terdapat dimana-mana. Serangga telah hidup di bumi kira-kira
350 juta tahun, dibanding dengan manusia yang kurang dari 2 juta tahun (Borror,
1992). Menurut Ferb (1989) dalam Irawan (1999), hutan mampu menampung
kepadatan populasi serangga lebih besar dibandingkan dengan hewan lain
sehingga apabila dibandingkan antara massa keseluruhan hewan lain maka massa
serangga lebih besar.
Menurut Widagdo (2002) serangga malam merupakan hewan nokturnal
yaitu hewan yang beraktivitas pada malam hari dengan menggunakan sebagian
besar hidupnya tanpa cahaya matahari. Untuk itu sudah tentu serangga malam
memiliki mekanisme tertentu untuk bisa bertahan hidup dan berkembang biak.
Berdasarkan uraian di atas, fenomena stratifikasi vegetasi hutan pantai
yang berhubungan dengan keberadaan komunitas serangga menarik untuk dikaji.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan KKL Ekologi Hewan
maka diadakan observasi dengan judul Keanekaragaman, Kemerataan, dan
Kekayaan Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka observasi ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis serangga
malam di kawasan hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi
3. Untuk mengetahui pola distribusi jenis serangga malam di kawasan hutan
pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
4. Untuk mengetahui waktu aktif serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
5. Untuk mengetahui spesies apakah yang paling dominan pada tiap-tiap waktu
pengambilan sampel serangga malam di kawasan hutan pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
C. Manfaat Observasi
Manfaat dari observasi ini, adalah:
Bagi mahasiswa
1. Dapat menginventarisasi jenis-jenis serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
2. Dapat mengetahui pengaruh waktu terhadap keanekaragaman, kemerataan,
dan kekayaan serangga malam di kawasan hutan pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
3. Dapat mengetahui pola distribusi serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Bagi dunia pendidikan
1. Dapat menambah informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang entomologi.
2. Dapat menjadi informasi bagi dunia pendidikan dalam kegiatan belajar
mengajar khususnya kegiatan praktikum lapangan untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih mendalam tentang materi avertebrata kelas insecta.
3. Bisa digunakan sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan serangga malam yang ada di Taman Nasional Alas
Purwo, Banyuwangi.
D. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya terbatas pada serangga malam di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo nilai dari hutan mangrove yang berbatasan dengan pantai
sampai kehutan peralihan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Biologi Serangga
1. Stuktur Luar Tubuh Serangga
Serangga terrgolong filum Arthropoda, subfilum Mandibulata, dan kelas
Insekta. Tubuh serangga terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (torak),
dan perut (abdomen). Pada kepala terdapat alat-alat untuk memasukkan makanan
atau mulut, mata majemuk (mata faset) dan sepasang antena. Thoraks terdiri dari
tiga ruas yang berturut-turut dari depan yaitu prothoraks, mesothoraks dan
metathoraks. Ketiga ruas thoraks tersebut pada hampir semua serangga dewasa
dan sebagian serangga muda memiliki tungkai. Sayap terdapat pada mesothoraks
jika satu pasang, dan terdapat pada metathoraks jika dua pasang. Abdomen
merupakan bagian tubuh yang hanya sedikit mengalami perubahan, berisi
antaranya adalah alat pencernaan. Tidak seperti vertebrata serangga tidak
memiliki kerangka dalam. Tubuh serangga ditopang oleh pengerasan dinding
tubuh melalui proses sklerotisasi yang berfungsi sebagai kerangka luar
(eksoskeleton). Dinding tubuh (integumen) serangga terdiri atas satu lapis
epidermis dan selaput dasar dan kutikula (Widagdo, 2002).
2. Jenis-jenis Serangga yang Banyak Ditemukan di Indonesia
Menurut Jumar (2000) dalam Widagdo (2002), kelas Insekta terbagi
menjadi dua sub kelas yaitu Apterygota dan sub kelas Pterygota. Sub kelas
Apterygota memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
Serangga primitif yang berukuran kecil.
Tidak memiliki sayap sejak nenek moyangnya.
Mempunyai struktur thoraks yang sederhana.
Pada abdomen terdapat satu pasang embelan atau lebih selain embelan alat
kelamin.
Tidak mengalami metamorfosis.
Sedangkan ciri-ciri sub kelas Pterygota adalah sebagi berikut:
Pada serangga dewasa prothoraks membesar atau termodifikasi untuk
menunjang sayap.
Sayap serangga dewasa memiliki satu atau dua pasang sayap, kehilangan
sayap pada proses evolusinya.
Abdomen tanpa embelan kecuali embelan alat kelamin.
Mengalami metamorfosis.
Menurut Siwi (1991) dalam Widagdo (2002), ordo-ordo serangga yang
sering dijumpai di Indonesia adalah sebagai berikut:
Ordo Odonata
Ukuran tubuh sedang sampai besar, antena pendek dan kaku, abdomen
panjang dan ramping. Tipe alat penggigit pengunyah, sayap seperti selaput
yang mempunyai banyak vena.
Ordo Orthoptera
Ukuran tubuh sedang sampai besar, ada yang bersayap dan tidak. Yang
bersayap mempunyai dua pasang sayap. Sayap depan panjang dan menyempit,
banyak vena, menebal seperti kertas parkamen. Alat mulut penggigit
pengunyah.
Ordo Plecoptera
Warna tubuh pudar, tidak mengkilap ukuran tubuh sangat kecil, antena
panjang. Ada yang bersayap ada yang tidak, ada yang bersayap panjang dan
ada pula yang pendek, sayap seperti selaput. Tipe lalat mulut penggigit.
Ordo Dermaptera
Jantan mempunyai forcep yang kokoh dan kasar (bergerigi), betina lebih
langsing dan ramping. Tubuh pipih, berukuran kecil sampai sedang.
Ordo Isoptera
Sayap dua pasang, membraneus, sayap depan dan belakang mempunyai
bentuk dan ukuran yang sama, ada yang tidak bersayap. Alat mulut penggigit
dan pengunyah.
Ordo Hemiptera
Tubuh pipih, ukuran sangat kecil sampai besar. Yang bersayap, pada bagian
pangkal sayap menebal sedangkan ujungnya membraneus.
Ordo Mecoptera
Tubuh ramping dengan ukuran kecil sampai sedang, kepala dengan muka
panjang, alat mulut penggigit dan memanjang kearah bawah berbentuk seperti
parut.
Ordo Trichoptera
Ukuran tubuh kecil sampai sedang, sayap seperti selaput, agak berambut dan
bersisik. Warna suram, antena panjang dan ramping, alat mulut penggigit.
Ordo Lepidoptera
Sayap dua pasang tertutup buku dan sisik. Antena agak panjang, mulut pada
larva bertipe pengigit pengunyah dan pada dewasa penghisap.
Ordo Coleoptera
Sayap depan keras, tebal, menanduk yang berfungsi sebagai pelindung.
