Anda di halaman 1dari 69

ACEH

Rumah Aceh atau lazimnya disebut Rumoh Aceh merupakan rumah adat Aceh yang berada
di Provinsi Aceh atau yang dahulu disebut Nanggroe Aceh Darussalam. Ibukotanya berada di
Banda Aceh. Provinsi ini merupakan salah satu daerah istimewa karena diberlakukannya
syariat islam dalam keseharian masyarakatnya. Letaknya di ujung paling barat di pulau
Sumatera dan Negara Indonesia. Provinsi ini hanya berbatasan dengan satu daratan yaitu
dengan Provinsi Sumatera Utara di sebelah selatan, sedangkan sisanya berbatasan dengan laut
yaitu Selat Malaka di sebelah utara dan timur dan Samudra Hindia di sebelah barat.
Aceh adalah provinsi Indonesia yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera. Provinsi Aceh
sering pula lekat dengan gelar Daerah Istimewa karena dalam pemerintahannya, negara telah
menjamin kekhususannya dalam mengatur hukumnya sendiri, terutama yang berkaitan
dengan hukum syariat Islam. Aceh memang erat dengan budaya Islam. Sejarah telah mencatat
bahwa Aceh merupakan pintu masuk bagi penyebaran Islam di Indonesia pada masa silam.
Hal inilah yang menyebabkan budaya Aceh tak bisa dilepaskan dari campur baur antara
budaya Melayu sebagai budaya penduduk aslinya, dan budaya Islam.
Berdasarkan ketinggian rumah dan fungsinya, rumah adat aceh diklasifikasikan menjadi 3
jenis yaitu, Rumoh Aceh, Rumoh Santeut dan Rangkang. Namun yang banyak diketahui
publik hanyalah rumoh aceh sehingga Rumoh Aceh menjadi ciri khas rumah adat Aceh.
Rumoh Aceh memiliki tiang yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua rumah lainnya,
namun memiliki fungsi yang sama dengan Rumoh Santeut yaitu sebagai rumah tinggal.
Sedangkan Rangkang memiliki tinggi yang sama dengan dengan Rumoh Santeut namun
memiliki fungsi sebagai balai pertemuan atau mengaji.
Rumoh Aceh
Rumah Aceh atau Rumoh Aceh dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang berbentuk
rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari timur ke
barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap utara-
selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiang-tiang penopang rumah yang sangat
tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan ketinggian
dasar lantai hingga atap mencapai 8 m. Walaupun memiliki ukuran yang besar salah satu
kehebatan rumoh aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali ijuk, pasak
serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya. Namun
hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200 tahun.
Berikut ini replika gambar rumah aceh yang berada di TMII.

Penggunaan bahan yang berasal dari alam merupakan wujud penghormatan dan pemanfaatan
warga aceh terhadap sumber daya alam yang melimpah disekitarnya serta wujud terimakasih
kepada Allah SWT. Karena bagi masyarakat Aceh perihal membangun rumah tidaklah
sederhana karena pembangunannya diibaratkan membangun kehidupan sehingga diperlukan
upacara adat yang harus dipenuhi sebelum memulai proses pembangunan.

Upacara adat ini melalui tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu upacara adat yang digelar pada
saat diambilnya material bangunan dari hutan. Tahapan kedua yaitu upacara adat saat akan
mulai proses pembangunan, dimana tanggal yang diambil diputuskan oleh Teungku (ulama
setempat). Sedangkan tahapan terakhir yaitu upacara adat yang dilakukan setelah rumah telah
rampung atau pada saat rumah akan ditinggali. Proses pembangunannya pun melalui proses
musyawarah dengan keluarga, masukan dari Teungku dan pembangunannya dilakukan secara
bergotong royong. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya keharmonisan dalam lingkungan
bermasyarakat yang berjalan lurus dengan adat. Adapun aturan penempatan ruang dalam
rumah aceh berperan sebagai lambang ketaatan pada aturan.

Tampak depan rumah yang menghadap utara-selatan pun diterapkan selain untuk
menghindari arah angin yang berpotensi merubuhkan bangunan juga untuk memudahkan
sinar matahari menembus kamar-kamar. Sedangkan posisi bangunan yang menghadap ke arah
barat-timur menggambarkan salah satu penerapan aspek keagamaan masyarakatnya terhadap
tempat tinggalnya. Penerapan lainnya yaitu, pembagian ruangan dan anak tangga yang ganjil
serta disediakannya gentong air untuk membilas kaki sebelum memasuki rumah.

Pembagian ruangan di rumah aceh terdiri atas tiga bagian utama yaitu Ruang depan atau
serambi muka (seuramoe keue) atau (seuramoe reunyeun), Ruang tengah (tungai) dan Ruang
belakang (seramoe likoet). Setiap bagian ini memiliki fungsinya masing-masing bahkan
memiliki pembagian area bagi yang ingin memasukinya, yaitu area yang boleh dimasuki pria
dan wanita dan area khusus wanita saja. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kesopanan kepada
wanita.
Ruang depan atau Seuramoe Keue / Seuramoe Reunyeun
Ruang depan atau Seuramoe Keue / Seuramoe Reunyeun adalah sebuah ruangan luas
memanjang tanpa sekat-sekat yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ruang tamu ini terbuka
bagi siapa saja baik pria maupun wanita. Selain untuk menerima tamu, ruang ini juga
dimanfaatkan sebagai area mengaji dan istirahat anak laki-laki, area pertemuan keluarga, area
makan-makan saat ada upacara pernikahan atau upacara adat lainnya. Pada area barat
diletakkan tikar besar di lantai serta tikar duduk anyaman kecil yang berbentuk segi empat
sebagai tempat duduk para tamu. Di dalam ruangan ini pun terdapat tangga yang
menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah. Jumlah anak tangganya biasanya
bilangan ganjil sekitar 7 atau 9 anak tangga.

Ruang Tengah atau Tungai (Rumoh Inong dan Rumoh Anjoeng)


Ruang Tengah atau tungai merupakan ruang bersekat yang berada di antara ruang depan dan
belakang dan memiliki posisi lebih tinggi setengah meter dari kedua ruang tersebut. Ruang
ini terbagi menjadi dua kamar yang berhadapan yaitu rumah inong atau rumah induk dan
rumah anjoeng. Rumoh inong merupakan kamar tidur yang dipakai oleh kepala keluarga,
sedangkan rumoh anjoeng merupakan kamar tidur yang dipakai anak perempuan. Bila
memiliki lebih dari satu anak perempuan, maka kepala keluarga akan tidur di ruang belakang
selama sbelum dapat membangun ruangan baru yang terpisah. Keunikan ruang inong yaitu
ruang dapat digunakan sebagai tempat pelaminan di acara pernikahan selain itu bagian
lantainya yang terbuat dari papan dapat dibongkar pasang untuk memandikan mayat anggota
keluarga.
Pada ruang tengah ini juga terdapat sebuah gang yang disebut rambat. Rambat ini diapit oleh
rumoh inong dan rumoh anjoeng dan berfungsi sebagai ruang yang menghubungkan ruang
depan dan ruang belakang. Namun akses rambat ini pun terbatas apalagi bila lelaki ingin
melewatinya. Akses hanya diberikan kepada kerabat keluarga yang dekat. Hal ini dilakukan
karena rambat merupakan akses jalan menuju ruang belakang yaitu area khusus wanita.

Ruang Belakang atau Seuramoe Likot


Ruang Belakang atau Seuramoe likot merupakan ruangan yang terletak di belakang dengan
ketinggian lantai yang sama dengan ruang depan dan juga tidak ada sekat sekat. Ruangan ini
digunakan sebagai tempat berkumpulnya penghuni rumah, ruang makan, tempat para wanita
berkegiatan seperti menjahit dan menganyam serta merangkap sebagai dapur. Namun ada
pula yang memisahkan dapurnya di belakang seuramoe likot atau disebut rumoh dapu dengan
posisi lantai yang sedikit lebih rendah. Selain itu di bagian umumnya terdapat loteng yang
dibangun khusus sebagai tempat penyimpanan barang berharga keluarga.

