Anda di halaman 1dari 12

PERUBAHAN KONSEPSI GENDER TERHADAP

KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN DI KOTA MALANG

Oleh: Kelompok 1
(Adinda Laksmi Indara, Eka Nur Halimathus S., Lintang Ika Fikriyah,
Mirojul Huda, Novy Setia Yunas, Singgih Kinanti R.)

Pendahuluan

Secara kasat mata dan fisik, tuhan telah menciptakan perempuan dalam kondisi yang
berbeda dengan lawan jenisnya yakni laki- laki. Secara kodrati pun, posisi perempuan
memang tidak dapat dipertukarkan dengan posisi laki- laki misalnya posisi perempuan dalam
mengandung, melahirkan sampai dengan menyusui anak. Namun, di sisi lain secara
konstruksi sosial- budaya peran laki- laki dan perempuan dapat dipertukarkan, misalnya saja
posisi wanita karier saat ini bukanlah hal yang tabu lagi di era yang serba modern ini. Hal
tersebut yang kemudian dinamakan dengan konsepsi gender. Secara konseptual dan teoritik,
definisi gender merupakan peran perempuan dan laki- laki yang dapat dipertukarkan akibat
konstruksi sosial- budaya dan bukan merupakan kodrat (given) dari Yang Maha Kuasa.1
Konsepsi gender inilah yang kemudian berhasil menjadikan posisi perempuan tak lagi pada
posisi yang dapat ditekan atau pada posisi yang berada dalam bayang- bayang laki- laki.
Sebelum konsepsi gender digaungkan oleh aktivis perempuan, perempuan hanya
dipandang pada posisi yang lemah dan dibalik kendali laki- laki. Peran perempuan sebatas
memasak di dapur, melayani suami dan keluarga, merawat anak atau bahkan ada anggapan
dimana pendidikan tinggi tidak begitu penting bagi perempuan, karena toh dengan pendidikan
tinggi posisi perempuan juga sebatas kerja di dapur. Anggapan seperti itu nampaknya
anggapan kaum konservatif yang menganggap posisi perempuan berada pada posisi yang
lemah dan tidak sebegitu penting dalam pengambilan keputusan (subordinasi). Kondisi
perempuan dengan mindset seperti itu nampaknya sampai sekarang pun masih banyak
berkembang dan kita jumpai khsusunya dalam kondisi lingkungan pedesaan, yang masih

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Perubahan Sosial dan Dinamika Politik
(PSDP)
(Dosen Pembimbing: Dr. Hilmy Mohtar, M.S)
1
Definisi Gender yang seringkali diartikan dalam era modern. Berkaitan dengan
konstruksi sosial budaya di masyarakat yang kemudian Gender dapat diintepretasikan
secara jelas
Fakih, Mansour. 2004. Analisa gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