Ukuran tubuhnya 0,5-125 mm. Sayap belakang membraneus dan melipat di
bawah sayap depan. Alat mulut menggigit dan habitatnya di berbagai
ekosistem. Contohnya: Hydrophilus triangularis.
Ordo Hymenoptera
Tubuh berukuran 5-40 mm, sayap dua pasang yang seperti selaput. Sayap
depan lebih besar, antena 10 ruas, mulut penghisap. Habitatnya yang dewasa
disegala habitat. Contohnya, Formica sp.
Kedua belas ordo tersebut sering ditemukan di Indonesia dan aktif pada
malam hari.
3. Serangga Malam
Menurut Odum (1993) serangga malam merupakan golongan hewan yang
menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk beraktifitas pada malam hari.
Sebagai hewan berdarah dingin (poikilotermik) serangga memiliki mekanisme
pertahanan diri terhadap suhu yang rendah. Borror, dkk (1992) menjelaskan
bahwa beberapa serangga tahan hidup pada suhu-suhu yang rendah ini
menyimpan etilen glikol di dalam jaringan tubuh mereka untuk melindungi dari
pembekuan.
Aktifitas serangga malam dalam mencari makan pada malam hari
sekaligus merupakan mekanisme yang membantu dalam mempertahankan diri
terhadap suhu rendah. Seperti penjelasan Borror, dkk (1992) bahwa pada
kebanyakan serangga, aksi urat-urat daging thoraks dalam penerbangannya
biasanya meningkatkan suhu tubuh serangga di atas suhu lingkungan tersebut.
1. Faktor waktu
Dalam Irawan (1999) disebutkan bahwa waktu mempengaruhi kematangan
suatu komunitas. Selama perubahan waktu suatu organisme akan berkembang dan
mengalami proses keanekaragaman menjadi lebih baik. Ditambahkan lagi bahwa
keanekaragaman ini merupakan produk evolusi. Di daerah tropis organisme
berkembang dan memiliki keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan dengan
organisme di daerah kutub. Dan komunitas memiliki proses keanekaragaman
sepanjang waktu sehingga komunitas yang lebih tua memiliki banyak spesies
daripada komunitas yang muda.
3. Faktor kompetisi
Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi
mempengaruhi kekayaan spesies yang digambarkan melalui hubungan relung
antar spesies. Faktor ini sangat penting dalam evolusi karena merupakan
persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan menjadi lebih terbatas dan
makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah tropis memiliki
lebih banyak spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang
tinggi.
4. Faktor predasi
Predasi dan kompetisi sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies.
Dalam komunitas yang kompleks dan mendukung banyak spesies, interaksi yang
dominan adalah predasi, sedangkan dalam komunitas sederhana yang dominan
adalah kompetisi. Keberadaan predator dan parasit dapat menekan populasi
mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah. Adanya pengurangan kompetisi
memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan mendukung
munculnya predator baru.
6. Faktor produktivitas
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) stabilitas dari produksi
primer mempunyai pengaruh utama terhadap keanekaragaman spesies dalam
komunitas. Semakin besar produktivitasnya maka keanekaragamannya juga
semakin besar. Namun tidak selalu benar kalau semakin rendah produktivitasnya
maka keanekaragamannya juga semakin rendah. Ada kemungkinan besar bahwa
overlap bisa terjadi antar keenam faktor di atas.
C. Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo terletak di kecamatan Tegaldlimo kabupaten
Banyuwangi yang merupakan tempat konservasi flora dan fauna. Taman Nasional
Alas Purwo mempunyai luas 43.420 ha. Kawasan ini didominasi oleh hutan tropik
dataran rendah.
Menurut Syafei (1990) hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik
dataran rendah. Pada hutan ini hujan jatuh sepanjang tahun, umumnya dengan
satu bulan atau lebih dengan periode relatif kering. Suhu dan laju penyinaran
adalah tinggi dan sangat kecil adanya variasi musim.
1. Hutan Mangrove
Menurut Nontji (1987) dalam Widagdo (2002) mangrove adalah tipe hutan
yang khas, terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Istilah mangrove digunakan sebagai pengganti istilah bakau.
Hutan mangrove di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh genus
Rhizopora dan Aricennia.
2. Hutan campuran
Hutan campuran di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh pohon
yang selalu hijau dan sangat tinggi. Hutan campuran daunnya berkecenderungan
hijau tua dan rimbun. Teksturnya yang berkulit kayu mampu melindungi dari suhu
yang tinggi dan juga penyinaran yang berlebihan (Syafei, 1990).
Keanekaragaman pohon di hutan campuran sangat tinggi. Menurut Anwar
(1984) dalam Irawan (1999) keanekaragaman yang tinggi tersebut disebabkan
oleh adanya kandungan humus pada tanah hutan campuran lebih rendah dari pada
hutan yang beriklim sedang, curah hujan yang lebih besar, cahaya matahari
bersinar lebih lama.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode
survei yang diatur secara sistematik yang bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang keanekaragaman serangga malam.
E. Prosedur Kerja
1. Observasi
Observasi dilakukan sebelum pengambilan data bertujuan menentukan
metode penelitian yang tepat dan lokasi yang memungkinkan untuk pengambilan
data, sesuai dengan kriteria yang diharapkan yaitu pada Hutan Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Memasang lampu badai di atas nampan yang sudah diisi dengan alkohol 15 %,
gliserin 15 % dan aquades.
Menempatkan alat light trap pada masing-masing plot atau lokasi yang telah
ditentukan.
3. Tahap Pelaksanaan
Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan pada Hutan Pantai
meliputi hutan mangrove, daerah peralihan dan hutan heterogen yang kemudian
diukur dengan menggunakan roll meter untuk menentukan jarak antara plot yang
satu dengan plot yang lain. Dalam penelitian ini ada 19 plot lokasi.
4. Pengambilan Data
Untuk pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Light trap dipasang dikesembilan belas plot lokasi yang telah ditentukan.
Light trap mulai dinyalakan pada pukul 19.00-03.00 WIB.
Data diambil setiap dua jam sekali pada pukul 21.00, 23.00, 01.00 dan 03.00
WIB.
Kesembilan belas plot atau lokasi tadi dianggap sebagai ulangan.
Tiap serangga yang didapat dimasukkan ke dalam plakon yang berisi
campuran bahan pengawet yang terdiri dari alkohol 15%, gliserin 15% dan
aquades dengan perbandingan 3:1:1, dan masing-masing diberi kode dengan
menggunakan kuas.
Serangga hasil tangkapan kemudian diidentifikasi di Laboratorium Ekologi
jurusan Biologi FMIPA UM.
