Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur pulau Jawa. Tepatnya
di kecamatan Tegal delimo Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Alas
Purwo merupakan suaka marga satwa sekaligus Taman Nasional dengan luas
430.420 Ha.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, hutan mangrove,
hutan tropis dataran rendah (hutan heterogen), dan sebagian hutan tanaman,
padang rumput, dan hutan bambu. Adapun cuplikan yang diambil berada pada
area hutan heterogen Alas Purwo yang mana di dalam tanahnya didiami oleh
berbagai fauna tanah.
Secara umum Taman Nasional Alas Purwo kondisi geografisnya
bervariasi, dengan puncak tertinggi pada gunung Linggamanis (322 m dpl). Pada
dataran rendah terdapat rawa-rawa terletak di sebelah barat. Di sebelah timur
terdapat bukit Gampang yang terjal. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo
didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Salah satu bagian dari hutan tropik
dataran rendah yaitu hutan pantai.
Menurut Odum, 1993 hutan pantai terdiri dari dua daerah yang berbeda,
yaitu hutan mangrove dan hutan campuran. Hutan mangrove terdapat di sepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan
campuran pohonnya selalu hijau dan tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi,
karena curah hujan tinggi, kandungan humus tinggi, dan penyinaran matahari
lebih lama.
Pada ekosistem daratan, organisme tanah merupakan pengurai yang
berfungsi untuk mengubah bahan organik menjadi senyawa lain yang bermanfaat
bagi kesuburan tanah. Fauna tanah seperti keong, bekicot, dan rayap sangat
penting peranannya dalam proses dekomposisi, sebelum proses dekomposisi lebih
lanjut oleh mikroorganisme tanah (Hakim, 1986 dalam Andayani, 2001). Hewan
tanah biasa ditemukan di tempat teduh, tanah yang lembab, sampah padang
rumput, di bawah kayu lapuk, dan tempat lembab yang lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, yaitu habitat yang bermacam-macam pada
hutan pantai, dimungkinkan mempunyai keanakaragaman jenis fauna tanah yang
berbeda. Berkaitan dengan hal tersebut maka diadakan observasi dengan judul
Studi Keanekaragaman Dan Kemerataan Hewan Tanah Di Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur.

B. Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis hewan tanah yang terdapat di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis hewan tanah di
hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Mengetahui pola distribusi jenis hewan tanah di hutan pantai Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi.
4. Mengetahui spesies hewan tanah yang paling dominan di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

C. Manfaat Penelitian
1. Dengan menerapkan metode Pitfall Trap, mahasiswa dapat mengetahui
keanekaragaman, kemerataan, serta kekayaan jenis hewan tanah di hutan
pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis hewan tanah yang ada di hutan pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Mahasiswa mengetahui kehidupan organisme dalam tanah dan peranannya
bagi ekosistem yang ditempatinya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Tanah Sebagai Habitat Hewan Tanah


Komponen biotik dan abiotik sangat erat berhubungan di dalam tanah,
yang berdasarkan batasannya terdiri dari lapisan kulit bumi yang dilapukkan
dengan organisme hidup dan hasil pembusukannya bercampur aduk (Odum,1993
dalam Junaidah, 2001).
Dalam definisi ilmiahnya tanah adalah sekumpulan dari benda alam di
permukaan bumi yang tersusun dari horison-horison, terdiri dari campuran bahan
mineral, bahan organik, air dan udara dan merupakan media untuk tumbuhnya
tanaman (Hardjowigeno dalam Junaidah, 2001).
Tanah merupakan kumpulan di tubuh alam, di atas permukaan bumi yang
mengandung benda hidup dan mampu mendukung pertumbuhan tanaman.
Sebagai benda alami yang heterogen, tanah terdiri dari fase padat, cair, dan gas
yang bersifat dinamik. Sebagai suatu sistem, tanah merupakan sistem yang
terbuka (Suim, 1997 dalam Fatawi, 2002).
Menurut Hardjowigeno dalam Junaidah (2001) faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan tanah antara lain:
Iklim
Organisme
Bahan induk
Topografi (relief)
Waktu

B. Deskripsi Fauna Tanah


Fauna tanah adalah hewan yang menempati tanah sebagai habitatnya.
Menurut Adianto (1980) dalam Fatawi (2002) kehadiran fauna tanah pada
habitatnya tidak sama, ada yang secara temporer dan ada pula yang menetap.
Menurut Adianto (1980) dalam Fatawi (2002) fauna tanah secara umum
dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh, ketergantungan terhadap air,
kehadirannya di tanah dan menurut tempat hidupnya.
Berdasarkan ukurannya, Van Der Driff (1951) dalam Ardianto (1980)
dalam Fatawi (2002) membagi fauna tanah menjadi empat kategori sebagai
berikut:
Mikrofauna : 20-200 mikron
Mesofauna : 200 mikron-2 mm
Makrofauna : 2-20 mm
Megafauna : 20-200 mm
Berdasarkan kehadirannya, fauna tanah dibagi menjadi:
Fauna tanah yang temporer, yaitu golongan hewan tanah yang memasuki
tanah dengan tujuan bertelur, setelah menetas dan berkembang menjadi
dewasa, hewan akan keluar dari tanah.
Misalnya: Diptera.
Fauna tanah yang transien, yaitu hewan yang seluruh daur hidupnya
berlangsung di atas tanah.
Misalnya: kumbang dari famili Conccinelidae.
Fauna tanah yang periodik, yaitu hewan yang seluruh daur hidupnya ada di
dalam tanah, hanya sesekali hewan dewasa keluar dari dalam tanah untuk
mencari makanan dan setelah itu masuk kembali ke dalam tanah.
Misalnya: ordo Forficula, Chelisolches, Collembola, dan Acarina.
Fauna tanah yang permanen, yaitu hewan yang seluruh daur hidupnya ada
di dalam tanah, dan tidak pernah keluar dari dalam tanah.
Misalnya: Nematoda tanah, Protozoa, dan Rotifera.
Menurut Adianto (1980) dalam Fatawi (2002) berdasarkan sifat
ketergantungan terhadap air, fauna tanah terbagi menjadi:
Hidrobiontes, yaitu fauna tanah yang membutuhkan air relatif banyak untuk
aktifitas hidupnya.
Misalnya: Cilliata dan Flagelata.
Higrofil, yaitu fauna tanah yang tidak menyukai air terlalu banyak untuk
syarat hidup optimalnya.
Misalnya: Collembola.
Xerofil, yaitu fauna tanah yang lebih menyukai habitat kering.
Misalnya: jenis laba-laba.
Fauna tanah menurut tempat hidupnya, dibagi menjadi:
Treefauna, yaitu hewan yang hidup di pohon.
Epifauna, yaitu hewan yang hidup di permukaan tanah.
Infauna, yaitu hewan yang hidup di dalam tanah.

C. Klasifikasi Fauna Tanah


Dalam pembahasan berikut akan diuraikan ciri-ciri fauna tanah
berdasarkan klasifikasi dari Borror dalam Maulidiyah (2000):
a) Ordo Tysanura
Ukurannya sedang sampai kecil,
Bentuk memanjang dan agak gepeng,
Mata majemuk kecil dan sangat lebar terspisah, mata tunggal tidak ada,
Tarsi 3-5,
Terbagi atas 3 famili yaitu: Lepidotrichidae, Lepismatidae, dan Nicotidae.
b) Ordo Diplura
Mempunyai 2 filamen ekor,
Tarsi 1 ruas,
Terdapat stili pada ruas abdomen 1-7 atau 2-7,
Terbagi atas 3 famili, yaitu: Japygidae, Campodeidae, Procampodeidae,
dan Anajapygidae.
c) Ordo Protura
Tubuh kecil berwarna keputih-putihan,
Panjng 0,6 - 1,5 mm,
Tidak memiliki mata ataupun sungut,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Eosentormidae, Protentomidae,
Acerentomidae, dan lain-lain.
d) Ordo Collembola
Abdomen mempunyai 6 segmen,
Tubuh kecil tidak bersayap,
Antena beruas 4 dan kaki dengan tarsus beruas tunggal,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Onychiuridae, Podiridae,
Hypogastruridae, Entomobrydae, Sminthuridae, dan Nelidae.
e) Ordo Isoptera
Golongan serdadu mempunyai kepala yang sangat berskleretisasi,
memanjang, hitam, dan besar,
Golongan pekerja mempunyai warna pucat dengan tubuh lunak, mulut tipe
pengunyah.
f) Ordo Orthoptera
Ada yang bersayap dan ada yang tidak bersayap,
Tubuh memanjang sersi bagus terbentuk,
Bagian mulut adalah tipe pengunyah,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Grillotalpidae, Tridactylidae,
Tetrididae, Eugamastracidae, Acrididae dan lain-lain.
g) Ordo Pleoptera
Ukuran medium (kecil agak gepeng),
Sayap depan memanjang , agak sempit,
Sungut panjang, tarsi beruas 3,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Pteronarcyidae, Capnidae, Peridae, dan
lain-lain.
h) Ordo Dermaptera
Tubuh memanjang ramping dan agak gepeng,
Sayap depan memendek seperti kulit, tidak mempunyai rangka sayap,
Aktif pada malam hari,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Forficulidae, Chelisochidae, Labidae,
Labiduridae dan lain-lain.
i) Ordo Tysanoptera
Bentuk langsing, panjang 0,5-5 mm,
Terdapat atau tidak ada sayap,
Sungut pendek, tarsi 1-2 ruas,
Terbagi atas famili: Phaelothripidae, Aelothripidae, Thripidae,
Mesothripidae, Heterothripidae.
j) Ordo Hemiptera
Sayap depan menebal seperti kulit,
Bagian mulut adalah tipe menusuk, menghisap, dalam bentuk paruh,
Makanannya cairan tumbuhan atau cairan tubuh hewan,
Terbagi atas famili: Polyctenidae, Belastocoridae, Ochteridae, Corixidae,
dan Nepidae.
k) Ordo Homoptera
Termasuk penghisap dengan 4 penusuk,
Mempunyai 4 sayap,
Sungut sangat pendek,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Corydalidae, Sialidae, Mantispidae,
Raphididae, Inocullidae dan lain-lain.
l) Ordo Neuroptera
Bertubuh lunak dengan 4 sayap,
Mempunyai banyak rangka sayap menyilang dan bercabang,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Corydalidae, Sialidae, Mantispidae,
Raphididae, Inocullidae dan lain-lain.
m) Ordo Coeleptera
Mempunyai 4 pasang sayap dengan sepasang sayap depan menebal,
Terbagi atas beberapa famili yaitu Bittacidae, Boeridae, meropeidae,
Panorpidae, dan Panorpodidae.
n) Ordo Diptera
Mempunyai sepasang sayap di depan,
Larva tanpa kaki, kepala kecil,
Terbagi atas beberapa famili yaitu: Nymphomylidae, Tricociridae,
Tanyderidae, Xylophagidae, Tripulidae dan lain-lain.
p) Ordo Hymenoptera
Ukuran tubuh bervariasi,
Antena 10 ruas atau lebih,
Mulut bertipe penggigit dan penghisap,
Terbagi famili yaitu: Orussidae, Siricidae, Xphydridae, Chephidae,
Argidae, Cimbicidae, dan lain-lain.

D. Keanekaragaman Fauna Tanah


Keanekaragam jenis adalah suatu keragaman atau perbedaan di antara
anggota-anggota suatu kelompok spesies. Suatu komunitas mempunyai
keragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies (jenis)
dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika
komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies yang dominan maka
keanekaragaman jenisnya rendah (Soegianto, 1994 dalam Junaidah, 2001).
Menurut Odum (1971) dalam Wulandari (1999) dalam Fatawi (2002)
menyatakan bahwa ada beberapa parameter yang dapat diukur untuk mengetahui
keadaan suatu ekosistem, misalnya dengan melihat nilai keanekaragaman.
Ada dua faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman hewan
tanah, yaitu kekayaan jenis (Indeks Richness) dan kemerataan spesies (Indeks
Evennes). Pada komunitas yang stabil Indeks Richness dan Indeks Evennes tinggi.
Sedangkan pada komunitas yang terganggu karena adanya campur tangan
manusia kemungkinan Indeks Richness dan Indeks Evennes randah.
Menurut Junaidah (2001) komponen utama dari keanekaragaman adalah
kesama-rataan atau equitibilitas dalam pembagian individu yang merata di antara
jenis, fungsi Shanon atau indeks H, menggabungkan komponen keanekaragaman
(variety) dan komponen kemerataan (evennes) sebagai indeks keanekaragaman
keseluruhan.
Ekosistem yang mempunyai nilai diversitas tinggi umumnya memiliki
rantai makanan yang lebih panjang dan kompleks, sehingga berpeluang lebih
besar untuk terjadinya interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi,
komensialisme, ataupun mutualisme.

E. Pola Distribusi Hewan Tanah


Secara umum populasi menyebar dalam tiga pola yaitu acak (random),
mengelompok/agresi (clumped), dan seragam (uniform). Pada umumnya populasi
hewan cenderung untuk berkelompok, oleh karenanya dari ketiga pola tersebut
sering kali dijumpai gabungan dua pola yaitu acak mengelompok, kelompok
bergerombol, dan seragam kelompok.

. . .
.
. .
.
. .
. . .

A B C
Gambar 2.1 Pola sebaran populasi A. acak, B. mengelompok, C. seragam

Menurut Eden (1990) berdasarkan asumsi penyebaran individu-individu


adalah acak, maka dapat didefinisikan bahwa varians (S2) adalah sama dengan
harga rata-rata ( x ). Jadi, apabila varians lebih besar dari harga rata-rata maka
penyebaran individu adalah berkelompok, dan sebaliknya apabila varians lebih
kecil dari pada harga rata-rata maka penyebarannya merata.
Menurut Dharmawan, dkk (2004) pola sebaran acak menunjukkan terdapat
keseragaman (homogenitas) kondisi lingkungannya. Pola sebaran random dapat
disebabkan oleh pengaruh negatif persaingan sumber daya diantara individu
anggota populasi itu. Sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan
oleh sifat agregarius, adanya keragaman (heterogenitas) kondisi lingkungan,
ketersediaan makanan, perkawinan, pertahanan, perilaku sosial, serta faktor
persaingan.
Pola sebaran merata umumnya terdapat pada tumbuhan. Penyebaran ini
terjadi apabila ada persaingan yang kuat antara individu-individu dalam populasi
tersebut. Pada tumbuhan misalnya persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan
ruang.

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenekaragaman dan Distribusi Fauna


Tanah
Faktor lingkungan berperan sangat penting dalam menyusun berbagai
pola penyebaran fauna tanah. Faktor biotik dan abiotik bekerja secara bersama-
sama dalam suatu ekosistem, menentukan kehadiran, kelimpahan, dan penampilan
organisme.
Menurut Andayani (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman fauna tanah antara lain:
1. Faktor biotik
a) Pertumbuhan populasi
b) Interaksi antar spesies, berupa:
1. kompetisi
2. predator
2. Faktor abiotik
a) Kelembaban tanah
b) Suhu tanah
c) pH tanah
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif untuk
memperoleh informasi tingkat keanekaragaman dan kemerataan hewan tanah di
Taman Nasional Alas Purwo Bayuwangi.

B. Obyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis hewan tanah yang
berada di hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo Bayuwangi. Sedangkan
sampel dalam penelitian ini adalah jenis hewan tanah yang tertangkap dalam
sumur jebakan (Pitfall Trap).

C. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Nopember 2005 sampai
minggu I bulan Januari 2006 di Taman Nasional Alas Purwo Bayuwangi dan
Laboratorium Ekologi ruang 109 di gedung Biologi Universitas Negeri Malang.