Atap rumah. Kebanyakan atap rumah Aceh adalah atap dengan rabong atau tampong
satu, terletak di bagian atas ruangan tengah yang memanjang dari ujung kiri ke kanan,
sedangkan cucuran atapnya berada di bagian depan dan belakang rumah. Atap rumah Aceh
biasanya dibuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil,
ikatan tersebut namanya mata pijeut. Tulang atap terbuat dari batang bambu yang dibelah-
belah. Atap itu tersusun rapat sehingga susunannya rapi dan tebal.
Selain dari tiga ruangan utama di atas, umumnya rumoh aceh dilengkapi oleh Kroeng Pade
atau lumbung padi untuk menyimpan padi dan juga bale atau balai yang dimanfaatkan
sebagai tempat melepas lelah sejenak. Bangunan ini terpisah dari rumah utama dan biasanya
diletakkan di sekitar rumah.

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh terdiri atas tiang-tiang penopang lantai, tangga, lantai,
dinding, jendela dan atap yang keseluruhannya dibangun tanpa menggunakan paku. Material
yang digunakan yaitu tali pengikat yang berbahan tali ijuk, pasak, rotan dan kulit pohon
waru, papan, enau, kayu dan bamboo.

Banyaknya jumlah tiang penopang di rumah aceh bervariasi tergantung dari berapa banyak
ruangan yang terdapat di dalam rumah atau dari seberapa luas ukuran rumah. Biasanya
masyarakat aceh membangun rumah dengan jumlah tiang sebanyak 16, 18, 22 dan 24.
Namun ada pula yang sanggup membangun dengan jumlah tiang mencapai 40 atau bahkan
80. Jumlah tiang 16 biasanya untuk rumah yang mempunyai tiga ruangan, sedangkan jumlah
tiang 24 untuk rumah yang mempunyai 5 ruangan. Material yang digunakan untuk membuat
tiang ini biasanya dari bahan kayu dan bentuknya bulat dengan diameter kurang lebihnya 20-
35 cm.

Tiang penopang ini diletakkan dengan posisi berjajar sebanyak empat baris dengan jarak
setiap baris sejauh 2,5-4 m. Terdapat dua buah tiang special di dalam barisan tiang ini, yaitu
tameh raja (tiang raja) yang diletakkan di bagian utara dan tameh putrou (tiang putri) yang
diletakkan di bagian selatan.

Adanya tiang menyebabkan terbentuknya ruang kosong di bawah lantai atau kolong yang
lazimnya disebut yup moh. Ruangan kosong ini bermanfaat sebagai pencegah masuknya
binatang buas ke dalam rumah dan untuk menghindari banjir pada masa lampau. Oleh para
penghuni rumah ruangan ini juga dimanfaatkan sebagai penyimpanan perkakas kerja sehari-
sehari seperti alat tumbuk padi (Jeungki) dan sebagai tempat menaruh padi (berandang).
Saking tingginya tiang-tiang ini terkadang yup moh atau kolong ini juga dimanfaatkan para
penghuni rumah sebagai area bermain anak, kegiatan menenun para wanita, bahkan sebagai
kandang sementara binatang peliharaan maupun ternak.

Sebagai rumah panggung, maka diperlukan tangga untuk mencapai rumah utama atau
lazimnya disebut reunyeun. Tangga ini berjumlah ganjil yaitu mulai dari 7 hingga 9 tangga.
Jumlah ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Aceh akan pengaruh jumlah terhadap
rezeki, pertemuan dan juga rumaut. Fungsi lain dari tangga ini juga sebagai palang bagi selain
keluarga atau kerabat dekat terutama bila tidak ada penghuni pria di dalam rumah. sehingga
tangga ini dapat menjadi pengawas dalam hubungan social antar warga.
Berbanding terbalik dengan bangunan yang besar dan juga tinggi, pintu masuk utama rumoh
aceh atau pinto aceh ini sangatlah mungil. Tingginya hanya sekitar 120-150 cm. Hal ini
membuat orang yang hendak masuk otomatis menundukkan kepala agar tidak terbentur.
Konsep ukuran pintu yang mungil ini menggambarkan bahwa siapa pun orang yang hendak
masuk, kaya atau miskin, tua atau muda hendaknya menghormati sang pemilik rumah.
Karena pintu ibarat hati pemilik rumah, perlu upaya untuk memasukinya namun apabila telah
masuk maka akan diterima dengan penuh kebesaran hati tanpa sekat sekat seperti luasnya
bagian dalam rumah. Hal ini sesuai dengan pribadi masyarakat aceh yang menjunjung adat,
yaitu tidak suka menyombongkan diri.

Serupa dengan pinto aceh, jendela rumah aceh pun mungil-mungil, dengan ukuran 0.6x1 m.
Biasanya jendela diletakkan di dinding sebelah barat dan timur yaitu pada rumoh inong dan
rumoh anjoeng serta dua buah jendela berada di bagian depan rumah. Jendela ini hanya
terdapat pada rumoh aceh yang memiliki dinding yang terbuat dari papan. Ada juga sebagian
dinding yang terbuat dari kayu enau.
Sama seperti dinding, material utama lantai pada rumoh aceh adalah papan dan kadang
menggunakan kayu enau. Selain itu terdapat pula bambu yang dimanfaatkan untuk membuat
gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lainnya. Salah satu
keunikan lantai pada rumoh aceh yaitu adanya gap atau celah antar papan sekitar 1cm. Gap
ini menjadi tempat terbuangnya kotoran yang ada di lantai rumah bila disapu.

Begitu banyak keunikan yang ada di rumah aceh, termasuk dengan atap rumahnya. Atap
rumah pada rumah aceh tidak bersifat permanen atau mudah untuk dilepaskan karena hanya
dihubungkan menggunakan tali ijuk. Hal ini dilakukan mengingat bahan dasar atap yaitu
daun rumbia atau daun enau yang rentan terbakar. Untuk mengurangi rambatan api maka tali
ijuk dapat dipotong dan atap dapat dilepaskan.

Bentuk atap pada rumoh aceh merupakan atap dengan rabong atau tampong satu yang
ditempatkan di atas ruang tengah yang direntangkan dari ujung kiri ke kanan dan cucuran
atap ditempatkan di area depan dan belakang rumah. bahan utama penyusun atap adalah daun
rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Daun ini diikat dengan belahan rotan yang tipis
atau lazimnya disebut mata pijeut. Sedangkan bahan utama tulang atap adalah belahan batang
bambu. Karena bagian tengah atap yang berbebntuk rabong menjadikan ruang kosong
dibagian atas ruang tengah dan di bawah atap dimanfaatkan menjadi loteng sebagai tempat
penyimpanan barang.
Rumah adat identik dengan motif motif ukiran yang khas yang tersebar di seluruh bagian
rumah. Begitu pula dengan rumoh aceh. Bentuk ukirannya berupa pola simetris, belah
ketupat, garis silang dan kaligrafi pada bagian tulak angen. Umumnya ukirannya berupa ayat
suci Al Quran, Flora berupa semua bagian bunga dan lainnya, fauna, dan alam.
Rumoh Santeut
Rumoh santeut (datar) atau tampong limong merupakan rumah adat aceh yang biasanya
digunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari masyarakat aceh yang berpenghasilan rendah.
Perbedaan rumoh santeut dengan rumoh aceh terletak pada ketinggian bangunan dan lantai
setiap bagian rumah memiliki ketinggian yang sama, tidak seperti rumoh aceh dimana ruang
tengah lebih tinggi dibandingkan dengan ruang depan dan belakang.
Rumoh santeut dapat juga disebut sebagai versi sederhana dari rumoh aceh. Kolong rumah
hanya setinggi 1,5 m. Material penyusunnya pun sederhana, murah dan banyak
memanfaatkan hasil alam sekitar. Atapnya tersusun dari daun rumbia, dindingnya merupakan
susunan pelepah rumbia, sedangkan lantainya merupakan bamboo belah yang disusun tidak
rapat agar memungkinkan masuknya udara dari bawah sehingga rumah tidak terasa panas.
Kesederhanaan rumoh santeut juga dapat dilihat dari tidak terdapatnya ukiran-ukiran pada
dinding maupun bagian rumah lainnya.
Rumoh santeut memiliki pembagian ruangan seperti pada rumoh aceh dengan tambahan bale
didepan rumah. bagian depan sebagai ruang tamu atau kumpul keluarga, ruang tengah untuk
kamar tidur, dan ruang belakang sebagai gudang dan dapur. Adapun karena terbatasnya
ruangan, ruangan belakang dimanfaatkan juga sebagai kamar tidur dan dibangun ruang
tambahan disamping ruang belakang untuk digunakan sebagai dapur. Kolong rumah
dimanfaatkan sebagai area bersilaturahmi dan berkegiatan dengan para tetangga dan kerabat
maupun para lelaki yang bukan muhrim.