Ln
H
E
Keterangan: Pi = n/N
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
n : Jumlah masing-masing spesies
N : Jumlah total spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
Waktu Pengambilan H E R
19.00-21.00 7,795 7,795 0,519
21.00-23.00 6,954 6,954 0,629
23.00-01.00 5,741 5,741 0,665
01.00-03.00 5,613 5,613 0,325
Grafik 4.3. Grafik Indeks Kekayaan Serangga Malam Di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Grafik 4.4. Grafik Nilai Predominasi Monomorium sp. Pada Tiap Waktu
Pengambilan Di Hutan Pantai Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
BAB V
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
1. Jenis-jenis serangga malam yang dapat ditemukan di Kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi terdiri dari banyak
spesies dan berasal dari genus yang bervariasi. Hal ini berkaitan dengan
kondisi lingkungan, baik itu berupa fakor abiotik maupun biotik. Faktor
abiotik diantaranya adalah suhu, kelembaban, pH, dan juga cahaya.
Sedangkan faktor biotik adalah sumber makanan yang berupa tumbuhan
maupun serangga yang lain.
2. Keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan serangga malam di
kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
diperoleh kecenderungan rata-rata nilai indeks keanekaragaman yang hampir
sama pada ketiga waktu pengambilan, indeks keanekaragaman terendah
diperoleh pada pukul 01.00-03.00 WIB yaitu sebesar 1,3. Sedangkan indeks
keanekargaman tertinggi diperoleh pada pukul 19.00-01.00 WIB.
Kemerataan serangga malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi ketiga waktu pengambilan pukul 19.00-
21.00 WIB, 21.00-23.00 WIB, dan 23.00-01.00 WIB diperoleh indeks
kemerataan yang hampir sama besarnya, sedangkan pengambilan pada pukul
01.00-03.00 WIB diperoleh indeks kemerataan yang lebih kecil yaitu sebesar
0,34743811. Hal ini bisa disebabkan pada pukul 03.00 WIB ini waktu sudah
mendekati pagi, sehingga kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban,
oksigen, pH, dan cahaya sudah berbeda. Sehingga hanya jenis serangga
tertentu saja yang muncul dan dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan
di pagi hari.
Kekayaan serangga malam didapatkan dari nilai indeks kekayaan (R) tertinggi
didapatkan pada pengambilan pukul 19.00-21.00 WIB yaitu sebesar
15,14829793. Hal ini berkaitan dengan waktu aktif serangga malam, dimana
pada pukul 19.00-21.00 WIB merupakan waktu aktif bagi serangga malam,
sehingga jumlah serangga yang tertangkap lebih banyak daripada waktu-
waktu pengambilan sampel yang lain, selain itu bisa juga dimungkinkan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban.
3. Pola distribusi serangga malam di Kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi didapat dari
perbandingan antara nilai rata-rata (x) dengan nilai varian (V). Pola
penyebaran serangga malam ada yang mengelompok, dan ada yang merata.
Pola penyebaran yang berbeda ini bisa dimungkinkan disebabkan oleh
kebutuhan serangga malam dalam dalam mencari sumber makanan.
Pola penyebaran serangga malam meliputi dua daerah yaitu, hutan mangrove
dan hutan peralihan.
4. Waktu aktif serangga malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi memiliki periode kemunculan yang tidak
sama dari empat rentangan waktu pengambilan sampel. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui waktu aktif serangga malam yaitu pada pukul 19.00-
21.00 WIB dengan jumlah perolehan sampel paling tinggi jika dibandingkan
dengan waktu-waktu pengambilan sampel yang lain. Pada waktu ini berarti
serangga aktif melakukan aktifitas hidupnya, seperti mencari makan, sekaligus
merupakan mekanisme untuk mempertahankan diri dari suhu yang ekstrim.
Ada beberapa genus tertentu yang bisa diketemukan pada keempat waktu
pengambilan seperti Monomorium, Oniscus, Harmolita, hal ini berarti bahwa
hewan tersebut mempunyai waktu beraktifitas pada malam hari yang panjang
sehingga kisaran untuk memperoleh peluang mencari makan juga besar dan
berarti pula bahwa hewan tersebut bisa mempunyai kisaran toleransi untuk
hidup juga besar.
5. Dominansi spesies serangga malam yang ditemukan pada tiap-tiap
jam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi dapat diketahui bahwa serangga malam yang paling
mendominasi adalah spesies Monomorium sp. spesies ini termasuk dalam ordo
Isoptera.
B. Saran
1. Sebaiknya pengambilan data untuk faktor abiotik (suhu, kelembaban, dan
intensitas cahaya) bisa lebih teliti dan lebih diperhatikan.
2. Untuk kompilasi data kelas sebaiknya dilakukan lebih awal agar bisa
memperlancar penyelesaian laporan.
3. Diperlukan kerja sama dari para asisten supaya pembuatan laporan
dapat berjalan dengan lancar dan tidak terjadi kerancuan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan yang digunakan sebagai
kawasan pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian sumber daya alam,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi merupakan salah satu aset Nasional yang secara resmi terpisah dari
kawasan Taman Nasional Baluran sejak tahun 1990. Tempat ini merupakan cagar
alam dan suaka margasatwa yang dapat digunakan sebagai media dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian SDA. Secara geografis kawasan
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung Timur pulau Jawa, tepatnya berada
di Kecamatan Tegal Dlimo, Kabupaten Banyuwangi, dengan luas 433.420 Ha.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, padang rumput,
dan hutan bamboo yang mendominasi 40% dari luas kawasan. Menurut
Dharmawan (2004) ekosistem lahan basah di Alas Purwo yang terdiri dari hutan
mangrove dan hutan perairan laguna, yang secara fungsional kedua ekosistem ini
saling berinteraksi.
Hutan Mangrove pada dasarnya adalah suatu kawasan yang terletak
menyebar di sepanjang garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air. Komponen abiotik dan biotik di hutan mangrove tersebut saling
berinteraksi membentuk suatu mangrove.
Ekosistem mangrove yang identik dengan ekosistem perairan akan sangat
mempengaruhi keanekaragaman jenis-jenis hewan lautnya. Hutan mangrove pada
prinsipnya berfungsi sebagai tempat asuhan (nusery ground) bagi berbagai jenis
hewan akuatik yang beranekaragam, seperti ikan, udang, dan berbagai jenis hewan
mollusca. Hutan mangrove di Indonesia terdapat 88 jenis Crustaceae dan 65 jenis
Mollusca (Nontji, 1987).
Daerah pasang surut tidak luput dari pengaruh komponen-komponen yang
ada dalam hutan mangrove. Di daerah pasang surut ini secara langsung ataupun
tidak langsung akan saling berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada
dalam hutan mangrove baik berbagai komponen biotik maupun abiotiknya.
Berbagai komponen biotik tersebut akan saling berinteraksi membentuk suatu
populasi. Berbagai komponen biotik dan abiotik di daerah pasang surut akan
membentuk suatu rangkaian proses dekomposisi melalui suatu rantai makanan
yang hasilnya merupakan makanan bagi komponen biotik laguna, yaitu berbagai
jenis Mollusca, decapoda, dan berbagai mikroba. Rangkaian proses tersebut dapat
diketahui dari kepadatan organisme yang terdapat di tempat tersebut, dan
merupakan indikator dalam memprediksi adanya unsur hara yang terkandung di
dalamnya (Odum, 1993).
