Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Hemodinamik merupakan dinamika aliran darah untuk memenuhi


kebutuhan jaringan. Hemodinamik yang tidak stabil sebagai tanda klinis,
merupakan manifestasi dari kegagalan perfusi yang disebut juga sebagai syok
sirkulasi. Tanda fisik dari kegagalan sirkulasi akut termasuk hipotensi, denyut
jantung abnormal, akral dingin, sianosis perifer dan penurunan urine output. (1)
Syok sirkulasi disebabkan oleh berbagai mekanisme patologik yang dipicu
oleh kondisi traumatik atau non traumatik. Kondisi non-traumatik yang dapat
menyebabkan gangguan hemodinamik seperti dehidrasi, perdarahan non trauma
(ruptur varises esofagus) menyebabkan syok hipovolemi, faktor kardiogenik
(infark miokard akut, kardiomiopati tahap akhir, penyakit katup jantung,
miokarditis atau aritmia jantung) menyebabkan syok kardiogenik, emboli paru
menyebabkan syok obstruktif dan faktor distributif (sepsis berat atau reaksi
anafilaktik) menyebabkan syok distributif. (2)
Berdasarkan studi yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandous
didapatkan kasus non trauma yang datang ke IGD sebanyak 70.13%. (3) Resusitasi
yang efektif di instalasi gawat darurat memerlukan identifikasi dan koreksi
sirkulasi inadekuat yang cepat sebelum terjadi kerusakan organ lebih lanjut dan
ireversibel.(4) Oleh karena uraian diatas maka penulis tertarik mengenai
penanganan pasien non traumatik dengan hemodinamik tidak stabil di instalasi
gawat darurat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Hemodinamik


Hemodinamik merupakan dinamika aliran darah untuk memenuhi
kebutuhan jaringan. Kestabilan hemodinamik dipengaruhi oleh delapan sistem
yang saling berhubungan, adanya gangguan pada salah satu sistem dapat
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. (1)
1. Aliran darah balik (venous return) menuju jantung kanan atau preload
2. Kontraktilitas otot jantung, termasuk denyut jantung dan ritme yang
menentukan volume sekuncup dan curah jantung terkait denyut jantung
dan ritme
3. Tahanan arteriolar (prekapiler) yang merupakan afterload jantung
4. Sirkuit kapiler yang merupakan tempat perpindahan substrat
5. Tahanan venular (postkapiler) yang berperan penting sebagai pengontrol
tekanan hidrostatik kapiler
6. Pirau arteri vena pada lokasi dan keadaan tertentu
7. Kapasitas vena yang pada keadaan syok akan bertambah luas untuk
menyimpan sejumlah besar darah ketika terjadi penurunan preolad dan
curah jantung
8. Terakhir, aliran darah sistemik menurun kapanpun ada sumbatan pada
aliran darah misal karena emboli paru atau diseksi aorta.

Gambar 2.1 Lokasi yang mempengaruhi hemodinamik (1)


Curah jantung merupakan hasil kali dari volume sekuncup dengan denyut
jantung, volume sekuncup merupakan volume darah yang dipompakan oleh
jantung menuju sirkulasi sistemik, sebanyak lebih kurang 70 mL darah
dipompakan jantung orang dewasa, volume sekuncup dipengaruhi oleh
kontraktilitas miokard dan aliran balik vena, kondisi patologis seperti kekurangan
volume darah akibat perdarahan, dehidrasi menyebabkan penurunan volume darah
sehingga menurunkan aliran balik vena sehingga menurunkan curah jantung (syok
hipovolemik). Infark miokard, gagal jantung menyebabkan menurunnya
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung yang dapat berujung
ke pada keadaan syok (syok kardiogenik). (4)
Denyut jantung normal berkisar antara 60 sampai 100 kali permenit, denyut
jantung dipengaruhi oleh akitifitas saraf simpatis dan parasimpatis, saraf simpatis
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan parasimpatis memperlambat
denyut jantung, adanya gangguan dalam sistem konduksi jantung dapat
menyebabkan gangguan irama jantung (aritmia) berupa bradikardi (denyut
jantung <60 kali permenit) atau takikardi (>100 kali permenit), gangguan sistem
konduksi dapat disebabkan oleh beberapa kelainan seperti, ketidakseimbangan
elektrolit dan hormonal, infark miokard, atau gagal jantung. Gangguan denyut
jantung yang berat dapat mempengaruhi curah jantung, misal aritmia berat dalam
bentuk ventrikular takikardi dapat menjadi masalah karena denyut jantung yang
sangat cepat mengakibatkan ketidak seimbangan antara waktu sistol dan diastol
sehingga volume sekuncup yang dihasilkan tidak adekuat. (4)