D. Alat dan Bahan


1. Alat
Soil tester Alat penggali tanah
Termometer tanah Kompas bidik
Kantong plastik Mikroskop stereo
Timba plastik Cawan arloji
Bendera Jarum
Gelas air mineral Kertas label
Botol film Kuas kecil
Pinset

2. Bahan
Larutan alkohol 15 % Larutan formalin 70%
Larutan gliserin 15% Larutan aquades
E. Prosedur Kerja
1. Melakukan observasi untuk mengetahui lokasi penelitian di hutan pantai
Triangulasi Alas Purwo Banyuwangi.
2. Menentukan lokasi pengambilan cuplikan yang dimulai dari bagian tepi pantai
menuju hutan pantai sebanyak 25 plot untuk masing-masing kelompok.
3. Memasang jebakan Pitfall Trap pada masing-masing plot (gambar 3.1):
a) Menggali tanah sedalam + 10 cm dengan alat penggali tanah,
b) Memasukkan gelas air mineral yang telah berisi campuran aquades, alkohol
15%, dan gliserin 15% (perbandingan 3 : 1 : 1) ke dalam tanah yang telah
digali,
c) Meratakan permukaan tanah dengan bagian mulut gelas air mineral,
d) Menutupi gelas air mineral dengan serasah daun.
4. Mengambil jebakan Pitfall Trap setelah + 24 jam.
5. Memasukkan spesimen ke dalam botol film yang telah ditetesi formalin 70%
sebanyak 3 tetes.
6. Mengidentifikasi spesimen hewan tanah di lapangan.
7. Melakukan kegiatan identifikasi lanjutan di Laboratorium Ekologi ruang 109
di gedung Biologi Universitas Negeri Malang.

d
e
Tanah a Tanah
b
c

Gambar 3.1 Cara pemasangan Pitfall Trap


Keterangan : a = gelas air mineral
b = aquades + alkohol 15% + gliserin 15% (3 : 1 : 1)
c = lubang tempat gelas air mineral diletakkan
d = serasah dedaun
e = permukaan tanah

F. Teknik Tabulasi Data


Pengambilan data dilakukan dengan cara mengidentifikasi spesies hewan
tanah yang ditemukan pada setiap plot. Kemudian data yang diperoleh
dikompilasikan sebanyak 20 kelompok yang digunakan sebagai ulangan. Dari 25
plot yang dipasang oleh 1 kelompok digunakan sebagai stasiun pada data
kompilasi. Jadi, terdapat 25 stasiun dan pada 1 stasiun terdapat 20 ulangan.
Tabel keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis hewan tanah di hutan
pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

No. Taksa
Stasiun X

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Total
H
E
R

G. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh kemudian dianalisis indeks keragaman, indeks
kemerataan, dan indeks kekayaan jenis pada masing-masing stasiun.
1) Indeks keanekaragaman Shanon Wiener


H = - Pi ln Pi
Keterangan: Pi = n/N
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
n : Jumlah masing-masing spesies
N : Jumlah total spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
2) Setelah memperoleh indeks keanekaragaman ShanonWiener, selanjutnya
menghitung nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:
H'
E
ln .S
Keterangan: E : Indeks kemerataan evennes
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
3) Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indeks
Richness:
S 1
R
ln .N
Keterangan: R : Indeks Richness
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Junaidah, 2001)
4) Untuk mengetahui dominansi suatu spesies dilakukan perhitungan nilai
dominansi sebagai berikut:
n
D 100%
N

Keterangan: D : Dominansi spesies


n : Jumlah individu masing-masing spesies
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Odum, 1993 dalam Maulidiyah, 2003)
Tabel 4.2. Tabel Ringkasan Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan
Kekayaan Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman Nasional Alas
Purwo Banyuwangi

Stasiun H E R
1 2,37608 0,78045 4,19227
2 2,54213 0,78976 4,7466
3 2,02403 0,6288 4,16975
4 2,24535 0,70652 4,641
5 2,19032 0,65047 5,18695
6 1,34439 0,44158 3,46534
7 2,26472 0,73267 3,91015
8 2,18037 0,69538 4,25026
9 1,67524 0,52044 4,17205
10 2,58123 0,8019 4,71736
11 1,83484 0,55064 4,41473
12 2,72507 0,80121 6,05745
13 2,26851 0,68078 5,31349
14 2,32229 0,73073 4,72518
15 2,37216 0,70447 5,91191
16 2,55908 0,85424 4,69942
17 2,56798 0,83078 4,56009
18 2,32448 0,77593 3,73912
19 2,66368 0,81756 5,96708
20 2,76567 0,90841 4,82726
21 1,85935 0,72491 2,98111
22 2,41049 0,8694 3,83433
23 2,34738 0,86682 3,82142
24 2,2152 0,83939 3,37649
25 2,08875 0,79148 3,21539
Grafik 4.1. Grafik Nilai Indeks Keanekaragaman Hewan Tanah di Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

Grafik 4.2. Grafik Nilai Indeks Kemerataan Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Grafik 4.3. Grafik Nilai Indeks Kekayaan Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

Grafik 4.4. Grafik Nilai Predominasi Tulorchesia carpensis di Hutan Pantai


Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Jenis Hewan Tanah yang Ditemukan di Hutan Pantai Taman Nasional


Alas Purwo Banyuwangi
Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 170 spesies hewan tanah. Hal
ini menunjukkan bahwa spesies hewan tanah di Hutan Pantai Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi masih melimpah jumlahnya. Spesies Tulorchesia
capensis dan Monomorium sp. ditemukan pada hampir semua plot sampel. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi dan sumberdaya yang dibutuhkan spesies-spesies
tersebut masih dalam kisaran toleransinya.
Sebagian besar spesies-spesies hewan tanah ditemukan di lokasi semak,
rumput dan tanah terbuka. Selain itu hewan tanah juga sering ditemukan pada
daerah yang kelembabannya tinggi seperti di bawah serasah daun atau di bawah
reruntuhan pohon.
Spesies Tulorchesia capensis dan Monomorium sp. mulai ditemukan pada
stasiun 1 sampai stasiun 25. Kedua spesies ini dapat ditemukan pada semua
stasiun karena keduanya menyukai semua habitat yang ada di hutan pantai. Selain
itu, kondisi dan sumberdaya pada 25 stasiun telah mencukupi kebutuhan kedua
spesies ini.

B. Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Jenis Hewan Tanah di


Hutan Pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
1) Keanekaragaman
Berdasarkan analisis tentang indeks keanekaragaman jenis hewan tanah
yang terdapat di lokasi penelitian berkisar antara 1,34439 - 2,76567 (tabel pada
analisis data). Ini menunjukkan bahwa dari 25 stasiun yang tercuplik, habitat pada
stasiun 20 merupakan habitat yang paling sesuai bagi kehidupan hewan tanah.
Dari grafik terlihat bahwa keanekaragaman tertinggi pada stasiun 20 dan terendah
pada stasiun 6.
Tingginya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 20 disebabkan oleh
berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya jenis vegetasi
tumbuhan. Apabila jenis vegetasi tumbuhan penyusunnya semakin beragam, maka
jenis hewan tanah juga semakin beragam. Menurut Eusie (1990) dalam
Maulidiyah (2003) suatu daerah yang memiliki keanekaragaman spesies
tumbuhan yang tinggi terdapat jumlah spesies hewan yang tinggi pula.
Selain itu pada stasiun tersebut mempunyai kondisi lingkungan yang lebih
heterogen dan lebih kompleks, artinya kondisi faktor biotik dan abiotiknya lebih
bervariasi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Menurut Krebs (1978) dalam
Fatawi (2002) semakin heterogen dan komplek suatu lingkungan secara fisik
maka semakin tinggi tingkat keanekaragaman spesies. Tingginya nilai indeks
keanekaragaman pada stasiun 20 juga dipengaruhi oleh pH tanah. Menurut Heddy
(1994) dalam Maulidiyah (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) tanah
merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme baik flora maupun fauna
tanah. Kondisi pH yang terlalu asam atau basa akan menjadikan organisme
mengalami kehidupan yang tidak sempurna atau bahkan mati. Menurut Wulangi
(1992) dalam Maulidiyah (2003) khusus pada hewan tanah, pH tanah berpengaruh
secara langsung mengenai organ-organ tubuhnya, sehingga suatu daerah tertentu
yang mempunyai pH terlalu asam atau terlalu basa jarang sekali terdapat hewan-
hewan tanah.

2) Kemerataan
Berdasarkan analisis tentang nilai indeks kemerataan, diperoleh indeks
kemerataan yang berkisar antara 0 0,90841. Indeks kemerataan ini digunakan
untuk melihat kemerataan pembagian individu di antara spesies yang ada (Odum,
1993 dalam Fatawi, 2002). Indeks kemerataan yang berkisar antara 0 0,90841
yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kondisi habitat pada semua lokasi
penelitian adalah heterogen, artinya kondisi faktor biotik dan abiotiknya lebih
bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mabdoan (1996) dalam Wulandari
(1999) dalam Fatawi (2002) bahwa keberadaan individu masing-masing spesies
pada suatu lokasi cukup berimbang jika nilai indeks kemerataan (Evennes) relatif
mendekati 1.
Nilai indeks kemerataan tertinggi terdapat pada stasiun 20 ini
menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut hewan tanah yang ditemukan memiliki
batas toleransi yang hampir sama terhadap kondisi abiotik dan ketersediaan
sumber daya yang ada.

3) Kekayaan
Dari hasil penelitian diperoleh nilai indeks kekayaan jenis yang berkisar
antara 2,98111 6,05745. Nilai indeks kekayaan tertinggi terdapat pada stasiun
12. Menurut Odum (1993) dalam Fatawi (2002) indeks kekayaan jenis cukup
tinggi artinya jenis fauna tanah yang menghuni lokasi tersebut cukup beragam,
sehingga memiliki kondisi lingkungan yang optimum. Karena banyak macam
jenis yang mendiami habitat tersebut, maka kemungkinan dapat terjadi rantai
makanan yang panjang dan peluang yang lebih besar untuk terjadinya interaksi
antar anggota penyusunnya, sehingga kondisi lingkungannya mantap.
Sebagaimana halnya dengan indeks keanekaragaman dan indeks
kemerataan, tingginya indeks kekayaan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, seperti jenis vegetasi tumbuhan, kondisi lingkungan yang lebih
heterogen dan kompleks, serta pH tanah.

C. Pola Distribusi Hewan Tanah di Hutan Pantai Taman Nasional Alas


Purwo Banyuwangi
Secara umum populasi hewan tanah di hutan pantai taman Nasional Alas
Purwo Banyuwangi menyebar dalam tiga pola, yaitu acak (random),
mengelompok (clumped), dan merata (uniform). Namun pola penyebaran populasi
hewan tanah pada setiap stasiun menunjukkan perbedaan.
Stasiun yang sebagian besar terdiri atas populasi hewan tanah yang pola
distribusinya acak menunjukkan bahwa pada stasiun tersebut faktor
lingkungannya hampir sama. Menurut Dharmawan, dkk (2004) pola sebaran acak
menunjukkan terdapat keseragaman (homogenitas) kondisi lingkungannya. Pola
sebaran random disebabkan oleh pengaruh negatif sumber daya di antara individu
anggota populasi itu.
Stasiun yang sebagian besar terdiri atas populasi hewan tanah yang pola
distribusinya merata hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun tersebut terjadi
persaingan yang kuat di antara individu penyusun populasi. Menurut Syafei
(1990) penyebaran secara merata umumnya terdapat pada tumbuhan. Terjadi
apabila ada persaingan yang kuat di antara individu-individu dalam populasi
tersebut, misalnya persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang pada
tumbuhan.
Stasiun yang sebagian besar terdiri atas populasi hewan tanah yang pola
distribusinya mengelompok menunjukkan bahwa pada stasiun tersebut individu
penyusun populasi memberikan respon terhadap perbedaan secara lokal
(berkelompok). Menurut Dharmawan, dkk (2004) pola sebaran mengelompok
dapat disebabkan oleh sifat agregarius, adanya keragaman (heterogenitas) kondisi
lingkungan, ketersediaan makanan, perkawinan, pertahanan, perilaku sosial, serta
faktor persaingan.

D. Spesies Hewan Tanah yang Paling Dominan di Hutan Pantai Taman


Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Berdasarkan hasil analisis tentang dominansi dapat diketahui spesies
yang paling dominan pada masing-masing stasiun. Stasiun 1 didominasi oleh
Apate monacha. Stasiun 2 didominasi oleh Thulorchesia capensis, stasiun 3:
Tulorchesia capensis dan Neanura muscasum, stasiun 4: Tulorchesia capensis,
stasiun 5: Tulorchesia capensis, stasiun 6: Tulorchesia capensis, stasiun 7:
Tulorchesia capensis, stasiun 8: Tulorchesia capensis dan Monomorium sp.,
stasiun 9: Tulorchesia capensis, stasiun 10: Tulorchesia capensis, stasiun 11:
Talaur chastia, stasiun 12: Hymenoptera, stasiun 13: Tulorchesia capensis, stasiun
14: Tulorchesia capensis, stasiun 15: Tulorchesia capensis, stasiun 16:
Hypogastrura, stasiun 17: Monomorium sp. dan Rafalia insularis, stasiun 18:
Monomorium sp. dan Tulorchesia capensis, stasiun 19: Metilosoma grandiceps,
stasiun 20: Ptomophagus concobrinus dan Tulorchesia capensis, stasiun 21:
Tulorchesia capensis, stasiun 22: Monomorium sp. dan Diptera, stasiun 23:
Orthoptera, stasiun 24: Monomorium sp., dan stasiun 25: Tulorchesia capensis.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa masing-masing spesies
mendominasi lokasi tertentu, artinya lokasi tersebut memiliki kondisi lingkungan
yang paling sesuai untuk hewan dapat hidup. Kramadibrata (1990) dalam
Andayani (2001) menyatakan bahwa suatu spesies bisa berada di suatu tempat dan
tidak ada di tempat lain disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) tempat-
tempat yang dapat dihuni spesies hewan hanya cocok dihuni dalam jangka waktu
singkat, (2) tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni menjadi tidak
ditempati akibat kehadiran spesies lain, (3) dalam tempat yang dapat dihuni,
ketersediaan sumber daya pentingnya rendah.
Secara keseluruhan diketahui bahwa Tulorchesia capensis merupakan
hewan yang mempunyai kelimpahan spesies yang relatif lebih tinggi dari 25
stasiun pencuplikan (tabel pada analisis data). Hal ini menunjukkan bahwa
Tulorchesia capensis merupakan hewan tanah yang predominasi untuk semua
lokasi penelitian. Soetjipta (1993) dalam Andayani (2001) mengemukakan bahwa
suatu spesies yang secara permanen lebih melimpah dari pada spesies lainnya,
akan mengkonsumsi makanan lebih banyak, menempati lebih banyak tempat
untuk reproduksi, dan memerlukan lebih banyak ruang, sehingga pengaruhnya
lebih besar.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam observasi ini ditemukan jenis-jenis hewan tanah sejumlah 170 spesies.
Spesies Tulorchesia capensis dan Monomorium sp. ditemukan pada hampir
semua plot sampel.
2. Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,34439 - 2,76567,
keanekaragaman tertinggi pada stasiun 20 dan terendah pada stasiun 6. Untuk
Indeks kemerataan berkisar antara 0,44158 - 0,90841. Nilai indeks kemerataan
tertinggi pada stasiun 20, sedangkan yang terendah pada stasiun 6. Sedangkan
nilai indeks kekayaan jenis berkisar antara 2,9811 6,05745. Nilai indeks
kekayaan tertinggi terdapat pada stasiun 12 sedangkan yang terendah pada
stasiun 21.
3. Pola distribusi hewan tanah pada 25 stasiun umumnya mengelompok, merata,
dan acak. Sebaran besar penyebarannya secara mengelompok, hanya sedikit
saja yang merata.
4. Spesies hewan tanah di hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo yang paling
dominan adalah Tulorchesia capensis.

