Anda di halaman 1dari 4

Primitifnya Pasukan Salib (1)

Jumat, 15/04/2011 06:06 WIB | email | print

Perang Salib merupakan salah satu


episode sejarah yang banyak diminati kaum sejarawan dunia. Berbagai kisah dan fakta tentangnya
kian ditelusuri kian menarik perhatian. Salah satu peneliti yang sangat serius dan intens menelusuri
fakta-fakta seputar Perang Salib ini adalah Profesor Carole Hillenbrand. Guru Besar Studi Islam dan
Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Skotlandia, ini telah menghasilkan sebuah karya tulis yang
cukup fenomenal, berjudul The Crusade: Islamic Perspectives (Edinburgh, 1999). Buku
yang tingkat ketebalannya nyaris mencapai seribu halaman ini mendapat penghargaan The King
Faisal International Prize for Islamic Studies.
Yang menarik, beda dengan telusuran sejenis tentang Perang Salib, dengan
jujur peneliti ini memuat juga fragmen-fragmen tentang tingkah laku para
ksatria salib, kaum Frank, semasa mereka menduduki tanah suci Yerusalem
yang benar-benar primitif dan bisa membuat kita geleng-geleng kepala
saking herannya. Banyak yang dipaparkan dalam buku yang telah
diindonesiakan dengan judul Perang Salib, Sudut Pandang Islam (2005)
tersebut, namun karena keterbatasan halaman, sebagian kecil saja yang
akan dimuat dalam artikel berseri ini.
Kesaksian Ibu Jubayr
Ibnu Jubayrs merupakan seorang pengelana asli Spanyol yang terbiasa
menjalin kontak dengan kaum salib di Andalusia. Ketika Godfrey de Bouillon
memimpin pasukan Salib gelombang pertama ke Yerusalem dan berhasil
mendudukinya pada tahun 1099, sejumlah kota dijadikan kantung-kantung
konsentrasi pasukan Salib di antaranya Acre.

Dalam perjalanannya melalui Tanah Suci Yerusalem, Ibnu Jubayr menjumpai


kebiasaan-kebiasaan orang-orang Salib ini, termasuk ksatrianya, yang kala
itu lazim disebut sebagai orang Frank, yang jauh dari kesan beradab
sehingga menimbulkan kecaman, keheranan, dan sekaligus menjadi bahan
olok-olok kaum Muslim terhadap mereka.

Acre merupakan salah satu kota pelabuhan utama menuju Yerusalem.


Hampir semua pasukan Salib yang berangkat dari Eropa utara ke Yerusalem
melalui laut bisa dipastikan mendarat di kota ini. Ibnu Jubayr melukiskan,
Setelah orang-orang Frank datang dan tinggal di kota pelabuhan ini, kota
yang tadinya indah menjadi kotor dan berbau busuk. Penuh sampah dan
kotoran. Mereka (orang-orang Frank) ini membuang kotoran di jalan-jalan
dan di sembarang tempat, sehingga jalan-jalan penuh dengan kotoran
manusia. Tak heran jika surat pertama yang dilayangkan pimpinan pasukan
Salib kepada induk pasukannya yang masih berada di Eropa adalah
permintaan dikirimkan sepatu dalam jumlah besar, karena jalan-jalan penuh
dengan kotoran manusia.

Bukan itu saja, yang lebih menggelikan, kotoran manusia ternyata juga
secara rahasia diolah menjadi bagian dari ritual suci gereja-gereja sekitar
Yerusalem, bahkan diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal
melebihi emas.

Dalam sastra populer, The Tale of Umar ibn Numan yang dimuat dalam Alf
Laylah wa Laylah, yang mengungkapkan pandangan kaum Muslimin
terhadap orang-orang Salib semasa pendudukan di Yerusalem dan
sekitarnya, diungkapkan:
Saya ceritakan padamu sesuatu tentang pedupaan agung dari kotoran
uskup. Ketika Uskup Agung Kristen di Konstantinopel memberi isyarat, para
pendeta segera mengumpulkannya dalam sehelai sutera dan menjemurnya.
Mereka kemudian mencampurkannya dengan minyak misik, damar, dan
kapur barus, dan, ketika telah cukup kering, mereka membuatnya menjadi
bubuk dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak kecil keemasan. Kotak-
kotak ini kemudian dikirimkan kepada semua raja dan gereja Kristen, dan
bubuk tersebut digunakan sebagai pedupaan paling suci untuk semua
penyusian Kristen pada setiap kesempatan yang khidmat, untuk memberkati
mempelai wanita, untuk membuat wangi bayi, dan untuk memberkati para
pendeta saat pentahbisan.

Karena kotoran asli dari uskup itu hampir tidak mencukupi untuk 10 wilayah,
sangat kurang untuk semua wilayah-wilayah Kristen, para pendeta biasanya
memalsukan bubuk tersebut dengan mencampurkan bahan-bahan yang
kurang suci ke dalamnya, kalau bisa dikatakan begitu, yaitu kotoran dari
uskup yang lebih rendah tingkatannya, bahkan kotoran-kotoran para
pendeta itu sendiri.

Penipuan ini sulit diketahui. Orang-orang Yunani menjijikkan ini menghargai


bubuk tersebut untuk kebaikan-kebaikan yang lain: mereka
menggunakannya sebagai obat sakit mata dan sebagai obat sakit perut dan
usus. Namun, hanya para raja dan ratu dan orang-orang yang sangat kaya
yang mampu memperoleh pengobatan ini, karena lantaran persediaan
bahannya yang sangat terbatas, bubuk seberat satu dirham biasa dijual
seharga seribu dinar emas. Harganya sangat mahal memang.

Diketahui pula jika orang-orang Frank ini jarang sekali mandi dan
membersihkan tubuhnya. Di negeri asalnya, mereka biasa membersihkan
tubuh hanya sekali dua kali selama setahun dan mengenakan baju yang itu-
itu saja tanpa pernah mencucinya hingga baju tersebut koyak karena tua.
[bersambung/rizki]

Anda mungkin juga menyukai