Pantai Pancur merupakan salah satu kawasan yang dikelola di bawah
Resort Pancur. Pantai Pancur terletak 77 km dari Banyuwangi. Di perairan Pantai
Pancur Taman Nasional Alas Purwo banyak terdapat makro invertebrata
diantaranya Mollusca. Ada sebagian Mollusca yang hidup di lingkungan perairan
sebagai bentos baik air tawar, payau maupun laut. Lebih lanjut diungkapkan
dalam habitatnya menempati dasar perairan yang membenamkan diri pada
substrat lumpur dan pasir, sehingga terlindung dari perubahan faktor-faktor
lingkungan yang menghambat kelangsungan hidupnya. Untuk mempelajari
Ekologi Hewan khususnya tentang keanekaragaman Mollusca, mahasiswa harus
terjun langsung ke lapangan agar mudah dalam mengkajinya, kegiatan ini
ditunjang dengan kuliah kerja lapangan yang dilaksanakan di Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi. Dengan mengamati Mollusca yang terdapat di Pantai
Pancur, maka mahasiswa dapat mengkajinya melalui keanekaragaman,
kemerataan, kekayaan, pola distribusi, dan nilai penting spesies-spesies yang
ditemukan dan juga dapat mengidentifikasi Mollusca melalui bentuk
morfologinya.
Mollusca adalah salah satu organisme yang mampu bertahan hidup pada
kondisi ekosistem yang sangat bervariasi. Mollusca mampu hidup pada daerah
yang ekstrim, seperti daerah kutub, padang pasir, di dalam goa-goa, sumber air
yang salinitasnya tinggi, sumber air yang kaya mineral dan sebagainya. Untuk
daerah yang sesuai seperti daerah tropis atu subtropis. Mollusca dapat
berkembang dengan cepat dalam jumlah individu dan variasi ornamentasi
(Zuraidah, 2001).
Ciri-ciri Mollusca secara umum adalah tubuh lunak dan tidak berbuku-
buku biasanya tubuh bercangkok (berubah) dari zat kapur, hewan ini ada yang
hidup di darat, di air tawar dan ada pula yang hidup di laut, tubuh simetri bilateral,
jenis kelamin umumnya terpisah, tetapi dapat juga hermaprodit, cangkang
dibentuk oleh mantel, badan terdiri dari kepala, kaki dan massa jerohan, kaki
termodifikasi untuk merayap, berenang bahkan untuk menangkap makanan
(Kastawi, 1986).
2. Tujuan
Dari latar belakang diatas maka observasi ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis Mollusca yang ada di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis Mollusca
di kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Untuk mengetahui pola distribusi jenis Mollusca di kawasan Pantai Pancur
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
4. Untuk mengetahui jenis Mollusca apa sajakah yang dominan pada tiap zona di
kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
D. Manfaat Observasi
Hasil dari observasi ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai
jenis Mollusca, keanekaragaman, kemerataan, kekayaan, pola distribusi, dan
mengetahui spesies Mollusca yang paling dominan di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi yang dapat dijadikan pijakan untuk informasi
obyek dan penentuan kebijakan konservasi sumber alam, selain itu dapat
digunakan untuk menambah wawasan mengenai Mollusca bagi pembaca pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
E. Definisi Istilah
Istilah-istilah penting yang perlu dijelaskan dalam observasi ini adalah:
1. Keanekaragaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cacah dan jumlah
individu dalam suatu komunitas (Soejipta, 1993).
2. Kemelimpahan adalah jumlah individu dalam satu spesies yang ada pada suatu
area atau tempat tertentu dan dibandingkan dengan spesies yang ada pada
suatu atau tempat lain (Soejipta, 1993).
3. Kekayaan adalah banyaknya suatu jenis spesies yang ada pada suatu area atau
tempat tertentu (Soejipta, 1993).
4. Jenis yang dimaksud adalah individu (spesies) tertentu.
5. Pola penyebaran merupakan pola meruang yang dikenal dalam komunitas
yaitu pola acak, mengelompok dan merata (Dharmawan, 2004).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Ekologi
Ekologi merupakan suatu ilmu tentang interaksi antara organisme dan
lingkungannya. Interaksi tersebut dalam bentuk memberi dan menerima, antara
stimulus serta tanggapan, antara stimulasi dan umpan balik. Sehubungan dengan
pengertian di atas Susanto (2000) mengungkapkan bahwa Ekologi hewan dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara hewan dengan
lingkungannya. Ekologi hewan menyangkut tiga aspek pokok, yaitu (1) deskriptif
menyangkut pengetahuan tentang cara hidup hewan yang meliputi: tingkah laku,
habitat, asal mula dan suksesi pembentukan komunitasnya. (2) kuantitatif
memberikan informasi yang menyangkut tentang batas-batas toleransi hewan
terhadap fluktuasi faktor lingkungan. (3) analitik-sintetik berusaha untuk
menganalisis lingkungan beserta pengaruhnya dengan cara memvariasikan kondisi
faktor tertentu di bawah kondisi faktor lain yang terkontrol.
Komponen dalam ekosistem ada dua macam yaitu: komponen biotik dan
abiotik. Pada komponen biotik ada beberapa komponen lagi yaitu produsen,
konsumen dan pengurai. Ketiga komponen biotik bersama dengan komponen
abiotik akan membantu suatu ruang ekologi yang nantinya akan terbentuk suatu
populasi, komunitas, dan ekosistem.
Populasi merupakan kelompok individu yang sama spesiesnya, komunitas
merupakan suatu satuan yang terdiri dari semua populasi yang menempati area
tertentu, dan ekosistem adalah hubungan antara komponen biotik dan abiotik
(Dharmawan, 2004).
Suatu bentuk populasi akan sangat bergantung pada tempat dimana
populasi tersebut tinggal dan akan memiliki ciri karakteristik tertentu sesuai
dengan daerah tempat tinggal dan jenis yang membentuk populasi tersebut.
Karakteristik dasar suatu populasi adalah ukuran besar populasi atau kerapatan
(Soetjipto, 1993). Menurut (Nybakken, 1998) berdasarkan hal di atas diketahui
adanya perbedaan jenis populasi dan berbagai karakteristik yang ada salah satunya
adalah jenis populasi yang ada pada daerah pasang surut (intertidal zone). Daerah
pasang surut merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di
samudra, dan merupakan kawasan pinggiran laut yang sangat sempit luasnya,
terletak di antara air tinggi dan air rendah.
Adanya pasang surut air laut akan sangat mempengaruhi bentuk populasi
dan komunitasnya, kerapatan populasi pada daerah ini pun berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan frekuensi dan besarnya pasang surut air laut serta
kondisi geologis pada daerah pasang surut tersebut.
B. Ciri Mollusca
Menurut (Kastawi, 2001) ciri-ciri umum yang dimiliki anggota Mollusca
adalah :
1. Tubuh bersimetri bilateral, tidak bersegmen, kecuali pada Monoplacophora.
2. Memiliki kepala yang jelas dengan organ reseptor kepala yang bersifat khusus.
3. Coelom mereduksi, dinding tubuh tebal dan berotot.
4. Pada permukaan ventral dinding tubuh terdapat kaki berotot dan secara umum
digunakan untuk bergerak.