B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pengukuran faktor biotik dan faktor abiotik dari
lingkungan sehingga didapatkan data yang dapat menunjukkan hubungan
konkret antara keberadaan hewan dengan kondisi lingkungannya.
2. Sebaiknya kompilasi data dilakukan lebih awal supaya memperlancar
pembuatan laporan.
3. Kerja sama antar kelompok perlu ditingkatkan guna kelancaran pembuatan
laporan.
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Lilis. 2001. Studi Keanekaragaman Fauna Tanah Pascaerupsi Gunung


Kelud Kecamatan Ngancar Kediri. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
FMIPA UM

Dharmawan, Agus, dkk. 2004 Ekologi Hewan. Malang: FMIPA UM

Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: ITB

Junaidah. 2001. Keanekaragaman Serangga Tanah (Infauna) di Gunung Kelud


Kabupaten Kediri. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM

Fatawi, Zaim. 2002. Studi Keanekaragaman Serangga Tanah (Epifauna) pada


Berbagai Ketinggian di Lereng Gunung Ijen Kabupaten Banyuwangi.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM

Maulidiyah, Ary. 2003. Studi Keanekaragaman Fauna Tanah (Infauna) di Puncak


Gunung Ijen Kabupaten Banyuwangi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
FMIPA UM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur pulau Jawa. Tepatnya
di kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Alas Purwo
merupakan suaka marga satwa sekaligus Taman Nasional dengan luas 430.420
Ha. Berdasarkan keputusan menteri kehutanan No.283/kpts-II/1992 tanggal 26
Februari 1992 secara resmi taman nasional ini ditetapkan sebagai Taman
Nasional.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan konservasi flora dan
fauna yang didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Menurut Syafei (1990)
hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik dataran rendah. Pada hutan ini
hutan jatuh sepanjang tahun, umumnya dengan satu bulan atau lebih dengan
periode relatif kering. Suhu dan laju penyinaran adalah tinggi dan sangat kecil
adanya variasi musim. Hutan pantai terbagi atas dua daerah yang berbeda yaitu
hutan mangrove dan hutan campuran (Odum, 1993). Pertumbuhan yang secara
terus-menerus pada daerah beriklim tropis ini mampu menunjang jumlah biomasa
hewan yang hidup di kawasan hutan sehingga rantai makanan panjang dan sangat
kompleks.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, hutan mangrove,
hutan tropis dataran rendah (hutan heterogen), dan sebagaian hutan tanaman,
padang rumput, dan hutan bambu. Adapun cuplikan yang diambil berada pada
area hutan heterogen Alas Purwo yang mana di dalam tanahnya didiami oleh
berbagai fauna tanah.
Secara umum Taman Nasional Alas Purwo kondisi geografisnya
bervariasi, dengan puncak tertinggi pada gunung Linggamanis (322 m). Pada
dataran rendah terdapat rawa-rawa terletak di sebelah barat. Di sebelah timur
terdapat bukit Gampang yang terjal. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo
didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Salah satu bagian dari hutan tropik
dataran rendah yaitu hutan pantai (Irawan, 1999).
Berdasarkan sebaran vegetasi tumbuhan yang ada di kawasan hutan pantai
Taman Nasional Alas Purwo ini dari tepi pantai ke arah daratan, vegetasi berubah
dari vegetasi mangrove menjadi vegetasi hutan heterogen. Fisiognomi vegetasinya
memiliki kanopi yang lebat sehingga cahaya matahari tidak sampai ke dasar
hutan. Kondisi ini berpengaruh terhadap hewan di dalamnya. Menurut Syafei
(1990) hewan yang hidup di suatu daerah (habitat) tertentu memiliki cara khas
ynag bergantung pada spesies tumbuhannya.
Serangga merupakan golongan hewan yang dominant di muka bumi
sekarang ini. Dalam jumlah, mereka melebihi semua hewan melata darat lainnya
dan praktis mereka terdapat dimana-mana. Serangga telah hidup di bumi kira-kira
350 juta tahun, dibanding dengan manusia yang kurang dari 2 juta tahun (Borror,
1992). Menurut Ferb (1989) dalam Irawan (1999), hutan mampu menampung
kepadatan populasi serangga lebih besar dibandingkan dengan hewan lain
sehingga apabila dibandingkan antara massa keseluruhan hewan lain maka massa
serangga lebih besar.
Menurut Widagdo (2002) serangga malam merupakan hewan nokturnal
yaitu hewan yang beraktivitas pada malam hari dengan menggunakan sebagian
besar hidupnya tanpa cahaya matahari. Untuk itu sudah tentu serangga malam
memiliki mekanisme tertentu untuk bisa bertahan hidup dan berkembang biak.
Berdasarkan uraian di atas, fenomena stratifikasi vegetasi hutan pantai
yang berhubungan dengan keberadaan komunitas serangga menarik untuk dikaji.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan KKL Ekologi Hewan
maka diadakan observasi dengan judul Keanekaragaman, Kemerataan, dan
Kekayaan Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo.

B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka observasi ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis serangga
malam di kawasan hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi
3. Untuk mengetahui pola distribusi jenis serangga malam di kawasan hutan
pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
4. Untuk mengetahui waktu aktif serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
5. Untuk mengetahui spesies apakah yang paling dominan pada tiap-tiap waktu
pengambilan sampel serangga malam di kawasan hutan pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.

C. Manfaat Observasi
Manfaat dari observasi ini, adalah:
Bagi mahasiswa
1. Dapat menginventarisasi jenis-jenis serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
2. Dapat mengetahui pengaruh waktu terhadap keanekaragaman, kemerataan,
dan kekayaan serangga malam di kawasan hutan pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
3. Dapat mengetahui pola distribusi serangga malam di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Bagi dunia pendidikan
1. Dapat menambah informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang entomologi.
2. Dapat menjadi informasi bagi dunia pendidikan dalam kegiatan belajar
mengajar khususnya kegiatan praktikum lapangan untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih mendalam tentang materi avertebrata kelas insecta.
3. Bisa digunakan sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan serangga malam yang ada di Taman Nasional Alas
Purwo, Banyuwangi.
D. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya terbatas pada serangga malam di hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo nilai dari hutan mangrove yang berbatasan dengan pantai
sampai kehutan peralihan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Biologi Serangga
1. Stuktur Luar Tubuh Serangga
Serangga terrgolong filum Arthropoda, subfilum Mandibulata, dan kelas
Insekta. Tubuh serangga terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (torak),
dan perut (abdomen). Pada kepala terdapat alat-alat untuk memasukkan makanan
atau mulut, mata majemuk (mata faset) dan sepasang antena. Thoraks terdiri dari
tiga ruas yang berturut-turut dari depan yaitu prothoraks, mesothoraks dan
metathoraks. Ketiga ruas thoraks tersebut pada hampir semua serangga dewasa
dan sebagian serangga muda memiliki tungkai. Sayap terdapat pada mesothoraks
jika satu pasang, dan terdapat pada metathoraks jika dua pasang. Abdomen
merupakan bagian tubuh yang hanya sedikit mengalami perubahan, berisi
antaranya adalah alat pencernaan. Tidak seperti vertebrata serangga tidak
memiliki kerangka dalam. Tubuh serangga ditopang oleh pengerasan dinding
tubuh melalui proses sklerotisasi yang berfungsi sebagai kerangka luar
(eksoskeleton). Dinding tubuh (integumen) serangga terdiri atas satu lapis
epidermis dan selaput dasar dan kutikula (Widagdo, 2002).
2. Jenis-jenis Serangga yang Banyak Ditemukan di Indonesia
Menurut Jumar (2000) dalam Widagdo (2002), kelas Insekta terbagi
menjadi dua sub kelas yaitu Apterygota dan sub kelas Pterygota. Sub kelas
Apterygota memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
Serangga primitif yang berukuran kecil.
Tidak memiliki sayap sejak nenek moyangnya.
Mempunyai struktur thoraks yang sederhana.
Pada abdomen terdapat satu pasang embelan atau lebih selain embelan alat
kelamin.
Tidak mengalami metamorfosis.
Sedangkan ciri-ciri sub kelas Pterygota adalah sebagi berikut:
Pada serangga dewasa prothoraks membesar atau termodifikasi untuk
menunjang sayap.
Sayap serangga dewasa memiliki satu atau dua pasang sayap, kehilangan
sayap pada proses evolusinya.
Abdomen tanpa embelan kecuali embelan alat kelamin.
Mengalami metamorfosis.
Menurut Siwi (1991) dalam Widagdo (2002), ordo-ordo serangga yang
sering dijumpai di Indonesia adalah sebagai berikut:
Ordo Odonata
Ukuran tubuh sedang sampai besar, antena pendek dan kaku, abdomen
panjang dan ramping. Tipe alat penggigit pengunyah, sayap seperti selaput
yang mempunyai banyak vena.
Ordo Orthoptera
Ukuran tubuh sedang sampai besar, ada yang bersayap dan tidak. Yang
bersayap mempunyai dua pasang sayap. Sayap depan panjang dan menyempit,
banyak vena, menebal seperti kertas parkamen. Alat mulut penggigit
pengunyah.
Ordo Plecoptera
Warna tubuh pudar, tidak mengkilap ukuran tubuh sangat kecil, antena
panjang. Ada yang bersayap ada yang tidak, ada yang bersayap panjang dan
ada pula yang pendek, sayap seperti selaput. Tipe lalat mulut penggigit.
Ordo Dermaptera
Jantan mempunyai forcep yang kokoh dan kasar (bergerigi), betina lebih
langsing dan ramping. Tubuh pipih, berukuran kecil sampai sedang.
Ordo Isoptera
Sayap dua pasang, membraneus, sayap depan dan belakang mempunyai
bentuk dan ukuran yang sama, ada yang tidak bersayap. Alat mulut penggigit
dan pengunyah.
Ordo Hemiptera
Tubuh pipih, ukuran sangat kecil sampai besar. Yang bersayap, pada bagian
pangkal sayap menebal sedangkan ujungnya membraneus.
Ordo Mecoptera
Tubuh ramping dengan ukuran kecil sampai sedang, kepala dengan muka
panjang, alat mulut penggigit dan memanjang kearah bawah berbentuk seperti
parut.
Ordo Trichoptera
Ukuran tubuh kecil sampai sedang, sayap seperti selaput, agak berambut dan
bersisik. Warna suram, antena panjang dan ramping, alat mulut penggigit.
Ordo Lepidoptera
Sayap dua pasang tertutup buku dan sisik. Antena agak panjang, mulut pada
larva bertipe pengigit pengunyah dan pada dewasa penghisap.
Ordo Coleoptera
Sayap depan keras, tebal, menanduk yang berfungsi sebagai pelindung.
Ukuran tubuhnya 0,5-125 mm. Sayap belakang membraneus dan melipat di
bawah sayap depan. Alat mulut menggigit dan habitatnya di berbagai
ekosistem. Contohnya: Hydrophilus triangularis.

Ordo Hymenoptera
Tubuh berukuran 5-40 mm, sayap dua pasang yang seperti selaput. Sayap
depan lebih besar, antena 10 ruas, mulut penghisap. Habitatnya yang dewasa
disegala habitat. Contohnya, Formica sp.

Kedua belas ordo tersebut sering ditemukan di Indonesia dan aktif pada
malam hari.
3. Serangga Malam
Menurut Odum (1993) serangga malam merupakan golongan hewan yang
menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk beraktifitas pada malam hari.
Sebagai hewan berdarah dingin (poikilotermik) serangga memiliki mekanisme
pertahanan diri terhadap suhu yang rendah. Borror, dkk (1992) menjelaskan
bahwa beberapa serangga tahan hidup pada suhu-suhu yang rendah ini
menyimpan etilen glikol di dalam jaringan tubuh mereka untuk melindungi dari
pembekuan.
Aktifitas serangga malam dalam mencari makan pada malam hari
sekaligus merupakan mekanisme yang membantu dalam mempertahankan diri
terhadap suhu rendah. Seperti penjelasan Borror, dkk (1992) bahwa pada
kebanyakan serangga, aksi urat-urat daging thoraks dalam penerbangannya
biasanya meningkatkan suhu tubuh serangga di atas suhu lingkungan tersebut.

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman

Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman ada enam yang mana


satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor waktu
Dalam Irawan (1999) disebutkan bahwa waktu mempengaruhi kematangan
suatu komunitas. Selama perubahan waktu suatu organisme akan berkembang dan
mengalami proses keanekaragaman menjadi lebih baik. Ditambahkan lagi bahwa
keanekaragaman ini merupakan produk evolusi. Di daerah tropis organisme
berkembang dan memiliki keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan dengan
organisme di daerah kutub. Dan komunitas memiliki proses keanekaragaman
sepanjang waktu sehingga komunitas yang lebih tua memiliki banyak spesies
daripada komunitas yang muda.

2. Faktor heterogenitas spasial (ruang)


Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) relief atau topografi atau
heterogenitas makrospasial memiliki efek yang besar terhadap keanekaragaman
spesies. Wilayah tropis mempunyai kompleksitas lingkungan yang tinggi. Dalam
hal ini faktor fisik, komunitas tumbuhan dan hewan sangat heterogen dan sangat
cepat mengalami proses keanekaragaman spesies. Di area yang memiliki relief
topografi yang tinggi mengandung banyak habitat yang berbeda sehingga berisi
banyak spesies.

3. Faktor kompetisi
Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi
mempengaruhi kekayaan spesies yang digambarkan melalui hubungan relung
antar spesies. Faktor ini sangat penting dalam evolusi karena merupakan
persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan menjadi lebih terbatas dan
makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah tropis memiliki
lebih banyak spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang
tinggi.
4. Faktor predasi
Predasi dan kompetisi sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies.
Dalam komunitas yang kompleks dan mendukung banyak spesies, interaksi yang
dominan adalah predasi, sedangkan dalam komunitas sederhana yang dominan
adalah kompetisi. Keberadaan predator dan parasit dapat menekan populasi
mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah. Adanya pengurangan kompetisi
memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan mendukung
munculnya predator baru.

5. Faktor stabilitas lingkungan


Faktor ini menunjukkan bahwa semakin stabil parameter lingkungan maka
spesies yang ada semakin banyak. Adanya kombinasi faktor stabilitas dengan
waktu dapat mempengaruhi keanekaragaman.

6. Faktor produktivitas
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) stabilitas dari produksi
primer mempunyai pengaruh utama terhadap keanekaragaman spesies dalam
komunitas. Semakin besar produktivitasnya maka keanekaragamannya juga
semakin besar. Namun tidak selalu benar kalau semakin rendah produktivitasnya
maka keanekaragamannya juga semakin rendah. Ada kemungkinan besar bahwa
overlap bisa terjadi antar keenam faktor di atas.

C. Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo terletak di kecamatan Tegaldlimo kabupaten
Banyuwangi yang merupakan tempat konservasi flora dan fauna. Taman Nasional
Alas Purwo mempunyai luas 43.420 ha. Kawasan ini didominasi oleh hutan tropik
dataran rendah.
Menurut Syafei (1990) hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik
dataran rendah. Pada hutan ini hujan jatuh sepanjang tahun, umumnya dengan
satu bulan atau lebih dengan periode relatif kering. Suhu dan laju penyinaran
adalah tinggi dan sangat kecil adanya variasi musim.
1. Hutan Mangrove
Menurut Nontji (1987) dalam Widagdo (2002) mangrove adalah tipe hutan
yang khas, terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Istilah mangrove digunakan sebagai pengganti istilah bakau.
Hutan mangrove di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh genus
Rhizopora dan Aricennia.
2. Hutan campuran
Hutan campuran di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh pohon
yang selalu hijau dan sangat tinggi. Hutan campuran daunnya berkecenderungan
hijau tua dan rimbun. Teksturnya yang berkulit kayu mampu melindungi dari suhu
yang tinggi dan juga penyinaran yang berlebihan (Syafei, 1990).
Keanekaragaman pohon di hutan campuran sangat tinggi. Menurut Anwar
(1984) dalam Irawan (1999) keanekaragaman yang tinggi tersebut disebabkan
oleh adanya kandungan humus pada tanah hutan campuran lebih rendah dari pada
hutan yang beriklim sedang, curah hujan yang lebih besar, cahaya matahari
bersinar lebih lama.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode
survei yang diatur secara sistematik yang bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang keanekaragaman serangga malam.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 18-19 November 2005 di hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo. Kemudian mengidentifikasikan serangga
yang ditemukan di Gedung Biologi, O5 Universitas Negeri Malang.

C. Objek dan Sampel Penelitian


Semua jenis serangga malam yang berada di kawasan hutan pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi. Sedangkan sampelnya
adalah jenis serangga malam yang tertangkap dengan metode light trap pada
setiap waktu pengambilan.

D. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Perangkat light trap yang terdiri dari
- Lampu badai
- Nampan plastik
Plakon/botol film untuk menyimpan spesimen
Kuas untuk mengambil serangga malam dari nampan plastik
Senter sebagai alat penerang
Roll meter untuk mengukur jarak antar plot
Lux meter untuk mengukur intensitas cahaya lampu badai
Termohigrometer untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara
Mikroskop stereo untuk pengamatan serangga
Buku kunci determinasi serangga, karangan Borror, D.J. dkk., buku
terjemahan Soetiyono terbitan Gadjah Mada University Press Yogyakarta,
tahun 1992.
Alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.
2. Bahan
Bahan yang digunakan antara lain:
Alkohol 15% untuk mengawetkan serangga supaya tidak cepat rusak
Gliserin 15% untuk memancing serangga malam supaya datang karena
aromanya dan sebagai tempat melekatnya serangga malam karena sifatnya
yang lengket
Aquades sebagai pengencer dari gliserin

E. Prosedur Kerja
1. Observasi
Observasi dilakukan sebelum pengambilan data bertujuan menentukan
metode penelitian yang tepat dan lokasi yang memungkinkan untuk pengambilan
data, sesuai dengan kriteria yang diharapkan yaitu pada Hutan Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.

2. Persiapan Alat dan Bahan


Pada penelitian ini untuk menangkap serangga diperlukan perangkap
cahaya (light trap) cara pembuatanya adalah sebagai berikut:

Memasang lampu badai di atas nampan yang sudah diisi dengan alkohol 15 %,
gliserin 15 % dan aquades.
Menempatkan alat light trap pada masing-masing plot atau lokasi yang telah
ditentukan.
3. Tahap Pelaksanaan
Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan pada Hutan Pantai
meliputi hutan mangrove, daerah peralihan dan hutan heterogen yang kemudian
diukur dengan menggunakan roll meter untuk menentukan jarak antara plot yang
satu dengan plot yang lain. Dalam penelitian ini ada 19 plot lokasi.

4. Pengambilan Data
Untuk pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Light trap dipasang dikesembilan belas plot lokasi yang telah ditentukan.
Light trap mulai dinyalakan pada pukul 19.00-03.00 WIB.
Data diambil setiap dua jam sekali pada pukul 21.00, 23.00, 01.00 dan 03.00
WIB.
Kesembilan belas plot atau lokasi tadi dianggap sebagai ulangan.
Tiap serangga yang didapat dimasukkan ke dalam plakon yang berisi
campuran bahan pengawet yang terdiri dari alkohol 15%, gliserin 15% dan
aquades dengan perbandingan 3:1:1, dan masing-masing diberi kode dengan
menggunakan kuas.
Serangga hasil tangkapan kemudian diidentifikasi di Laboratorium Ekologi
jurusan Biologi FMIPA UM.

F. Tekhnik Tabulasi Data


Data yang diperoleh ditabulasikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1 : Model tabel untuk data light trap
Waktu
No Taksa Ulangan X P% Pi PilnPi S2 S2/X Distribusi
1 2 sampai 19


Ln
H
E

G. Teknik Analisis Data


Untuk mengetahui analisis kepadatan digunakan paremeter densitas relatif
dan untuk mengukur analisis kelimpahan digunakan dominansi relatif. Untuk
mencari parameter kepadatan relatif dan dimonansi relatif tersebut dengan cara
pendekatan sebagai berikut:
Jumlahindividusuatujenis
Densitas absolut : Jumlaharea yangberisijenisitu
Densitasabsolutsuatujenis
Densitas relatif : Totaldensi tasabsolutseluruhnya X 100%

Dominansi absolut : Jumlah individu suatu jenis


Jumlahindividuduatujenis
Densitas relatif : X 100%
Jumlahtotalindividu
Untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman pada tiap-tiap plot
dilakukan analisis secara deskriptif dengan menggunakan indeks
keanekaragaman. Parameter keanekaragaman yang diukur meliputi:
3) Indeks keanekaragaman Shanon Wiener
H = - Pi ln Pi


Keterangan: Pi = n/N
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
n : Jumlah masing-masing spesies
N : Jumlah total spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

4) Setelah memperoleh indeks keanekaragaman ShanonWiener, selanjutnya


menghitung nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:
H'
E
ln .S
Keterangan: E : Indeks kemerataan evennes
H : Indeks keanekaragaman Shanon Wiever
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)

3) Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indeks


Richness:
S 1
R
ln .N
Keterangan: R : Indeks Richness
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, ..)
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
5) Untuk mengetahui dominansi suatu spesies dilakukan perhitungan nilai
dominansi sebagai berikut:
n
D 100%
N
Keterangan: D : Dominansi spesies
n : Jumlah individu masing-masing spesies
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Odum, 1993 dalam Irawan, 1999)
Tabel 4.2. Tabel Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan
Kekayaan Serangga Malam di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi

Waktu Pengambilan H E R
19.00-21.00 7,795 7,795 0,519
21.00-23.00 6,954 6,954 0,629
23.00-01.00 5,741 5,741 0,665
01.00-03.00 5,613 5,613 0,325

Grafik 4.1. Grafik Indeks Keanekaragaman Serangga Malam Di Hutan Pantai


Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Grafik 4.2. Grafik Indeks Kemerataan Serangga Malam Di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi

Grafik 4.3. Grafik Indeks Kekayaan Serangga Malam Di Hutan Pantai Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Grafik 4.4. Grafik Nilai Predominasi Monomorium sp. Pada Tiap Waktu
Pengambilan Di Hutan Pantai Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
BAB V
PEMBAHASAN

1. Jenis-Jenis Seranga Malam Di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman


Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
Serangga malam yang ditemukan di hutan pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi terdiri dari banyak spesies yang berasal dari
genus yang bervariasi antara lain dari genus Monomorium, Magicicada,
Hippodania, Hydropilidae, Amitermes, Pompilidae, Fornica, Episuron, Helops,
Galleria, Isopeia, Tipula, Bombylus, Diptera, Vespula, Hymelloptera,
Camponatus, Oniscus, Harmolita, Grillidae, Xerophloea, hypogastruidea,
Pedilus, Poecilogoenalus, Attagenus, Didea, Epiphagma, Simulium,
Paraphlesius, Periplaneta, Heterotermes, Sternectus, Megarthrus, Aphidius,
Ludius, Tulorchestia, Prionoxystus, Byturus, Rhizipogus, Dicerca, Asenmum,
Parcoblata, Tribolum, Ostrinia, Chrysops, Pteromalidae, Aedes, Synantedon,
Atheas, Ipelatus, Reticulifermes, Symphoromyra, Zootermopsis, Nympula,
Pseudolatea, Phoridae, Formicidae, Sceliphron, Componatus, Scarites, Ithycerus,
Phsylla, Vesichepalus, Phytodietus, Damagea, Drosophila, Itopectis, Eleodes,
Gasta, Formica, Eurytomidae, Anopheles, Clindrosella, Nemobius, Lathrotoum,
Phoridae, Neanura, Compositus, Galleria, Phidippus, Phytodietus, Lactrobium,
Pseudolabia, Zoraptera, Byturus, Tularchestia, Nemobius, Pharaphalesium,
Periplanata, Megarthrus, Aphidius, Cylindrosella, Seelipron, Ophion, Oldes,
Dicercia, Symporomye, Eleodes, Veschipalus, Sclaria, Phlebotomus,
Bhostophagus, Asillus, Psaphila, Neodiprion, Zarophalus. Kebanyakan serangga
malam yang ada di kawasan hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo
termasuk dalam ordo Orthoptera, Dermaptera, Plecoptera, Isoptera, Odonata,
Hemiptera, Mecoptera, Trichoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Hymenoptera.
Banyaknya jenis serangga malam yang ditemukan di hutan pantai
Triangulasi taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi tersebut tidak terlepas dari
kondisi lingkungan yang ada, baik itu berupa faktor abiotik maupun faktor biotik.
Faktor abiotik, meliputi suhu, kelembaban, pH, dan juga cahaya. Sedangkan
faktor biotik bisa berupa sumber makanan baik itu tumbuhan maupun serangga
yang lain. Menurut penjelasan Ewusie (1990) dalam Widagdo (2002) daerah yang
keanekaragaman spesies tumbuhannya besar maka spesies hewannya juga besar.
Jadi jelaslah bila jenis serangga malam yang ditemukan di hutan pantai
Triangulasi taman Nasional Alas Purwo begitu banyak. Karena dikawasan tersebut
memang merupakan hutan tropik yang menampung banyak spesies tumbuhan.

2. Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam di


Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi
Berdasarkan hasil analisis data tentang keanekaragaman serangga malam,
diperoleh kecenderungan rata-rata nilai indeks keanekaragaman yang hampir
sama pada keempat waktu pengambilan sampel, yaitu pada pukul 21.00 WIB,
23.00 WIB, 01.00 WIB dan 03.00 WIB. Pengambilan sampel pukul 21.00 WIB
diperoleh indeks keanekaragaman sebesar 2.1, pengambilan pukul 23.00 WIB 2.4,
pengambilan pukul 01.00 WIB 2.3. Sedangkan pengambilan pukul 03.00 WIB
diperoleh indeks keanekaragaman yang lebih rendah yaitu sebesar 1.2.
Hal ini berarti indeks keanekaragam yang tertinggi diperoleh pada
pengambilan sampel pukul 19.00-01.00 WIB, dan indeks keanekaragaman
terendah diperoleh pada pukul 03.00 WIB. Sedikitnya indeks keanekaragaman
pada pengambilan sampel pada pukul 03.00 WIB ini dimungkinkan karena pada
waktu ini sudah mendekati pagi sehingga kondisi lingkungan seperti suhu,
kelembaban, oksigen, dan pH sudah berbeda dengan kondisi lingkungan antara
pukul 19.00-10.00 WIB. Sehingga hanya jenis-jenis serangga tertentu saja yang
muncul dan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tersebut. Fakta
yang terjadi di lapangan tersebut sesuai dengan pernyataan Krebs (1985) dalam
Widagdo (2002) bahwa waktu menekankan pentingnya peran semua parameter
lingkungan seperti suhu, kelembapan, salinitas, oksigen, dan pH. Kemudian
pernyataan tersebut diperkuat oleh Haddy (1984) dalam Irawan (1999) dijelaskan
bahwa keanekaragaman komunitas ditandai oleh banyaknya spesies organisme
yang membentuk komunitas tersebut, semakin banyak spesies makin tinggi
keanekaragaman.
Kemerataan serangga malam di hutan pantai Triangulasi kawasan Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi. Dari hasil analisis data didapatkan bahwa
untuk keempat waktu pengambilan yaitu pengambilan pukul 21.00 WIB, 23.00
WIB, dan 01.00 WIB diperoleh indeks kemerataan yang hampir sama besarnya.
Pada pengambiln pukul 21.00 WIB diperoleh indeks kemerataan sebesar
0,518558772, pengambilan pukul 23.00 WIB diperoleh kemerataan sebesar
0,62707324, pengambilan pukul 01.00 WIB indeks kemerataannya sebesar
0,655359174, sedangkan untuk pengambilan pada pukul 03.00 WIB diperoleh
indeks kemerataan yang lebih kecil yaitu sebesar 0,34743811. Rendahnya indeks
kemerataan pada pengambilan sampel pukul 03.00 WIB ini kemungkinan
disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban oksigen, pH, dan
cahaya sudah berbeda dengan kondisi lingkungan antara pukul 19.00-01.00 WIB.
Sehingga hanya jenis-jenis serangga tertentu saja yang muncul dan dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di pagi hari. Hal ini sesuai dengan
teori yang diungkapkan oleh Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) bahwa waktu
menekankan pentingnya peran semua parameter lingkungan seperti suhu,
kelembaban, salinitas, oksigen, dan pH.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh indeks kekayaan (R) tertinggi
pada pengambilan sampel pukul 21.00 WIB yaitu sebesar 15,14829793, pada
pengambilan pukul 23.00 WIB indeks kekayaannya sebesar 13,03673315,
pengambilan pukul 01.00 WIB indeks kekayaan sebesar 10,72139553, dan pada
pengambilan pukul 03.00 WIB indeks kekayaannya sebesar 10,99630311. Indeks
kekayaan berkaitan dengan waktu aktif serangga malam, dimana pada pukul
19.00-21.00 WIB merupakan waktu aktif bagi serangga malam, sehingga jumlah
serangga yang tertangkap lebih banyak daripada waktu-waktu pengambilan
sampel yang lain. Kemungkinan yang lain bisa juga disebabkan oleh pengaruh
kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Hal ini sesuai dengan teori yang
dijelaskan oleh Andayani (2001) dalam Widagdo (2002) bahwa hewan secara aktif
akan berpindah dari lingkungan satu ke lingkungan lain apabila terjadi perubahan
lingkungan sementara. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelembaban dan suhu dapat
mengontrol berbagai aktifitas hewan, seperti aktifitas bergerak dan makan.
3. Pola Distribusi Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
Untuk mengetahui pola distribusi atau penyebaran serangga malam di
hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi digunakan
perbandingan antara nilai rata-rata (m) dengan nilai varian (V).
Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa pola penyebaran serangga
malam ada yang mengelompok, dan ada yang merata. Pola penyebaran yang
berbeda-beda ini kemungkinan disebabkan oleh kebutuhan serangga malam dalam
mencari sumber makanan. Menurut Soetjipto (1993) dalam Irawan (1999), jika
makanan pada suatu daerah jumlahnya banyak maka penyebarannya cenderung
sempit dan apabila makanan sedikit maka penyebarannya cenderung luas.
Pola penyebaran serangga malam meliputi dua daerah yaitu, hutan
mangrove, dan hutan peralihan. Pada pengambilan sampel yang pertama pukul
21.00 WIB, serangga malam yang ditemukan rata-rata memiliki pola penyebaran
yang mengelompok. Begitu juga pada pengambilan sampel pukul 23.00 WIB,
01.00 WIB, dan 03.00 WIB. Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa pola penyebaran serangga malam di hutan pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo adalah mengelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Odum (1993:257) bahwa sifat umum penyebaran secara mengelompok adalah
apabila varian lebih besar daripada rata-rata.
Menurut Widagdo (2002) pola penyebaran mengelompok merupakan pola
penyebaran yang paling umum di alam, terutama oleh hewan. Pengelompokan ini
disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Respon dari organisme terhadap perbedaan habitat secara lokal.
2. Respon dari organisme terhadap perubahan cuaca musiman.
3. Akibat dari cara atau proses reproduksi atau regenerasi.
4. Sifat-sifat organisme dengan organ vegetatifnya yang menunjang untuk
terbentuknya kelompok atau koloni.
4. Waktu Aktif Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Dari hasil data di lapangan diketahui bahwa masing-masing serangga
malam memiliki periode kemunculan yang tidak sama dari empat rentangan
waktu pengambilan sampel. Menurut Irawan (1999) serangga malan merupakan
golongan hewan yang menghabiskan sebagaian besar hidupnya untuk beraktifitas
pada malam hari. Menurut Odum (1993) bahwa kelompok-kelompok organisme
memperlihatkan pola kegiatan yang sinkron dalam satu daur siang sampai malam.
Beberapa misalnya hanya aktif pada periode gelap (nocturnal) yang lainnya lagi
hanya aktif selama periode senja.
Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan hasil bahwa pengambilan
sampel pada pukul 21.00 WIB jumlahnya sebesar 3236, kemudian pada
pengambilan pukul 23.00 WIB berjumlah 1148, pengambilan pukul 01.00 WIB
jumlahnya sebesar 629, dan pengambilan sampel pada pukul 03.00 WIB
jumlahnya sebesar 729. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa waktu
aktif serangga malam yaitu pada pukul 19.00-21.00 WIB dengan jumlah
perolehan sampel paling tinggi jika dibandingkan dengan waktu pengambilan
sampel yang lain. Pada waktu aktif ini berarti serangga aktif melakukan aktifitas
hidupnya, seperti mencari makan, dimana aktifitas mencari makan juga sekaligus
sebagai mekanisme untuk mempertahankan diri dari suhu yang rendah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Irawan (1999) bahwa sebagai hewan berdarah dingin
(poikilotermik) dimana suhu tubuh meningkat dan menurun berdasarkan suhu
sekitar, serangga memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap suhu rendah.
Kemudian menurut Boror, dkk (1992) bahwa beberapa serangga tahan hidup pada
suhu-suhu yang rendah ini, menyimpan etilen glikol di dalam jaringan mereka
untuk melindungi diri dari pembekuan. Selain itu pencahayaan juga berpengaruh
terhadap aktifitas dan tingkah laku hewan. Hal ini sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Sunjaya (1970) dalam Widagdo (2002) bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi hidup serangga, diantaranya adalah faktor fisis yaitu
iklim dan topografi. Faktor fisis lainnya yang mempengaruhi aktifitas serangga
adalah cahaya. Ada beberapa serangga yang terbang pada malam hari dan mereka
hanya tertarik pada cahaya lampu.
Selain itu ada beberapa genus tertentu yang bisa ditemukan pada keempat
waktu pengambilan seperti Monomorium, Oniscus, Harmolita, hal ini berarti
bahwa hewan tersebut mempunyai waktu beraktifitas pada malam hari yang
panjang sehingga kisaran untuk memperoleh peluang mencari makan juga besar
dan juga berarti bahwa hewan tersebut bisa mempunyai kisaran toleransi untuk
hidup juga besar.