Rangkang
Rangkang berupa rumah panggung yang hanya terdiri dari satu ruangan. Rangkang ini
biasanya dimanfaatkan sebagai tempat melepas lelah bagi petani saat sedang bertani. Material
yang digunakan untuk membuat rangkang juga sangat sederhana yaitu kayu biasa dan daun
rumbia untuk atapnya.
Beberapa nama istilah peralatan rumah Aceh sebagai tempat tinggal yaitu :

No. Indonesia Aceh No. Indonesia Aceh

1 Ambang Tangga/pintu Ampeut 26 Atap Buboung


2 Baji/pasak Bajoe 27 Balok Lantai Lhue
3 Balok Gratan 28 Balok melintang Bara Linteueng
4 Balok menembus bawah Toi 29 Balok panjang melintasi Bara Panyang
tiang rumah tiang utama rumah
5 Balok panjang yang Roe 30 Balok Penghubung Tuleung rueng
disorongkan pada tiang
6 Balok sejajar melintang Indreung 31 tembus cahaya pada atap Ceureumeun
pada belebas beuleubah atau dinding bagian atas
7 Cermin Kaca 32 Bubungan Tampoeng
8 Dudukan dinding Neudue 33 Dudukan belebas Neudue
Binteuh Beuleubaih
9 Dinding Binteuh 34 Dudukan kasau Neudue Gaseue
10 Dudukan pintu NeuduePintoe 35 Ganjal Keunaleueng
11 Jendela Tingkap 36 Kisi-kisi horizontal Pupisang
12 Gantungan pada loteng Titi Mama 37 Kasau bambu penjepit Gaseue Gantung
rumah belebas
13 Kasau dinding atap Gaseue Inong 38 Kasau penopang Gaseue Agam
14 Kasau sepanjang balok Gaseue Agung 39 Kalerai anyaman dari Bleuet
melintang daun kelapa
15 Kisi-kisi Eumpung 40 Gundukan tanah tempat Teunamba
Mirahpati alas tiang
16 Tangga naik dari serambi E-Troen 41 Ornamen berbentuk Tapa catoe
keruang tengah petak catur
17 Palang Kasau Geuguloeng; 42 Papan dinding luar pada Peuneupi
geunuloeng; induk Kasau yang
Peungguloeng dipasak
18 Papan memanjang diatas Keukindang 43 Papan penutup celah Planan
kaca bingkai dinding antara

19 para-para Para 44 Pintu Pintoe


20 Penekan belebas Geuneunton 45 Sambungan tiang/balok Crue ;
Beuleubai lantai Ceuneurue
21 Selasar Seulasa 46 Tangga Reunyeuen
22 Sumbat tiang Tueb Gratan 47 Lantai Aleue
23 Tangka angin Tula Angeun 48 Terali Jeureuja
24 Ujung para-para yang Puteung 49 Tiang penopang Diri
menancap pada tiang bubungan
25 Tiang tengah Rang 50 Tiang Tameuh

Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita dapat
melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang di yakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi
masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang
berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari
papan, dan atapnya dari rumbia.
pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian
rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.
Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku,
rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap
arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk
memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau
belakang yang sakral berada di barat.

Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan
Ka'bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada
penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang
selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari
keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga
untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh,
maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan
berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
1. Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-
Quran;
2. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun,
akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan
ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam.
Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen,
kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat
dan disukai;
4. Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan
awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
5. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adap
tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah
tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya.
Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan
sosialuntuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung).
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal
itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan
melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik
yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan,
dan sebagainya. Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan
bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan
rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat
yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat
terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun
diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata
ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada
aturan. Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak
terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk rumoh
Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat.

Ada juga keunikan lainnya dari rumoh


Aceh, yakni terletak di atapnya. Tali hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri)
mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan
menyerang atap karena bahan dari rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah
hanya perlu memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat
pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.
Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan
rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka'bah (motif keagamaan), tetapi
sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian.
Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap
arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika
arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah
rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar
matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi
barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.
Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga
yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak
masuk rumoh Aceh. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti
rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti
serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan
etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya
berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas
yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat.
Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka "pantang dan tabu" bagi
tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian,
reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-
hari antar masyarakat. Rumoh Aceh Kini Ada salah satu pesantren di Lueng Putu, Kabupaten
Pidie Jaya, yakni Dayah Jeumala Amal yang ternyata sengaja membuat rumoh Aceh di dalam
kompleks gedung-gedung santri, hal ini diyakni menjadi simbol perpaduan nilai-nilai
tradisional dan nilai-nilai modern kontemporer yang masih bisa dijaga sebagai nilai luhur
peninggalan pendahulu. Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan
secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh
Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini.
Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih
untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya
lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya
lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena
kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh
yang ditempelkan pada rumah beton mereka. Saat ini, taksiran untuk membuat rumoh Aceh
memang terbilang mahal, salah seorang utoh (tukang) dari Peukan Pidie, Syafie menuturkan
bahwa membangun rumoh Aceh yang sedang pada masa sekarang bisa berkisar Rp 20 juta,
itu terdiri dari bahan-bahan kayu, atap daun rumbia yang bagus dan semua bagian rumah bisa
menghabiskan uang lebih dari Rp 75 juta. Kalau yang besar, tidak kurang Rp 300 juta, jika
melihat maksud dari yang besar ini tidak lain adalah rumoh Aceh yang memiliki 80 tiang.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan mampu
memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja,
karena perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan
memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang
hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Satu hal lainnya, walaupun ketidakmampuan kita untuk membangun rumoh Aceh seperti
sediakala dulu, paling tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe ini menjadi hak atas
masyarakat Aceh semua. Karena dari setiap pemaknaan rumoh Aceh, setidaknya kita bisa
mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh, dan masyarakatnya.[]

RIAU

Provinsi Riau berada di bagian tengah pulau Sumatera dengan Pekanbaru sebagai ibukotanya.
Batas provinsi Riau di bagian utara yaitu dengan Provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka,
Batas provinsi di bagian Selatan dengan Provinsi Jambi, bagian Barat dibatasi oleh Provinsi
Sumatera Utara dan Sumatera Barat, dan di bagian Timur dibatasi oleh Laut Cina Selatan.
Riau memiliki beberapa rumah adat yang dapat diklasifikan berdasarkan desain atapnya dan
daerahnya. Awalnya pengklasifikasian tersebut menghasilkan empat jenis rumah adat Riau
dengan rumah adat selaso jatuh kembar sebagai rumah adat resmi provinsi riau dan umumnya
disematkan kata rumah melayu, karena masyarakat Riau yang didominasi oleh suku melayu.
Namun selain itu, terdapat juga rumah adat dari suku pedalaman di wilayah Riau, yaitu dari
suku sakai yang disebut umah. Sehingga rumah adat yang terdapat di provinsi Riau terdapat
sebanyak lima jenis. Berikut jenis rumah adat yang berada di provinsi Riau :

1. Rumah Selaso Jatuh Kembar atau Balai Salaso Jatuh


2. Rumah Melayu Atap Limas Potong
3. Rumah Melayu Atap Lipat Kajang
4. Rumah Melayu Atap Lontik
5. Umah Suku Sakai
Perbedaan gaya rumah adat masing-masing daerah dipengaruhi oleh faktor budaya dan
geografis masing-masing daerah dan kabupaten. Namun terdapat pula persamaannya, yaitu
bentuk rumah adat yang berupa rumah panggung dengan tiang sebagai penopang dan arah
rumah yang dibangun menghadap sungai. Hal ini dilakukan karena pemanfaatan sungai oleh
penduduk sebagai mode transportasi pada saat itu.

