REFERAT Lupus Dhimas
REFERAT Lupus Dhimas
PEMBIMBING :
dr. Retno Sawitri , Sp.KK
dr. Shinta J.B.T.R ,Sp.KK
Disusun Oleh :
Dhimas Panji Gmelar
1161050046
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 31 Agustus 03 Oktober 2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nim : 1161050046
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Krosten Indonesia.
Pembimbing 1 Pembimbing 2
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Stevens-Johnson
Syndrome tepat pada waktunya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Retno Sawitri, Sp.KK dan dr. Shinta
J.B.T.R, Sp. KK yang telah memberi kesempatan dan waktunya untuk menjadi
pembimbing dalam menyelesaikan referat ini . Kami menyadari bahwa karya tulis ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan. Akhir kata, semoga karya tulis
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan dan pengetahuan
secara luas.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN MUKA i
DAFTAR ISI iv
BAB 1. PENDAHULUAN 1
2.1 Definisi 2
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi. 3
2.4 Patofisiologi 4
2.6 Diagnosis 7
2.8 Penatalaksanaan 14
2.9 Komplikasi 17
2.10 Prognosis... 17
KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 19
4
BAB 1
PENDAHULUAN
Lupus Ertitematosus Diskoid (LED) adalah kondisi kulit kronis luka dengan
peradangan dan jaringan parut mendukung wajah, telinga, dan kulit kepala dan pada kali pada
area tubuh lainnya. Lesi ini berkembang sebagai merah, patch yang meradang dengan skala
dan penampilan berkerak. Pola keterlibatan kulit mengekspresikan oleh pasien indivual
dengan Lupus Eritematosus (LE) dapat memberikan gambaran tentang posisi pada spektrum
dimana penyakit pasien mungkin terjadi
LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus lainnya serta Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih berat hingga dapat mengancam jiwa
adalah bagian dari lupus eritematosus (LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan
klinis dan pola autoimunitas sel B poliklonal yang khas. [1]
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya diterangkan oleh
tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Gilliam yang
pertama kali dibuat pada tahun 1977: [3]
Varian telangiektoid
2.3 ETIOLOGI
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui tetapi kebanyakan ahli menganggpnya
sebagai suatu bentuk autoimunitas. Asumsi ini pertamakali ditemukan dikemukakan dengan
adanya gen major histocompatibility complex (MHC), khususnya alel human lymphocyte
antigen (HLA). Dilaporkan bahwa penderita LED mengalami peningkatan bermakna dari
HLA-B7,-B8,DR2, dan -DQA0102 serta penurunan HLA-A2 dengan kombinasi dari HLA-
DR3,HLA DQA 0102 dan HLA-B7 menyebabkan resiko relatif LED yang paling maksimal.
Frekuensi LED juga meningkat pada karier penyakit granulomatosa kronik terpaut kromosom
X yang berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik komplemen seperti C2,C3,C4 dan C5
serta inhibitor esterase C1 juga dihubungkan dengan LED dan LECS [1,5]
Pada suatu percobaan ditemukan bahwa pada kultur keratinosit yang dipajani sinar
ultraviolet, antigen yang seharusnya ada dalam inti dan sitoplasma sel akan keluar ke
membran keratinosit sehingga dapat diikat oleh antibody seperti anti-SSA, anti-SSB atau
anti-RNP. Hal ini dapat mengawali keseluruhan proses imunologis yang mendasari
terbentuknya lesi pada LED.[5] Suatu penelitian berbasis case-control melaporkan bahwa
perokok jauh lebih beresiko menderita LE daripada orang yang tidak merokok dan bahwa
kemungkinan hal ini disebabkan oleh suatu zat yang disebut amina aromatik lupogenik yang
ada dalam asap tembakau.[1]
Sejenis struktur tubuler berukuran diameter 20 nm dan sangat mirip dengan
paramiksovirus ditemukan pada sel endotel pembuluh darah, histiosit perivaskuler, atau
fibroblast dari lesi LED. Struktur tersebut akan berkurang jumlah dan ukurannya setelah
penggunaan klorokuin. Jika struktur tersebut terbukti adalah virus, kemungkinan struktur
tersebut dapat berperan sebagai presipitator LED. Penemuan antibodi RNA reovirus pada
42% pasien juga menguatkan dugaan adanya peranan virus dalam perjalanan penyakit LED [6]
2.4 PATOGENESIS
3
Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih belum
diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari patogenesis LES.
Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan empat tahapan
teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan klinis dari penyakit ini.
Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah
terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:[1]
Pewarisan gen /
HLA dan
lainnya mutasi somatik
Ekspansi sel
T Perluasan proses
autoimun
Jejas
Pembentukan kompleks imunologi
imun s
Gambar 1: Patomekanisme Lupus Eritematosus [1]
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan MHC
kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan dalam
pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor
(TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel
serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun. [1]
Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan proses
autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah kehilangan
4
toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi autoreaktifitas tersebut
antatara lain: [1,3]
1. Regenerasi klonal. Karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel stem, jika
dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan menggantikan
sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel muda yang tidak toleran
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE juga
dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas sebelumnya, antigen
LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit
yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorium telah
membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu,
faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan
antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X
hingga bahan kimia.[5,6]
Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang memperbanyak dan
memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya
melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif. Pada tahap
ini, autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak,
autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target
utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP)
molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).[1]
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara klinis dan
menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini sebagian besar
5
diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang terbentuk yang
menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler,
opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul target. [1]
Lesi bentuk diskoid adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling umum ditemui.
Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan telinga, tetapi persebarannya
juga bisa lebih luas. Walaupun begitu, lesi di bawah leher sangat jarang ditemukan jika tidak
ada lesi di atas leher. Lesi juga kadang-kadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk
bibir, lapisan mukosa oral lain, mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital. [7]
Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala subjektif
dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring dengan perjalanan
penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai hipopigmentasi di daerah inaktif
(tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika mengenai daerah berambut seperti kulit
kepala dan janggut, eskar dengan alopesia permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali
tersebar mengikuti pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat
terkena lesi.[2,4,8]
Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem berbatas tegas
yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke bukaan folikel rambut. Jika sisik yang melekat
dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat terlihat di bagian
bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan hiperpigmentasi di pinggir
dengan eskar atrofi, telangiektasia dan hipopigmentasi di tengah. [9]
LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher serta
LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher. Lesi LED di bawah
leher. [8,9]
6
Gambar 2 : LED di wajah pasien[8]
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis, pemeriksaan
fisis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi
kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah terlibat dalam
kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi, anamnesis harus difokus
pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan seperti fotosensitivitas, arthralgia atau
arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud, aborsi spontan pneumonia, karditis serta
gangguan neurologis. Untuk mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta
imunohistokimia lesi kulit akan dilakukan.[8,11]
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
7
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik (lihat
gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan terjadi
perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada daerah perbatasan
tidak aktif dan hiperpigmentasi. [8,12]
Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya usia lesi,
pelebaran bukaan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut folikel patulous (lihat
gambar di bawah). Resolusi lesi aktif mengakibatkan atrofi dan terjadinya jaringan parut.[8]
Gambar 8: Lesi LED dalam konka menunjukkan folikel dengan sumbatan [8]
Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED seringkali
tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terkena sinar matahari dapat
pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga menghasilkan alopesia .[8]
8
Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata. LED
lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata terjadi ketika
daerah lain [8]
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara histologis, epidermis dan dermis penderita LEDlah yang mengalami perubahan
sedangkan jaringan subkutannya tidak. Gambaran mikroskopis yang khas untuk LED adalah
hiperkeratosis dengan sumbatan folikel, penipisan dan pendataran epitel serta degenerasi
hidrofik lamina basalis.Selain itu, terdapat keratinosit apoptotik yang tersebar (badan Civatte)
pada lamina basalis. Pada lesi yang sudah lama, penebalan membrana basalis terlihat jelas
pada pewarnaan acid-Schiff. Pada jaringan dermis terdapat infiltrat limfositik berbentuk perca
atau likenoid disertai pengangkatan folikel pilosebaseus. Juga terdapat penimbunan musin
pada ruang interstisial dan udem, dan biasanya tidak dijumpai eosinofil maupun neutrofil.
