PENDAHULUAN
a. Syok Hipovolemik
Penurunan volume intravaskular dapat menyebabkan syok hipovolemik
karena kehilangan darah atau cairan. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan
hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi)
ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti
luka bakar dan diare berat. (1,6)
b. Syok Kardiogenik
Terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium, sehingga jantung gagal
berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat.
Gangguan ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik atau dapat terjadi
akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. (8)
c. Syok Distributif
Terjadi apabila terdapat gangguan vasomotor akibat gangguan distribusi
aliran darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi
tidak adekuat untuk menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer dapat
menyebabkan hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk ke dalam syok
distributif adalah sebagai berikut: (8)
1. Syok Septik
Pada keadaan ini terjadi penurunan preload akibat peningkatan
permeabilitas vaskular dan venodilatasi, berkurangnya kekuatan kontraksi
miokardium akibat pengaruh mediator inflamasi, serta hipoksia jaringan akibat
(7)
distribusi aliran darah yang tidak mencukupi. Syok septik merupakan bagian
dari sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi yang tidak respon terhadap
resusitasi cairan. Sepsis yang memicu hipotensi diartikan sebagai tekanan darah
sistolik yang kurang dari 90 mmHg atau penurunan sebesar 40 mmHg dari nilai
normal. (9)
2. Syok Anafilaktif
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi
(antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen seperti
histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial
vaskuler disertai bronkospasme. (8)
3. Syok Neurogenik
Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic spinal cord injury.
Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardi. Gangguan neurologis akibat
syok neurogenik meliputi paralisis flasid, refleks ekstremitas menghilang, dan
priapismus. (8)
d. Syok Obstruktif
Terjadi akibat adanya sumbatan aliran darah menuju jantung (venous return)
akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade. Beberapa perubahan
hemodinamik pada syok obstruktif adalah penurunan cardiac output, tekanan
darah, serta tahanan vaskular sistemik. Cardiac tamponade merupaka suat bentuk
syok obstruktif yang terjadi akibat kompresi semua ruang jantung sehingga terjadi
peningkatan tekanan intakardiak sehingga terjadi penurunan cardiac output. (8,10)
Gambar 2.3 Jenis dan mekanisme syok (2)
b. Frekuensi Napas
Frekuensi napas telah dimasukkan pada sebagian besar sistem penilaian
keparahan penyakit dan merupakan suatu kriteria diagnostik untuk gagal napas
akut dan memulai pengaktifan tim emergensi. Walaupun frekuensi napas dapat
menjadi informasi yang berguna mengenai keparahan penyakit, namun masih
kurang adekuat dalam hal spesifisitas dan sensitivitas sebagai uji diagnostik
ketidakstabilan hemodinamik. Perubahan frekuensi napas dapat lebih berguna
sebagai marker respon terapi. (12)
c. Tekanan Darah
Tekanan darah yang adekuat dibutuhkan untuk memelihara perfusi organ
yang memiliki mekanisme autoregulasi seperti otak dan ginjal. Oleh karena itu,
tekanan darah atau tekanan arteri rata-rata merupakan indikator yang penting
untuk penyakit kritis atau ketidakstabilan hemodinamik. Tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau menurun sebesar >40 mmHg merupakan suatu kriteria diagnostik
untuk sepsis berat dan syok septik. Nilai (mean arterial pressure) MAP <65
mmHg dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pada pasien dengan syok
septik. (12)
d. Temperatur
Temperatur yang ekstrim dapat menggambarkan suatu kondisi klinis yang
tidak stabil dan temperatur merupakan salah satu komponen penting dalam
menentukan derajat keparahan penyakit. Namun temperatur bukan merupakan
indikator yang spesifik untuk ketidakstabilan hemodinamik, seperti pada sepsis