Gambar 2.2 Faktor tekanan darah (5)


Resistensi perifer merupakan tahanan pada pembuluh darah periferi yang
dipengaruhi tonus arteri dan arteriol serta elastisitas dinding pembuluh darah
selain itu viskositas darah juga memengaruhi resistensi perifer, viskositas darah
dipengaruhi oleh molekul zat zat terlarut pada darah. (4,5)
2.2. Gangguan Hemodinamik
Ketidakstabilan hemodinamik merupakan suatu keadaan terjadinya
kegagalan perfusi yang menunjukkan gejala klinis berupa syok sirkulasi dan atau
gagal jantung lanjutan, atau terdapat satu atau lebih abnormalitas hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital namun nilai-nilai tersebut tidak selalu bersifat
patologis. Tanda-tanda fisik kegagalan sirkulasi akut merujuk pada gejala syok
diantaranya hipotensi, frekuensi denyut nadi yang tidak normal, ekstremitas
dingin, sianosis perifer, serta penurunan urin output. (1)
Secara patofisiologi, gangguan hemodinamik dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi berupa transpor oksigen ke jaringan atau perfusi yang tidak adekuat
sehingga terjadilah syok. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sistemik terutama di arteri, berkurangnya aliran darah
balik, penurunan pengisian ventrikel, serta penurunan curah jantung. (6)
Mekanisme kompensasi akan diaktifkan sebagai respon terhadap
hipoperfusi jaringan. Sistesm saraf otonom adrenergik akan segera teraktivasi dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah vena. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan preload. Sementara itu vasokonstriksi seluruh pembuluh
darah arteri dapat mempertahankan tekanan darah arteri dan dan memaksimalkan
kontraktilitas miokardium. Mekanisme ini berfungsi untuk mengoptimalkan
cardiac output serta memelihara perfusi arteri koroner dan otak agar adekuat.
Maka dari itu pada fase awal syok akan ditandai dengan takikardi. (7)
Hipotensi akan terjadi ketika tidak terjadi lagi mekanisme kompensasi atau
ketika sistem saraf otonom tidak dapat berespon dengan baik. Hal ini dapat terjadi
akibat pengaruh usia lanjut, obat-obatan ( blocker), neuropati otonom, atau
insufisiensi adrenal. Pengisian jantung yang kurang pada keadaan hipovolemia
berat akan menyebabkan respon takikardi berubah menjadi bradikardi. Syok yang
terus berlanjut akan menyebabkan sel dan jaringan menjadi iskemik dan terjadi
metabolisme anaerob. Asidosis laktat akan menstimulasi mekanisme kompensasi
yaitu hiperventilasi. (7)
Syok disebabkan oleh 4 faktor mekanisme patologis, dehidrasi, perdarahan
non trauma (ruptur varises esofagus) menyebabkan syok hipovolemi, faktor
kardiogenik (infark miokard akut, kardiomiopati tahap akhir, penyakit katup
jantung, miokarditis atau aritmia jantung) menyebabkan syok kardiogenik, emboli
paru menyebabkan syok obstruktif dan faktor distributif (sepsis berat atau reaksi
anafilaktik) menyebabkan syok distributif (shock sirkulasi).
Mekanisme dari syok hipovolemik, kardiogenik, dan obstruktif ditandai
oleh curah jantung yang rendah sehingga transport oksigen menjadi tidak adekuat.
Pada syok distributif, defisit utama terletak pada perifer dengan penurunan
tahanan pembuluh darah sistemik, dan gangguan ekstraksi oksigen. Sehingga pada
beberapa kasus curah jantung tinggi, walaupun dapat juga rendah sebagai efek
depresi miokardial. Pasien dengan kegagalan sirkulasi akut memiliki kombinasi
dari mekanisme tersebut. Misalnya, pasien dengan syok distributif dari
pankreatitis berat, anafilaksis, atau sepsis mungkin juga mengalami syok
hipovolemia dan kardiogenik dari depresi miokard.