1
menjunjung tinggi nilai agama yang kuat, menjunjung nilai adat yang luhur atau bahkan
dalam kondisi tingkat pendidikan yang rendah.
Berbeda dengan hal di atas, dalam kondisi yang cukup modern, tingkat ekonomi dan
pendidikan yang relative tinggi serta didukung dengan pesatnya informasi terkait transformasi
pemikiran gender, posisi perempuan semakin dapat diperhitungkan dalam segala hal. Kondisi
dimana ketidaksetaraan gender (gender inequalities) seperti pemiskinan terhadap perempuan
(marginalisasi) sebagai akibat dari perempuan yang memang posisinya bukan sebagai pencari
nafkah, posisi perempuan yang tidak dipentingkan dalam pengambilan keputusan
(subordinasi), perempuan yang seringkali mendapatkan pelabelan negative (stereotype),
perempuan yang seringkali mendapatkan perlakuan kekerasan (violence) sampai dengan
beban kerja ganda (double burden) pada perempuan yang berusaha akan diminimalisir.
Implikasi dari hal tersebut nampaknya tidak hanya merubah pada tataran mindset, budaya,
perilaku serta life style atau gaya hidup saja tetapi kondisi tersebut nampaknya juga berhasil
melakukan perubahan yang akhirnya mempengaruhi konstelasi politik. Dalam sejarah
ketatanegaraan Republik ini, Indonesia pernah memiliki seorang presiden perempuan. Ini
menjadi sejarah baru dalam proses kesetaraan gender yang mempengaruhi konstelasi
perpolitikan dalam negeri. Selain itu, dalam kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini kita
ketahui bersama adanya tuntutan undang- undang yang mengatur tentang keterwakilan
perempuan dalam politik sebesar 30%. Keadaan nyata inilah yang kemudian menjadi bagian
penting dari proses kesetaraan gender dan implikasi dari proses serta transformasi perubahan
konsepsi gender yang berhasil mengubah mindset masyarakat.
Tetapi, dalam realitanya perubahan konsepsi gender tersebut tidaklah dapat berjalan
dengan maksimal mengingat tingkat heterogenitas pada masyarakat Indonesia seperti tingkat
kebudayaan yang beranekaragam, pendidikan yang berbeda, kondisi ekonomi yang tidak
sama dan bahkan lingkungan dengan tingkat konsistensi terhadap nilai- nilai lama yang tidak
sama pula. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba melakukan sebuah penelitian
terkait perubahan konsepsi gender terhadap keterwakilan perempuan dalam politik di Kota
Malang. Ada beberapa point penting yang menjadi masalah dalam melakukan penelitian ini
yang pertama adalah sejauh manakah perubahan konsepsi gender telah benar- benar berhasil
merubah mindset dan perilaku perempuan di Kota Malang..?. Kedua, bagaimanakah tingkat
pengetahuan kaum perempuan terhadap politik di Kota Malang..?. Ketiga, bagaimana
keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam politik baik dalam tataran legislative maupun
sebatas organisasi pemberdayaan perempuan di Kota Malang..?. Perlu diketahui pula,
penelitian ini dilakukan dalam dua objek penelitian yang berbeda dimana dalam kondisi

2
pedesaan dengan kultur masyarakat Jawa yang masih konsisten pada nilai- nilai lama dan
tingkat ekonomi serta pendidikan yang dapat dikatakan terbatas serta pada lingkungan
perkotaan dengan segala bentuk modernitas dan tingkat ekonomi serta pendidikan yang dapat
dikatakan dalam tingkat tinggi. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi
dengan didukung data- data yang dihimpun dari otoritas yang berhak dan kapabel dalam
menjelaskan permasalahan tersebut.

Implikasi perubahan konsepsi gender

Kesetaraan dan Keadilan Gender sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah
menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara
menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen untuk melaksanakn keadilan tersebut.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, di Indonesia dituangkan dalam
kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004,
dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender.
Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key
cross cutting issues dalam Program Pembangunan Nasional atau yang disingkat dengan
Propenas. Pelaksanaan pengarustamaan gender secara langsung diisntruksikan kepada seluruh
departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional,
propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan
permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan,
program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di
Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat
tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil
pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum
dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda
bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595)
penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya yang cukup besar, baik
di bidang pembangunan ekonomi maupun politik. Peran aktif wanita sangat berpengaruh

3
terutama dalam bidang politik. Tetapi dalam realitanya peran perempuan di indonesia
sangatlah minim, hal ini secara nyata bisa menyebabkan sebuah kondisi ketimpangan peran
dalam bidang politik bahkan bisa menghambat proses demokratisasi yang ada di Indonesia.
Pada pendahuluan di atas, permasalahan pertama yang ingin kita ketahui adalah sejauh
mana proses perubahan konsepsi gender telah mempengaruhi atau merubah pola pikir
masyarakat terutama kaum perempuan. Dengan kata lain, apakah kondisi lama misalnya
perempuan hanya menjalankan peran sebatas memasak, mencuci, mengasuh anak dan
melayani keluarga saja atau telah terjadi perubahan pada kaum perempuan sebagai objek
penelitian dimana mereka telah mampu melaksanakan sebuah peran yang lebih luas sesuai
dengan konsepsi gender.
Untuk melakukan penelitian tersebut, peneliti melakukan penelitian di dua tempat
yang berbeda, berbeda secara geografis sampai pula berbeda pada struktur sosialnya. Objek
penelitian pertama adalah di Kelurahan Buring, Kota Malang. Kelurahan Buring ini adalah
sebuah kelurahan kecil di pinggiran kota Malang yang memiliki masyarakat dengan mayoritas
mata pencaharian di bidang agraria. Tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Buring pun
dapat dikatakan minim karena setali tiga uang dengan tingkat perekonomian yang minim pula.