berat dapat terjadi hipertermia. Selain itu, temperatur kulit dan ekstremitas dapat
berhubungan dengan cardiac output. (12)
Penilaian temperatur kulit dapat dilakukan dengan menggunakan permukaan
dorsal tangan pemeriksa atau jari. Hal ini karena area tersebut paling sensitif
dalam menggambarkan temperatur. Dikatakan ekstremitas dingin apabila seluruh
ekstremitas yang diraba oleh pemeriksa teraba dingin atau hanya ekstemitas
bawah saja meskipun ekstremitas atas hangat tanpa adanya penyakit vaskular. (13)
f. Urin Output
Oliguria meupakan suatu tanda hipoperfusi yang spesifik yaitu perfusi renal
atau cardiac output yang tidak adekuat. Urine output berguna untuk evaluasi terapi
cairan dalam meningkatkan cardiac output dan telah menjadi marker perfusi pada
banyak percobaan klinis. Sebuah konsensus terbaru merekomendasikan target urin
output pada pemberian terapi adalah 0,5 ml/kgBB/jam. (12)
g Elektrokardiografi
Takiaritmia merupakan suatu tanda yang biasa ditemukan pada keadaan
hipoperfusi. Pemasangan EKG 12 sandapan dapat dilakukan untuk menilai irama
jantung dan untuk meilihat segmen ST dan gelombang T. Pemantauan segmen ST
beserta perubahan lainnya dapat mengenali iskemik miokardium secara dini. (11)
h. Tekanan Darah Arteri
Walaupun penilaian tekanan darah noninvasif bersifat akurat dalam menilai
ketidakstabilan hemodinamik, penting untuk melakukan pemantauan secara
invasif. Area kateterisasi yang biasa dilakukan adalah pada arteri radialis,
meskipun juga dapat dilakukan pada arteri femoralis, arteri brakialis, dan arteri
aksilaris. (14)
Penilaian tekanan darah arteri merupakan suatu landasan penilaian
hemodinamik. Interpretasi tekanan darah arteri yang rendah pada pasien
bergantung tekanan arteri pasien tersebut sehari-hari. MAP dapat memperkirakan
tekanan perfusi organ. Ketika stroke volume menurun, MAP dapat dipertahankan
dengan meningkatkan frekuensi denyut nadi atau tonus vasomotor perifer.
Sedangkan peningkatan tekanan arteri terutama dalam keadaan akut berhubungan
dengan peningkatan resistensi vaskular dan gangguan perfusi jaringan. (11)
i. Pemeriksaan Laboratorium
Asidosis metabolik pada keadaan syok sirkulasi menandakan terjadinya
kelebihan ion hidrogen ketika ambang metabolisme anaerob sudah terlewati.
Lebih tepatnya, mekanisme ini terjadi akibat terjadinya perubahan metabolisme
aerob menjadi anaerob melalui siklus asam trikarboksilat. Oleh karena itu, kadar
laktat arteri merupakan indikator spesifik untuk konsekuensi metabolik akibat
kegagalan perfusi dan lebih spesifik lagi kegagalan oxygen delivery akibat
anaerobiosis. Nilai ambang batas laktat arteri adalah 2 mEq/L (atau mmol/L),
namun pada keadaan syok septik, nilai laktat arteri >1,5 mmol/L dapat
meningkatkan mortalitas. (1,10)
2.4. Penatalaksanaan
Dukungan hemodinamik yang adekuat pada pasien dalam syok sangat
penting untuk mencegah disfungsi atau kegagalan organ. Resusitasi harus dimulai
bahkan ketika investigasi akan penyebab sedang dilakukan. Ketika sudah
ditemukan, penyebab harus dikoreksi secara cepat (misal intervensi koroner
perkutan untuk sindrom koroner akut, trombolisis atau embolektomi untuk emboli
paru masif, dan pemberian antibiotik dan source control untuk syok sepsis) (2)
Kateter arteri harus dipasang untuk monitoring tekanan darah arteri dan
sampel darah, ditambah kateter vena sentral untuk pemberian cairan dan agen
vasoaktif dan untuk memandu terapi cairan. Manajemen awal pada syok
berorientasi dari masalah penyebab dan tujuannya sama walau berbeda
penyebabnya dan cara untuk mencapainya. Komponen penting resusitasi haruslah
memenuhi kriteria VIP (Ventilate (pemberian oksigen) Infused (resusitasi cairan)
Pump (pemberian agen vasoaktif). (2)
Dukungan ventilasi
Pemberian oksigen harus dimulai segera untuk meningkatkan penghantaran
oksigen dan mencegah hipertensi pulmonar. Pulse oksimetri kurang handal karena
vasokontriksi perifer dan untuk menentukan kebutuhan oksigen lebih baik dengan
monitoring gas darah.
