Anda di halaman 1dari 5

Pembahasan kali ini, Konsep Tuhan dalam Islam, berikut paparannya sobat:

>> Tuhan dalam Perspektif Islam

Dalam al-Quran, nama Tuhan dihadirkan dengan nama Allah disamping terdapat juga nama-nama
lain yang dikenal dengan istilah Asma al-Husna. Nama Allah sering dinamakan ism al-jalalah atau
ism al-jam, yaitu nama yang mencakup atau mewadahi semua nama-nama Tuhan yang lain.
Dengan begitu, maka kata Allah mengacu pada Tuhan dan ke-Absolutan-Nya. Suatu zat yang maha
Akbar dan Gaib yang hakikat kualitas-Nya tidak mungkin dideskripsikan oleh penalaran manusia.[1]

Senada dengan keterangan di atas, Quraish Shihab juga menegaskan bahwa kata Allah merupakan
nama Tuhan yang paling populer. Kata Allah jika disebutkan, maka sudah mencakup semua nama-
nama-Nya yang lain. Sedangkan, jika mengucapkan nama-Nya yang lain , misalnya al-Rahman, al-
Malik, dan sebagainya, maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat dan sifat Kepemilikan-Nya.
[2]Secara tegas, Tuhan yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirin-Nya Allah sebagaimana
disebutkan di dalam al-Quran surah Maryam:

.
: ..

Artinya: Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembhalah Aku.(Q.S.
Thaha [20]: 14)

Dalam ayat lain:

: .

Artinya: Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti itu?. (Q.S. Maryam [19]:
65)

Kata Allah sendiri sudah dikenal jauh sebelum Islam datang di Arab. Namun Allah dalam pengertian
orang Arab pra-Islam, berbeda dengan konteks Allah dalam Islam. Menurut Winnet, seperti dikutip
al-Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam, Allah bagi orang Arab pra-Islam dikenal sebagai dewa
yang mengairi bumi sehingga menyuburkan pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta ternak.
Sedangkan dalam Islam, Allah dikenal sebagai Tuhan yang Maha Esa, tempat berlindung segala
yang ada. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Juga tidak ada satu apa pun yang menyerupai-
Nya.[3] Keterangan ini menunjukkan kata Allah telah lama dikenal dalam masyarakat Arab dan
mereka menyadari akan keberadaannya. Hal ini disebutkan dalam ayat al-Quran:


: .

Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? tentu mereka akan menjawab: Allah. (Q.S. al-
Ankabut [29]: 61)

Dalam ayat berikutnya:


: .

Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? tentu mereka akan
menjawab: Allah, Katakanlah: Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya). (Q.S. al-Ankabut [29]: 63)

Mengenai asal kata Allah, para ulama dan pakar bahasa telah mendiskusikan kata tersebut sekilas
apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya
adalah ilah ( )yang dibubuhi huruf alif dan lam menjadi Al-Ilah (). Dengan demikian, Allah adalah
nama khusus karena tidak dikenal bentuk jamknya. Sedangkan, kata ilah ( )sendiri adalah nama
yang bersifat umum dan dapat berbentuk jama (plural), yaitu menjadi Alihah ( ). Alif dan lam yang
dibubuhkan pada kata Ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan suatu
yang telah dikenal dan benak.[4]

Dalam perkembangan lebih jauh dengan alas an mempermudah, hamzah ( )yang berada antara
dua lam yang dibaca (i) pada kata al-Ilah ( )tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah (). Sejak
itulah, kata ini seakan-akan kata ini merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata dan juga
menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya. Menurut Ibnu
Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala
aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara
dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain sementara
yang lain membutuhkan-Nya.[5]

Kata Allah memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata lain. Ia adalah kata yang sempurna
huruf-huruf dan maknanya serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga
sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai Ism Allah al-Azam (nama Allah yang
paling mulia). Susunan kata Allah tersebut dapat membentuk kata Lillah ( )jika menghapus huruf
awalnya dalam arti milik bagi Allah. Kemudian, hapus huruf awal dari kata Lillah ( )itu akan terbaca
Lahu ( )dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari Lahu (), akan terdengar
dengan ucapan Hu ( )yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila ini pun dipersingkat akan dapat
terdengar kata Ah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pad
hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah.[6]

Sehubungan dengan nama dan sifat-sifat Allah, Ahlusunnah wa al-Jamaah yang dipelopori oleh
Imam Abu Hasan Ali Asyari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi berbeda tajam dengan pandangan
kaum Mutazilah dalam permasalahan ini. Kaum Mutazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat, Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, dan Tuhan
berkata dengan Zat-Nya. Mereka berargumen bahwa kalau Tuhan memiliki sifat maka itu berarti
Tuhan dua, yaitu zat dan sifat.[7] Sejalan dengan pandangan ini, Ibn Arabi berkata, Allah sebagai
Zat yang Absolut dan Maha Gaib, sesungguhnya tidak memerlukan nama.[8] Disamping itu, Ibn
Arabi juga membicarakan nama-nama Tuhan sebagai sebab-sebab instrumental yang digunakan
Tuhan di dalam semua aktivitas penciptaan di dunia.[9] Uraian ini akan disinggung secara luas lagi
pada pembahasan berikutnya dalam, Tuhan Menurut Filsafat Islam.