Data Tingkat Pendidikan Responden Data Mata Pencaharian Responden


di Kelurahan Buring di Kelurahan Buring

Objek penelitian kedua, peneliti mengambil tempat daerah urban tepatnya di tiga
perumahan yang secara geografis terletak di pusat kota Malang. Adapun perumahan tersebut
adalah Perumahan Araya, Perumahan Sigura Hill dan Perumahan Cakalang Indah Kota
Malang. Secara struktur sosial, masyarakat di tiga perumahan tersebut dapat digolongkan
pada masyarakat yang hidup di lingkungan yang modernis, dalam artian modern dalam hal
kehidupan dan cukup modern dalam hal pemikirannya. Selain bergulat pada kehidupan yang
modern, masyarakat di tiga perumahan tersebut pun dapat dikategorikan hidup pada kondisi
ekonomi yang sangat mapan (menengah ke atas) serta tingkat pendidikan yang cukup tinggi.

4
Data Tingkat Pendidikan Responden Data Mata Pencaharian Responden
di 3 Perumahan di 3 Perumahan

Penelitian di Kelurahan Buring sangat menunjukkan kesenjangan yang begitu besar


antara laki laki dan perempuan, Buring yang secara geografis merupakan daerah pedesaan
di pinggir kota, dan pendidikan kaum perempuan di daerah tersebut yang relatif rendah serta
kondisi perekonomian yang minim, menyebabkan terbatasnya akses informasi sehingga
masyarakat secara jelas dapat dikatakan tidak melek gender. Para kaum perempuan di daerah
ini juga kurang aktif dalam kegiatan kegiatan sosial dan organisasi perempuan. Kaum
perempuan di Buring dengan kondisi sosial yang memegang nilai- nilai lama masih bergulat
pada anggapan lama seperti perempuan masih menjalankan perannya sebatas mengasuh anak,
memasak di dapur, merawat keluarga, posisi kedua dibanding laki- laki bahkan setelah lulus
sekolah SMP si anak perempuan akan dinikahkan atau dalam artian perempuan tidak perlu
melanjutkan studi di pendidikan yang lebih tinggi.
Sedangkan penelitian di daerah urban yaitu perumahan Araya, Sigura Hill dan
Cakalang, beberapa responden sudah sadar terkait konsepsi gender misalnya banyak
responden yang bekerja di luar rumah atau wanita karier dan menjadi pemimpin organisasi.
Tetapi masih banyak yang belum paham terkait pembagian peran, fungsi dan tanggung jawab
antara laki laki dan perempuan yang tepat. Budaya Patriarki pun masih terlihat dalam
pandangan kaum perempuan meskipun mereka berasal dari daerah yang agak maju secara
informasi dan pendidikan.

Pengetahuan politik perempuan di Kota Malang

Pengetahuan Politik merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh semua orang
terutama oleh seorang perempuan. Baik perempuan pada masyarakat kelas menengah ke
bawah ataupun menengah ke atas, serta pada perempuan dijenjang pendidikan tinggi ataupun
rendah. Sosok perempuan berpengetahuan politik sangat dibutuhkan di masyarakat karena