a. Syok Hipovolemik
Penurunan volume intravaskular dapat menyebabkan syok hipovolemik
karena kehilangan darah atau cairan. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan
hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi)
ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti
luka bakar dan diare berat. (1,6)

b. Syok Kardiogenik
Terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium, sehingga jantung gagal
berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat.
Gangguan ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik atau dapat terjadi
akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. (8)

c. Syok Distributif
Terjadi apabila terdapat gangguan vasomotor akibat gangguan distribusi
aliran darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi
tidak adekuat untuk menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer dapat
menyebabkan hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk ke dalam syok
distributif adalah sebagai berikut: (8)
1. Syok Septik
Pada keadaan ini terjadi penurunan preload akibat peningkatan
permeabilitas vaskular dan venodilatasi, berkurangnya kekuatan kontraksi
miokardium akibat pengaruh mediator inflamasi, serta hipoksia jaringan akibat
(7)
distribusi aliran darah yang tidak mencukupi. Syok septik merupakan bagian
dari sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi yang tidak respon terhadap
resusitasi cairan. Sepsis yang memicu hipotensi diartikan sebagai tekanan darah
sistolik yang kurang dari 90 mmHg atau penurunan sebesar 40 mmHg dari nilai
normal. (9)
2. Syok Anafilaktif
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi
(antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen seperti
histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial
vaskuler disertai bronkospasme. (8)
3. Syok Neurogenik
Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic spinal cord injury.
Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardi. Gangguan neurologis akibat
syok neurogenik meliputi paralisis flasid, refleks ekstremitas menghilang, dan
priapismus. (8)

d. Syok Obstruktif
Terjadi akibat adanya sumbatan aliran darah menuju jantung (venous return)
akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade. Beberapa perubahan
hemodinamik pada syok obstruktif adalah penurunan cardiac output, tekanan
darah, serta tahanan vaskular sistemik. Cardiac tamponade merupaka suat bentuk
syok obstruktif yang terjadi akibat kompresi semua ruang jantung sehingga terjadi
peningkatan tekanan intakardiak sehingga terjadi penurunan cardiac output. (8,10)
Gambar 2.3 Jenis dan mekanisme syok (2)

2.3. Penilaian Klinis pada Pasien dengan Hemodinamik Tidak Stabil


Diagnosis ketidakstabilan hemodinamik dapat ditegakkan berdasarkan
tanda-tanda klinis, hemodinamik, dan biokimia. Tanda-tanda klinis syok adalah
hipotensi yang berkaitan dengan penurunan perfusi jaringan yang dapat
tervisualisasi melalui tiga aspek. Pertama yaitu perfusi perifer (kulit teraba
dingin, basah, biru, atau pucat), perfusi ginjal (penurunan urin output <0,5
ml/kgBB/jam), dan perfusi ke otak (penurunan status mental). (10)
Pemeriksaan fisik dapat menilai hemodinamik secara cepat dan minimal
invasif. Pasien yang sadar dan dapat berbicara dengan baik merupakan suatu
indikator perfusi ke otak masih baik. Pasien dengan keluhan nyeri dada iskemik
menandakan terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
ke miokardium (11)
Hal utama yang paling penting dilakukan dalam menilai ketidakstabilan
hemodinamik adalah identifikasi mekanisme utama penyebab syok (hipovolemik,
kardiogenik, obstruktif, atau distributif). Perlu dipikirkan penyebabnya apakah
trauma, infeksi, nyeri dada, dan sebagainya, serta evaluasi klinis yang dapat
menentukan jenis syok. Namun pada situasi yang kompleks seperti cardiac
tamponade pada pasien trauma atau syok septik pada pasien gagal jantung kronik,
diagnosis dapat menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, pemeriksaan tambahan perlu
dilakukan terutama pada pasien dengan komorbiditas. (10)
Syok distributif biasanya ditandai dengan peningkatan cardiac output. Syok
hipovolemik berhubungan dengan penurunan tekanan darah, sedangkan pada syok
kardiogenik tekanan darah dapat meningkat. Syok obstruktif beruhubungan
dengan peningkatan tekanan arteri pulmonal dan dilatasi ruang jantung kanan. (10)
Metode penilaian klinis untuk mengevaluasi ketidakstabilan hemodinamik yang
umum dilakukan adalah pemeriksaan tanda-tanda vital dan perfusi organ spesifik
seperti capillary refill time dan urin output. Tanda-tanda vital secara umum
digunakan untuk menentukan triase, pengaktifan tim emergensi medis, dan juga
(12)
sebagai komponen sistem penilaian tingkat keparahan suatu penyakit. Akan
tetapi, penilaian tanda-tanda vital saja tidak dapat mengenali syok. Hal ini
dikarenakan interaksi antara sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis dapat
mempengaruhi frekuensi denyut nadi baik itu normal, meningkat, ataupun
menurun. Syok tidak dapat disingkirkan atas dasar tanda-tanda vital yang normal
saja. (7)