Secara umum ada 5 (lima) jenis rumah adat Melayu Riau yaitu:

1. Balai Salaso Jatuh atau Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar


2. Rumah Melayu Atap Limas Potong
3. Rumah Melayu Atap Belah Bubung
4. Rumah Melayu Atap Lipat Kajang
5. Rumah Melayu Atap Lontik

1. Balai Salaso Jatuh (Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar)


Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar (https://www.indonesia.go.id)

Balai salaso jatuh disebut juga rumah adat Selaso Jatuh Kembar merupakan bangunan seperti
rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau
rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama
antara lain Balairung Sari, Balai Pengobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan
tersebut kini tinggal beberapa rumah saja, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di
rumah Penghulu, sedangkan yang menyangkut keagamaan dilakukan di masjid.

Ciri ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari
ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun
balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.

Puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini
diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Rumah Melayu Atap Limas Potong


Rumah Melayu Atap Limas Potong (https://jalankemanagitu.wordpress.com)

Limas Potong adalah salah satu bentuk rumah tradisional masyarakat melayu Riau
Kepulauan. Rumah Limas Potong berbentuk rumah panggung, sebagaimana rumah
tradisional di Sumatra pada umumnya. Tingginya sekitar 1,5 meter dari atas permukaan
tanah. Dinding rumah terbuat dari susunan papan warna coklat, sementara atapnya berupa
seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar anjungan depan rumah dicat minyak
warna putih.

Jenis rumah adat melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Kalau di Riau
daratan, rumah tradisionalnya ada Rumah Lontik, dan Rumah Salaso Jatuh Kembar.

3. Rumah Melayu Atap Belah Bubung


Rumah Melayu Atap Bubung (https://shawrites.blogspot.com)

Salah satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah
Bubung. Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung
Melayu. Nama rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya
terbelah. Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama
rumah Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda,
karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan
Limas.

Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya
seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian,
kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama dalam
membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau
tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta,
dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular berenang, meniti riak, riak meniti
kumbang berteduh, habis utang berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran
yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.

4. Rumah Melayu Atap Lipat Kajang


Rumah Melayu Atap Lipat Kajang (https://id.wikipedia.org)

Bangunan rumah melayu Lipat Kajang, yang diambil sesuai dengan bentuk atap bangunan.
Bangunan ini juga sulit ditemui di perkampungan sebagai tempat tinggal warga. Hanya
terlihat pada bangunan perkantoran yang baru dibangun oleh pemerintah dengan konsep
bangunan arsitektur modern. Jensi bangunan rumah adat melayu ini dpat dilihat pada rumah
godang suku di Kenegerian Sentajo, di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan
Singingi, yang hingga kini masih terpelihara. Padahal usia bangunan ini sudah mencapai 2,5
abad.

5. Rumah Melayu Atap Lontik atau Lancang (Kampar)


Rumah Melayu Atap Lontik (https://www.indonesia.go.id)

Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang,
Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau Pencalang
karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang
miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh
bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.
Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke
atas, yang melambangkan bahwa pada awal dan akhir hidup manusia akan kembali kepada
penciptanya.

Rumah lontik yang dapat juga disebut rumah lancang karena rumah ini bentuk, ciri atapnya
melengkung keatas, agak runcing seperti tanduk kerbau. Sedangkan dindingnya miring keluar
dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan
kepada Tuhan dan sesama. Rumah adat lontik diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaan
Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.
Tangga rumah biasanya ganjil.

Rumah Lontiok berfungsi sebagai rumah adat dan rumah tempat tinggal. Dibangun dalam
satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas serta upacara.
1. Rumah Selaso Jatuh Kembar
Rumah adat selaso jatuh kembar merupakan rumah adat resmi provinsi Riau yang
diperkenalkan dan diresmikan oleh Gubernur Riau Imam Munandar sebagai rumah adat
penduduk Riau. Selaso Jatuh Kembar merupakan rumah panggung dengan bangunan yang
sangat besar dan berlantai lebih dari satu. Penamaan selaso jatuh kembar diberikan karena
jumlah selasar (selaso) pada rumah ini yang lebih dari satu (salaso). Sedangkan kata jatuh
disematkan karena posisi selaso dibagian depan memiliki posisi yang lebih rendah (turun)
daripada selaso dalam ruang utama sehingga selaso depan disebut selaso jatuh.

Walaupun dipilih sebagai rumah adat resmi Riau, rumah adat selaso jatuh kembar tidak
digunakan sebagai tempat tinggal masyakarat kala itu, namun dimanfaatkan sebagai balai
adat. Oleh karena itu rumah adat salaso jatuh kembar disebut juga balai selaso jatuh. Sebagai
balai adat, selaso jatuh kembar rutin difungsikan sebagai tempat bermusyawarah, berdiskusi
atau rapat secara adat. Balai selaso jatuh kembar ini sudah sulit ditemukan keberadaannya
karena fungsinya hanya sebagai balai adat kala itu, mulai ditinggalkan penduduknya dan
sering dimanfaatkan sebagai balai serbaguna dan panggilannya dibuat sesuai dengan
pemanfaatannya, diantaranya Balairung Sari, Balai Pengobatan, Balai Kerapatan, dan
lainnya. Replika balai selaso jatuh dapat dilihat juga di taman mini Indonesia indah anjungan
Riau. Namun rumah adat ini hanya memiliki satu selaso depan hingga disebut Balai Selaso
Jatuh Tunggal.
Walau bukan tempat hunian dan berupa balai, rumah selaso jatuh kembar memiliki beberapa
bagian ruangan. 3 bagian utamanya yakni, selasar (selaso), ruang utama dan dapur.
Penyebutan selaso jatuh kembar mengacu pada dua selaso utama yang dimiliki rumah adat ini
dengan ketinggian yang berbeda. Namun pembagian selaso dibagi menjadi tiga area sesuai
dengan posisinya. Pertama, selaso depan yang tidak berhubungan dengan rumah utama yang
berkoneksi dengan tangga dan memiliki ketinggian selaso yang sama dengan selaso jatuh.
Kedua, selaso jatuh sebagai penghubung selaso depan dengan ruang utama dan memiliki
ketinggian lebih rendah dari ruang utama. Sedangkan yang ketiga yakni selaso dalam sebagai
lantai rumah utama.
Namun saat ini jarang ditemui rumah selaso jatuh kembar yang masih mengadopsi
pembagian selasar seperti ini. Kebanyakan hanya terdiri dari dua selasar, yaitu selaso dalam
dan selaso jatuh, itu pun tanpa adanya perbedaan ketinggian.