5. Dominansi Spesies Serangga Malam yang Ditemukan pada Tiap-Tiap


Jam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
Dari hasil analisis dominansi tiap jenis dapat diketahui bahwa pada
pengambilan sampel pukul 21.00 WIB serangga malam yang mendominasi adalah
dari spesies Monomoriun sp. sebanyak 1512 ekor. untuk pengambilan sampel
pukul 23.00 WIB serangga malam yang mendominasi adalah dari spesies
Monomorium sp. sebanyak 510 ekor. Pada pengambilan sampel pukul 01.00 WIB
didominasi oleh Monomorium sp. sebanyak 218 ekor, sedangkan Oniscus osellus
mendominasi waktu penganbilan sampel pukul 03.00 WIB, kemudian baru diikuti
oleh Monomorium sp. sebanyak 116 ekor.
Dari data tersebut di atas dapat diketahui bahwa serangga malam yang
paling mendominasi kawasan hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas
Purwo, Banyuwangi pada tiap-tiap waktu pengambilan sampel adalah spesies
Monomorium sp. spesies ini termasuk dalam ardo Isoptera. Menurut Jumar (2000)
dalam Widagdo (2002) ordo Isoptera memiliki ciri-ciri, sayap dua pasang,
membraneus, sayap depan dan belakang mempunyai bentuk dan ukuran yang
sama, ada yang tidak bersayap. Alat mulut penggigit dan pengunyah, dan
mempunyai cerci dua ruas. Merupakan serangga dengan beberapa kasta.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jenis-jenis serangga malam yang dapat ditemukan di Kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi terdiri dari banyak
spesies dan berasal dari genus yang bervariasi. Hal ini berkaitan dengan
kondisi lingkungan, baik itu berupa fakor abiotik maupun biotik. Faktor
abiotik diantaranya adalah suhu, kelembaban, pH, dan juga cahaya.
Sedangkan faktor biotik adalah sumber makanan yang berupa tumbuhan
maupun serangga yang lain.
2. Keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan serangga malam di
kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi
diperoleh kecenderungan rata-rata nilai indeks keanekaragaman yang hampir
sama pada ketiga waktu pengambilan, indeks keanekaragaman terendah
diperoleh pada pukul 01.00-03.00 WIB yaitu sebesar 1,3. Sedangkan indeks
keanekargaman tertinggi diperoleh pada pukul 19.00-01.00 WIB.
Kemerataan serangga malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi ketiga waktu pengambilan pukul 19.00-
21.00 WIB, 21.00-23.00 WIB, dan 23.00-01.00 WIB diperoleh indeks
kemerataan yang hampir sama besarnya, sedangkan pengambilan pada pukul
01.00-03.00 WIB diperoleh indeks kemerataan yang lebih kecil yaitu sebesar
0,34743811. Hal ini bisa disebabkan pada pukul 03.00 WIB ini waktu sudah
mendekati pagi, sehingga kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban,
oksigen, pH, dan cahaya sudah berbeda. Sehingga hanya jenis serangga
tertentu saja yang muncul dan dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan
di pagi hari.
Kekayaan serangga malam didapatkan dari nilai indeks kekayaan (R) tertinggi
didapatkan pada pengambilan pukul 19.00-21.00 WIB yaitu sebesar
15,14829793. Hal ini berkaitan dengan waktu aktif serangga malam, dimana
pada pukul 19.00-21.00 WIB merupakan waktu aktif bagi serangga malam,
sehingga jumlah serangga yang tertangkap lebih banyak daripada waktu-
waktu pengambilan sampel yang lain, selain itu bisa juga dimungkinkan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban.
3. Pola distribusi serangga malam di Kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi didapat dari
perbandingan antara nilai rata-rata (x) dengan nilai varian (V). Pola
penyebaran serangga malam ada yang mengelompok, dan ada yang merata.
Pola penyebaran yang berbeda ini bisa dimungkinkan disebabkan oleh
kebutuhan serangga malam dalam dalam mencari sumber makanan.
Pola penyebaran serangga malam meliputi dua daerah yaitu, hutan mangrove
dan hutan peralihan.
4. Waktu aktif serangga malam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi memiliki periode kemunculan yang tidak
sama dari empat rentangan waktu pengambilan sampel. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui waktu aktif serangga malam yaitu pada pukul 19.00-
21.00 WIB dengan jumlah perolehan sampel paling tinggi jika dibandingkan
dengan waktu-waktu pengambilan sampel yang lain. Pada waktu ini berarti
serangga aktif melakukan aktifitas hidupnya, seperti mencari makan, sekaligus
merupakan mekanisme untuk mempertahankan diri dari suhu yang ekstrim.
Ada beberapa genus tertentu yang bisa diketemukan pada keempat waktu
pengambilan seperti Monomorium, Oniscus, Harmolita, hal ini berarti bahwa
hewan tersebut mempunyai waktu beraktifitas pada malam hari yang panjang
sehingga kisaran untuk memperoleh peluang mencari makan juga besar dan
berarti pula bahwa hewan tersebut bisa mempunyai kisaran toleransi untuk
hidup juga besar.
5. Dominansi spesies serangga malam yang ditemukan pada tiap-tiap
jam di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi dapat diketahui bahwa serangga malam yang paling
mendominasi adalah spesies Monomorium sp. spesies ini termasuk dalam ordo
Isoptera.
B. Saran
1. Sebaiknya pengambilan data untuk faktor abiotik (suhu, kelembaban, dan
intensitas cahaya) bisa lebih teliti dan lebih diperhatikan.
2. Untuk kompilasi data kelas sebaiknya dilakukan lebih awal agar bisa
memperlancar penyelesaian laporan.
3. Diperlukan kerja sama dari para asisten supaya pembuatan laporan
dapat berjalan dengan lancar dan tidak terjadi kerancuan.
DAFTAR PUSTAKA

Borror, T., J. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Terjemahan


oleh Soetiyono P. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Irawan, K.F. 1999. Kemelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam di


Hutan Pantai Kawasan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Skripsi
Tidak Diterbitkan. Malang: IKIP

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahyono. Yogyakarta:


UGM

Syafei, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: ITB

Widagdo, K. 2002. Keanekaragaman Serangga Malam pada Berbagai


Ketinggian di Gunung Arjuna. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: UM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan yang digunakan sebagai
kawasan pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian sumber daya alam,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi merupakan salah satu aset Nasional yang secara resmi terpisah dari
kawasan Taman Nasional Baluran sejak tahun 1990. Tempat ini merupakan cagar
alam dan suaka margasatwa yang dapat digunakan sebagai media dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian SDA. Secara geografis kawasan
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung Timur pulau Jawa, tepatnya berada
di Kecamatan Tegal Dlimo, Kabupaten Banyuwangi, dengan luas 433.420 Ha.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan suatu ekosistem hutan tropis
dataran rendah yang di dalamnya terdapat vegetasi hutan pantai, padang rumput,
dan hutan bamboo yang mendominasi 40% dari luas kawasan. Menurut
Dharmawan (2004) ekosistem lahan basah di Alas Purwo yang terdiri dari hutan
mangrove dan hutan perairan laguna, yang secara fungsional kedua ekosistem ini
saling berinteraksi.
Hutan Mangrove pada dasarnya adalah suatu kawasan yang terletak
menyebar di sepanjang garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air. Komponen abiotik dan biotik di hutan mangrove tersebut saling
berinteraksi membentuk suatu mangrove.
Ekosistem mangrove yang identik dengan ekosistem perairan akan sangat
mempengaruhi keanekaragaman jenis-jenis hewan lautnya. Hutan mangrove pada
prinsipnya berfungsi sebagai tempat asuhan (nusery ground) bagi berbagai jenis
hewan akuatik yang beranekaragam, seperti ikan, udang, dan berbagai jenis hewan
mollusca. Hutan mangrove di Indonesia terdapat 88 jenis Crustaceae dan 65 jenis
Mollusca (Nontji, 1987).
Daerah pasang surut tidak luput dari pengaruh komponen-komponen yang
ada dalam hutan mangrove. Di daerah pasang surut ini secara langsung ataupun
tidak langsung akan saling berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada
dalam hutan mangrove baik berbagai komponen biotik maupun abiotiknya.
Berbagai komponen biotik tersebut akan saling berinteraksi membentuk suatu
populasi. Berbagai komponen biotik dan abiotik di daerah pasang surut akan
membentuk suatu rangkaian proses dekomposisi melalui suatu rantai makanan
yang hasilnya merupakan makanan bagi komponen biotik laguna, yaitu berbagai
jenis Mollusca, decapoda, dan berbagai mikroba. Rangkaian proses tersebut dapat
diketahui dari kepadatan organisme yang terdapat di tempat tersebut, dan
merupakan indikator dalam memprediksi adanya unsur hara yang terkandung di
dalamnya (Odum, 1993).
Pantai Pancur merupakan salah satu kawasan yang dikelola di bawah
Resort Pancur. Pantai Pancur terletak 77 km dari Banyuwangi. Di perairan Pantai
Pancur Taman Nasional Alas Purwo banyak terdapat makro invertebrata
diantaranya Mollusca. Ada sebagian Mollusca yang hidup di lingkungan perairan
sebagai bentos baik air tawar, payau maupun laut. Lebih lanjut diungkapkan
dalam habitatnya menempati dasar perairan yang membenamkan diri pada
substrat lumpur dan pasir, sehingga terlindung dari perubahan faktor-faktor
lingkungan yang menghambat kelangsungan hidupnya. Untuk mempelajari
Ekologi Hewan khususnya tentang keanekaragaman Mollusca, mahasiswa harus
terjun langsung ke lapangan agar mudah dalam mengkajinya, kegiatan ini
ditunjang dengan kuliah kerja lapangan yang dilaksanakan di Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi. Dengan mengamati Mollusca yang terdapat di Pantai
Pancur, maka mahasiswa dapat mengkajinya melalui keanekaragaman,
kemerataan, kekayaan, pola distribusi, dan nilai penting spesies-spesies yang
ditemukan dan juga dapat mengidentifikasi Mollusca melalui bentuk
morfologinya.
Mollusca adalah salah satu organisme yang mampu bertahan hidup pada
kondisi ekosistem yang sangat bervariasi. Mollusca mampu hidup pada daerah
yang ekstrim, seperti daerah kutub, padang pasir, di dalam goa-goa, sumber air
yang salinitasnya tinggi, sumber air yang kaya mineral dan sebagainya. Untuk
daerah yang sesuai seperti daerah tropis atu subtropis. Mollusca dapat
berkembang dengan cepat dalam jumlah individu dan variasi ornamentasi
(Zuraidah, 2001).
Ciri-ciri Mollusca secara umum adalah tubuh lunak dan tidak berbuku-
buku biasanya tubuh bercangkok (berubah) dari zat kapur, hewan ini ada yang
hidup di darat, di air tawar dan ada pula yang hidup di laut, tubuh simetri bilateral,
jenis kelamin umumnya terpisah, tetapi dapat juga hermaprodit, cangkang
dibentuk oleh mantel, badan terdiri dari kepala, kaki dan massa jerohan, kaki
termodifikasi untuk merayap, berenang bahkan untuk menangkap makanan
(Kastawi, 1986).

2. Tujuan
Dari latar belakang diatas maka observasi ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis Mollusca yang ada di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis Mollusca
di kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
3. Untuk mengetahui pola distribusi jenis Mollusca di kawasan Pantai Pancur
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
4. Untuk mengetahui jenis Mollusca apa sajakah yang dominan pada tiap zona di
kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

D. Manfaat Observasi
Hasil dari observasi ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai
jenis Mollusca, keanekaragaman, kemerataan, kekayaan, pola distribusi, dan
mengetahui spesies Mollusca yang paling dominan di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi yang dapat dijadikan pijakan untuk informasi
obyek dan penentuan kebijakan konservasi sumber alam, selain itu dapat
digunakan untuk menambah wawasan mengenai Mollusca bagi pembaca pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.