5
berawal darisanalah perempuan bisa mengetahui kondisi perpolitikan didaerahnya yang lebih
luasnya terdapat unsur-unsur kebijakan yang bersinggungan dengan perempuan. Perempuan
harus mengetahui apakah kebijakan yang selama ini dilahirkan oleh pihak decision maker itu
tidak merugikan salah satu pihak dalam hal ini perempuan itu sendiri, mereka harus benar-
benar bisa menelaah apakah perpolitikan di sekitarnya itu cenderung bias Gender ataukah
sudah mengarusutamakan kesetaraan Gender. Perempuan harus mengetahui apakah hak-hak
dasarnya sebagai perempuan itu sudah terpenuhi atau belum.
Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi melek atau tidaknya perempuan
tentang perpolitikan, faktor tersebut bisa merupakan faktor pendorong atau pelemah. Pada
faktor pendorong, perempuan yang mengenyam pendidikan lebih tinggi, biasanya akan lebih
bersemangat untuk menggali informasi-informasi politik, dikarenakan pendidikan yang sudah
didapatkannya tersebut membuatnya mengetahui betapa pentingnya fungsi politik sehingga
dia akan terus haus untuk mengupdate informasi-informasi terkait perpolitikan yang
terbaru. Sedangkan pada perempuan berpendidikan rendah atau bahkan tidak pernah
mengenyam bangku pendidikan sama sekali, cenderung tidak mengetahui tentang pentingnya
perpolitikan dikarenakan kemampuan intelektual mereka yang terbatas. Sehingga mereka
menjadi ragu untuk mengikuti arus-arus pemberitaan politik dan menganggap sebagai sesuatu
yang tidak penting. Bagi mereka mengerti atau tidaknya dirinya tentang politik tidak akan
memberikan dampak apa-apa bagi perpolitikan (apatis). Kondisi keluarga juga mempengaruhi
keberanian perempuan untuk mengakses berbagai gambaran politik, perempuan dengan
kondisi keluarga yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebebasan (nonkonservatif) biasanya
cenderung lebih cerdas dalam menyikapi perpolitikan di sekitarnya, berbeda dengan kondisi
keluarga yang konservatif, perempuan disini masih diposisikan sebagai pelaku 3M (Masak,
Macak, Manak) dengan pengabdian penuh pada keluarga dan suaminya sehingga untuk
urusan politik dia serahkan sepenuhnya pada laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, dan
dia beranggapan bahwa dia tidak berhak tahu apalagi sampai terjun didalamnya.
Faktor- faktor diatas dapat dibuktikan dengan penelitian yang telah kami lakukan pada
beberapa perempuan di kelurahan Buring dan daerah urban tepatnya di perumahan Araya,
Cakalang dan Sigura Hill sebagai representasi dari kalangan perempuan dengan segmentasi
pedesaan (konservatif jawa) dan segmentasi perkotaan (modernitas gender).
Untuk penelitian di daerah Buring, pengetahuan politik yang dimiliki tergolong masih
sangat rendah, hal ini dikarenakan pendidikan yang rendah dan arus informasi yang didapat
kurang. Kaum perempuan di daerah Buring lebih banyak bergelut dengan kegiatan rumah
tangga sehingga informasi tentang dunia luar akan sangat kurang sekali apabila dibandingkan

6
dengan masyarakat di Perumahan Araya, Cakalang, dan Sigura Hill. Meskipun tidak
dipungkiri bahwa teknologi sudah berkembang pesat dan koneksi internet dapat diakses
dengan cepat, namun apabila masyarakat Buring tersebut tidak memiliki keinginan dan
komitmen untuk maju, maka teknologi apapun akan sama saja atau bersifat stagnan.
Sedangkan apabila dibandingkan dengan masyarakat perempuan di daerah Perumahan Araya,
Cakalang, dan Sigura Hill, mereka kebanyakan sudah memiliki dan menguasai pendidikan
politik relative cukup baik. Namun, terkadang dengan pendidikan politik yang tinggi tersebut
akhirnya memunculkan orang orang idealis yang berujung pada tindakan apolitis dan apatis
yang disebabkan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah.
Saya selalu datang ke TPS ketika Pemilu, tetapi saya tidak pernah ikut mencoblos
2
karena saya terlanjur kecewa akibat dibohongi oleh janji janji para pemimpin.

Terbukti dengan salah satu narasumber kami yang mengatakan bahwa responden
tersebut dengan sengaja tidak mau berpartisipasi pada pesta demokrasi dikarenakan beliau
menganggap pemerintah tidak pernah menepati janji janjinya dan hanya mengecewakan
rakyat rakyatnya. Ini merupakan bukti pemikiran yang idealis dan tepat yang dimiliki oleh
salah satu responden kami.
Hasil lain, dari beberapa responden yang kami wawancarai, mayoritas masih
mengorientasikan kepemimpinan politik pada pria daripada perempuan, pasalnya mereka
masih terkotak pada alasan-alasan gender dan ideologi patriarchy yang salah seperti pria itu
lebih tegas ataupun sudah kodrat pria menjadi pemimpin.