5. Dinding tubuh sebelah dorsal meluas menjadi satu atau sepasang lipatan yaitu
mantel atau pallium. Fungsi mantel adalah mensekresi cangkang dan
melingkupi rongga mantel yang di dalamnya berisi insang.
6. Lubang anus dan ekskretori umumnya membuka ke dalam rongga mantel.
7. Saluran pencernaan berkembang baik. Sebuah rongga bukal yang umumnya
mengandung radula berbentuk seperti proboscis. Esophagus merupakan
perkembangan dari stomodium yang umumnya merupakan daerah khusus
untuk menyimpan makanan dan fragmentasi. Pada daerah pertengahan saluran
pencernaan terdapat ventrikulus atau lambung dan sepasang kelenjar
pencernaan yaitu hati. Sedangkan daerah posterior saluran pencernaan terdiri
atas usus panjang yang berakhir dengan anus.
8. Memiliki sistem peredaran darah dan jantung. Jantung dibedakan atas aurikel
dan ventrikel. Meskipun memiliki pembuluh darah namun darah biasanya
mengalami sirkulasi melalui ruang terbuka. Darah mengandung hemosianin,
merupakan pigmen respirasi.
9. Organ sekresi berupa ginjal yang berjumlah sepasang atau terkadang hanya
berjumlah satu buah. Ginjal berhubungan dengan rongga perikardium, tempat
jantung berada.
10. Memiliki sebuah cincin saraf yang berhubungan dengan dua pasang tali saraf.
Satu pasang tali saraf menuju ke kaki dan sepasang lainnya menuju ke organ
viseral dan mantel. Memiliki ganglion saraf yang biasanya berhubungan
dengan cincin saraf dan tali saraf.
11. Ovum berukuran kecil dan mengandung sedikit kuning telur.
Filum Mollusca dibagi menjadi tujuh atau delapan kelas, berdasarkan atas
kaki dan cangkang. Menurut Harris (1992) dalam Kastawi (2001) filum Mollusca
dibedakan menjadi tujuh kelas yaitu :
1. Kelas Aplacophora
Tidak memiliki cangkang, tubuh memiliki sisik kalkareus dan spikula
sebagai pengganti cangkang. Sebagian besar hewan ini berjalan perlahan di dasar
laut dan juga ditemukan melilit pada hydroid atau karang lunak (filum Cnidaria)
yang merupakan makanannya. Anggota kelas ini ada yang memiliki radula ada
juga yang tidak. Umumnya Aplacophora (neomeniomorf) adalah hermafrodit dan
saluran gonad meluas ke rongga mantel, bahkan salah satunya langsung dari
gonad lainnya biasanya dari rongga perikardial.
Gambar 2.1 Salah satu anggota kelas Aplacophora, Neomenia carinat (Engeman & Hegner,1981)
2. Kelas Monoplacophora
Memiliki sebuah cangkang dan bersifat bilateral simetri. Cangkang
Monoplacophora memiliki 3 sampai 8 pasang. Cangkang berbentuk perisai, kaki
pipih berguna untuk bergerak perlahan, sedikitnya sefalisasi, insang dan otot
retraktor yang jumlahnya berlipat, memiliki radula dan perut berbentuk kerucut
menyebabkan para ahli Mollusca berpendapat bahwa Monoplacophora merupakan
ancestor untuk gastropoda, bivalvia dan cephalopoda. Sistem pencernaannya
termasuk juga sebuah radula dan sebuah organ subradular terdapat di dalam
rongga bukal. Perut mengandung sebuah style sac dan crystalline style. Usus
berkelok-kelok bermuara pada anus. Sistem saraf Monoplacophora terdiri atas
sepasang ganglia serebra dan cincin saraf sirkum oral yang berhubungan dengan
sepasang tali saraf menuju organ viseral.
Gambar 2.2 Salah satu anggota kelas Monoplacophora, Neopilina (Engeman dan Hegner, 1981)
3. Kelas Polyplacophora
Tubuhnya dilindungi oleh delapan keping cangkang yang tersusun
tumpang tindih seperti genting. Tepi setiap keping cangkang ditutup oleh jaringan
mantel dan luas sempitnya penutupan tersebut berbeda antara satu spesies dengan
spesies lainnya. Cangkangnya hanya terdiri atas dua lapisan. Kakinya terletak di
permukaan ventral tubuh dan berfungsi untuk melekat juga untuk bergerak.
Biasanya bersifat fototaksis negatif, sehingga memiliki kecenderungan untuk
hidup di bawah batu karang. Alat respirasinya adalah insang bipectinate (ktenidia)
yang terletak di dalam lekuk mantel yaitu ruang yang terletak antara kaki dan
ruang mantel. Sistem pencernaannya tersusun atas: mulut yang terletak di daerah
pusat kepala, kemudian berlanjut pada faring yang mengandung jajaran gigi keras
(radula). Sistem sirkulasinya terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Alat
ekskresinya terdiri atas nefridium yang berjumlah sepasang, bermuara pada lekuk
mantel. Sistem sarafnya terdiri atas cincin sirkum-esofangeal dan dua pasang tali
saraf longitudinal. Sistem reproduksinya terdiri atas sebuah gonad yang terdapat
di anterior rongga perikardium di bawah keping cangkang bagian pertengahan.
Gambar 2.3 A. Bagian ventral tubuh Chiton (Engeman dan Hegner, 1981)
4. Kelas Scaphopoda
Dikenal sebagai siput gading atau Mollusca bercangkang gigi, kepala dan
kaki terdapat pada daerah terbesar dari cangkang yaitu daerah interior. Cangkang
sedikit melengkung, daerah konkaf cangkang merupakan daerah dorsal.
Umumnya Scaphopoda memiliki kebiasaan membenamkan diri di pasir pada
kedalaman air lebih dari 6 meter. Ujung posterior tubuh merupakan tempat
penghisapan dan pengeluaran air. Sistem sirkulasi mereduksi dan kemungkinan
tidak memiliki jantung namun hanya sebuah sistem sinus darah. Scaphopoda
bersifat diosius.
Gambar 2.4 Struktur tubuh anggota kelas Scaphopoda, Dentalium (Engeman dan Hegner, 1981)
5. Kelas Gastropoda
Memiliki ciri-ciri Mollusca yaitu adanya cangkang, mantel, kaki, organ
viseral, radula, dan biasanya memiliki sebuah atau beberapa insang. Cangkang
berbentuk spiral melindungi masa jerohan yang terdiri atas bagian-bagian dari
saluran pencernaan, alat peredaran, alat respirasi dan alat reproduksi. Alat
sirkulasi dan respirasi: Darah bekicot terdiri atas sel-sel darah dan plasma darah
yang tidak berwarna. Alat ekskresi, terdiri atas ginjal yang terletak dekat jantung.