Gambar 2.4 Tanda syok sirkulasi (2)

a. Frekuensi Denyut Nadi


Adanya perubahan pada frekuensi denyut nadi dapat menjadi suatu tanda
awal ketidakstabilan hemodinamik. Walaupun terdapat berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi frekuensi denyut nadi (demam, aktivitas fisik, obat-obatan, dan
status hormon tiroid), peningkatan frekuensi denyut nadi merupakan tanda yang
sering muncul akibat tingginya kadar katekolamin endogen, kehilangan darah,
atau dehidrasi. Sehingga peningkatan atau penurunan frekuensi denyut digunakan
sebagai suatu kriteria untuk mengaktifkan tim emergensi medis. Akan tetapi,
peningkatan atau penurunan frekuensi denyut nadi bersifat sensitif tetapi tidak
spesifik untuk mendiagnosis ketidakstabilan hemodinamik. (12)

b. Frekuensi Napas
Frekuensi napas telah dimasukkan pada sebagian besar sistem penilaian
keparahan penyakit dan merupakan suatu kriteria diagnostik untuk gagal napas
akut dan memulai pengaktifan tim emergensi. Walaupun frekuensi napas dapat
menjadi informasi yang berguna mengenai keparahan penyakit, namun masih
kurang adekuat dalam hal spesifisitas dan sensitivitas sebagai uji diagnostik
ketidakstabilan hemodinamik. Perubahan frekuensi napas dapat lebih berguna
sebagai marker respon terapi. (12)

c. Tekanan Darah
Tekanan darah yang adekuat dibutuhkan untuk memelihara perfusi organ
yang memiliki mekanisme autoregulasi seperti otak dan ginjal. Oleh karena itu,
tekanan darah atau tekanan arteri rata-rata merupakan indikator yang penting
untuk penyakit kritis atau ketidakstabilan hemodinamik. Tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau menurun sebesar >40 mmHg merupakan suatu kriteria diagnostik
untuk sepsis berat dan syok septik. Nilai (mean arterial pressure) MAP <65
mmHg dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pada pasien dengan syok
septik. (12)

d. Temperatur
Temperatur yang ekstrim dapat menggambarkan suatu kondisi klinis yang
tidak stabil dan temperatur merupakan salah satu komponen penting dalam
menentukan derajat keparahan penyakit. Namun temperatur bukan merupakan
indikator yang spesifik untuk ketidakstabilan hemodinamik, seperti pada sepsis
berat dapat terjadi hipertermia. Selain itu, temperatur kulit dan ekstremitas dapat
berhubungan dengan cardiac output. (12)
Penilaian temperatur kulit dapat dilakukan dengan menggunakan permukaan
dorsal tangan pemeriksa atau jari. Hal ini karena area tersebut paling sensitif
dalam menggambarkan temperatur. Dikatakan ekstremitas dingin apabila seluruh
ekstremitas yang diraba oleh pemeriksa teraba dingin atau hanya ekstemitas
bawah saja meskipun ekstremitas atas hangat tanpa adanya penyakit vaskular. (13)

e. Capillary Refill Time (CRT)