Ventilasi dengan mask memiliki keterbatasan dalam tatalaksana syok
karena kegagalan teknis dapat menyebabkan cardiac arrest. Sehingga intubasi
endotrakeal harus dilakukan untuk menyediakan jalan ventilasi mekanik pada
pasien dengan sesak napas berat, hipoksemia, atau asidemia persisten (pH <7.30).
Ventilasi mekanik invasif memiliki keuntungan tambahan seperti menurunkan
kebutuhan oksigen dari otot respirasi dan menurunkan afterload ventrikel kiri
dengan meningkatkan tekanan intrathorakik. Penurunan cepat tekanan arterial
setelah pemasangan ventilasi mekanik invasif menunjukkan adanya hipovolemia
dan penurunan aliran balik vena. Penggunaan agen sedatif harus dengan dosis
minimum untuk menghindari penurunan lebih jauh tekanan arterial dan curah
jantung. (1)
Resusitasi cairan
Terapi cairan untuk memperbaiki aliran darah mikrovaskular dan
meningkatkan curah jantung merupakan bagian dari tatalaksana bentuk syok
apapun. Bahkan pasien dengan syok kardiogenik bisa mendapatkan manfaat dari
cairan, karena edema akut dapat terjadi akibat penurunan volume intravaskular.
Namun, pemberian cairan harus dimonitor, karena bila berlebihan dapat
meningkatkan risiko edema lebih berat. (2)
Batasan untuk resusitasi cairan sulit untuk didefinisikan. Secara umum,
tujuan terapi cairan untuk curah jantung adalah membuat jantung tidak tergantung
preload (pada bagian plateau kurva frank-sterling), namun hal ini sulit dinilai
secara klinis (2)
Teknik challenge cairan harus digunakan untuk menentukan respon pasien
terhadap cairan sementara itu membatasi risiko dari efek samping. Teknik ini
memiliki 4 elemen sebagai berikut. Pertama, tipe cairan, kristaloid merupakan
pilihan pertama, karena diterima tubuh dengan baik dan harganya murah.
Penggunaan albumin untuk mengoreksi pasien hipoalbuminemia. Kedua, jumlah
pemberian cairan harus betul betul ditentukan. Cairan harus diberikan segera unuk
menginduksi respon cepat. Biasanya, cairan 300 500 ml diberikan selama
periode 20 30 menit. Ketiga, tujuan cairan harus betul ditentukan. Pada syok,
tujuannya adalah untuk meningkatkan tekanan arteri sistemik, walaupun
pemberiannya dapa menurunkan denyut jantung atau meningkatkan produksi urin.
Keempat, keamanan harus ditentukan, edema paru merupakan komplikasi serius
dari pemberian cairan. Walaupun tidak ada pedoman yang sempurna, batas dalam
tekanan vena sentral beberapa milimeter air raksa diatas nilai baseline biasanya
menjadi batas untuk mencegah kelebihan cairan. (2)
Resusitasi cairan agresif untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) lebih
dari 8 mmHg merupakan standar dalam manajemen pasien dengan sepsis berat
dan syok sepsis. Namun beberapa uji coba klinis menunjukkan tidak ada
perbaikan outcome pada pasien sepsis dan syok sepsis. (15)
Pada pasien dengan syok sepsis dan sepsis berat, early goal directed
therapy (EGDT) memberikan manfaat signifikan dengan outcome baik. (EGDT).