Sistem saraf, sebagian besar jaringan saraf berpusat di belakang masa bukal dan
membentuk cincin di sekitar esofagus. Inderanya terdapat di daerah kaki dan
tentakel. Reproduksi beberapa Gastropoda bersifat dioecius, sedangkan yang lain
bersifat monocioeus.
Gambar 2.5 Helix. Susunan organ dalam dilihat dari sisi lateral (Engeman dan Hegner, 1981)
6. Kelas Pelecypoda
Disebut juga dengan Bivalvia dan Lamellibrankhiata. Kaki berbentuk
kapak, cangkang berfungsi atau melindungi tubuh. Pada Bivalvia insang biasanya
berukuran sangat besar dan pada sebagian besar spesies dianggap memiliki fungsi
tambahan yaitu pengumpul makanan, disamping berfungsi sebagai tempat
pertukaran gas. Kepala tidak berkembang namun sepasang palpus labial mengapit
mulutnya. Tubuh bilateral simetris dan memiliki kebiasaan menggali liang pada
pasir dan lumpur yang merupakan substrat hidupnya dengan menggunakan
kakinya. Biasanya bersifat diosius.
Gambar 2.6 Organ internal kerang (Engeman dan Hegner, 1981)
7. Kelas Cephalopoda
Kepala digunakan untuk alat gerak. Organ respirasi terdiri atas sepasang
insang berbentuk bulu yang terdapat di rongga mantel. Sistem sirkulasi
berkembang baik dan sirkulasi darah melalui sistem pembuluh darah tertutup.
Biasanya memiliki dua ginjal atau nefridia berbentuk segitiga berwarna putih
yang berfungsi menapis cairan dari ruang perikardium dan membuangnya ke
dalam rongga mantel melalui lubang yang terletak di sisi usus. Organ pencernaan
dimulai dari mulut yang mengandung radula dan dua rahang yang terbuat dari zat
khitin dan berbentuk seperti paruh burung betet. Sistem saraf terdiri atas ganglion
dan saraf dan biasanya bersifat diosius. Cephalopoda memiliki ukuran tubuh
terbesar dibandingkan hewan Avertebrata lainnya.
Gambar 2.7 Struktur internal cumi-cumi, Loligo (Engemann dan Hegner, 1981)
C. Sebaran Mollusca
Penyebaran hewan Mollusca sangat luas dan umumnya memiliki
kesamaan pola dasar tubuh. Mollusca adalah salah satu jenis organisme yang
memiliki rentangan habitat yang cukup lebar mulai dari dasar laut sampai garis
pasang surut tertinggi. Selain itu ada yang hidup di air tawar bahkan terkadang
ditemukan di habitat terestrial, khususnya yang memiliki kelembaban tinggi. Sifat
hidup Mollusca bervariasi, ada yang hidup bebas namun beberapa spesies lainnya
bersifat parasit pada organisme lain.
Mollusca memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi sehingga penyebarannya
sangat luas, baik di darat maupun di perairan, mulai dari perairan yang dangkal
termasuk pantai, estuaria adalah perairan tawar sampai kedalaman laut yang tidak
dapat ditembus cahaya matahari. Keberadaan hewan Mollusca ini tergantung pada
variasi faktor lingkungan habitatnya (Suin dalam Asiyah, 1999).
Lingkungan pantai selalu berubahubah karena pasang surut sehingga
banyak ditemukan variasi kehidupan dalam jumlah spesies maupun organismenya
(Nontji, 1987).
F. Kajian Kemelimpahan
Kemelimpahan jenis adalah jumlah individu dalam suatu areal atau tempat
tertentu (Soejipta, 1993). Spesies pada indeks kemelimpahan dikatakan melimpah
jika dalam suatu komunitas dapat ditemukan jumlah spesies yang banyak.
Suatu spesies dikatakan mempunyai kemelimpahan (Di), jika ( Di )>5%
dan dikatakan subdominan jika 2%<Di<5% (Suwasono, 1994) dalam Nazlim
(1999).
G. Kajian Kekayaan
Kekayaan jenis adalah banyaknya jenis individu dalam suatu areal atau
tempat tertentu (Soejipta, 1993). Kekayaan ini merupakan pendukung dari adanya
keanekaragaman suatu jenis.
Penghitungan dari kekayaan ini diperoleh dari pembagian antara
banyaknya spesies yang ditemukan pada tiap zona dikurangi satu dengan Ln
jumlah total seluruh spesies (Asiyah, 1999).
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara
eksploratif, sebab dilakukan dengan cara mengamati secara langsung Mollusca di
Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
E. Langkah Kerja
Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
1. Menentukan tempat pengambilan sampel. Dalam hal ini ditentukan 20 transek
dengan jarak antar transek 10 m.
2. Setelah menentukan transek untuk setiap kelompok kemudian menarik garis
lurus (dijadikan sebagai batas transek);
3. Dari transek tersebut dibuat 10 plot yang berukuran 1 x 1 m yang diatur dalam
metode belt transek dengan jarak antar plot 1 m;
Pengambilan Sampel
1. Mengambil sampel pada tiap plot dengan mencatat tiap jenis Mollusca yang
ditemukan dan dihitung jumlahnya;
2. Untuk keperluan identifikasi diambil satu spesies dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik dan kemudian diberi nama;
Pengukuran Abiotik
1. Mengukur faktor abiotiknya, yaitu salinitas air dengan menggunakan SCT
meter dan pH meter untuk mengukur keasaman air laut.
Pembuatan Hasil Laporan
1. Mengidentifikasi spesies yang sudah ditemukan.
2. Mengadakan kompilasi data dan membuat laporan hasil penelitian.
Keterangan:
Kolom 1 = Nomor
Kolom 2 = Jenis spesies yang ditemukan
Kolom 3 = Ulangan, yang terdiri dari kelompok dan jumlah plot pada tiap
kelompok yang terdapat spesies dengan habitat yang sama
Kolom 4 = Jumlah spesies
spesies
Kolom 5 = rata-rata spesies, dengan rumus
Banyaknyaplot
spesies
Kolom 6 = P (%) predominasi, dengan rumus x100%
totalspesies
n
Kolom 7 = Pi kelimpahan proporsional, dengan rumus
N
n = spesies 1
N = total spesies
Kolom 8 = Pi ln Pi, untuk mengetahui keanekaragaman (H`) denagn rumus
- Pi ln Pi
Kolom 9 = S2, varians
Kolom 10 = S2/ , varians dari masing-masing spesies
Kolom 11 = Pola penyebaran dari masing-masing spesies
S
= 1 berarti penyebaran acak
X
S
> 1 berarti penyebaran mengelompok
X
S
< 1 berarti penyebaran merata
X
Data dan analisis data dalam penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel
dan yang terdiri dari 10 tabel dan grafik. Tiap-tiap tabel merupakan suatu zona
atau habitat yang berbeda-beda di kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas
Purwo. Berbagai zona atau habitat tersebut adalah:
1. Zona batu besar
2. Zona batu kecil
3. Zona lempeng berbatu
4. Zona Cadas
Sedangkan grafik terdiri dari 3 grafik, yaitu grafik 1 menggambarkan
hubungan antara H` (keanekaragaman jenis Mollusca) pada tiap habitat, grafik 2
menggambarkan E (kemerataan jenis Mollusca) pada tiap habitat dan R (kekayaan
jenis Mollusca pada tiap habitat.