Ciri rumah selaso jatuh kembar sebagai balai adat adalah adanya ruang utama yaitu berupa
ruangan luas yang terbagi menjadi tiga area namun tanpa sekat pemisah, yaitu ruang muka,
ruang tengah dan ruang dalam. Akan tetapi, saat ini banyak balai selaso yang ruang utamanya
dibagi menjadi beberapa ruangan, diantaranya ruang dengan ukuran besar sebagai ruang
pertemuan, ruang penyimpanan benda adat maupun perlengkapan tari dan alat musik, dan
ruang tidur sebagai tempat peristirahatan sementara. Bagian terakhir yaitu dapur atau telo
yang berada di bagian belakang rumah. walau terdapat perbedaan dalam pembagian ruang,
balai selaso jatuh kembar ini memiliki struktur rumah pada umumnya yaitu memiliki atap,
tiang, jendela, pintu, dinding, lantai, serta tangga karena bentuk bangunannya yang berupa
rumah panggung.

1.1 Atap Selaso Jatuh Kembar


Rumah selaso jatuh kembar identik dengan adanya simbol berupa silangan di perabung atau
ujung atap yang bernama Selembayung yang diambil dari kata Sulo Bayung dan kaki atap
yang bernama disebut Sayok Layangan. Symbol ini menunjukkan kepercayaan para
penduduk melayu terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahan utama atap yang dipakai olah para
penduduk kala itu adalah daun rumbia dan daun pinah yang diikatkan pada tulang bubung
memakai tali rotan. Sedangkan perabung ditancapkan pada atap memakai nibung. Bahan ini
nyaman dan sejuk dipakai karena suhu riau yang sangat panas oleh karna posisinya yang
berada tepat pada garis katulistiwa.

Pada sebagian rumah selaso jatuh kembar terdapat loteng atau langsa dibawah atap rumah
dan paran atau para khusus untuk loteng di daerah dapur. Loteng ini sangatlah yang unik
karena selain menciptakan adanya ruangan kosong, loteng ini hanya dipasang disebagian
rumah saja sedangkan khusus ruang tamu dibiarkan melompong. Hal ini dilakukan untuk
memasang pelaminan bila melangsungkan acara pernikahan dirumah, karena umumnya
pelaminan melayu sangat tinggi. Ruangan kosong ini umumnya dimanfaatkan calon
penganten untuk mencuri lihat pasangannya saat masa pingit tiba ataupun hanya sekedar
mengintip tamu yang bertandang. Oleh karena itu disematkan nama Anjungan Mengintai
pada ruang kosong loteng selaso jatuh kembar ini. Bahan utama dari loteng ini banyak
memakai papan dari Merbau yaitu kayu keras yang tipis dan kuat.

Loteng ini juga dilengkapi lubang-lubang angin yang besar sebagai ventilasi yang disebut
Bidai atau Singap. Umumnya dibuat berundak-undak dengan hiasan cantik. Pada bagian
yang mencuat keluar diberi lantai dan disebut Teban Layer. Bentuk bidai yang digunakan
bervariasi namun selalu simetris seperti segi empat, segi enam, segi delapan dan juga bulat.
Bidai ini dibangun dari kayu sungkai dan selain pada atap, bidai ini juga berada pada pintu
dan jendela. Rumah selaso jatuh kembar ini banyak memiliki ventilasi oleh karena suhu
daerah yang panas sehingga dapat mengurangi hawa panas dalam rumah.

Pada bagian atap terdapat Kasau yaitu kaki kuda-kuda atap dan digunakan sebagai pengikat
atap. Kasau terbagi menjadi kasau jantan yang berada di bagian bawah dan kasau betina
dibagian atas. Selain itu terdapat gulung-gulung berada diantara kasau jantan dan kasau
betina. Gulung-gulung ini berupa persegi yang dipasang sejajar dengan tulang bubung.
1.2 Tiang Selaso Jatuh Kembar
Tiang penopang rumah melayu dipenuhi oleh banyak makna. Baik dari bentuk tiang, jumlah
dan ukirannya. Bentuk tiang terdiri atas beberapa jenis dan tentu saja memiliki makna yaitu,
persegi empat dan delapan yang bermakna arah mata angin agar rejeki dan berkah
mendatangi dari setiap penjuru. Bentuk persegi enam menggambarkan rukun iman sesuai
dengan keyakinan agama penghuni rumah yaitu agama Islam. Bentuk persegi tujuh mewakili
surga dan neraka yang memiliki tujuh tingkatan dan persegi Sembilan atau juga dikenal
dengan sebutan tiang rangkaye, yaitu sebuah tiang yang menggambarkan strata ekonomi
penghuninya.

Rumah selaso kembar memiliki tiang penopang seperti rumah melayu pada umumnya, yaitu
terdapat tiang utama yang terdiri atas tiang seri dan tiang penghulu atau tiang tuo dengan
jarak antar tiang sebesar 3 meter. Tiang utama biasanya berjumlah genap dan memiliki
ketinggian mulai 1 meter hingga sampai 2,5 meter berbanding lurus dengan kondisi geografis
sekitar rumah. Semakin dekat dekat sungai atau laut maka tiang akan semakin tinggi. Kayu
yang digunakan untuk membuat tiang ini umumnya menggunakan kayu keras seperti kayu
Kulim, Tembesu, Resak dan Punak. Namun saat ini banyak rumah adat selaso jatuh kembar
yang memodifikasi material tiangnya dengan batu bata dan semen. Umumnya diaplikasikan
pada bagian tiang kolong agar lebih kokoh.

Tiang-tiang ini tidak memiliki sambungan hingga ke ujung atas tiang dan tiang-tiang ini
dikunci menggunakan tutup tiang. Terdapat dua jenis tutup tiang yang digunakan, yaitu
tutup tiang panjang untuk mengunci tiang seri, dan tutup tiang pendek untuk mengunci
tiang lainnya. Pada tiang terdapat pasak berbentuk persegi yang menembus tiang yang
disebut rasuk atau gelegar dan direkatkan oleh jenang. Terdapat dua jenis rasuk atau
gelegar yaitu, Rasuk Induk yang berukuran besar dan Rasuk Anak yang berukuran kecil.
Untuk menguhubungkan antar Jenang digunakan kayu-kayu yang disebut Sento atau anak
Jenang dengan ukuran lebih kecil dari Jenang. Cara menghubungkannya dengan memahat
Sento kedalam Jenang.
1.3 Dinding Selaso Jatuh Kembar
Dinding rumah selaso jatuh kembar kala itu bahan utamanya menggunakan papan yang
berasal dari kayu kualitas tinggi seperti kayu meranti, kayu punak, atau kayu medang. Papan
untuk dinding ini dibuat tegak lurus dengan lantai, walaupun umumnya rumah melayu
memasang dinding dengan posisi sedikit miring. Pemasangan dinding pada rumah ini
menggunakan teknik Lidah Pian, yaitu papan disusun rapat dan berhimpit memakai kayu
keras dan tidak berserabut. Tapi sekarang ini umumnya dinding rumah selaso jatuh kembar
menggunakan batu bata dan semen.

1.4 Pintu Selaso Jatuh Kembar


Pintu pada selaso jatuh kembar dinamakan juga Ambang atau Lawang. Bentuknya berupa
persegi panjang dengan daun pintu berbentuk ram atau separuh ram. Seperti pada umumnya
rumah melayu, pintu terbagi menjadi dua macam, yaitu pintu yang mengkoneksikan area luar
dan area dalam serta pintu yang berada di area dalam rumah. Sebutan unik disematkan juga
kepada pintu yang berada di area dalam rumah sebagai penghubung setiap kamar. Pintu ini
disebut pintu Malim atau pintu Curi karena digunakan sebagai jalan pribadi bila ada tamu
sehingga penghuni rumah tidak terlihat bolak-balik di hadapan tamu. Bahan utama pintu ini
menggunakan kayu pilihan seperti punak dan tembesu. Pada pintu juga dipasang lobang
angin pada bagian atas dan bagian bawah dipasang kisi-kisi.