CRT sering digunakan untuk menilai derajat ketidakstabilan hemodinamik
pada pasien di IGD maupun ICU. Dijelaskan bahwa adanya keterlambatan
kembalinya warna normal kulit setelah pengosongan kapiler dengan melakukan
penekanan diakibatkan oleh penurunan perfusi perifer. Nilai CRT <2 detik
dianggap normal, namun nilai CRT dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.
Pada anak-anak dan dewasa muda, nilai normal CRT adalah 2 detik, sedangkan
pada perempuan dewasa nilai normal CRT lebih panjang yaitu 2,9 detik serta pada
lanjut usia adalah 4.9 detik. Oleh karena terdapat variasi nilai normal CRT, adanya
pemanjangan nilai CRT tidak dapat memprediksi kehilangan 450 ml darah pada
orang dewasa pendonor atau pasien dengan hipovolemik yang datang ke IGD.
(12,13)

f. Urin Output
Oliguria meupakan suatu tanda hipoperfusi yang spesifik yaitu perfusi renal
atau cardiac output yang tidak adekuat. Urine output berguna untuk evaluasi terapi
cairan dalam meningkatkan cardiac output dan telah menjadi marker perfusi pada
banyak percobaan klinis. Sebuah konsensus terbaru merekomendasikan target urin
output pada pemberian terapi adalah 0,5 ml/kgBB/jam. (12)

g Elektrokardiografi
Takiaritmia merupakan suatu tanda yang biasa ditemukan pada keadaan
hipoperfusi. Pemasangan EKG 12 sandapan dapat dilakukan untuk menilai irama
jantung dan untuk meilihat segmen ST dan gelombang T. Pemantauan segmen ST
beserta perubahan lainnya dapat mengenali iskemik miokardium secara dini. (11)
h. Tekanan Darah Arteri
Walaupun penilaian tekanan darah noninvasif bersifat akurat dalam menilai
ketidakstabilan hemodinamik, penting untuk melakukan pemantauan secara
invasif. Area kateterisasi yang biasa dilakukan adalah pada arteri radialis,
meskipun juga dapat dilakukan pada arteri femoralis, arteri brakialis, dan arteri
aksilaris. (14)
Penilaian tekanan darah arteri merupakan suatu landasan penilaian
hemodinamik. Interpretasi tekanan darah arteri yang rendah pada pasien
bergantung tekanan arteri pasien tersebut sehari-hari. MAP dapat memperkirakan
tekanan perfusi organ. Ketika stroke volume menurun, MAP dapat dipertahankan
dengan meningkatkan frekuensi denyut nadi atau tonus vasomotor perifer.
Sedangkan peningkatan tekanan arteri terutama dalam keadaan akut berhubungan
dengan peningkatan resistensi vaskular dan gangguan perfusi jaringan. (11)

i. Pemeriksaan Laboratorium
Asidosis metabolik pada keadaan syok sirkulasi menandakan terjadinya
kelebihan ion hidrogen ketika ambang metabolisme anaerob sudah terlewati.
Lebih tepatnya, mekanisme ini terjadi akibat terjadinya perubahan metabolisme
aerob menjadi anaerob melalui siklus asam trikarboksilat. Oleh karena itu, kadar
laktat arteri merupakan indikator spesifik untuk konsekuensi metabolik akibat
kegagalan perfusi dan lebih spesifik lagi kegagalan oxygen delivery akibat
anaerobiosis. Nilai ambang batas laktat arteri adalah 2 mEq/L (atau mmol/L),
namun pada keadaan syok septik, nilai laktat arteri >1,5 mmol/L dapat
meningkatkan mortalitas. (1,10)

2.4. Penatalaksanaan
Dukungan hemodinamik yang adekuat pada pasien dalam syok sangat
penting untuk mencegah disfungsi atau kegagalan organ. Resusitasi harus dimulai
bahkan ketika investigasi akan penyebab sedang dilakukan. Ketika sudah
ditemukan, penyebab harus dikoreksi secara cepat (misal intervensi koroner
perkutan untuk sindrom koroner akut, trombolisis atau embolektomi untuk emboli
paru masif, dan pemberian antibiotik dan source control untuk syok sepsis) (2)
Kateter arteri harus dipasang untuk monitoring tekanan darah arteri dan
sampel darah, ditambah kateter vena sentral untuk pemberian cairan dan agen
vasoaktif dan untuk memandu terapi cairan. Manajemen awal pada syok
berorientasi dari masalah penyebab dan tujuannya sama walau berbeda
penyebabnya dan cara untuk mencapainya. Komponen penting resusitasi haruslah
memenuhi kriteria VIP (Ventilate (pemberian oksigen) Infused (resusitasi cairan)
Pump (pemberian agen vasoaktif). (2)

