Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA CLUBBING DI INDONESIA

Oleh:

Indah Arista Pratiwi


(11/312084/SA/15752)
Fakultas Ilmu Budaya Sastra Asia Barat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhnah wa Ta`l yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya
keada penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul
Budaya Clubbing di Indonesia. Karya sederhana ini penulis susun dalam rangka memenuhi
tugas ujian tengah semester Dasar-Dasar Ilmu Budaya.

Penulis menyadari, bahwa karya tulis ini tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang memberikan kontribusi dan dukungan dalam penyusunan makalah ini. Pada kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:

1. Dr. Amir Maruf. M,Hum selaku dosen pengampun Dasar-Dasar Ilmu Budaya yang
telah memberikan masukan dan bimbingan selam pembuatan makalah ini.

2. Rekan-rekan Sastra Asia Barat Prodi Sastra Arab 2011 terutama Afeliani Tri Hapsari,
Sevira Widya Putri, An-nisa Apriliani Alfian, dan Annisa Nurul Ulfa yang telah
memberikan motivasi dan inspirasi bagi penulis.

3. Akhirnya, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada keluarga


tercinta yang telah memberikan motivasi, inspirasi, dan kasih sayangnya kepada
penulis.

Tak ada yang sempurna di dunia ini. Demikian pula dengan penulisan makalah ini. Kritik dan
saran sangatlah penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.

Yogyakarta, 7 November 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..

DAFTAR ISI.

BAB I PENDAHULUAN..
1.1. Latar Belakang.

1.2. Rumusan Masalah.

1.3. Tujuan Penelitian.

1.4. .Pembatasan Masalah.

1.5. Kegunaan Penelitian.

BAB II PEMBAHASAN..

2.1. Pengertian Clubbing.

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Clubbing.

2.3. Tanggapan Pemerintah Dalam Menanggapi Clubbing.

BAB III PENUTUP.

3.1. Kesimpulan.

3.2. Saran.

DAFTAR PUSTAKA..

Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu


merupakan aset negara. Tetapi di ero globalisasi sekarang ini, banyak sekali budaya asing
yang masuk ke Indonesia, salah satunya yaitu budaya clubbing. Clubbing sudah sangat
identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi bagian dari gaya
hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing
selalu diasosiasikan dengan musik menghentak yang dapat membuat orang larut dalam
suasana. Seiring perkembangan zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak
semua orang suka musik semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan
lagi daya tarik utama.

Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang
cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing
yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti,
kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri.

Hal-hal yang telah di uraikan di atas menurut penulis sangat menarik sehingga penulis akan
mengangkat makalah Budaya Clubbing di Indonesia sebagai tugas ujian tengah semester
matakuliah Dasar-Dasar Ilmu Budaya.
1.2 Rumusan Masalah

Dengan menimbang latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka penulis
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

Apa itu clubbing ?

Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi clubbing ?

Apa tanggapan pemerintah dalam menanggapi clubbing ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui pengertian clubbing

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi clubbing

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam makalah ini penulis hanya menanggapi budaya clubbing di Indonesia.

1.5 Kegunaan Penelitian

1. Memberikan kesempatan kepada penulis untuk merealisasikan pengetahuannya


tentang clubbing khususnya di Indonesia.

2. Memberikan pemahaman tentang dunia clubbing kepada orang awam yang tidak
memiliki pengetahuan sama sekali tentang itu.

Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian Clubbing

Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, yang berarti pergi ke klub-klub pada
akhir pekan untuk mendengarkan musik (biasanya bukan musik hidup) di akhir pekan untuk
melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga
disebut dugem, dunia gemerlap, karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap
dan dentuman music techno yang dimainkan oleh para DJ handal yang terkadang datang dari
luar negeri.

Clubbing tidaklah merupakan hal yang meresahkan sampai kita mendengar istilah-istilah
tripping 100 jam,pump up your sex with ecstasy, sampai get the best your orgasm with
ecstasy. Kita tidak akan membicarakan para junkie atau pecandu putaw yang nyolong dan
malak karena gak punya duit saat sakaw (karena secara fisik ecstasytidaklah bersifat adiksi)
atau para pelacur jalanan yang terpaksa melacur karena kebutuhan ekonomi. Yang akan kita
bahas adalah para eksekutif yang secara materi tidak pernah kekurang tapi selalu
menghabiskan akhir pekan mulai dari jumat malam sampai senin pagi di lantai diskotik, juga
para wanita mulai dari ibu-ibu sampai anak sekolah yang asyik gedek-gedek dan dengan
santainya melakukan one night stand (aktifitas seks sekali pakai dan terlupakan).

Klub-klub malam menjadi ajang narkoba, seks bebas dan pelarian sepanjang malam di akhir
pekan. Sarang hedonisme dan pesta seks bercahaya neon (atau bahkan tanpa cahaya sama
sekalil!). Sebuah tempat di mana golongan kaya bergesekan dengan kalangan yang lebih
merakyat. Bagian terselubung dari sebuah kota yang korup dan terus berhentak, serta
memiliki pengaruh yang melampaui batas-batas Indonesia.

Kultur disko/clubbing lahir pada akhir dekade 80-an di Eropa. Kemajuan dalam teknologi
suara sintetis dan narkoba melahirkan music techno/house dan budaya ekstasi. Klub-klub di
Ibiza, Italia dan London menjadi surga berdenyut musik elektronika. Tahun 1988
dijuluki summer of love kedua di London. Jika dekade 60-an memiliki psychedelic era
dan acid rock, yang memunculkan mariyuana dan LSD sebagai primadonanya, serta punk
rock pada dekade 70-an dengan heroin sebagai makanan sehari-hari, maka terjadi pergolakan
baru dalam kultur kawula muda pada dekade 80-an. Sebuah scenebaru muncul dengan
fondasi musik elektronik, serta membuat takut para politikus dan ortang tua. Pesta dansa
ilegal merebak dan ekstasi menjadi narkoba pilihan di dunia baru ini. Scene ini mulai keluar
dari bawah tanah pada dekade 90-an. Seiring dengan bertambahnya popularitas, musik ini
juga berevolusi dari house ke trance, lalu hardcore, jungle,progressive dan drum & bass.