1.5 Jendela Selaso Jatuh Kembar


Jendela atau tingkap atau pelinguk dalam bahasa melayu yang dimiliki rumah selaso jatuh
tunggal memiliki keunikan tersendiri, yaitu bentuk dan ukurannya yang mirip dengan pintu.
Ukurannya sedikit lebih kecil dan pendek dari pintu dan terdiri dari satu atau dua daun.
Biasanya, seperti loteng dan pintu, pada jendela juga terdapat lobang angin atau bidai, namun
ada pula yang tidak memakai bidai di atas jendela karena desain jendela yang berbentuk
ukiran sehingga terdapat celah angin sebagai tempat masuk dan keluarnya udara. Ukuran
jendela dalam satu rumah pun beragam tergantung ketinggian dinding. Biasanya jendela di
ruang utama lebih tinggi daripada jendela lainnya.

1.6 Lantai selaso jatuh kembar


Terdapat dua teknik pemasangan lantai yang digunakan di dalam rumah selaso jatuh kembar
yaitu pemasangan lantai dengan posisi rapat pada bangunan utama dan pemasangan dengan
posisi jarang pada area belakang dan dapur. Lantai bangunan utama umumnya menggunakan
kayu meranti, medang, atau punak sebagai material utamanya dan diketam dengan lebar
antara 20 sampai dengan 30 cm. Sedangkan area belakang dan dapur menggunakan kayu
nibung yang lebih tahan air.

Pola penyusunan lantai dibuat sejajar dengan Rasuk dan melintang diatas Gelegar dan
ujungnya dibatasi oleh Bendul. Bendul adalah batas ruang dan batas lantai yang terbuat dari
kayu dan tidak boleh bersambung karena digunakan sebagai penguat dan pengikat pada ujung
lantai. Rasio tinggi lantai terhadap tinggi tiang digunakan untuk menentukan ketinggian
lantai. Umumnya menggunakan rasio 20 hingga 60 cm.

1.7 Tangga Selaso Jatuh Kembar


Tangga rumah selaso jatuh kembar berada di bagian paling depan rumah. Pada berbagai
ketinggian tangga umumnya jumlah anak tangga biasanya berjumlah ganjil dan tangga ini
dilengkapi dengan tiang tangga dengan bentuk persegi atau bulat dan juga tangan tangga
yang dipenuhi dengan ornament-ornamen. Bentuknya mengikuti umumnya rumah melayu
yaitu semakin ke bawah tangga semakin melengkung dan melebar. Bahan utama membuat
anak tangga dan tangan tangga biasanya kayu Nibung atau kayu keras agar kuat terhadap
serangan cuaca, karena air pasang atau musim penghujan dapat menyebabkan meluapnya
sungai dan terendamnya anak tangga. Namun tangga rumah selaso jatuh kembar yang ada
sekarang ini hanya ada yang terbuat dari batu bata dan semen namun untuk mempertahankan
cirinya, pada bagian luar tangga terdapat ukiran-ukiran yang semakin memperindah tangga.
1.8 Kolong Rumah Selaso Jatuh Kembar
Bentuk rumah selaso jatuh kembar yang berupa rumah panggung akan memberikan adanya
ruangan kosong dibawah lantai rumah atau biasa disebut kolong. Adanya kolong difungsikan
untuk menghindari masuknya air ke dalam rumah karena letak rumah kala itu yang posisinya
dekat sungai sehingga mudah banjir bila masuk musim penghujan. Pada musim kemarau
kolong rumah ini difungsikan sebagai tempat menyimpan kayu bakar, tempat menyimpan dan
reparasi perahu atau sampan. Namun saat ini umumnya bagian kolong rumah diberi penyekat
dan dimanfaatkan menjadi ruang serbaguna.
1.9 Ornamen dan Corak Hiasan Rumah Selaso Jatuh Kembar
Rumah selaso jatuh kembar dihiasi oleh berbagai ornament, mulai dari kepala atau atap
hingga ke kaki atau tiang. Ornament-ornamen tersebut di hiasi dengan corak-orak khas
melayu dimana setiap ukiran memiliki arti tertentu. Terdapat beberapa ornament utama yang
terdapat pada rumah selaso jatuh kembar yaitu Selembayung, Lambai-lambai, Klik-klik,
Kuda Berlari dan Sayok Layang

1. Selembayung
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, selembayung ini terdapat di bagian ujung perabung
rumah.

2. Lambai lambai
Lambai-lambai merupakan ornamen yang terdapat di sisi atas pintu dan jendela. Adanya
lambai-lambai ini sebagai lambang keramah-tamahan pemilik rumah.

3. Klik-Klik
Sebutan lain klik klik adalah kisi-kisi dan jerajak. Ornament ini biasnya dipasang pada
jendela dan pagar.

4. Kuda Berlari
Kuda berlari adalah ornament yang diletakkan sepanjang perabung rumah. namun ornament
ini sudah tak banyak dipasang. Pemasangan hanya untuk perabung istana atau balai tertentu.

5. Selok Layang
Selok layang atau sayap atau layang-layangan merupakan ornament yang berada di keempat
sudut cucuran atap dengan bentuk hampir menyerupai selembayung. Selembayung dan Selok
Layang merupakan satu paket ornament yang pasti ada pada rumah selaso jatuh kembar.
Posisi penempatan selok layang pada empat sudut merupakan symbol empat pintu hakiki,
yaitu pintu rizki, pintu hati, pintu budi, dan pintu Ilahi. Sedangkan sayap layang sebagai
symbol kebebasan, namun dengan mengetahui batasan serta tahu diri.
1.10 Ukiran Rumah Selaso Jatuh Kembar
Ornamen-ornamen yang terdapat di rumah selaso jatuh kembar selalu dihiasi dengan berbagai
macam corak ukiran yang indah namun sarat makna. Berikut ini berbagai jenis corak ukiran
yang biasa menghiasi rumah selaso jatuh kembar.

1. Itik sekawan (itik pulang petang)


Corak ini menggambarkan barisan itik yang berjalan bersama-sama menuju ke kandang.
Corak ini memiliki makna sebagai panutan bagi manuasia agar selalu hidup berdampingan,
selaras, damai, kompak dan bersama-sama.
2. Pucuk Rebung
Corak pucuk rebung ini menggambarkan bagian atas atau pucuk dari tunas bambu yang
tumbuh meruncing yang menyerupai alam. Terdapat beberapa jenis corak pucuk rebung ini
dengan makna yang berbeda-beda, yaitu

Pucuk Rebung Bertunas yang bermakna hilangnya lapar dan dahaga sehingga
permasalahan bisa selesai.

Pucuk Rebung Sekuntum yang bermakna duduk bersama-sama untuk berdiskusi dan
bermusyawarah untuk mencapai mufakat.

Pucuk Rebung Kaluk Paku yang bermakna agar selalu bergotong royong dan saling
membantu

Pucuk Rebung Sirih Tunggal yang bermakna sebagai penghalang celaka dan sial

3. Lebah Bergantung (Ombak-ombak)


Hiasan ini menggambarkan sarang lebah yang bergantungan di dahan pohon. Biasanya
terdapat di bawah cucuran atap dan kadang kala di bawah anak tangga. Corak ini mempunyai
makna jadilah orang yang dapat memberi manfaat untuk orang lain dengan yang kita miliki,
seperti lebah yang memakan makanan yang bersih untuk kemudian menghasilkan madu yang
bermanfaat bagi semua orang.
4. Semut Beriring
Corak ini menggambarkan barisan semut yang berjalan beriringan. Corak ini memiliki makna
agar manusia dapat mengikuti sifat semut yang rukun, tolong-menolong, rajin, dan teguh
pendirian.

5. Awan Larat
Awan larat menggambarkan rangkaian dari motif yang sama yang berjejer dan tersusun rapi
serta berdampingan dan berhubungan satu dengan lainnya. Corak ini digunakan sebagai
symbol agar selalu mudah mendapatkan rejeki.

