Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan Terhadap Anak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan harapan orang tua, anak juga merupakan penerus
bangsa. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang tua untuk memberikan kasih
sayang, dan juga melindungi anaknya. Namun, di zaman modern ini kekerasan
terhadap anak, baik secara fisik, seksual, penganiayaan, emosional, atau
pengabaian terhadap anak marah terjadi. Ini merupakan suatu bentuk pelecehan
terhadap anak, dimana salah satunya adalah bertujuan untuk melepaskan anak
dari keluarganya atau penuntutan yang merupakan tuntutan pidana.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih didalam kandungan.
Dalam UU ini, dijelaskan kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan
dan penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
maupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial
atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun
potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang
anak, atau martabat anak anak atau kekuasaan.
Bahkan dalam Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa, setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan kriminalitas. Namun, kenyataan yang terjadi
masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada
penyelesaiannya. Perlu adanya koordinasi yang tepat dilingkungan sekitar anak
terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan
kekerasan, menyeleksi tayangan televisi, maupun memberikan perlindungan
serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan
kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini di pimpin oleh
pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
1
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang undangan di
Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut, baik terhadap perbuatan,
pelaku maupun anak sebagai korbannya.
B. Rumusan Masalah
Setelah latar belakang di uraikan, maka langkah selanjutnya adalah
merumuskan masalah. Sebelum penulis merumuskan masalah ini secara jelas,
maka perlu di ketahui juga apa itu masalah?
Usman Tombu Bolon, mengatakan masalah adalah hambatan atau
rintangan atau kesulitan yang harus diatasi dalam mencapai tujuan seseorang
atau tujuan organisasi . Sementara itu Prof. Dr. Winarno Surachmad
mengemukakan masalah adalah kesulitan yang menggerakkan manusia untuk
memecahkannya, masalah harus dapat dirasakan sebagai suatu rintangan yang
mesti dilalui dengan mengatasinya apabila akan berjalan terus . Dari kedua
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan masalah
adalah segala macam rintangan, hambatan dan gangguan yang dialami oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan cara mengatasinya dalam usaha untuk
mencapai tujuan.
Bertolak dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dan berpatokan pada
pengertian masalah, maka dalam makalah ini permasalahannya dapat
dirumuskan, sebagai berikut :bagaimanakah payung hukum terhadap masalah
kekerasan terhadap anak, baik korban maupun pelaku kekerasan terhadap anak.
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah selain sebagai
tugas MKKM FIP UNDIKSHA 2016, juga untuk mengetahui bagaimana hukum
di Indonesia terhadap kekerasan pada anak.
D. Kegunaan
Kegunaan dari makalah ini antara lain :
a. Bagi mahasiswa, penelitian ini sebagai ajang/media pembelajaran dalam
rangka untuk mengembangkan daya nalar penelitian, sebab dengan
penelitian ini sedikit banyak akan menambah pengalaman dan wawasan juga
sebagai nilai tambah dalam kegiatan MKKM FIP UNDIKSHA.
2
b. Bagi Fakultas, dengan penelitian ini minimal akan dapat di gunakan sebagai
bahan dokumentasi, sehingga suatu saat akan dapat di pergunakan untuk
keperluan pengembangan studi.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kekerasan terhadap anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik
dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk
penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan
kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak dan
lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan/meremehkan anak.
4
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau
bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi
hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu
anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati
orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya
bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse:
persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun
(0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak
yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-
bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa
menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu
anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri
tanpa mampu untuk bangkit.
5
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan aman dengan
lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa
melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan
mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi
sesuai dengan apa yang dia alami.
5. Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah
dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-
12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti
ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan
seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali
menimbulkan luka secara fisik.
6
(reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita,
1996:6).
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi:
pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui
suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat
mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai
pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang
menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7).
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan
ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang
berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan
anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.Upaya-upaya ini lebih
merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan
baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat
dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi
perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana;
perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial,
bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40).
7
2. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan
moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut
tidak menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
3. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak
agar bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua
bisa mengenal anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu
dilakukan terhadp anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama
pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
4. Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan
orang yang kurang dikenal dan lain-lain.
5. Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga,
masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak
yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-
hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan
adanya pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun
tidak sengaja melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam
undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan
yang sama dan jaminan perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak
ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak yang menderita cacat
baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi
seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak
asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang
diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum,
pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta
8
penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan,
sosial dan perlindungan khusus.
B. Saran
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang
berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam
pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan
tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas. Oleh karena itu,
pemerintah harus berperan lebih aktif dan juga harus lebih banyak
mensosialisasikan UU ini, juga memberikan edukasi kepada orangtua akan
pentingnya pengawasan terhadap anak anaknya. Terutama bagi orangtua
yang lebih banyak diluar rumah. Sehingga pengawasan lebih banyak
dilakukan oleh pembantu atau pekerja di rumah tangga tersebut.