Dukungan ventilasi
Pemberian oksigen harus dimulai segera untuk meningkatkan penghantaran
oksigen dan mencegah hipertensi pulmonar. Pulse oksimetri kurang handal karena
vasokontriksi perifer dan untuk menentukan kebutuhan oksigen lebih baik dengan
monitoring gas darah.
Ventilasi dengan mask memiliki keterbatasan dalam tatalaksana syok
karena kegagalan teknis dapat menyebabkan cardiac arrest. Sehingga intubasi
endotrakeal harus dilakukan untuk menyediakan jalan ventilasi mekanik pada
pasien dengan sesak napas berat, hipoksemia, atau asidemia persisten (pH <7.30).
Ventilasi mekanik invasif memiliki keuntungan tambahan seperti menurunkan
kebutuhan oksigen dari otot respirasi dan menurunkan afterload ventrikel kiri
dengan meningkatkan tekanan intrathorakik. Penurunan cepat tekanan arterial
setelah pemasangan ventilasi mekanik invasif menunjukkan adanya hipovolemia
dan penurunan aliran balik vena. Penggunaan agen sedatif harus dengan dosis
minimum untuk menghindari penurunan lebih jauh tekanan arterial dan curah
jantung. (1)

Resusitasi cairan
Terapi cairan untuk memperbaiki aliran darah mikrovaskular dan
meningkatkan curah jantung merupakan bagian dari tatalaksana bentuk syok
apapun. Bahkan pasien dengan syok kardiogenik bisa mendapatkan manfaat dari
cairan, karena edema akut dapat terjadi akibat penurunan volume intravaskular.
Namun, pemberian cairan harus dimonitor, karena bila berlebihan dapat
meningkatkan risiko edema lebih berat. (2)
Batasan untuk resusitasi cairan sulit untuk didefinisikan. Secara umum,
tujuan terapi cairan untuk curah jantung adalah membuat jantung tidak tergantung
preload (pada bagian plateau kurva frank-sterling), namun hal ini sulit dinilai
secara klinis (2)
Teknik challenge cairan harus digunakan untuk menentukan respon pasien
terhadap cairan sementara itu membatasi risiko dari efek samping. Teknik ini
memiliki 4 elemen sebagai berikut. Pertama, tipe cairan, kristaloid merupakan
pilihan pertama, karena diterima tubuh dengan baik dan harganya murah.
Penggunaan albumin untuk mengoreksi pasien hipoalbuminemia. Kedua, jumlah
pemberian cairan harus betul betul ditentukan. Cairan harus diberikan segera unuk
menginduksi respon cepat. Biasanya, cairan 300 500 ml diberikan selama
periode 20 30 menit. Ketiga, tujuan cairan harus betul ditentukan. Pada syok,
tujuannya adalah untuk meningkatkan tekanan arteri sistemik, walaupun
pemberiannya dapa menurunkan denyut jantung atau meningkatkan produksi urin.
Keempat, keamanan harus ditentukan, edema paru merupakan komplikasi serius
dari pemberian cairan. Walaupun tidak ada pedoman yang sempurna, batas dalam
tekanan vena sentral beberapa milimeter air raksa diatas nilai baseline biasanya
menjadi batas untuk mencegah kelebihan cairan. (2)
Resusitasi cairan agresif untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) lebih
dari 8 mmHg merupakan standar dalam manajemen pasien dengan sepsis berat
dan syok sepsis. Namun beberapa uji coba klinis menunjukkan tidak ada
perbaikan outcome pada pasien sepsis dan syok sepsis. (15)
Pada pasien dengan syok sepsis dan sepsis berat, early goal directed
therapy (EGDT) memberikan manfaat signifikan dengan outcome baik. (EGDT).
Namun pada sebuah metaanalisis PRISM menyatakan EGDT tidak memberikan
hasil lebih baik pada outcome dibandingkan perawatan biasa dan berhubungan
dengan tingginya biaya perawatan rumah sakit. (16)
Gambar 2.5 Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) pada sepsis dan syok
sepsis berat (EGDT) (16)