9
Gambar 4. Degenerasi hidrofik lamina basalis pada LED[3]
2. Tes lainnya
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium untuk LED
dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :
ANA + +++ ++
Antibodi RO/SSA
10
-dg imunodifusi 0 + +++
- dg ELISA + ++ +++
Hipokomplementemia +++ + +
LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut; ANA,antibodi
antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay
+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan
Tabel 2: Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS. (dari
Cutaneus Lupus Erythematosus). [3]
Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara khas
bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan lesi pada orang-
orang yang sering terpapar sinar matahari. [14]
11
Psoriasis
Gambar 12: Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher [1]
Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk yang
paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran klinis: lesi-lesi
kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran permukaannya tampak
seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis, disebut sebagai Wickhams striae
[14]
12
Gambar 13: plakat berpuncak rata dengan Wickhams striae pada ekstremitas penderita[1]
Gambar 14: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung dan lengan
13
2.9 PENATALAKSANAAN
A. PENCEGAHAN
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah perkembangan
lesi lebih lanjut. [1]
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan sinar
ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus mencakup
menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya. Pengobatan dimulai dengan
menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan
semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan
untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain itu
pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif seperti
Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam.[1]
B. PENGOBATAN TOPIKAL
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap air
[SPF 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan mikronized titanium
dioksida. [1]
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini seperti
triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal superpoten kelas
satu seperti klobetasol propinoat atau betametason diproprionat memberikan hasil
yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti
dengan 2 minggu periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [1]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti suspensi
triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi tinggi
dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada lesi
hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan kortikosteroid
14
lokal, namun perlu berhati-hati menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan
jumlah lesi cukup banyak. [1]
C. PENGOBATAN SISTEMIK
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara tunggal atau
dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan termasuk klorokuin,
hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin dimulai dengan dosis 200 mg per
hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek samping gastrointestinal atau lainnya, dosis
ditingkatkan dua kali sehari tetapi tidak diberikan lebih dari 6,5 mg/ kg/ hari. Penting
ditekankan kepada pasien bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan
klinis. Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin mungkin
lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi hydroxychloroquine atau
klorokuin sehingga dianjurkan penambahan mepacrine ke dalam regimen pengobatan. [15]
Thalomide [50 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%, dengan
banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna. Adapun efek sampingnya ialah
efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati
sensorik dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.[1]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin, mycochrysine] dan
clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap kasus. [1]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi yang
sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin [imuran]
1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing pada kasus lupus
eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog
purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali seminggu] efektif
untuk kasus berat yang refrakter. [1]
Tabel 1. Daftar Obat-obatan yang digunakan pada LE Diskoid 15
Jenis Obat Dosis Efek Samping Perhatian
15
intradermal pada steroid intralesi pada penggunaan
triamcinolone steroid intralesi
3-5 mg/mL
Mycophenolate Dosis harian 1 Gastric upset, sakit kepala, Cek darah lengkap
mofetil g 2 kali/hari tremor, hipersensitif, anemia, harus diperiksa secara
leucopenia and teratur
thrombositopenia, infeksi,
neoplasia
16
dipicu oleh trauma. Pemulihan dari eskar atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon
dioksida dilaporkan bermanfaat. Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya
sebaiknya dihindari. 1
2.9 KOMPLIKASI
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar dan
terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologis. Pengobatan dini
dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi malignan jarang terjadi.
Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.[12]
2.10 PROGNOSIS .
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan
berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada musim
semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat mortalitas pada
penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit
yang terbentuk biasanya permanen [6,8,12]
KESIMPULAN
17
preparat klorokuin. Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th
ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93
2. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3rd edition.
Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.587-625.
6. Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T.,
Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology, 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793
7. Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York: Mosby
Elsevier.2008. p.105-13
9. Rai, V.M., Balachandran, C. Disseminated Discoid Lupus. Dermatol online jour. 2006:12
(4):23
18
10. BRITISH ASSOCIATION OF DERMATOLOGISTS PATIENT INFORMATION
LEAFLET, Dscoid Lupus Erythematosus, www.bad.org.uk (diakses 08
september 2015).
11. Michael Hertl (ed.) Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis, Diagnosis,
Management, 2nd ed. New York: Springer Wien. 2008
13. Wolff K., Johnson, R.A. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007. p.376-87
14. Graham-Brown,R. Burns T. Lecture Notes of Dermatology 8th ed. Jakarta:EMS. 2005.
p.172-3
15. Panjwani, Suresh. Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. JABFM.
2009;22:206-13
17. Casetty, C.T. 2005. Chronic cutaneous lupus erythematosus mimicking pseudoxanthoma
elasticum. Department of Dermatology, New York University School of Medicine
Dermatol online jour. 11(4):26. http://escholarship.org/uc/item/3635n5cs ( diakses 08
september 2015 )
19