Anda di halaman 1dari 3

NAMA : AHMAD AL FURQON

NIM : 03021181520008
KELAS : B

ANALISIS

PERAWATAN LAHAN BASAH

Lahan Basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting
di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai ecotones (zona
peralihan) antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 1993).
Berdasarkan hasil Konvensi Ramsar 1971, pengertian lahan basah secara
internasional adalah: Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan;
tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau,
atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari
enam meter pada waktu surut.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah


pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran
pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari; sedang di daratan
cakupan lahan basah meliputi rawa-rawa baik air tawar maupun gambut, danau,
sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah, embung, dan
waduk. Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah kerangka kerjasama
Internasional, Konvensi Ramsar, mengeluarkan sistem pengelompokan tipe-tipe
lahan basah menjadi 3 (tipe) utama yaitu (Kementerian Lingkungan Hidup,
2004):

1. Lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu
karang dan estuari.

2. Lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau.

3. Lahan basah buatan, terdiri dari 9 tipe antara lain tambak dan kolam
pengolahan limbah.

Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan
biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses
yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah
dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan
dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem (Notohadiprawiro, T.,
1997).

Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air,
menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir dan
kekeringan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor,
keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut,
kawasan resapan air, sempadan sumber air, pantai, kawasan sekitar
danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin
terancam kelestariannya.

Kekhasan pemandangan lahan basah dan bentuk kehidupan yang ada di


dalamnya menarik wisata alam (Dugan, 1990). Tampakan-tampakan khas lahan
basah berupa keanekaragaman hayati, warisan alam dan pemandangan rekreatif
memunculkan kebutuhan akan mempertahankan keutuhan lahan basah.
NAMA : AHMAD AL FURQON
NIM : 03021181520008
KELAS : B

Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah

Pada awalnya lahan basah dijauhi karena merupakan sarang nyamuk yang
dapat menimbulkan penyakit malaria. Dengan alasan ini pula merupakan salah
satu penyebab terjadinya pembukaan lahan basah untuk memberantas sarang
nyamuk dan penyakit yang ditimbulkannya. Sekitar akhir 1800-an lahan basah
dianggap sebagai penyebab nyamuk malaria, sehingga kegiatan untuk
pengeringan lahan basah menjadi luas. Seiring dengan perkembangan teknologi
tahun-tahun berikutnya, kerugian dan kerusakan dari lahan basah semakin terus
bertambah karena alasan tersebut, dan sebagai alasan untuk mendapatkan
lahan pertanian, membuka pemukiman dan lain-lain, yang tergambar pada
kontrol dan eksploitasi alam oleh manusia, meletakkan dasar bagi
pemberantasan lahan basah (Caliskan, 2008). Lahan basah telah dikeringkan,
berubah menjadi lahan pertanian dan perkembangan komersial dan residensial
pada tingkat yang mengkhawatirkan (Mitsch dan Gosselink, 1993).

Konversi lahan basah yang telah berlangsung berabad-abad di berbagai


bagian dunia telah merusakkan jutaan hektar lahan basah, terutama di negara-
negara industri. Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan
basah (Notohadiprawiro, 1996). Sebagai contoh, Sejak kedatangan orang Eropa
ke Amerika, setengah dari lahan basah di AS telah hilang (zeesmi, 1997 dalam
Caliskan, 2008). Meskipun nilai intrinsiknya besar, lahan basah telah kehilangan
sistem tanahnya di bawah penggunaan manusia, sehingga sebagian besar lahan
basah di Eropa, dan Mediterania pada khususnya, telah hilang (Hollis, 1995). Di
Spanyol, diperkirakan bahwa lebih dari 60% dari lahan basah telah hilang dalam
50 tahun terakhir. Semenanjung Iberia barat tengah 94% dari lahan basah asli
menghilang pada periode antara 1896 dan 1996 (Gallego-Fernandez, et al.,
1999.

Potensi lahan basah cukup baik untuk usaha pertanian, perikanan,


kehutanan, dan peternakan. Di Indonesia sejak tahun 70-an pemerintah telah
melakukan pengembangan berbagai usaha tersebut di lahan basah di pulau
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua melalui kegiatan
pengembangan pemukiman, namun sayang, tidak semua wilayah
pengembangan berhasil, banyak juga yang tidak berkembang (mal-developed).
Ekosistem lahan basah sebelum dibuka memberikan banyak hasil hutan, seperti
kayu, rotan, damar, berbagai jenis ikan dan hasil-hasil lainnya. Setelah lahan
tersebut dibuka, hasil-hasil tersebut menurun drastis akibat berbagai masalah
lingkungan di lahan yang dibuka maupun di lahan lain di sekelilingnya. Berbagai
masalah lingkungan tersebut antara lain masalah penurunan permukaan tanah
(subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam,
banjir, kekeringan, kebakaran hutan gambut, dan sebagainya. Beberapa masalah
tersebut merupakan bencana nasional. Akibatnya secara umum daya dukung
lahan bagi kehidupan menurun drastis (Poniman, dkk., 2006.

Penyusutan luas kawasan lahan basah di daerah padat penduduk terjadi


akibat kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri. Hal tersebut
seperti antara lain menyebabkan terjadinya upaya reklamasi dengan menimbun
ekosistem pantai dan rawa serta pembelokan, penyempitan, maupun pelebaran
sungai untuk pembangunan infrastruktur. Di samping itu penyusutan juga terjadi
di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, hal ini umumnya terjadi akibat
bencana alam seperti kebakaran dan juga akibat ketidakjelasan tata batas
kawasan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.
NAMA : AHMAD AL FURQON
NIM : 03021181520008
KELAS : B

Kerusakan lahan basah juga bisa berupa pencemaran yang kemudian


menyebabkan perubahan kesetimbangan ekologis lahan basah, sedimentasi
danau dan rawa, masuknya invasive alien spesies, dan pengurasan sumberdaya
akibat pemanfaatan berlebih. Kerusakan yang terjadi menyebabkan banyak
kawasan lahan basah terutama rawa dan danau mengalami pendangkalan,
eutrophikasi, hilangnya spesies asli, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.

Pada daerah tertentu, aktivitas yang dilakukan dalam upaya untuk


pengembangan atau kelangsungan hidup dapat menyebabkan pencemaran.
Pencemaran lahan basah menimbulkan ancaman serius terhadap struktur dan
fungsi ekosistem lahan basah (Mitsch dan Gosselink, 2000; Lamers et al, 2002.
Pencemaran pada lahan basah terjadi tiada lain akibat aktivitas manusia
(human-induce) yang berada baik di dalam maupun di luar lingkungan lahan
basah. Pada umumnya sumber pencemaran berasal dari aktivitas manusia yang
menghasilkan limbah buangan (residu) dan polutan yang dibuang sembarangan.
Kebanyakan pencemaran terjadi pada badan air sehingga menurunkan kualitas
air.

Anda mungkin juga menyukai