>> Mencari Tuhan dengan Bimbingan dan Petunjuk Allah

Manusia memiliki kecenderungan primordial untuk selalu mencari Tuhan dengan menelusuri jejak-
jejaknya. Tuhan juga mengenalkan Diri pada manusia. Tetapi karena terdapat jarak yang jauh antara
Tuhan dan manusia, maka jarak itu lalu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda yang
dalam bahasa Arab juga disebut, asma, ayat, dan alam. Asma biasanya muncul dalam wacana
filafat dan teologi, ayat biasa dipahami sebagai informasi dan pengenalan diri Tuhan melalui wahyu
(Kitab Suci), sedangkan alam ialah tanda-tanda kekuasaan dan kehadiran Tuhan melalui ciptaan-
Nya berupa alam raya. [10]

Kisah Nabi Ibrahim a.s adalah salah satu contoh yang sangat menarik yang dilukiskan al-Quran
dalam masalah ini. Beliau pada mulanya layaknya sebagai seorang manusia biasa, dia juga
mencari-cari Tuhannya. Dalam surah al-Anam dijelaskan:

. . . . .
: . . . .
-

Artinya: Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku",
tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam.
Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah
aku Termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku,
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (Q.S. al-Anam [6]: 76-78)

Dari ayat di atas, apakah Nabi Ibrahim hanya sekedar bertanya dalam hati kemudian Allah
memberikan petunjuk? Tentu saja tidak demikian, karena Ibrahim selalu memikirkan, maka
kemudian Allah menurunkan petunjuk.[11] Sehingga keluarlah dalam hati Ibrahim seperti ayat
berikut:

: .
. .

Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan. (Q.S. al-Anam [6]: 79)

Pertanyaan selanjutnya, mengapa Allah memberikan petunjuk kepada Nabi Ibrahim, bukan kepada
yang lain. Hal ini dijelaskan Allah dengan singkat:

: .

Artinya: (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Q.S. al-Anam [6]: 79)

Jadi jawabannya, karena dia memiliki hati yang suci. Allah kemudian memberikan petunjuk dan
membukakan pandangan marifatullah hingga akhirnya ia kembali kepada kaumnya untuk
memberinya peringatan kepada jalan yang benar.[12] Kisah nabi Ibrahim berbeda dengan kisah
Nabi Adam a.s. Pada mulanya di surge, Adam a.s adalah seorang yang beriman. Oleh karena
melanggar perintah Allah, maka nabi Adam a.s diturunkan dari surge ke bumi. Sebagai akibatnya,
lepaslah pakaian rohani dan imannya kembali kepada Allah. Sanksi itu harus dijalani sampai 200
tahun, untuk mendapatkan kembali iman dan pakaian rohani. Terdapat perbedaan di dalam mencari
Tuhan di antara keduanya. Maksud mencari Tuhan bagi nabi Adam a.s tersebut ialah mencari
keridhoan-Nya kembali. Sedangkan bagi nabi Ibrahim a.s adalah mengenal Tuhan yang memang
belum ia kenal sebelumnya.[13]

>> Pembuktian Tuhan Menurut Filsafat Islam

Mempersoalkan Tuhan dan keimanan lewat filsafat dalam dunia Islam juga banyak terjadi, walaupun
dengan cara dan problema yang berlainan. Ajaran Islam yang pokok tercakup dalam dalam sebuah
kata pendek saja, yaitu Tauhid. Konsepsi Tuhan menurut tauhid ialah bahwa Tuhan Maha Esa dan
tak dapat dipersepsikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

: .

Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Anam [6]: 103)

Semua pemikir Islam berpegang ke sana sebagai dasar. Di antara mereka adalah Al-Kindi, Ibnu
Rusyd, Al-Farabi, Ibn Sina, pada abad-abad ke-10 dan ke-12, sampai kepada Abduh dan Iqbal pada
Abad kita sekarang.[14] Berikut beberapa filsuf Islam yang memiliki konsep ketuhanan:

a. Konsep Tuhan Menurut Al-Kindi

Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi, yang karenanya ia membutuhkan
Pencipta yang menciptakannya. Hasil pandangan tersebut merupakan argument kosmologis
Aristoteles yang dibungkus dengan istilah Arab, dalil al-Huduts atau argument kebaruan oleh Al-
Kindi. Ia mengungkapkan bahwa alam semesta ini, betapa pun luasnya adalah terbatas. Karena
terbatas, alam tidak mungkin tidak memiliki awal yang tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin
alam semesta bersifat azali (tak mempunyai awal). Berarti alam semesta ini baru (huduts).[15]

Bagi Al-Kindi, segala yang baru pastilah dicipta (muhdats). Karenanya, mengatakan bahwa alam itu
baru adalah sama dengan mengatakan bahwa ala mini dicipta. Dengan demikian, sesuatu yang
baru seperti ala mini, karena tidak bisa terbayangkan bisa muncul sendiri, memastikan adanya
sebab yang memunculkannya dan itulah Tuhan. Dalam bahasa filosofis, Tuhan disebut dengan
sebab pertama.[16]

b. Konsep Tuhan Menurut Ibn Rusyd

Dalam bukunya, Manahij al-Addillah, Ibn Rusy berusahan membuktikan adanya Allah Allah dengan
apa yang disebut dalil Inayah. Menurut Ibn Rusyd, penciptaan yang menakjubkan dari segala yang
ada di alam semesta, seperti penciptaan kehidupan organic, persepsi indrawi, dan pengenalan
intelektual, merupakan bukti adanya Tuhan melalui bukti penciptaan yang menakjubkan atau
keserasian. Terciptanya siang dan malam, matahari dan bulan, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan
hujan, yang semuanya sesuai dengan kehidupan manusia dan makhluk-mahkluk lain yang berpijak
pada prinsip keteraturan, atas dasar ilmu dan kebijaksanaan. Tatanan alam tersebut yang
ditampilkan melalui harmoni yang dapat dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang
ada di dalamnya. Ia tidak hanya harmoni permukaan dan lahir saja tetapi juga harmoni dalam batin
dan intinya. Harmoni ini bukan kebetulan, tetapi merupakan ciptaan Tuhan yang Maha Pengatur dan
Bijak.[17]

c. Konsep Tuhan Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina


Dalam masalah pembuktian adanya Allah, Al-Farabi dan Ibn Sina menempuh jalan lain. Mereka
membedakan wujud dari esensi, dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian
dari esensinya. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensia bagi subtansi bukan sebagai unsure
pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi selain Yang Maha Esa, yang wujudnya tidak terpisah
dari substansiny-Nya. Karena Ia adalah yang pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya.
Berdasarkan pemikiran ini. Al-Farabi dan Ibn Sina sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak
membutuhkan pembukyian yang panjang itu untuk menetapkan eksistensi Allah, dan kita cukup
mengetahui Zat-Nya untuk menerima eksistensi-Nya sekaligus. Pada puncaknya, mereka
berkesimpulan bahwa Allah adalah Zat yang harus ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-wujud bi
zatih) dan merupakan sebab pertama bagi segala entitas. Wujud-Nya merupakan yang paling
sempurna, Maha Suci dari segala bentuk, materi, aksi, dan efisiensi.[18]

d. Konsep Tuhan Menurut Muhammad Abduh

Muhammad Abduh mempergunakan metode pembagian hukum akal, yaitu mungkin, mustahil dan
wajjib. Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi zatnya ialah bahwa ia tidak mungkin ada kecuali
dengan suatu sebab. Sebagaimana yang mungkin itu memerlukan sebab dalam permulaan
wujudnya. Akhirnya, Muhammad Abduh sampailah pada kesimpulan adanya Zat Yang Wajib Adanya
sebagai penyebab utama dari segala zat yang masuk dalam kategori mungkin.

c. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Tuhan

Dalam konsep islam, tuhan diyakini sebagai zat yang maha tinggi, yang abadi, dan hakim bagi
semesta alam. Dia gaib karena Dia cahaya. Dengan cahaya, kita melihat sesuatu, tetapi dia sendiri tidak
dapat dilihat sampai ada cahaya yang melebihinya agar dia dapat terlihat. Begitu juga dengan gaibnya
Allah, karena tidak ada yang melebihi-Nya maka wajar jika kita tidak melihat-Nya. Memang, seandainya
Dia terlihat, hakikat-Nya diketahui dan dengan demikian Dia terjangkau, dan jika Dia terjangkau maka Dia
tidak pantas lagi dipertuhankan[12].

Anda mungkin juga menyukai