E. Definisi Istilah
Istilah-istilah penting yang perlu dijelaskan dalam observasi ini adalah:
1. Keanekaragaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cacah dan jumlah
individu dalam suatu komunitas (Soejipta, 1993).
2. Kemelimpahan adalah jumlah individu dalam satu spesies yang ada pada suatu
area atau tempat tertentu dan dibandingkan dengan spesies yang ada pada
suatu atau tempat lain (Soejipta, 1993).
3. Kekayaan adalah banyaknya suatu jenis spesies yang ada pada suatu area atau
tempat tertentu (Soejipta, 1993).
4. Jenis yang dimaksud adalah individu (spesies) tertentu.
5. Pola penyebaran merupakan pola meruang yang dikenal dalam komunitas
yaitu pola acak, mengelompok dan merata (Dharmawan, 2004).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Ekologi
Ekologi merupakan suatu ilmu tentang interaksi antara organisme dan
lingkungannya. Interaksi tersebut dalam bentuk memberi dan menerima, antara
stimulus serta tanggapan, antara stimulasi dan umpan balik. Sehubungan dengan
pengertian di atas Susanto (2000) mengungkapkan bahwa Ekologi hewan dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara hewan dengan
lingkungannya. Ekologi hewan menyangkut tiga aspek pokok, yaitu (1) deskriptif
menyangkut pengetahuan tentang cara hidup hewan yang meliputi: tingkah laku,
habitat, asal mula dan suksesi pembentukan komunitasnya. (2) kuantitatif
memberikan informasi yang menyangkut tentang batas-batas toleransi hewan
terhadap fluktuasi faktor lingkungan. (3) analitik-sintetik berusaha untuk
menganalisis lingkungan beserta pengaruhnya dengan cara memvariasikan kondisi
faktor tertentu di bawah kondisi faktor lain yang terkontrol.
Komponen dalam ekosistem ada dua macam yaitu: komponen biotik dan
abiotik. Pada komponen biotik ada beberapa komponen lagi yaitu produsen,
konsumen dan pengurai. Ketiga komponen biotik bersama dengan komponen
abiotik akan membantu suatu ruang ekologi yang nantinya akan terbentuk suatu
populasi, komunitas, dan ekosistem.
Populasi merupakan kelompok individu yang sama spesiesnya, komunitas
merupakan suatu satuan yang terdiri dari semua populasi yang menempati area
tertentu, dan ekosistem adalah hubungan antara komponen biotik dan abiotik
(Dharmawan, 2004).
Suatu bentuk populasi akan sangat bergantung pada tempat dimana
populasi tersebut tinggal dan akan memiliki ciri karakteristik tertentu sesuai
dengan daerah tempat tinggal dan jenis yang membentuk populasi tersebut.
Karakteristik dasar suatu populasi adalah ukuran besar populasi atau kerapatan
(Soetjipto, 1993). Menurut (Nybakken, 1998) berdasarkan hal di atas diketahui
adanya perbedaan jenis populasi dan berbagai karakteristik yang ada salah satunya
adalah jenis populasi yang ada pada daerah pasang surut (intertidal zone). Daerah
pasang surut merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di
samudra, dan merupakan kawasan pinggiran laut yang sangat sempit luasnya,
terletak di antara air tinggi dan air rendah.
Adanya pasang surut air laut akan sangat mempengaruhi bentuk populasi
dan komunitasnya, kerapatan populasi pada daerah ini pun berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan frekuensi dan besarnya pasang surut air laut serta
kondisi geologis pada daerah pasang surut tersebut.

B. Ciri Mollusca
Menurut (Kastawi, 2001) ciri-ciri umum yang dimiliki anggota Mollusca
adalah :
1. Tubuh bersimetri bilateral, tidak bersegmen, kecuali pada Monoplacophora.
2. Memiliki kepala yang jelas dengan organ reseptor kepala yang bersifat khusus.
3. Coelom mereduksi, dinding tubuh tebal dan berotot.
4. Pada permukaan ventral dinding tubuh terdapat kaki berotot dan secara umum
digunakan untuk bergerak.
5. Dinding tubuh sebelah dorsal meluas menjadi satu atau sepasang lipatan yaitu
mantel atau pallium. Fungsi mantel adalah mensekresi cangkang dan
melingkupi rongga mantel yang di dalamnya berisi insang.
6. Lubang anus dan ekskretori umumnya membuka ke dalam rongga mantel.
7. Saluran pencernaan berkembang baik. Sebuah rongga bukal yang umumnya
mengandung radula berbentuk seperti proboscis. Esophagus merupakan
perkembangan dari stomodium yang umumnya merupakan daerah khusus
untuk menyimpan makanan dan fragmentasi. Pada daerah pertengahan saluran
pencernaan terdapat ventrikulus atau lambung dan sepasang kelenjar
pencernaan yaitu hati. Sedangkan daerah posterior saluran pencernaan terdiri
atas usus panjang yang berakhir dengan anus.
8. Memiliki sistem peredaran darah dan jantung. Jantung dibedakan atas aurikel
dan ventrikel. Meskipun memiliki pembuluh darah namun darah biasanya
mengalami sirkulasi melalui ruang terbuka. Darah mengandung hemosianin,
merupakan pigmen respirasi.
9. Organ sekresi berupa ginjal yang berjumlah sepasang atau terkadang hanya
berjumlah satu buah. Ginjal berhubungan dengan rongga perikardium, tempat
jantung berada.
10. Memiliki sebuah cincin saraf yang berhubungan dengan dua pasang tali saraf.
Satu pasang tali saraf menuju ke kaki dan sepasang lainnya menuju ke organ
viseral dan mantel. Memiliki ganglion saraf yang biasanya berhubungan
dengan cincin saraf dan tali saraf.
11. Ovum berukuran kecil dan mengandung sedikit kuning telur.

Filum Mollusca dibagi menjadi tujuh atau delapan kelas, berdasarkan atas
kaki dan cangkang. Menurut Harris (1992) dalam Kastawi (2001) filum Mollusca
dibedakan menjadi tujuh kelas yaitu :
1. Kelas Aplacophora
Tidak memiliki cangkang, tubuh memiliki sisik kalkareus dan spikula
sebagai pengganti cangkang. Sebagian besar hewan ini berjalan perlahan di dasar
laut dan juga ditemukan melilit pada hydroid atau karang lunak (filum Cnidaria)
yang merupakan makanannya. Anggota kelas ini ada yang memiliki radula ada
juga yang tidak. Umumnya Aplacophora (neomeniomorf) adalah hermafrodit dan
saluran gonad meluas ke rongga mantel, bahkan salah satunya langsung dari
gonad lainnya biasanya dari rongga perikardial.
Gambar 2.1 Salah satu anggota kelas Aplacophora, Neomenia carinat (Engeman & Hegner,1981)

2. Kelas Monoplacophora
Memiliki sebuah cangkang dan bersifat bilateral simetri. Cangkang
Monoplacophora memiliki 3 sampai 8 pasang. Cangkang berbentuk perisai, kaki
pipih berguna untuk bergerak perlahan, sedikitnya sefalisasi, insang dan otot
retraktor yang jumlahnya berlipat, memiliki radula dan perut berbentuk kerucut
menyebabkan para ahli Mollusca berpendapat bahwa Monoplacophora merupakan
ancestor untuk gastropoda, bivalvia dan cephalopoda. Sistem pencernaannya
termasuk juga sebuah radula dan sebuah organ subradular terdapat di dalam
rongga bukal. Perut mengandung sebuah style sac dan crystalline style. Usus
berkelok-kelok bermuara pada anus. Sistem saraf Monoplacophora terdiri atas
sepasang ganglia serebra dan cincin saraf sirkum oral yang berhubungan dengan
sepasang tali saraf menuju organ viseral.

Gambar 2.2 Salah satu anggota kelas Monoplacophora, Neopilina (Engeman dan Hegner, 1981)
3. Kelas Polyplacophora
Tubuhnya dilindungi oleh delapan keping cangkang yang tersusun
tumpang tindih seperti genting. Tepi setiap keping cangkang ditutup oleh jaringan
mantel dan luas sempitnya penutupan tersebut berbeda antara satu spesies dengan
spesies lainnya. Cangkangnya hanya terdiri atas dua lapisan. Kakinya terletak di
permukaan ventral tubuh dan berfungsi untuk melekat juga untuk bergerak.
Biasanya bersifat fototaksis negatif, sehingga memiliki kecenderungan untuk
hidup di bawah batu karang. Alat respirasinya adalah insang bipectinate (ktenidia)
yang terletak di dalam lekuk mantel yaitu ruang yang terletak antara kaki dan
ruang mantel. Sistem pencernaannya tersusun atas: mulut yang terletak di daerah
pusat kepala, kemudian berlanjut pada faring yang mengandung jajaran gigi keras
(radula). Sistem sirkulasinya terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Alat
ekskresinya terdiri atas nefridium yang berjumlah sepasang, bermuara pada lekuk
mantel. Sistem sarafnya terdiri atas cincin sirkum-esofangeal dan dua pasang tali
saraf longitudinal. Sistem reproduksinya terdiri atas sebuah gonad yang terdapat
di anterior rongga perikardium di bawah keping cangkang bagian pertengahan.

Gambar 2.3 A. Bagian ventral tubuh Chiton (Engeman dan Hegner, 1981)

4. Kelas Scaphopoda
Dikenal sebagai siput gading atau Mollusca bercangkang gigi, kepala dan
kaki terdapat pada daerah terbesar dari cangkang yaitu daerah interior. Cangkang
sedikit melengkung, daerah konkaf cangkang merupakan daerah dorsal.
Umumnya Scaphopoda memiliki kebiasaan membenamkan diri di pasir pada
kedalaman air lebih dari 6 meter. Ujung posterior tubuh merupakan tempat
penghisapan dan pengeluaran air. Sistem sirkulasi mereduksi dan kemungkinan
tidak memiliki jantung namun hanya sebuah sistem sinus darah. Scaphopoda
bersifat diosius.
Gambar 2.4 Struktur tubuh anggota kelas Scaphopoda, Dentalium (Engeman dan Hegner, 1981)
5. Kelas Gastropoda
Memiliki ciri-ciri Mollusca yaitu adanya cangkang, mantel, kaki, organ
viseral, radula, dan biasanya memiliki sebuah atau beberapa insang. Cangkang
berbentuk spiral melindungi masa jerohan yang terdiri atas bagian-bagian dari
saluran pencernaan, alat peredaran, alat respirasi dan alat reproduksi. Alat
sirkulasi dan respirasi: Darah bekicot terdiri atas sel-sel darah dan plasma darah
yang tidak berwarna. Alat ekskresi, terdiri atas ginjal yang terletak dekat jantung.
Sistem saraf, sebagian besar jaringan saraf berpusat di belakang masa bukal dan
membentuk cincin di sekitar esofagus. Inderanya terdapat di daerah kaki dan
tentakel. Reproduksi beberapa Gastropoda bersifat dioecius, sedangkan yang lain
bersifat monocioeus.

Gambar 2.5 Helix. Susunan organ dalam dilihat dari sisi lateral (Engeman dan Hegner, 1981)
6. Kelas Pelecypoda
Disebut juga dengan Bivalvia dan Lamellibrankhiata. Kaki berbentuk
kapak, cangkang berfungsi atau melindungi tubuh. Pada Bivalvia insang biasanya
berukuran sangat besar dan pada sebagian besar spesies dianggap memiliki fungsi
tambahan yaitu pengumpul makanan, disamping berfungsi sebagai tempat
pertukaran gas. Kepala tidak berkembang namun sepasang palpus labial mengapit
mulutnya. Tubuh bilateral simetris dan memiliki kebiasaan menggali liang pada
pasir dan lumpur yang merupakan substrat hidupnya dengan menggunakan
kakinya. Biasanya bersifat diosius.
Gambar 2.6 Organ internal kerang (Engeman dan Hegner, 1981)
7. Kelas Cephalopoda
Kepala digunakan untuk alat gerak. Organ respirasi terdiri atas sepasang
insang berbentuk bulu yang terdapat di rongga mantel. Sistem sirkulasi
berkembang baik dan sirkulasi darah melalui sistem pembuluh darah tertutup.
Biasanya memiliki dua ginjal atau nefridia berbentuk segitiga berwarna putih
yang berfungsi menapis cairan dari ruang perikardium dan membuangnya ke
dalam rongga mantel melalui lubang yang terletak di sisi usus. Organ pencernaan
dimulai dari mulut yang mengandung radula dan dua rahang yang terbuat dari zat
khitin dan berbentuk seperti paruh burung betet. Sistem saraf terdiri atas ganglion
dan saraf dan biasanya bersifat diosius. Cephalopoda memiliki ukuran tubuh
terbesar dibandingkan hewan Avertebrata lainnya.

Gambar 2.7 Struktur internal cumi-cumi, Loligo (Engemann dan Hegner, 1981)
C. Sebaran Mollusca
Penyebaran hewan Mollusca sangat luas dan umumnya memiliki
kesamaan pola dasar tubuh. Mollusca adalah salah satu jenis organisme yang
memiliki rentangan habitat yang cukup lebar mulai dari dasar laut sampai garis
pasang surut tertinggi. Selain itu ada yang hidup di air tawar bahkan terkadang
ditemukan di habitat terestrial, khususnya yang memiliki kelembaban tinggi. Sifat
hidup Mollusca bervariasi, ada yang hidup bebas namun beberapa spesies lainnya
bersifat parasit pada organisme lain.
Mollusca memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi sehingga penyebarannya
sangat luas, baik di darat maupun di perairan, mulai dari perairan yang dangkal
termasuk pantai, estuaria adalah perairan tawar sampai kedalaman laut yang tidak
dapat ditembus cahaya matahari. Keberadaan hewan Mollusca ini tergantung pada
variasi faktor lingkungan habitatnya (Suin dalam Asiyah, 1999).
Lingkungan pantai selalu berubahubah karena pasang surut sehingga
banyak ditemukan variasi kehidupan dalam jumlah spesies maupun organismenya
(Nontji, 1987).

D. Kajian Ekologi Mollusca


Bivalvia dan Gastropoda termasuk salah satu dari golongan Mollusca.
Secara ekologi anggota Mollusca sangat penting baik dalam ekosistem akuatik
maupun ekosistem darat, juga merupakan sumber makanan seperti kerang,
kepiting (Jordan, 1976). Mollusca ini banyak terdapat di lumpur, pasir, dan di
danau. Dimana pada lumpur, pasir, dan danau ini banyak mengakumulasi bahan
organik yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan. Mollusca ini biasanya
menguburkan diri dan pada saat tertentu mereka pindah dari satu tempat ke tempat
lain, hal ini berkaitan dengan adaptasi untuk mendapatkan makanan guna
melangsungkan hidupnya dan juga untuk menghindari diri dari predator (Yasin,
1992). Mollusca ini dapat hidup pada suhu yang berkisar antara 0-40 karena pada
suhu itu hewan mampu hidup aktif, sedangkan untuk pH 4.5-5, dan untuk
kelembaban serta salinitas hewan ini dapat hidup pada kondisi yang normal
(Asiyah, 1999).
E. Kajian Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas
berdasarkan organisasinya biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis
yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Dengan kelimpahan
spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh
sedikit spesies, dan jika hanya sedikit spesies yang dominan maka
keanekaragaman jenisnya rendah (Soejipta, 1993). Di dalam keanekaragaman ini
didukung oleh adanya kemeratan dan kekayaan.
Suprapto (1987) dalam Leiwakabessy (1999) dalam Zuraidah (2001),
menyatakan bahwa keanekaragaman yang mendekati nilai 04 maka komunitas
akan dikatakan beranekaragam.