Keterwakilan dan Partisipasi Politik Perempuan di Kota Malang

Keberadaan isu gender tidak hanya berimplikasi pada perubahan mindset serta
perilaku saja melainkan keberadaan serta transformasi konsepsi gender mempengaruhi proses
perpolitikan di negeri ini. Hal tersebut dibuktikan secara nyata, pada amanah pemerintah
melalui konstitusi yang menyatakan prosentase keterwakilan perempuan dalam politik sebesar
30%. Namun realitanya, hingga saat ini partisipasi perempuan di partai politik dan lembaga
legislatif masih rendah. Meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan
yaitu dari 11,3% pada Pemilu 2004 menjadi 18% pada Pemilu 2009, tetapi angka ini masih
jauh dari yang dicita-citakan, yakni 30% menurut Undang-Undang No 10/2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPD. Pengalaman Pemilu tahun 2004 dan 2009
menunjukan bahwa perjuangan perempuan dalam mendesakan payung hukum bagi

2
Petikan wawancara dengan Ny. Agus Widjatmoko. Seroang responden yang berasal
dari Perumahan Araya Malang yang bekerja sebagai wiraswasta

7
keberadaan caleg perempuan dengan menyertakan tindakan afirmatif, yaitu 30% ketewakilan
perempuan ternyata belum berhasil meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara
signifikan.
Untuk kota Malang, keterwakilan politik perempuan dalam tataran legislative
nampaknya sangat kurang maksimal meskipun undang- undang mengamanahkan 30%
keterwakilan perempuan dalam legislatif. Meskipun secara prosentase keterwakilan
perempuan dalam politik di Kota Malang khususnya di tataran legislatif sudah hampir
mencapai 30% namun persebarannya tiap partai politik tidak merata. Ada partai yang tidak
ada satupun kader perempuannya yang duduk di kursi legislatif, hal ini mengindikasikan
belum meratanya dan rendahnya keterwakilan perempuan di kancah politik.

Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia ini belum maksimal, perempuan


sangat enggan masuk dalam dunia politik. Karena, ideologi patriarchy yang berkembang
di masyarakat masih sangat tinggi, faktor sepeleh lain adalah dilarang suami. Faktor-
faktor sepeleh tersebut nampaknya bagian dari gender inequalities dan perubahan
konsepsi gender yang belum berjalan secara maksimal bagi perempuan 3

Komposisi Anggota DPRD Kota Malang


Periode 2009-2014

Keterwakilan
No Partai Politik Jumlah
Laki-Laki Perempuan
1 Demokrat 7 5 12
2 PDI P 8 2 10
3 PKB 5 - 5
4 PKS 4 1 5
5 Golkar 3 2 5
6 PAN 4 - 4
7 Gerindra 2 2 4
JUMLAH 33 12 45
Sumber:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang

Berbicara konteks keterwakilan, menurut Arbi Sanit, bahwa keterwakilan lebih


cenderung dihubungkan dengan hal politik. Keterwakilan politik (political representativeness)
diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakilnya. 4

3
Petikan pernyataan salah satu anggota DPRD Kota Malang yang dihimpun melalui
sambungan telepon
4
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV Rajawali

8
Kadarnya ditentukan oleh sistem perwakilan politik yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian, keterwakilan sendiri diukur dari kemampuan wakil
bertindak atas nama pihak yang diwakili. Maka konsep ini bisa dikatakan mengangkat
himpunan elite di dalam lembaga-lembaga politik yang berwenang bertindak atas nama
masyarakat. Secara empiris peran Pemilu dan keterwakilan politik selalu mewarnai sistem
pemerintahan yang berlaku.
Beranjak dari sebuah konsep keterwakilan politik maka disitu ada yang namanya
partisipasi politik dimana partisipasi politik tertuang dalam sebuah keterwakilan. Misalnya
saja keterwakilan di legislatif maka secara tidak langsung bahwa sedang melalukkan
partisipasi politik itu sendiri. Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam
konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Partisipasi politik juga mencakup keterlibatan peran perempuan dalam tataran politik.
Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian
kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument hukum yang
sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di
berbagai sektor kehidupan. Hal ini juga berkorelasi dengan perspektif gender terhadap
preferensi pilihan pada pemilu. Seperti penelitian yang sudah kami lakukan, kami dapat
menarik kesimpulan bahwa kaum perempuan di daerah pedesaan dan perkotaan dapat
digolongkan menjadi dua yaitu apatis dan partisipan. Maksud dari apatis disini tentu saja tidak
hanya berasal dari daerah pedesaan saja karena pada dasarnya di daerah perkotaan banyak
sekali kaum perempuan yang cenderung apatis dikarenakan sudah sering dibohongi oleh janji
janji palsu para calon. Sedangkan kondisi apatis di pedesaan lebih banyak diwarnai karena
minimnya informasi dan sosialisasi dari para calon itu sendiri. Begitu juga dengan golongan
kaum gender yang termasuk partisipan, mereka cenderung memilih sebagai trend ikut-ikutan
atau tren siapa yang terlihat baik, ganteng, dan lain- lain. Jadi apabila ditilik lebih lanjut,
sebenarnya perspektif gender terhadap pilihan calonnya ini lebih berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang mereka telah dapatkan. Seperti contohnya dari salah satu objek
penelitian kami yaitu Ny. Ani Wahyu Indara yang menyatakan bahwa mencoblos calon itu
harus dengan hati nurani yaitu harus bisa mempertanggungjawabkan pilihannya sedangkan di
sisi lain pada saat ini menurut beliau, belum ada calon yang memiliki kapabilitas yang cukup
bagus dan lebih banyak calon calon tersebut hanya obral janji.