Namun pada sebuah metaanalisis PRISM menyatakan EGDT tidak memberikan
hasil lebih baik pada outcome dibandingkan perawatan biasa dan berhubungan
dengan tingginya biaya perawatan rumah sakit. (16)
Gambar 2.5 Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) pada sepsis dan syok
sepsis berat (EGDT) (16)
Agen vasoaktif
Vasopressor
Jika hipotensi berat atau menetap walau telah diberikan cairan maka hal
tersebut merupakan indikasi penggunaan vasoaktif. Pemberian vasopressor dapat
diberikan selagi pemberian cairan berjalan. Agonis adrenergik merupakan
vasopresor lini pertama karena onset cepat, potensi tinggi dan waktu paruh yang
singkat sehingga memudahkan penyesuaian dosis. Rangsangan pada tiap reseptor
adrenergik memiliki efek menguntungkan dan merugikan. Sebagai contoh
rangsangan beta adrenergik dapat meningkatkan aliran darah namun juga
meningkatkan risiko iskemi miokardium karena meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung. (2)
Norepinefrin dipertimbangkan sebagai vasopresor pilihan perama karena
merangsang alfa adrenergik namun memiliki efek sedikit pada beta adrenergik
yang membantu untuk menjaga curah jantung. Pemberian norepinefrin memiliki
efek signifikan pada tekanan arteri rerata, dengan perubahan sedikit pada denyut
atau curah jantun. Dosis biasanya 0.1 2.0 mikrogram perkilogram berat badan
per menit.
Dopamin memeiliki efek beta adrenergik dominan pada dosis rendah dan
efek alfa adrenergik pada dosis yang lebih tinggi, namun efeknya relatif lemah.
Perangsangan dopaminergik juga memiliki efek endokrin sehingga menyebabkan
imunosupresi, melalui penurunan produksi prolaktin.
Pada sebuah studi uji coba acak terkontrol double blind menunjukkan
dopamin tidak memiliki keuntungan lebih dibanding norepinephrin sebagai
vasopresor lini pertama; lebih lanjut, dopamin cenderung menimbulkan aritmia
dan berhubungan dengan peningkatan risiko kematian pasien dengan syok
kardiogenik dan sepsis. (17)
Epinefrin memiliki efek dominan pada beta adrenergik dengan dosis rendah
dan alfa adrenergik pada dosis tinggi, epinefrin memiliki efek samping aritmia,
penurunan aliran darah splanik, dan peningkatan kadar laktat darah. Sehingga
epinefrin digunakan sebagai lini kedua untuk kasus yang berat. (17)
Agen Inotropik
Dobutamin sebagai agen inotropik merupakan pilihan untuk meningkatkan
curah jantung, dan tidak terkait dengan pemberian norepinefrin. Dobutamin
memiliki efek beta adrenergik dominan. Dosis awal diatas 20 mikrogram per
kgBB per menit dapat meningkatkan curah jantung dan memberikan keuntungan
tambahan. Sebuah studi meta analisis mengevaluasi penggunaan inotrope dan
vasopressor untuk pasien kritis dan menemuan tidak ada hubungan dengan
perbedaan mortalitas pada keseluruhan populasi. (18)
Vasodilator
Dengan menurunkan afterload ventrikel, agen vasodilator dapat
meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Keterbatasan utama obat ini adalah risiko menurunnya tekanan arterial ke tingkat
yang mengancam perfusi. Namun pada beberapa pasien pengguanaan nitrat dapat
memperbaiki perfusi mikrovaskular dan seluler. (2)
2. Vincent JL, Backer DD. Circulatory Shock. New England Medical Journal.
2013; 369: p. 1726-34.
4. Sherwood L. Buku Ajar Fisiologi Manusia: Dari sel ke sistem Jakarta: EGC;
2012.
7. Graham CA, Parke TRJ. Critical care in the emergency department: shock and
circulatory support. Emergency Medical Journal. 2005; 22: p. 17-21.
16. Investigators TP. Early, Goal-Directed Therapy for Septic Shock-A Patient
Level Meta-Analysis. NEJM. 2017 March.
19. Brady WJ, Swart G, De Behnke DJ. The efficacy of atropine in the treatment
of hemodynamically unstable bradycardia and atrioventricular block:
prehospital and emergency department consideration. Elsevier Science
Ireland. 1999; 41: p. 47-55.