Agen vasoaktif
Vasopressor
Jika hipotensi berat atau menetap walau telah diberikan cairan maka hal
tersebut merupakan indikasi penggunaan vasoaktif. Pemberian vasopressor dapat
diberikan selagi pemberian cairan berjalan. Agonis adrenergik merupakan
vasopresor lini pertama karena onset cepat, potensi tinggi dan waktu paruh yang
singkat sehingga memudahkan penyesuaian dosis. Rangsangan pada tiap reseptor
adrenergik memiliki efek menguntungkan dan merugikan. Sebagai contoh
rangsangan beta adrenergik dapat meningkatkan aliran darah namun juga
meningkatkan risiko iskemi miokardium karena meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung. (2)
Norepinefrin dipertimbangkan sebagai vasopresor pilihan perama karena
merangsang alfa adrenergik namun memiliki efek sedikit pada beta adrenergik
yang membantu untuk menjaga curah jantung. Pemberian norepinefrin memiliki
efek signifikan pada tekanan arteri rerata, dengan perubahan sedikit pada denyut
atau curah jantun. Dosis biasanya 0.1 2.0 mikrogram perkilogram berat badan
per menit.
Dopamin memeiliki efek beta adrenergik dominan pada dosis rendah dan
efek alfa adrenergik pada dosis yang lebih tinggi, namun efeknya relatif lemah.
Perangsangan dopaminergik juga memiliki efek endokrin sehingga menyebabkan
imunosupresi, melalui penurunan produksi prolaktin.
Pada sebuah studi uji coba acak terkontrol double blind menunjukkan
dopamin tidak memiliki keuntungan lebih dibanding norepinephrin sebagai
vasopresor lini pertama; lebih lanjut, dopamin cenderung menimbulkan aritmia
dan berhubungan dengan peningkatan risiko kematian pasien dengan syok
kardiogenik dan sepsis. (17)
Epinefrin memiliki efek dominan pada beta adrenergik dengan dosis rendah
dan alfa adrenergik pada dosis tinggi, epinefrin memiliki efek samping aritmia,
penurunan aliran darah splanik, dan peningkatan kadar laktat darah. Sehingga
epinefrin digunakan sebagai lini kedua untuk kasus yang berat. (17)

Agen Inotropik
Dobutamin sebagai agen inotropik merupakan pilihan untuk meningkatkan
curah jantung, dan tidak terkait dengan pemberian norepinefrin. Dobutamin
memiliki efek beta adrenergik dominan. Dosis awal diatas 20 mikrogram per
kgBB per menit dapat meningkatkan curah jantung dan memberikan keuntungan
tambahan. Sebuah studi meta analisis mengevaluasi penggunaan inotrope dan
vasopressor untuk pasien kritis dan menemuan tidak ada hubungan dengan
perbedaan mortalitas pada keseluruhan populasi. (18)

Vasodilator
Dengan menurunkan afterload ventrikel, agen vasodilator dapat
meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Keterbatasan utama obat ini adalah risiko menurunnya tekanan arterial ke tingkat
yang mengancam perfusi. Namun pada beberapa pasien pengguanaan nitrat dapat
memperbaiki perfusi mikrovaskular dan seluler. (2)

Gambar 2.4 Fase tatalaksana syok (2)

Tatalaksana syok memiliki 4 tahapan dimana tahap pertama salvage yaitu


berfokus pada pencapaian target minimum tekanan darah dan curah jantung serta
melakukan prosedur life saving. Prosedur life saving terkait akan penyebabnya
misalnya pasien syok kardiogenik akibat sindrom koroner akut dengan Intervensi
Koroner Perkutan (IKP), pemberian antibiotik pada sepsis. (2)
Pada pasien bradikardi dengan hemodinamik yang tidak stabil yang datang
ke IGD pemberian atropin memiliki respon yang baik. Pasien yang mengalami
bradikardia memiliki respon yang lebih terhadap dosis tunggal atau lebih rendah
dibandingkan pasien dengan AV blok. (19)
Tahap selanjutnya tahap optimisasi berfokus pada menyediakan kebutuhan
oksigen seluler, resusitasi hemodinamik yang adekuat akan menurunkan
inflamasi, disfungsi mitokondria, dan aktifasi caspase. Pengukuran SpO2 dan
kadar laktat dapat membantu panduan terapi dan perlu dilakukan monitoring
curah jantung. Tahap stabilisasi berfokus pada pencegahan disfungsi organ,
bahkan setelah hemodinamik stabil. Suplai oksigen bukan lagi menjadi masalah
utama, dan support organ menjadi lebih berguna pada fase ini. Yang terakhir fase
de-eskalasi berfokus pada penghentian terapi vasoaktif dan memberikan terapi
yang membantu mencapai balance cairan negatif. (2)
BAB III
KESIMPULAN

Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan kegagalan perfusi (syok


sirkulasi) didefinisikan lebih jelas ketika adanya tanda syok sirkulasi dan
mekanisme yang mendasarinya. Terdapat 4 mekanisme yang mendasarinya yaitu
hipovolemi, kardiogenik, distributif, dan obstruktif.
Syok sirkulasi berhubungan degan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Identifikasi segera merupakan hal penting sehingga manajemen agresif dapat
dimulai. Tatalaksana yang sesuai berdasarkan dari pemahaman dari mekanisme
patofisiologi yang mendasarinya. Tatalaksana termasuk koreksi dari penyebab
syok dan stabilisasi hemodinamik, melalui pemberian oksigen, cairan dan agen
vasoaktif. Respon pasien dapat dimonitor evaluasi klinis secara hati hati dan
pengukuran laktat darah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Weil MH. Defining Hemodynamic Instability. In Pinsky MR, Payen D.


Update in Intensive Care and Emergency Medicine. Berlin, Heidelberg:
Springer; 2005.

2. Vincent JL, Backer DD. Circulatory Shock. New England Medical Journal.
2013; 369: p. 1726-34.

3. Takaendengan DT, Wowiling PA, Wagiu AM. Profil 10 besar kasus di


Instalasi Gawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou periode Januari -
Desember 2015. Jurnal e-Clinic. 2016 Desember; 4(2).

4. Sherwood L. Buku Ajar Fisiologi Manusia: Dari sel ke sistem Jakarta: EGC;
2012.

5. Sutedjo. Farmakologi dan Terapi Jakarta: Departemen Farmakologi dan


Terapeutik Fakultas Kedokteran UI; 2007.

6. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:


Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3): p. 178-182.

7. Graham CA, Parke TRJ. Critical care in the emergency department: shock and
circulatory support. Emergency Medical Journal. 2005; 22: p. 17-21.

8. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. CDK-228. 2015; 42(5): p. 391-394.

9. Perman SM, Goyal M, Gaieski DF. Initial Emergency Department Diagnosis


and Management of Adult Patients with Severe Sepsis and Septic Shock.
Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and Emergency Medicine.
2012; 41(20): p. 1-11.

10. Cecconi M, Backer DD, Antonelli M. Consensus on circulatory shock and


hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of Intensive
Care Medicine. Intensive Care Med. 2014; 40: p. 1795-1815.

11. McCanny P, Colreavy F, Bakker J. Haemodynamic Monitoring and


Management. In European Society of Intensive Care Medicine; 2013; Ireland.

12. Sevransky J. Clinical Assessment of Hemodynamically Unstable


Hemodynamic. Curr Opin Crit Care. 2009 June; 15(3): p. 234-238.

13. Lima A, Bakker J. Noninvasive Monitoring of Peripheral Perfusion. Intensive


Care Med. 2005 August; 31: p. 1316-1326.

14. Bailey J. Hemodynamic Instability. Associate Professor in the Department of


Anesthesiology, Cardiac Anesthesia and Critical Care Medicine Division,
Emory University School of Medicine, Atlanta, Georgia, USA. 2003.

15. Marik P, Bellomo R. A Rational Approach to Fluid Therapy in Sepsis. Br J


Anesth. 2016; 116(3): p. 339-349.

16. Investigators TP. Early, Goal-Directed Therapy for Septic Shock-A Patient
Level Meta-Analysis. NEJM. 2017 March.

17. Backer DD, Biston P, Devriendt J. Comparison of Dopamine and


Norepinephrine in the Treatment of Shock. NEJM. 2010 March; 362(9): p.
779-789.

18. Belleti A, Castro L, Silvetti S. The Effects of Inotropes and Vasopressors on


Mortality. Br J Anaesth. 2015; 115(5): p. 656-675.

19. Brady WJ, Swart G, De Behnke DJ. The efficacy of atropine in the treatment
of hemodynamically unstable bradycardia and atrioventricular block:
prehospital and emergency department consideration. Elsevier Science
Ireland. 1999; 41: p. 47-55.

20. Rivers E, Nguyent B. Early Goal Directed Therapy in The Treatment of


Severe Sepsis and Septic Shock. NEJM. 2001 November; 345(19): p. 1368-
1377.

Anda mungkin juga menyukai