9
Saya memilih menggunakan hati nurani karena ini adalah bentuk pertanggungjawaban.
Tetapi untuk masalah calon- calon yang ada saat ini tidak ada satupun yang bisa
menepati janjinya saat kampanye, inilah yang menjadi kekecewaan saya 5

Hasil keseluruhan wawancara yang kami lakukan khususnya pada partisipasi politik
terutama partisipasi dalam pemilihan umum, dari beberapa responden Perempuan yang kami
wawancarai tentang keikutsertaannya dalam pemilu, mayoritas mengaku ikut serta dalam
pemilu, dan beberapa orang mengaku tidak ikut. Dari mayoritas responden yang mengikuti
pemilu tersebut hanya ada beberapa perempuan yang benar-benar memilih dengan selektif
berdasarkan visi-misi yang dibawa calon, selebihnya didasarkan pada karakter calon, hati
nurani, bahkan ada yang hanya ikut-ikutan saja. Responden yang tidak ikut memberikan
suaranya merupakan perempuan yang memang tidak berperan aktif dalam organisasi
keperempuanan seperti Muslimat, Fattayat, Aisyiyah, PKK, dan lain-lain. Mereka juga
mengaku bahwa ketidak ikutan mereka disebabkan karena tidak mendapat informasi yang
jelas terkait pemilu, ada juga yang mengaku bahwa ikut atau tidaknya mereka tidak akan
membawa perubahan.
Secara keseluruhan, penelitian yang kami lakukan terhadap kaum perempuan baik di
kelurahan Buring ataupun di tiga perumahan modern yakni Perumahan Araya, Perumahan
Sigura Hill dan Perumahan Cakalang Indah Kota Malang, kami menemukan ketimpangan dan
kesenjangan gender yang sangat jauh dalam hal partisipasi politik. Meskipun kaum perempun
masih mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi baik di pusat maupun di daerah, tetapi
kebanyakan dari masyarakat di daerah tersebut masih memiliki anggapan dimana laki laki
lebih superior dibanding wanita. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, setidaknya ada
beberapa faktor penyebab kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat, yang
mana pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki).
Konstruksi sosial yang telah terbangun dalam masyarakat sudah mendesaign pemikiran
masyarakat bahwa perempuan itu nomor dua dan laki laki lebih utama (Design for Living).

Organisasi Di Kota Malang yang paling banyak diikuti perempuan

Banyak kegiatan atau organisasi yang di ikuti perempuan di kota Malang, baik yang
berpendidikan tinggi atau bahkan yang hanya menempuh sekolah dasar, dari perempuan
karier sampai ibu rumah tangga. Banyak sekali respon atau tanggapan mengenai keikutsertaan

5
Petikan wawancara dengan Ny. Ani Wahyu Indara. Seorang responden yang berasal
dari Perumahan Cakalang Malang yang bekerja sebagai tenaga pendidik di sekolah
menengah pertama.