F. Kajian Kemelimpahan
Kemelimpahan jenis adalah jumlah individu dalam suatu areal atau tempat
tertentu (Soejipta, 1993). Spesies pada indeks kemelimpahan dikatakan melimpah
jika dalam suatu komunitas dapat ditemukan jumlah spesies yang banyak.
Suatu spesies dikatakan mempunyai kemelimpahan (Di), jika ( Di )>5%
dan dikatakan subdominan jika 2%<Di<5% (Suwasono, 1994) dalam Nazlim
(1999).

G. Kajian Kekayaan
Kekayaan jenis adalah banyaknya jenis individu dalam suatu areal atau
tempat tertentu (Soejipta, 1993). Kekayaan ini merupakan pendukung dari adanya
keanekaragaman suatu jenis.
Penghitungan dari kekayaan ini diperoleh dari pembagian antara
banyaknya spesies yang ditemukan pada tiap zona dikurangi satu dengan Ln
jumlah total seluruh spesies (Asiyah, 1999).

H. Pola Penyebaran Internal


Pola distribusi internal dari hewan-hewan adalah merupakan langkah awal
memandang komunitas dan merupakan salah satu ciri dari kelompok organisme
hidup. Ada tiga pola meruang yang dikenal dalam komunitas yaitu pola acak,
mengelompok dan merata.
Pola acak menyatakan keberadaan individu-individu dalam suatu lokasi
tidak bergantung pada individu yang lain. Pola acak mengimplikasikan
homogenitas lingkungan dan pola-pola tingkah laku yang non selektif. Pola
mengelompok menyatakan individu-individu cenderung untuk berkelompok
dengan yang lain dan mengimplikasikan keheterogenan lingkungan. Pola teratur
menyatakan bahwa individu berada secara teratur dalam ruang dan pola ini
menunjukkan bahwa lingkungan tersebut heterogen (Odum, 1993).

I. Faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Keberagaman Organisme Di Zona


Intertidal
1. Suhu
Setiap organisme mempunyai rentangan suhu yang berbedabeda sehingga
menyebabkan keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas pada suhu yang
berbeda. Suhu merupakan suatu faktor yang cukup berpengaruh terhadap
penyebaran organisme laut karena pada dasarnya tiap organisme hanya dapat
hidup pada suatu kisaran temperatur tertentu yang bisa ditoleransi (Nazlim, 1999).
Suhu juga merupakan suatu faktor lingkungan yang seringkali beroperasi sebagai
faktor pembatas dan paling mudah diukur (Dharmawan, 2004). Secara tidak
langsung pengaruh suhu adalah mempercepat kehilangan lalu lintas air yang dapat
menyebabkan organisme laut mati, suhu juga mempunyai pengaruh tidak
langsung, organisme laut dapat mati karena kehabisan air, kehabisan air dapat
dipercepat dengan menaikkan suhu (Nybakken, 1988 dalam Nurhadi, 1999).
2. Substrat
Jenis substrat mempunyai arti penting untuk berlangsungnya kehidupan
organisme (Nazlim, 1999). Perbedaan substrat dapat menyebabkan organisme
yang menempatinya berbeda pula. Hal ini berkaitan dengan kemampuan
beradaptasi masing-masing jenis organisme di habitat tersebut:
Substrat pasir: bersifat labil, miskin nutrisi, cenderung memudahkan makhluk
hidup bergerak ke tempat lain. Contoh hewannya adalah tiram, cacing siput,
dan kepiting.
Lumpur: banyak mengandung bahan-bahan organik, dapat tumbuh alga laut
dan rumput laut, tiram, kerang dan siput.
Koloni/pecahan karang: banyak ditemukan celah-celah atau ceruk, hewan
yang ditemukan misalnya Echinodermata.
Berbatu: ditutupi oleh tumbuhan laut seperti fucus dan laminoria. Hewan yang
hidup misalnya siput laut, kerang yang menempel kuat pada bebatuan.
3. Salinitas
Salinitas adalah kondisi lingkungan yang menyangkut konsentrasi garam
di lingkungan perairan dan air yang terkandung di dalam tanah (Nurhadi, 1999).
Pengaruh garam yang terdapat di lingkungan tempat hidup terhadap hewan, pada
umumnya bersifat fisiologis melalui berbagai fungsinya sebagai zat hara yang
terkandung dalam makanan yang dimakan hewan itu (Dharmawan, 2004).
Menurut Nazlim (1999) kadar garam suatu medium cair akan menentukan variasi
sel-sel organisme tersebut. Jika tekanan osmosis di dalam sel-sel tubuh maka
membran sel akan mengalami lisis dan akhirnya mati. Sehingga salinitas
mempengaruhi keberadaan hewan tersebut.
4. pH
pH dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan
suatu organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Toleransi hewan
yang hidup di lingkungan air terhadap pH pada umumnya bervariasi. Namun
diantaranya hanya sedikit yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak pada
pH 4,5 (Nurhadi, 1999). Menurut Nazlim (1999) keasaman lingkungan juga
mengendalikan kemampuan substansi untuk larut dalam air. Karena itu keasaman
mempengaruhi tersedianya nutrisi yang diserap oleh hewan dari tanah atau air.
5. Kelembaban
Kelembaban penting peranannya dalam mengubah efek dari suhu. Pada
lingkungan daratan terjadi interaksi suhu-kelembaban yang sangat erat kaitannya
hingga dianggap sebagai bagian yang sangat penting dari kondisi cuaca dan iklim.
Temperatur memberikan efek yang membatasi pertumbuhan organisme apabila
keadaan kelembaban ekstrim tinggi atau ekstrim rendah, akan tetapi kelembaban
memberikan efek kritis terhadap organisme pada suhu yang ekstrim tinggi atau
ekstrim rendah ( Dharmawan, 2004).
6. Aksi ombak dan arus
Bagian dasar laut yang dalam sekali tekanan hidrolistik dapat mencapai
ratusan atm. Jenis-jenis hewan dalam lingkungan demikian mempunyai adaptasi-
adaptasi khusus untuk itu (Dharmawan, 2004). Adanya gerak pasang surut air dan
deburan gelombang menentukan pada adaptasi hewan yang hidup bergerak bebas
untuk melawan arus gelombang dengan cara membenamkan diri gundukan
pasir/celah-celah batu karang.

J. Faktor Biotik Yang Mempengaruhi Keberagaman Organisme Di Zona


Intertidal
Selain kondisi fisik, stabilitas ekosistem juga dipengaruhi oleh faktor
biotik yang lebih kompleks dan kadang-kadang sukar dipahami serta berkaitan
dengan faktor-faktor biotik yang utamanya menyangkut interaksi dengan berbagai
jenis hewan maupun hubungan lain yang hidup bersama pada suatu habitat, baik
berupa kebutuhan makanan, oksigen, ruang gerak hidup atau dengan predator
sehingga muncul adanya pemangsa dan persaingan.
1. Potensial biotik pada fase-fase tertentu selalu akan mengalami hambatan oleh
berbagai macam persaingan yang antara lain berupa persaingan (kompetisi),
predasi, penyakit, sumber daya makanan (Heddy, 1989 dalam Asiyah, 1999).
2. Adanya interaksi yang bersifat persaingan sering melibatkan ruangan, unsur
hara, bahan-bahan buangan atau sisa penyakit dan sebagainya dan banyak tipe
interaksi timbal balik bersama (Odum, 1993).
3. Dominansi hewan pantai yang menguasai ruang tertentu, suatu saat akan
diambil alih oleh spesies yang lain karena adanya predator hewan, dominan
yang pertama. Sehingga secara efektif predator akan mencegah dan
mengurangi, mendominasikan pertama yang menempati seluruh ruang (Odum,
1993).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara
eksploratif, sebab dilakukan dengan cara mengamati secara langsung Mollusca di
Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 19 Nopember 2005, pada pukul
15.00-17.00 WIB.
2. Tempat penelitian adalah di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi dan Laboratorium Ekologi Ruang 109 Universitas Negeri
Malang.

C. Obyek Dan Sampel Penelitian


1. Obyek yang diteliti adalah semua jenis Mollusca beserta substratnya yang ada
di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Sampel yang diamati adalah jenis Mollusca yang ada dalam 20 transek daerah
transek yang diamati.

D. Alat dan Bahan


1. Alat
Plastik sampel : memasukkan sampel yang diperoleh dalam ukuran besar
Plakon : memasukkan sampel yang diperoleh dalam ukuran kecil
Tali rafia : untuk membatasi plot
pH meter : untuk mengukur pH air laut
Pinset : untuk mengambil sampel yang diperoleh
Roll meter : untuk mengukur luas substrat
Spidol transparansi: untuk menulis nama sampel
SCT meter : untuk mengukur suhu kelembapan dan salinitas
Sekop kecil : untuk menggali substrat dalam pengambilan sampel
Timba : untuk tempat semua peralatan yang dibawa
2. Bahan
Formalin 4% : untuk sampel yang dibawa
Aquades : untuk membersihkan peralatan ukur

E. Langkah Kerja
Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
1. Menentukan tempat pengambilan sampel. Dalam hal ini ditentukan 20 transek
dengan jarak antar transek 10 m.
2. Setelah menentukan transek untuk setiap kelompok kemudian menarik garis
lurus (dijadikan sebagai batas transek);
3. Dari transek tersebut dibuat 10 plot yang berukuran 1 x 1 m yang diatur dalam
metode belt transek dengan jarak antar plot 1 m;
Pengambilan Sampel
1. Mengambil sampel pada tiap plot dengan mencatat tiap jenis Mollusca yang
ditemukan dan dihitung jumlahnya;
2. Untuk keperluan identifikasi diambil satu spesies dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik dan kemudian diberi nama;
Pengukuran Abiotik
1. Mengukur faktor abiotiknya, yaitu salinitas air dengan menggunakan SCT
meter dan pH meter untuk mengukur keasaman air laut.
Pembuatan Hasil Laporan
1. Mengidentifikasi spesies yang sudah ditemukan.
2. Mengadakan kompilasi data dan membuat laporan hasil penelitian.

F. Teknik Tabulasi Data


Teknik tabulasi data dengan menghitung dan mencatat jenis serta jumlah
Mollusca yang ditemukan pada tiap transek pada tabel berikut:
No Taksa Ulangan P Pi Pi ln Pi S2 S2/ Pola
K1 K2 K3 (%) Penyebaran
1 2 3 1 2 3 1 2 3

Keterangan:
Kolom 1 = Nomor
Kolom 2 = Jenis spesies yang ditemukan
Kolom 3 = Ulangan, yang terdiri dari kelompok dan jumlah plot pada tiap
kelompok yang terdapat spesies dengan habitat yang sama
Kolom 4 = Jumlah spesies
spesies
Kolom 5 = rata-rata spesies, dengan rumus
Banyaknyaplot

spesies
Kolom 6 = P (%) predominasi, dengan rumus x100%
totalspesies
n
Kolom 7 = Pi kelimpahan proporsional, dengan rumus
N
n = spesies 1
N = total spesies
Kolom 8 = Pi ln Pi, untuk mengetahui keanekaragaman (H`) denagn rumus
- Pi ln Pi
Kolom 9 = S2, varians
Kolom 10 = S2/ , varians dari masing-masing spesies
Kolom 11 = Pola penyebaran dari masing-masing spesies
S
= 1 berarti penyebaran acak
X
S
> 1 berarti penyebaran mengelompok
X
S
< 1 berarti penyebaran merata
X

G. Tekhnik Analisis Data


Dari hasil praktikum dianalisis secara statistik untuk mendapatkan:
a. Indek keanekaragaman Shannon dan Wiever (H)
ni
H` = - pi ln pi pl N
Keterangan:
H = Indeks keanekaragaman Shannon Wiever
N = Total semua jenis individu dalam komunitas
ni = Jumlah individu jenis ke- i
pi = Kelimpahan proporsional
(Shannon dan Wiever, 1949 dalam Kendoigh, 1980 dalam Soetjipto, 1993)

b. Nilai Evennes atau kemerataan (E)


H`
E=
ln s
Keterangan:
E = Evenness/kemerataan
H = Indeks keananekaragaman
S = Jumlah spesies
(Soetjipto, 1993)

c. Nilai Richness atau kekayaan (R)


S 1
R=
ln n
Keterangan:
R = Richness/kekayaan
S = Banyaknya spesies
N = Total semua jenis individu dalam komunitas
(Soetjipto, 1993)
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA

Data dan analisis data dalam penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel
dan yang terdiri dari 10 tabel dan grafik. Tiap-tiap tabel merupakan suatu zona
atau habitat yang berbeda-beda di kawasan Pantai Pancur Taman Nasional Alas
Purwo. Berbagai zona atau habitat tersebut adalah:
1. Zona batu besar
2. Zona batu kecil
3. Zona lempeng berbatu
4. Zona Cadas
Sedangkan grafik terdiri dari 3 grafik, yaitu grafik 1 menggambarkan
hubungan antara H` (keanekaragaman jenis Mollusca) pada tiap habitat, grafik 2
menggambarkan E (kemerataan jenis Mollusca) pada tiap habitat dan R (kekayaan
jenis Mollusca pada tiap habitat.
Tabel 4.5 Daftar Ringkasan Nilai Keanekaragaman, Kemerataan, Kekayaan dan
Jumlah Jenis Mollusca di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi

No Zona/Habitat H E R
1 Batu Besar 1.8416 0.6642 1.5935
2 Lempeng Batu 2.07051 0.7163 2.3312
3 Cadas 1.54604 0.7945 0.8067
4 Batu kecil 1.67872 0.6198 1.6815

Grafik 4.1 Grafik Indeks Keanekaragaman Serangga Malam Pada Tiap


Habitat di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
Grafik 4.2 Grafik Indeks Kemerataan Mollusca Pada Tiap Habitat di
Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

Grafik 4.3 Grafik Indeks Kekayaan Mollusca Pada Tiap Habitat di Pantai
Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Grafik 4.4 Grafik Nilai Predominasi Nerita sp. di Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi
BAB V
PEMBAHASAN

A. Jenis Mollusca yang Ditemukan di Pantai Pancur Taman Nasional Alas


Purwo

Tabel 5.1 Jenis Mollusca yang Ditemukan di Pantai Pancur Taman Nasional
Alas Purwo, Banyuwangi
Zona Zona Zona Zona
Batu besar Lempeng batu Cadas Batu Kecil
Burnupena Burnupena
Bivalvia Litoraria sp cattaracta cattaracta
Burnupena
Conus sp Nerita sp Conus agenaria
Colisella sp Nucella sp Colisela sp Collisela sp
Ceratozona vugosa Nodilittorina sp Litoria sp Conus sp
Crassostea sp Cypraea sp Nerita sp Crassostrea
Cypraea anuulus Conus sp Nucella sp Litoraria sp
Monodenta Thais Morula
australis Chiton capensis granulata
Tridagna Policenes Nerita sp
Potella sp Nucella sp
Morula granulata Nassarius sp
Nodilitt
Polinices sp
Thais capensis
Trochus sp
Cypraea moneta

Identifikasi Beberapa Jenis Mollusca yang Ditemukan di Pantai Pancur


Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
1. Thais sp 1. Littorina sp
Famili : Taididae Famili : Littorinidae
Genus : Thais Ciri : Kumparannya tebal, bibir
cangkang, olomela halus, warna
bervariasi
2. Patella sp 2. Nerita sp
Famili : Mollusca Kelas : Gastropoda
Kelas : Gastropoda Sub kelas : Streptoneura
Sub kelas : Prosobranchia Ordo : Diotocardia
Ordo : Archaeogastropoda Super famili : Neritacea
Famili : Patellidae Famili : Neritidae
Genus : Patella Genus : Nerita
3. Conus sp 3. Nassarius sp
Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda
Kelas : Gastropoda Sub kelas : Steptoneura
Ordo : Monotocardia Ordo : Monotocardia
Sub ordo : Sreroglossa Super famili : Bacciracae
Famili : Conidae Famili : Nassariidae
Genus : Conus Genus : Nassarius
4. Morulla sp 4. Littoraria
Sub ordo : Stenoglossa Sub kelas : Streptoneiura
Famili : Thaididae Ordo : Monotoneura
Super famili : Muricaeae Super famili : Littonacea
Famili : Littorinidae
Genus : Littoraria

B. Keanekaragaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis Mollusca
yang terdapat di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi berbeda
antara satu dengan yang lain. Keanekaragaman dipengaruhi oleh adanya
kemerataan dan kekayaan. Indek keanekaragaman atau diversitas pada masing-
masing zona yang tertinggi terdapat pada zona lempeng batu dengan nilai sebesar
2.07051, keanekaragaman yang terendah terdapat pada zona cadas. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi nilai keanekaragamannya (H) semakin besar diversitas
spesies dalam komunitas dan kemungkinan ada cacah spesies yang besar.
Tingginya keanekaragaman jenis Mollusca pada zona lempeng batu
didukung oleh adanya kondisi lingkungan abiotik terukur seperti salinitas, pH,
suhu, dan kedalaman substrat yang relatif normal pada zona ini. Kondisi ini
tentunya akan lebih cocok atau sesuai bagi kehidupan Mollusca yang ada di
dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarok (1978) dalam Odum (1993)
bahwa kondisi lingkungan yang cocok atau tidak bagi kehidupan Gastropoda dan
Bivalvia akan terlihat dalam bentuk akhir yaitu mengenai komposisi dan
kelimpahan organisme ini dalam hal keanekaragaman pada lokasi tersebut.
Menurut Margalef (1968) dalam Odum (1993) komunitas lingkungan yang
mantap mempunyai keanekaragaman yang lebih tinggi daripada komunitas yang
dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman atau secara periodik oleh manusia
dan alam. Hal ini menunjukkan bahwa zona lempeng batu memiliki komunitas
Mollusca yang lebih stabil dibanding zona yang lain.