Masih banyak corak yang digunakan dalam rumah selaso jatuh kembar selain yang
dipaparkan diatas. Ada corak geometri seperti lingkaran, wajik, kubus dan lainnya. Selain itu
sebagai daerah yang kental dengan nuansa keagamaan, terdapat pula penggunaan corak
kaligrafi yang berasal dari Al-Quran.

NIAS

Walaupun masyarakat Nias masih mengakui hanya satu suku yaitu suku Nias, dengan satu
leluhur bernama Hia, berdasarkan mitos-mitos lama, dulu diturunkan dari langit di daerah
Sifalag-Gomo (kini termasuk Kabupaten Nias Selatan), namun pada kenyataannya Nias
memiliki beraneka-ragam budaya dan tradisi yang berbeda-beda di setiap wilayah, sehingga
ada ungkapan populer B mbanua b mbw. (Setiap desa memiliki tradisi yang
berbeda). Keanekaragaman tersebut dapat pula dilihat dari bentuk rumah tradisional yang
sangat agung dan memiliki gaya arsitektur yang sempurna, sehingga tetap bertahan pada saat
terjadinya gempa padahal tidak memakai bahan dari besi.Rumah tradisional (Omo Niha/Omo
Hada/Omo Sebua) di Nias selalu berbeda di setiap wilayah. Omo Hada Laraga di seluruh
wilayah Nias Utara berbentuk bulat lonjong atau elips (oval). Rumah-rumah di Nias Tengah
memperlihatkan banyak variasi. Ada yang berbentuk persegi empat (kuadrat), ada yang
memanjang ke belakang, tetapi pada umumnya lebih rustikal dengan banyak hiasan. Rumah
tradisional di Nias Selatan bentuknya memanjang ke belakang bagaikan bentuk kapal.
Pengerjaannya lebih halus, cermat dan sempurna. Semua rumah tradisional Nias, bahan
dasarnya adalah kayu tanpa menggunakan paku besi.Rumah di Nias Selatan selalu didirikan
tidak tersendiri, melainkan dalam konteks kampung Banua, di mana rumah-rumah berjejer
sangat berdekatan dalam dua baris. Rumah-rumah merupakan bagian integral kampung
secara umum, sehingga bentuknya persegi empat, memanjang ke belakang.

Rumah utara berdiri sendiri dan berbentuk oval menunjukan harmoni di dalam setiap
keluarga dan bukan dalam konteks kampung. Rumah Gomo yang berbentuk persegi empat
melebar merupakan gaya arsitektur antara hampir oval tapi melebar membentuk segi.Karena
rumah Utara dan Gomo cenderung berdiri sendiri (individualistis) dalam pola tunggal, maka
memberi kemungkinan untuk bisa dilebarkan dan dikembangkan. Selain itu, ada beberapa
perbedaan kultur Nias Utara, Tengah dan Selatan, antara lain:

bahasa;

karakter masyarakat;

sistem, prosedur dan istilah-istilah dalam proses perkawinan;

cara pelantunan Hoho (puisi);

cara meminta permisi pada saat makan;

sistem dan prosedur penguburan bangsawan (Siulu, Balugu, Tuhenri);

pembagian dan penyajian daging babi sebagai makanan penghormatan secara adat;

sistem musyawarah resmi (Orahu);


takaran beras dan gabah;

istilah sebutan ukuran besarnya babi;

pola perkampungan;

cara memikul beban berat;

tradisi berjabat tangan (bersalaman) pada saat baru bertemu atau mau berpisah, tidak
populer di Nias Selatan terutama di Telukdalam;

sapaan salam (selamat) Yaahowu kurang populer di Nias Selatan (Telukdalam) dan
dapat disebut sebagai budaya baru yang terimbas dari wilayah Nias lain ke Selatan;

tari-tarian tradisional yang berbeda-beda pada setiap wilayah;

tradisi lompat batu (Fahombo batu) yang hanya ada di Telukdalam, Nias Selatan;

upacara pembaharuan dan pengesahan hukum. Di Nias Selatan diwujudkan dalam


upacara Famat Harimao dan Famadaya Saembu. Sementara di Utara, Barat dan
Tengah diwujudkan dalam upacara Fondrak.

Perbedaan-perbedaan dalam kultur tersebut telah memunculkan pandangan baru di kalangan


para peneliti, budayawan dan tokoh masyarakat Nias modern tentang asal-usul leluhur
masyarakat Nias. Pandangan lama yang mengakui bahwa leluhur masyarakat Nias hanya satu
yaitu Hia, yang dulu mendiami wilayah Gomo mulai bergeser dan menyelidiki
kemungkinan adanya beberapa leluhur utama masyarakat Nias (Hia, Gz, Daeli,
Luomewna, dll) dengan waktu kedatangan yang berbeda pula.

Sebab itu rumah adat sebagai hasil budaya masyarakat Nias sangat penting dilestarikan
sebagai pusaka, bahan studi dan sumber inspirasi mengenai sejarah dan kebudayaan Nias
yang beragam.

Beberapa Jenis Rumah Adat Nias, sebagai berikut:


Jenis I, Nama Rumah Adat : Omo Nifolasara
Asal : Bawmataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Miniature
Deskripsi:
Rumah jenis ini disebut Omo Nifolasara karena tiga buah ukiran kayu seperti kepala monster
(Hg lasara) telah dipasang di bagian depannya. Ini merupakan miniatur dari rumah
Nifolasara yang ada di desa Bawmataluo. Lebar 1 m, panjang 3 m dan tinggi 3 m.
Perbedaannya dari rumah lain adalah:

pintu masuk berada di bawah kolong rumah. Artinya siapapun yang hendak memasuki
rumah tersebut harus tunduk-hormat kepada pemilik rumah;

ada ruangan khusus (pribadi) bangsawan di dalamnya (Malige). Terletak di bagian


atas antara ruangan bagian depan (Tawolo) dan ruangan bagian belakang (Frma).
Kegunaan ruangan ini yaitu tempat bangsawan bersemadi dan sekaligus sebagai
tempat untuk mengintip orang-orang yang hadir dalam musyawarah, sebelum sidang
dimulai;

dahulu kala, dalam setiap desa, rumah jenis ini hanya ada satu dan hanya dimiliki oleh
bangsawan (Siulu) yang berkuasa. Sekarang ini, rumah besar seperti ini tinggal
empat buah, yaitu: di desa Bawmataluo, Hilinawal-Fau, Onohondr dan
Hilinawal-Mazin.

Masyarakat Nias dewasa ini tidak sanggup lagi mendirikan Omo Nifolasara, bahkan
pemeliharaan ke-empat rumah yang masih ada, membutuhkan subsidi.

Tidak berlanjutnya pembuatan Omo Nifolasara pada masa kini, karena kesulitan mendapat
kayu-kayu besar. Atapnya yang dibuat dari daun rumbia (Bulu zaku), juga sangat sulit
diperoleh karena hutan-hutan di Nias telah dirusak dan dirambah. Pendirian rumah ini juga
memerlukan biaya besar, bukan saja karena harga bahannya, tetapi juga karena biaya proses
pembuatannya lebih mahal, di mana pemilik rumah harus melakukan pesta adat pada setiap
tahap pembuatan bagian dari rumah tersebut. Umpamanya: Tahap perencanaan, pengumpulan
bahan kayu untuk tiang dll, pendirian tiang (Ehomo), pemasangan kedua balok panjang
(Sikhli), pemasangan dane-dane (balok panjang sebagai tempat duduk di bagian depan),
pemasangan kedua balok penutup bagian atas dari pada dinding (Lag-lag), pemasangan
bubungan (Mbumbu), pengatapan dan peresmian. Pada setiap pesta dan setiap tahapan
penyelesaian rumah ini selalu dilakukan pesta dengan menyembelih beberapa ekor babi
dengan ukuran besar yang sudah ditentukan. Selain kesulitan bahan dan biaya proses
penyelesaian, semangat gotong-royong untuk saling membantu dan bekerja sama di antara
masyarakat juga sudah memudar. Oleh karena alasan modernisasi, masyarakat zaman kini
menjadi pribadi yang individualistis.
Jenis II Nama Rumah Adat : Omo Tuho
Asal : Nias Selatan