Tabel 4.5 Daftar Ringkasan Nilai Keanekaragaman, Kemerataan, Kekayaan dan
Jumlah Jenis Mollusca di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
No Zona/Habitat H E R
1 Batu Besar 1.8416 0.6642 1.5935
2 Lempeng Batu 2.07051 0.7163 2.3312
3 Cadas 1.54604 0.7945 0.8067
4 Batu kecil 1.67872 0.6198 1.6815
Grafik 4.3 Grafik Indeks Kekayaan Mollusca Pada Tiap Habitat di Pantai
Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Grafik 4.4 Grafik Nilai Predominasi Nerita sp. di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi
BAB V
PEMBAHASAN
Tabel 5.1 Jenis Mollusca yang Ditemukan di Pantai Pancur Taman Nasional
Alas Purwo, Banyuwangi
Zona Zona Zona Zona
Batu besar Lempeng batu Cadas Batu Kecil
Burnupena Burnupena
Bivalvia Litoraria sp cattaracta cattaracta
Burnupena
Conus sp Nerita sp Conus agenaria
Colisella sp Nucella sp Colisela sp Collisela sp
Ceratozona vugosa Nodilittorina sp Litoria sp Conus sp
Crassostea sp Cypraea sp Nerita sp Crassostrea
Cypraea anuulus Conus sp Nucella sp Litoraria sp
Monodenta Thais Morula
australis Chiton capensis granulata
Tridagna Policenes Nerita sp
Potella sp Nucella sp
Morula granulata Nassarius sp
Nodilitt
Polinices sp
Thais capensis
Trochus sp
Cypraea moneta
B. Keanekaragaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis Mollusca
yang terdapat di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi berbeda
antara satu dengan yang lain. Keanekaragaman dipengaruhi oleh adanya
kemerataan dan kekayaan. Indek keanekaragaman atau diversitas pada masing-
masing zona yang tertinggi terdapat pada zona lempeng batu dengan nilai sebesar
2.07051, keanekaragaman yang terendah terdapat pada zona cadas. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi nilai keanekaragamannya (H) semakin besar diversitas
spesies dalam komunitas dan kemungkinan ada cacah spesies yang besar.
Tingginya keanekaragaman jenis Mollusca pada zona lempeng batu
didukung oleh adanya kondisi lingkungan abiotik terukur seperti salinitas, pH,
suhu, dan kedalaman substrat yang relatif normal pada zona ini. Kondisi ini
tentunya akan lebih cocok atau sesuai bagi kehidupan Mollusca yang ada di
dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarok (1978) dalam Odum (1993)
bahwa kondisi lingkungan yang cocok atau tidak bagi kehidupan Gastropoda dan
Bivalvia akan terlihat dalam bentuk akhir yaitu mengenai komposisi dan
kelimpahan organisme ini dalam hal keanekaragaman pada lokasi tersebut.
Menurut Margalef (1968) dalam Odum (1993) komunitas lingkungan yang
mantap mempunyai keanekaragaman yang lebih tinggi daripada komunitas yang
dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman atau secara periodik oleh manusia
dan alam. Hal ini menunjukkan bahwa zona lempeng batu memiliki komunitas
Mollusca yang lebih stabil dibanding zona yang lain.
C. Kemerataan
Berdasarkan pada hasil analisis data tentang kemerataan Mollusca, nilai
kemerataan tertinggi adalah 0.7945 pada zona cadas. Tingginya nilai kemerataan
pada zona tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan dikatakan heterogen.
Berdasarkan pendapat Suprapto (1987) dalam Zuraidah (2001) bahwa apabila
nilai kemerataan suatu komunitas berada pada rentangan 0.6-0.8 maka komunitas
tersebut dikatakan memiliki kemerataan seimbang, dengan kata lain jumlah
individu setiap jenis di dalam komunitas tersebut menyebar secara merata.
Substrat batu cadas merupakan zona dengan nilai kemerataan yang paling tinggi,
karena besarnya kemampuan Mollusca untuk bertahan hidup pada substrat
tersebut sama, sehingga menyebabkan kehidupan Mollusca menjadi merata.
Adanya perbedaan kemerataan antar semua zona berarti setiap jenis
Mollusca yang ditemukan memiliki kesesuaian yang berbeda terhadap kondisi
lingkungan yang ditempatinya. Seperti yang dijelaskan oleh Mubarok (1987)
dalam Sniri (1991) dalam Nurhadi (1999) bahwa perbedaan kepadatan jenis
Mollusca antar lokasi menggambarkan kesesuaian jenis Mollusca terhadap
kondisi fisik, kimia pada masing-masing lokasi. Zona dengan kemerataan jenis
tertinggi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di setiap zona-zona tersebut
merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan jenis Mollusca yang bersangkutan.
D. Kekayaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekayaan jenis Mollusca yang
terdapat di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi berbeda antara
satu dengan yang lain. Kekayaan merupakan bagian dari adanya keanekaragaman.
Indek kekayaan pada masing-masing zona yang tertinggi terdapat pada zona
lempeng batu dengan nilai sebesar 2.3312, kekayaan yang terendah terdapat pada
zona cadas. Data ini menunjukkan hasil yang sama dengan indeks keragaman. Hal
ini berarti bahwa semakin tinggi nilai kekayaannya (R) semakin besar pula
diversitas spesies dalam komunitas dan kemungkinan ada cacah spesies yang
besar.
Tingginya kekayaan jenis Mollusca pada zona lempeng batu didukung
oleh adanya kondisi lingkungan abiotik terukur seperti salinitas, pH, suhu, dan
kedalaman substrat yang relatif normal pada zona ini. Kondisi ini tentunya akan
lebih cocok atau sesuai bagi kehidupan Mollusca yang ada di dalamnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Mubarok (1978) dalam Nazlim (1999) bahwa kondisi
lingkungan yang cocok atau tidak bagi kehidupan Mollusca akan terlihat dalam
bentuk akhir yaitu mengenai kelimpahan organisme ini dalam hal kekayaan pada
lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa zona lempeng batu memiliki
komunitas Mollusca yang lebih stabil dibanding zona yang lain.
E. Pola Penyebaran
Pada zona batu besar spesies yang ditemukan ialah Bivalvia, Conus sp,
Colisella sp, Crassostea sp, Cypraea annulus, Monodonta australis, Nerita sp,
Nucella sp, Polineces sp, Litoria sp, Kerang parut, Kerang kuku, Oxystae
veriegata, Potella sp, dan Tridagna. Dari 16 spesies yang ditemukan, pola
penyebarannya seluruhnya mengelompok ini menyatakan bahwa individu-
individu tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan. Sedangkan pola acak hanya
ditemukan pada satu spesies saja yakni Ceratozona vugosa. Ini mengimplikasikan
homogenitasnya lingkungan dan adanya pola-pola tingkah laku yang non selektif
(Odum, 1993).