C. Kemerataan
Berdasarkan pada hasil analisis data tentang kemerataan Mollusca, nilai
kemerataan tertinggi adalah 0.7945 pada zona cadas. Tingginya nilai kemerataan
pada zona tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan dikatakan heterogen.
Berdasarkan pendapat Suprapto (1987) dalam Zuraidah (2001) bahwa apabila
nilai kemerataan suatu komunitas berada pada rentangan 0.6-0.8 maka komunitas
tersebut dikatakan memiliki kemerataan seimbang, dengan kata lain jumlah
individu setiap jenis di dalam komunitas tersebut menyebar secara merata.
Substrat batu cadas merupakan zona dengan nilai kemerataan yang paling tinggi,
karena besarnya kemampuan Mollusca untuk bertahan hidup pada substrat
tersebut sama, sehingga menyebabkan kehidupan Mollusca menjadi merata.
Adanya perbedaan kemerataan antar semua zona berarti setiap jenis
Mollusca yang ditemukan memiliki kesesuaian yang berbeda terhadap kondisi
lingkungan yang ditempatinya. Seperti yang dijelaskan oleh Mubarok (1987)
dalam Sniri (1991) dalam Nurhadi (1999) bahwa perbedaan kepadatan jenis
Mollusca antar lokasi menggambarkan kesesuaian jenis Mollusca terhadap
kondisi fisik, kimia pada masing-masing lokasi. Zona dengan kemerataan jenis
tertinggi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di setiap zona-zona tersebut
merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan jenis Mollusca yang bersangkutan.
D. Kekayaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekayaan jenis Mollusca yang
terdapat di Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi berbeda antara
satu dengan yang lain. Kekayaan merupakan bagian dari adanya keanekaragaman.
Indek kekayaan pada masing-masing zona yang tertinggi terdapat pada zona
lempeng batu dengan nilai sebesar 2.3312, kekayaan yang terendah terdapat pada
zona cadas. Data ini menunjukkan hasil yang sama dengan indeks keragaman. Hal
ini berarti bahwa semakin tinggi nilai kekayaannya (R) semakin besar pula
diversitas spesies dalam komunitas dan kemungkinan ada cacah spesies yang
besar.
Tingginya kekayaan jenis Mollusca pada zona lempeng batu didukung
oleh adanya kondisi lingkungan abiotik terukur seperti salinitas, pH, suhu, dan
kedalaman substrat yang relatif normal pada zona ini. Kondisi ini tentunya akan
lebih cocok atau sesuai bagi kehidupan Mollusca yang ada di dalamnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Mubarok (1978) dalam Nazlim (1999) bahwa kondisi
lingkungan yang cocok atau tidak bagi kehidupan Mollusca akan terlihat dalam
bentuk akhir yaitu mengenai kelimpahan organisme ini dalam hal kekayaan pada
lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa zona lempeng batu memiliki
komunitas Mollusca yang lebih stabil dibanding zona yang lain.

E. Pola Penyebaran
Pada zona batu besar spesies yang ditemukan ialah Bivalvia, Conus sp,
Colisella sp, Crassostea sp, Cypraea annulus, Monodonta australis, Nerita sp,
Nucella sp, Polineces sp, Litoria sp, Kerang parut, Kerang kuku, Oxystae
veriegata, Potella sp, dan Tridagna. Dari 16 spesies yang ditemukan, pola
penyebarannya seluruhnya mengelompok ini menyatakan bahwa individu-
individu tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan. Sedangkan pola acak hanya
ditemukan pada satu spesies saja yakni Ceratozona vugosa. Ini mengimplikasikan
homogenitasnya lingkungan dan adanya pola-pola tingkah laku yang non selektif
(Odum, 1993).
Pada zona lempeng batu pola penyebaran mengelompok ditemukan pada
15 spesies yaitu Litoraria sp, Nerita sp, Nodilittorina sp, Cypraea sp, Chiton,
Colisella sp, Cerithium litteratum, Burnupena sp, Thais sp, Tridagna, Plamaxis
sulcatus, Policenes, Potella sp, dan Morula granulata. Pola penyebaran ini
menyatakan bahwa individu-individu tersebut cenderung untuk berkelompok
dengan yang lain dan mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan.
Sedangkan pola acak ditemukan pada dua spesies yakni Trochus sp dan Tricolla
capensi. Ini mengimplikasikan homogenitasnya lingkungan dan adanya pola-pola
tingkah laku yang non selektif. Dan pada pola merata ditemukan juga sebanyak
satu spesies saja yakni pada Conus sp, hal ini menunjukkan bahwa individu
berada secara teratur dalam ruang dan menunjukkan bahwa lingkungan tersebut
heterogen (Odum, 1993).
Sedangkan pada zona cadas hanya ditemukan tujuh spesies, yakni
Burnupena cattaracta, Conus sp, Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp,
dan Thais capensis. Pada ketujuh spesies ini kesemuanya menunjukkan pola
penyebaran yang mengelompok, hal ini disebabkan karena individu-individu
tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan (Odum, 1993).
Dan yang terakhir pada zona batu kecil, dari 15 spesies yang ditemukan
yakni Burnupena cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp,
Crassostrea, Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius sp,
Nodilitt, Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran yang sama seperti pada zona cadas
yaitu pola penyebaran mengelompok ini juga disebabkan karena individu-individu
tersebut cenderung untuk berkelompok dengan yang lain dan
mengimplikasikannya keheterogenan lingkungan (Odum, 1993).
Adanya pola pengelompokkan ini secara keseluruhan disebabkan oleh
faktor abiotik. Misalnya: faktor vektorial (angin, arus air, intensitas cahaya),
faktor sosial (tingkah laku), dan faktor reproduksi (Odum, 1993).
F. Jenis Spesies yang Dominan
Pada zona batu besar spesies yang paling dominan adalah Kerang parut.
Sedangkan pada zona lempeng batu, zona cadas dan zona batu kecil spesies yang
paling mendominasi ialah Nerita sp.
Menurut Margalef (1968) dalam Odum (1993) dalam Nazlim (1999)
komunitas lingkungan yang mantap mempunyai keanekaragaman yang lebih
tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan-gangguan musiman
atau secara periodik oleh manusia dan alam. Hal ini menunjukkan bahwa pada
spesies yang ternyata memiliki jumlah yang tinggi memiliki komunitas Mollusca
yang lebih stabil dibanding spesies yang lain.

G. Pengaruh Faktor Lingkungan Abiotik Terukur


Kondisi lingkungan (faktor abiotik) memegang peranan penting dalam laju
pertumbuhan populasi yang nantinya akan mempengaruhi kemelimpahan,
kemerataan dan kekayaan spesies dalam suatu komunitas tertentu. Pada daerah
pasang surut ini, pasang surut air laut akan sangat berpengaruh terhadap populasi
spesies itu. Dalam keadaan ekstrim saat surut, suatu organisme pada daerah garis
pasang naik pasti sanggup menahan kekeringan dan perubahan temperatur, karena
hanya sebentar saja tersiram atau tertutup air, sebaliknya pada kawasan bawah
pasang surut (subtidal) organisme selalu tertutup air (Odum, 1993) dalam Asiyah
(1999). Keadaan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi lingkungan yang
dialami oleh organisme tersebut, seperti perbedaan konsentrasi zat hara, suhu dan
salinitas.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jenis-jenis Mollusca yang ditemukan di Pantai Pancur Taman Nasional Alas
Purwo, Banyuwangi ialah Bivalvia, Conus sp, Colisella sp, Crassostea sp,
Cypraea annulus, Monodonta australis, Nerita sp, Nucella sp, Polineces sp,
Litoria sp, Kerang parut, Kerang kuku, Oxystae veriegata, Potella sp,
Tridagna, dan Ceratozona vugosa yang ditemukan pada zona batu besar. Pada
zona lempeng batu ditemukan Litoraria sp, Nerita sp, Nodilittorina sp,
Cypraea sp, Chiton, Colisella sp, Cerithium litteratum, Burnupena sp, Thais
sp, Tridagna, Plamaxis sulcatus, Policenes, Potella sp, Morula granulata,
Trochus sp, Tricolla capensi, dan Conus sp. Sedangkan pada zona cadas
hanya ditemukan tujuh spesies, yakni Burnupena cattaracta, Conus sp,
Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp, dan Thais capensis. Dan yang
terakhir pada zona batu kecil, spesies yang ditemukan yakni Burnupena
cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp, Crassostrea,
Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius sp, Nodilitt,
Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
2. Indek keanekaragaman atau diversitas yang tertinggi terdapat pada zona
lempeng batu dengan nilai sebesar 2.07051, keanekaragaman yang terendah
terdapat pada zona cadas dengan nilai 1.54604. Nilai kemerataan tertinggi
adalah 0.7945 pada zona cadas dan yang terendah pada zona batu kecil dengan
nilai 0.6198. Kekayaan yang tertinggi terdapat pada zona lempeng batu
dengan nilai sebesar 2.3312, kekayaan yang terendah terdapat pada zona cadas
dengan nilai 0.8067.
3. Pada zona batu besar spesies pola penyebaran mengelompok diwakili oleh
Bivalvia, Conus sp, Colisella sp, Crassostea sp, Cypraea annulus, Monodonta
australis, Nerita sp, Nucella sp, Polineces sp, Litoria sp, Kerang parut,
Kerang kuku, Oxystae veriegata, Potella sp, dan Tridagna. Sedangkan pola
acak ditemukan pada satu spesies saja yakni Ceratozona vugosa. Pada zona
lempeng batu pola penyebaran mengelompok ditemukan pada Litoraria sp,
Nerita sp, Nodilittorina sp, Cypraea sp, Chiton, Colisella sp, Cerithium
litteratum, Burnupena sp, Thais sp, Tridagna, Plamaxis sulcatus, Policenes,
Potella sp, dan Morula granulata. Sedangkan pola acak ditemukan pada dua
spesies yakni Trochus sp dan Tricolla capensi. Pada zona cadas Burnupena
cattaracta, Conus sp, Colisella sp, Litoria sp, Nerita sp, Nucella sp, dan Thais
capensis keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran yang mengelompok.
Dan yang terakhir pada zona batu kecil, dari 15 spesies yang ditemukan yakni
Burnupena cattaracata, Burnupena agenaria, Collisela sp, Conus sp,
Crassostrea, Litoraria sp, Morula granulata, Nerita p, Nucella sp, Nassarius
sp, Nodilitt, Polinices sp, Thais capensis, Trochus sp, dan Cypraea moneta
keseluruhannya menunjukkan pola penyebaran mengelompok.
4. Pada zona batu besar spesies yang paling dominan adalah Kerang parut.
Sedangkan pada zona lempeng batu, zona cadas dan zona batu kecil spesies
yang paling mendominasi ialah Nerita sp.

B. Saran
1. Dalam melakukan suatu identifikasi data, hendaknya dilakukan dengan lebih
cermat agar diperoleh data yang benar-benar valid.
2. Apabila akan melaksanakan pengambilan data di lapangan, hendaknya semua
peralatan yang diperlukan dipersiapkan terlebih dahulu.
3. Jika data yang akan diproses merupakan data kompilasi, secepatnya kompilasi
dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan penyusunan laporan.
4. Sebelum pengambilan data perlengkapan serta alat yang dipergunakan harus
disiapkan serta diperiksa fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA

Asiyah. 1999. Keanekaragaman Mollusca Di Laguna Segara Anak Taman


Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Skripsi Tidak Di Terbitkan. Malang :
Jurusan Biologi FMIPA UM Malang

Dharmawan, Agus, dkk. 2004. Ekologi Hewan. Malang : Jurusan Biologi FMIPA
UM Malang

Engemann, J.G. dan Hegener, R. W. 1981. Invertebrata Zoology. New York:


MacmillanPublishing Co., Inc

Jordan, E.L. dan Verma, P.S. 1983. Invertebrata Zoology. 2nd ed. New Delhi: S.
Chand & Company, Ltd.

Kastawi, Yusuf. 2001. Zoologi Avertebrata. Malang : Jurusan Pendidikan Biologi


FMIPA UM Malang

Maskoeri J. 1984. Sistematik Hewan (Invertebrata dan Vertebrata). Surabaya:


Penerbit Sinar Wijaya

Nazlim, Furaidana Dewi. 1999. Keanekaragaman Dan Distribusi Mollusca


(Gastropoda dan Bivalvia) Di Perairan Pasang Surut Pantai Sawah
Mulya Kecamatan Sangkapura Bawean Gresik Jatim. Skripsi Tidak Di
Terbitkan. Malang : Jurusan Biologi FMIPA UM Malang

Nontji, Anugerah. 1987. Laut Nusantara. Jakarta : University Press

Nurhadi. 1999. Keanekargaman Jenis Mollusca Di Pantai Wilayah Kecamatan


Kraton Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Skripsi Tidak Di Terbitkan.
Malang : Jurusan Biologi FMIPA UM Malang

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut Sebagai Pendekatan Ekologis. Jakarta:


Gramedia

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press

Soejipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta: Depdikbud Proyek


Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi

Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Proyek Pengembangan


Guru Sekolah Menengah

Zuraidah, Nining Ufik. 2001. Keanekaragaman Dan Kemelimpahan Mollusca Di


Gosong Laguna Segara Anak Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM Malang

Anda mungkin juga menyukai