10
mereka dalam kegiatan ini, salah satunya adalah sebagai wahana pembelajaran diri di waktu
luang.
Dari hasil penelitian kita secara random di beberapa tempat di kota Malang, beberapa
orang responden hampir semuanya aktif di kegiatan yang diselnggarakan oleh pemerintah
atau inisiatif masyarakat. Dari sini kita menyimpulkan menjadi 2 katagori yaitu yang aktif di
kegiatan dan yang tidak aktif. Yang aktif kegiatan hampir mencapai 90% mereka aktif yaitu
aktif di PKK dan kegiatan sejenisnya dan sisanya tidak aktif dalam kegiatan karena harus
bekerja dan sebagainya. Dalam kegiatan PKK ini kita menggolongkan menjadi beberapa jenis
kegiatan atau organisasi yatu:
1. PKK/Dharma Wanita
2. Arisan RT dan sejenisnya
3. Aisyiyah
4. Muslimat
5. Fatayat
6. Pengajian RT
7. Dan lain- lain
Data di atas menunjukkan sebuah trend tersendiri dimana, perempuan di Kota Malang
dapat digolongkan sebagai perempuan- perempuan yang cukup aktif dalam setiap organisasi.
Tetapi perlu menjadi perhatian dan analisa mendalam juga apakah organisasi tersebut
melakukan mekanisme pemberdayaan terhadap perempuan atau hanya sekedar organisasi
kumpul- kumpul tanpa ada tujuan serta output yang membawa perempuan ke arah pemikiran
yang cukup baik.

Kesimpulan dan Saran

Gender merupakan salah satu isu penting dalam era globalisasi dan modernisasi saat
ini. Perempuan lebih dituntut pada posisi yang tidak harus dibawah atau dibalik bayang-
bayang laki- laki. Namun, transformasi serta perubahan konsepsi gender yang mempengaruhi
pada peran dan tanggung jawab perempuan nampaknya belum mampu dikatakan merubah
mindset serta perilaku perempuan secara keseluruhan. Terbatasnya arus informasi, terikatnya
nilai- nilai lama/ budaya leluhur serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang minim menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari proses lambannya transformasi konsepsi gender terhadap
perempuan. Dalam penelitian ini, hal tersebut dilihat secara jelas di objek penelitian pertama
yakni di kelurahan Buring, Kota Malang. Di kelurahan Buring, masih banyak perempuan

11
yang bergelut pada peran lamanya seperti perempuan sebatas merawat anak, mengurus rumah
tangga dan menjadi posisi kedua dalam keluarga, meskipun ada beberapa perempuan yang
menjadi buruh pabrik atau sebagainya. Perubahan konsepsi gender yang lamban khususnya di
kelurahan Buring pun secara tidak langsung berimplikasi pada rendahnya pengetahuan
perempuan terhadap politik. Perempuan cenderung tidak memperdulikan apa itu politik dan
bagaimana proses- proses politik tersebut. Lebih lagi pada sebuah mekanisme demokrasi,
yakni pemilihan umum. Mereka tidak memiliki preferensi pilihan yang jelas atau dalam artian
pilihan didasarkan pada trend ikut- ikutan, money politik atau sekedar saja.
Kemudian, berbeda halnya dengan objek penelitian kedua yakni di daerah urban
tepatnya di perumahan Araya, Sigura Hill dan Cakalang Indah. Beberapa responden, lebih
sadar dan melek akan gender. Perempuan- perempuan lebih aktif seperti perempuan berani
bekerja dan berkarya di luar rumah atau dalam kata lain sebagai wanita karier serta mampu
menjadi pemimpin- pemimpin organisasi. Hal ini nampaknya lebih disebabkan oleh tingkat
pendidikan mereka yang cukup tinggi, tingkat perekonomian pada kelas menengah ke atas
serta hidup pada kondisi struktur dan konstruksi sosial yang cukup modern. Sehingga secara
tidak langsung akan berimplikasi pada pengetahuan politik mereka serta idealisme dan
realistisme mereka dalam mengikuti proses- proses politik terutama dalam mekanisme
demokrasi yakni pemilihan umum.
Namun, jika berbicara keterwakilan politik perempuan di Kota Malang khususnya di
tataran legislatif nampaknya belum bisa dikatakan secara maksimal. Hal tersebut diketahui
ketika partai- partai yang memiliki kursi di DPRD tidak semuanya memiliki kader perempuan
meskipun secara keseluruhan telah sesuai dengan amanah undang- undang yakni keterwakilan
perempuan sebesar 30%. Ini yang kemudian menjadi ironi tersendiri dalam perubahan
konsepsi gender serta amanah keterwakilan perempuan dalam politik. Kondisi masih
eksistnya ideologi patriarchy yang memandang bahwa laki- laki lebih superior dan
mengendalikan kaum perempuan pun menjadi salah satu ekses dari rendahnya keterwakilan
perempuan sebagai ujung dari anggapan yang masih berkembang di tengah masyarakat.

12

Anda mungkin juga menyukai