Budaya clubbing baru ini mulai mewabah ke seluruh dunia. Amerika Serikat tampaknya
kurang menyambut musik ini dan tetap setia dengan band rock kuno, grunge, rap, R&B,
serta hip-hop. Namun musik house serasa menemukan rumah baru di Indonesia.
Kecenderungan masyarakat Indonesia ke arah hedonisme komunal, serta ikatan batin dengan
Belanda berkat masa penjajahan (yang melahirkan hubungan dengan pusat produksi obat
terlarang di Amsterdam) menjadi penyebabnya. Sekitar tahun 1995, muncullah summer of
love ala Batavia. Negara ini dibanjiri oleh pil-pil setan, dan klub-klub yang sebelumnya lebih
kalem dipenuhi oleh orang-orang teler dan kegirangan, yang menikmati musik baru ini.
Semuanya ini terjadi sebelum krismon, di mana Soeharto masih berkuasa dan Indonesia
masih merupakan Macan Asia. Tempat klub-klub ini menghasilkan rupiah yang berlimpah,
dan tempat-tempat hiburan yang lebih mewah dibangun.

Pada suatu ketika, produser musik dangdut menciptakan musik house Asia versi mereka
sendiri, yang cenderung lebih nge-pop. Musik ini lebih menyerupai musik techno gadungan
yang menyedihkan, namun dapat disimak di banyak klub-klub terkemuka di Jakarta saat ini.
Di sini, para ABG yang kenyang ekstasi bergoyang diiringi musik anak-anak alahouse
dangdut yang bertempo terlalu tinggi. Tapi musik techno dan trance Eropa yang bermutu
masih dapat ditemukan di berbagai klub di seputar kota.

Selama lima tahun belakangan ini, Stadium sebuah istana teler berlantai empat di tengah
wilayah Kota merupakan diskotek paling angker. Pintunya tak pernah tutup di akhir pekan,
dan musiknya tak pernah berhenti. Narkoba dan wanita-wanita pencinta seks dapat ditemui
begitu masuk, dan suara musik menggenjot tiada henti. Setelah beberapa jam, suasana lebih
menyerupai halusinasi. Setelah jam 4 pagi, setelah klub-klub lain tutup, semua clubbers
berduyun-duyun menuju Stadium untuk tempat teler terakhir. Masih banyak klub di wilayah
Kota, seperti Sydney 2000, Gudang, 1001, Hailai dan Millenium. Millenium (yang terletak di
atas Plaza Gajah Mada) sangat digandrungi, isinya para pemabuk di bawah umur. Sayangnya
musiknya sangat buruk, yaitu musik anak-anak dengan kecepatan 180 bpm, yang menambah
nuansa pedofilia di tempat ini.

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Clubbing

Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara
mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para
clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul,
funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni
gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini
Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri
menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah:
a. Gaul, istilah gaul berasal dari kata baku bergaul atau pergaulan yaitu sebuah
sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan
lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah gaul bukan lagi
menjadi media sosialisasi untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan
telah menjadi ajang pelampiasan hawa nafsu. Kebanyakan bentuk gaul ini justru menjadi
pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga
pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya,
istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah gaul. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan
dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar
mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari
hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia.
Dengan bergaul, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas bergaulnya, kaum
remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa
yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati
disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido
seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.

Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang merupakan hasil adopsi
dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan besar karena
terinspirasi akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal, orang-orang yang bekerja di
bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan. Clubbing dipandang oleh individu
sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006) menyatakan bahwa individu dalam
mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan
minat dan dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan
perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing dipengaruhi sikap. Sikap
lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian individu dalam menentukan suatu
fenomena yang ditemui dalam kehidupannya (Piliang, 2006).Dilanjutkan oleh Piliang (2006)
bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor
keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis
berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing
merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut.
Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-
hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh
keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan
besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.

2.3 Tanggapan Pemerintah dalam Menanggapi Clubbing

Pada dasarnya pemerintah juga tidak begitu berperan dalam menangani masalah clubbing,
karena sesungguhnya itu kesadaran dari diri sendiri. Tetapi pemerintah berupa
menanggulanginya dengan cara mengeluarkan RUU pornografi dan pornoaksi.

Selain itu, pemerintah juga menanggulanginya dengan cara menutup tempat-tempat hiburan
malam pada saat bulan ramadhan agar bulan itu tidak ternoda dengan perbuatan maksiat.
Dimulai dari hal itu, diharapkan agar mulai berkurangnya niat-niat untuk datang ketempat itu.

Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Dalam makalah ini penulis mengambil kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu;

Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam
yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan
metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.

faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah


faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan
dengan minat, motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor
ekstern berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan
pergaulan individu).

3.2 Saran
Setiap orang pasti ingin mencoba hal-hal yang baru tetapi kita harus bisa memilih-milih mana
yang sesuai dengan kebudayaan kita atau tidak agar kita tidak terjebak dalam pergaulan yang
salah.

DAFTAR PUSTAKA

http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/1269

http://www.artikata.com/arti-36051-clubbing.html

Perdana, D. 2004. Dugem:Ekspresi Cinta, Seks, dan Jati diri.Yogyakarta :Diva Press
Piliang, Y.A.2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Yogyakarta : Jalasutra.

Anda mungkin juga menyukai