Pada zona lempeng batu pola penyebaran mengelompok ditemukan pada
15 spesies yaitu Litoraria sp, Nerita sp, Nodilittorina sp, Cypraea sp, Chiton,
Colisella sp, Cerithium litteratum, Burnupena sp, Thais sp, Tridagna, Plamaxis
sulcatus, Policenes, Potella sp, dan Morula granulata. Pola penyebaran ini
menyatakan bahwa individu-individu tersebut cenderung untuk berkelompok
dengan yang lain dan mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan.
Sedangkan pola acak ditemukan pada dua spesies yakni Trochus sp dan Tricolla
capensi. Ini mengimplikasikan homogenitasnya lingkungan dan adanya pola-pola
tingkah laku yang non selektif. Dan pada pola merata ditemukan juga sebanyak
satu spesies saja yakni pada Conus sp, hal ini menunjukkan bahwa individu
berada secara teratur dalam ruang dan menunjukkan bahwa lingkungan tersebut
heterogen (Odum, 1993).
Sedangkan pada zona cadas hanya ditemukan tujuh spesies, yakni
Burnupena cattaracta, Conus sp, Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp,
dan Thais capensis. Pada ketujuh spesies ini kesemuanya menunjukkan pola
penyebaran yang mengelompok, hal ini disebabkan karena individu-individu
tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan (Odum, 1993).
Dan yang terakhir pada zona batu kecil, dari 15 spesies yang ditemukan
yakni Burnupena cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp,
Crassostrea, Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius sp,
Nodilitt, Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran yang sama seperti pada zona cadas
yaitu pola penyebaran mengelompok ini juga disebabkan karena individu-individu
tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan (Odum, 1993).
Adanya pola pengelompokkan ini secara keseluruhan disebabkan oleh
faktor abiotik. Misalnya: faktor vektorial (angin, arus air, intensitas cahaya),
faktor sosial (tingkah laku), dan faktor reproduksi (Odum, 1993).
F. Jenis Spesies yang Dominan
Pada zona batu besar spesies yang paling dominan adalah Kerang parut.
Sedangkan pada zona lempeng batu, zona cadas dan zona batu kecil spesies yang
paling mendominasi ialah Nerita sp.
Menurut Margalef (1968) dalam Odum (1993) dalam Nazlim (1999)
komunitas lingkungan yang mantap mempunyai keanekaragaman yang lebih
tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman
atau secara periodik oleh manusia dan alam. Hal ini menunjukkan bahwa pada
spesies yang ternyata memiliki jumlah yang tinggi memiliki komunitas Mollusca
yang lebih stabil dibanding spesies yang lain.
A. Kesimpulan
1. Jenis-jenis Mollusca yang ditemukan di Pantai Pancur Taman Nasional Alas
Purwo, Banyuwangi ialah Bivalvia, Conus sp, Colisella sp, Crassostea sp,
Cypraea annulus, Monodonta australis, Nerita sp, Nucella sp, Polineces sp,
Litoria sp, Kerang parut, Kerang kuku, Oxystae veriegata, Potella sp,
Tridagna, dan Ceratozona vugosa yang ditemukan pada zona batu besar. Pada
zona lempeng batu ditemukan Litoraria sp, Nerita sp, Nodilittorina sp,
Cypraea sp, Chiton, Colisella sp, Cerithium litteratum, Burnupena sp, Thais
sp, Tridagna, Plamaxis sulcatus, Policenes, Potella sp, Morula granulata,
Trochus sp, Tricolla capensi, dan Conus sp. Sedangkan pada zona cadas
hanya ditemukan tujuh spesies, yakni Burnupena cattaracta, Conus sp,
Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp, dan Thais capensis. Dan yang
terakhir pada zona batu kecil, spesies yang ditemukan yakni Burnupena
cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp, Crassostrea,
Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius sp, Nodilitt,
Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
2. Indek keanekaragaman atau diversitas yang tertinggi terdapat pada zona
lempeng batu dengan nilai sebesar 2.07051, keanekaragaman yang terendah
terdapat pada zona cadas dengan nilai 1.54604. Nilai kemerataan tertinggi
adalah 0.7945 pada zona cadas dan yang terendah pada zona batu kecil dengan
nilai 0.6198. Kekayaan yang tertinggi terdapat pada zona lempeng batu
dengan nilai sebesar 2.3312, kekayaan yang terendah terdapat pada zona cadas
dengan nilai 0.8067.
3. Pada zona batu besar spesies pola penyebaran mengelompok diwakili oleh
Bivalvia, Conus sp, Colisella sp, Crassostea sp, Cypraea annulus, Monodonta
australis, Nerita sp, Nucella sp, Polineces sp, Litoria sp, Kerang parut,
Kerang kuku, Oxystae veriegata, Potella sp, dan Tridagna. Sedangkan pola
acak ditemukan pada satu spesies saja yakni Ceratozona vugosa. Pada zona
lempeng batu pola penyebaran mengelompok ditemukan pada Litoraria sp,
Nerita sp, Nodilittorina sp, Cypraea sp, Chiton, Colisella sp, Cerithium
litteratum, Burnupena sp, Thais sp, Tridagna, Plamaxis sulcatus, Policenes,
Potella sp, dan Morula granulata. Sedangkan pola acak ditemukan pada dua
spesies yakni Trochus sp dan Tricolla capensi. Pada zona cadas Burnupena
cattaracta, Conus sp, Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp, dan Thais
capensis keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran yang mengelompok.
Dan yang terakhir pada zona batu kecil, dari 15 spesies yang ditemukan yakni
Burnupena cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp,
Crassostrea, Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius
sp, Nodilitt, Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran mengelompok.
4. Pada zona batu besar spesies yang paling dominan adalah Kerang parut.
Sedangkan pada zona lempeng batu, zona cadas dan zona batu kecil spesies
yang paling mendominasi ialah Nerita sp.
B. Saran
1. Dalam melakukan suatu identifikasi data, hendaknya dilakukan dengan lebih
cermat agar diperoleh data yang benar-benar valid.
2. Apabila akan melaksanakan pengambilan data di lapangan, hendaknya semua
peralatan yang diperlukan dipersiapkan terlebih dahulu.
3. Jika data yang akan diproses merupakan data kompilasi, secepatnya kompilasi
dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan penyusunan laporan.
4. Sebelum pengambilan data perlengkapan serta alat yang dipergunakan harus
disiapkan serta diperiksa fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, Agus, dkk. 2004. Ekologi Hewan. Malang : Jurusan Biologi FMIPA
UM Malang
Jordan, E.L. dan Verma, P.S. 1983. Invertebrata Zoology. 2nd ed. New Delhi: S.
Chand & Company, Ltd.