Deskripsi :
Rumah adat seperti ini disebut Omo Tuho. Bentuk dasarnya sama dengan Omo Nifolasara
tetapi tidak diberikan ukiran kepala monster (Lasara) di depannya. Jalan masuk masih berada
di bawah, tetapi tidak ada ruangan khusus (ruangan pribadi). Biasanya hanya dimiliki oleh
penduduk asli (Sowanua).
Jenis III, Nama Rumah Adat : Omo Sala
Asal : Onohondr, Telukdalam

Deskripsi :
Rumah adat seperti ini disebut Omo Sala. Bentuk dasarnya sama dengan Omo Tuho tetapi
tidak diberikan ukiran kepala monster (Lasara) di depannya. Jalan masuknya disebelah
samping. Ini meng-gambarkan bahwa pemilik rumah adalah masyarakat biasa (Siila dan
Sato) yang tidak harus dihormati secara istimewa. Tidak ada ruangan pribadi Malige di
dalamnya. Rumah jenis ini masih banyak dijumpai di desa-desa tradisional di wilayah
Telukdalam, Nias Selatan.

Jenis IV, Nama Rumah Adat : Omo hada / Omo hada niha yu
Asal : Nias Utara, Nias Barat

Deskripsi :
Rumah adat seperti ini disebut Omo Laraga atau Omo hada niha yu. Bentuknya oval. Terdiri
atas dua bagian, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang. Rumah seperti ini masih
dijumpai di Nias Utara dan Nias Barat. Rumah ini bisa dimiliki oleh siapa saja tanpa
membedakan kelas masyarakat, namun mutlak perlu modal besar.
Jenis V, Nama Rumah Adat : Omo Hada / Omo Sebua
Asal : Tgizita, Nias Tengah

Deskripsi :
Rumah adat seperti ini tidak diberi nama khusus, hanya disebut Omo Hada. Rumah seperti
ini, dulu terdapat di desa Tgizita, Nias Tengah. Didirikan oleh seorang bapak yang memiliki
4 putra sebelum perang dunia kedua. Mereka tinggal bersama di dalam rumah tersebut
semasih ayah mereka hidup, karena itu rumah ini dibuat lebih lebar dan panjang. Namun,
seperti biasa di dunia, kesatuan dan keharmonisan tidak terjamin kalau banyak orang atau
keluarga tinggal dalam satu rumah. Selagi orang tua hidup masih bisa, tetapi sesudahnya
muncul konflik di antara bersaudara. Karena itu rumah tidak dipelihara lagi dan akhirnya
dibongkar sekitar tahun 1965.
Jenis VI, Nama Rumah Adat : Omo Hada / Omo Sebua
Asal : Hililaora, Lahusa

Deskripsi :
Rumah adat seperti ini tidak diberi nama khusus, hanya disebut Omo Hada atau Omo Sebua.
Bentuknya agak mirip dengan rumah adat di Nias Selatan. Keistimewaan rumah adat di
kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo, Nias Tengah yaitu: kokoh, rustikal dan di bagian
depan banyak ukiran, misalnya Hulu dan Bal Hulu.
Jenis VII : Omo Hada
Asal : Balhili, Gomo

Deskripsi :.
Rumah adat seperti ini tidak diberi nama khusus, hanya disebut Omo Hada atau Omo Sebua.
Inilah satu-satunya rumah adat besar yang masih tinggal di ri Ulu Gomo dan merupakan
prototip yang kemudian dikembangkan di Telukdalam.

Bila kita membicarakan arsitektur tradisional di pulau Nias maka kita tidak bisa
terlepas dari apa yang dinamakan rumah tradisional Nias. Rumah tradisional Nias dapat
dibedakan atas 3 (tiga) tipe rumah adat sesuai dengan penelitian yang diadakan Oleh Alain
M. Viaro Arlette Ziegler yang didasarkan pada bentuk atap dan denah lantai bangunan. Ketiga
tipe tersebut adalah[1] :
1. Tipe Nias Utara

Bentuk atap bulat ; bentuk denah oval

2. Tipe Nias Tengah

Bentuk atap bulat ; bentuk denah segi empat

3. Tipe Nias Selatan

Bentuk atap segi empat ; bentuk denah persegi

Berdasarkan judul yang dibahas yaitu Kantor Bupati Nias Utara, maka dalam hal ini
ciri arsitektur Nias Utara menjadi unsur arsitektur utama sebagai dasar perancangan.

Ciri khas rumah Tradisional Nias Utara :[2]


1. Bentuk dasar elips atau oval;
2. Lebar rumah 10 meter, panjang 15 meter, tinggi 9-13 meter;
3. Pintu masuk dari sebelah bawah. Sisi depan dan belakang agak lurus;
4. Jarak antara tiang-tiang rumah tidak selalu sama;
5. Jarak antara dua barisan tiang di depan lebih lebar ; orang bisa berjalan di tengah;
6. Jarak antara tiang-tiang di belakang lebih rapat; beban rumah di lebih besar;
7. 8 lembar papan Siloto (seloto) melintang di atas 62 tiang dari muka ke belakang;
8. 1 Siloto di ujung kiri dan 1 di ujung kanan @ 6 tiang : 2 x 6 = 12 tiang;
9. 2 Siloto berikut sebelah kiri dan kanan @ 8 tiang : 4 x 8 = 32 tiang ;
10. 2 Siloto di pertengahan rumah @ 9 tiang : 2 x 9 = 18 tiang;
11. Jumlah tiang (diluar tiang-tiang penunjang) 12 + 32 + 18 = 62 tiang

[1] Oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler Traditional Architecture of Nias Island

[2] Idem

Gambar 1 : Denah Rumah Tradisional Nias Utara


Gambar 2 : Denah Perletakan Kolom Rumah Tradisional Nias Utara

Gambar 3 : Potongan Memanjang Rumah Tradisional Nias Utara

Gambar 4 : Potongan Melintang Rumah Tradisional Nias Utara


Gambar 5 : Tampak Depan Rumah Tradisional Nias Utara

Gambar 6 : Tampak Samping Rumah Tradisional Nias Utara


Gambar 7 : Isometri Struktur Rumah Tradisional Nias Utara

1.2. Pola Perkampungan

Pola kampungan Nias Utara

Bentuk linier (gang)

Masa bangunan terpisah satu sama lain

Gerbang tidak begitu jelas

Halaman terdiri dari tanah yang diperkeras

Gambar 8 : Pola perkampungan Nias Utara


Pada pola kampung tersebut selalu berorientasi ke arah utara selatan, sedangkan
gerbangnya berada pada arah timur barat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Nias
telah mengetahui cara penempatan bangunan yang baik dengan berpedoman pada cuaca atau
iklim. Dalam pengertian mereka bahwa arah terbitnya matahari disebut raya dan arah
terbenamnya you.

1.3. Kosmologi Masyarakat Nias

Dalam masyarakat Nias sebelum masuknya agama menganut kepercayaan akan


adanya 3 (tiga) dunia, yakni :

Dunia atas atau dunia leluhur;

Dunia manusia dan

Dunia bawah.

Kosmologi masyarakat Nias ini merupakan gambaran pandangan dari masyarakat tentang
asal-usul nenek moyang suku Nias yang berasal dari Teteholi Anaa (langit) yang diturunkan
ke bumi di puncak gunung sekarang di kenal dengan nama Boro Nadu, yang berada di
Kecamatan Gmo Kabupaten Nias Selatan.

Pengaruh Kosmologi ini terlihat jelas dalam bentuk arsitektur tradisional Nias, baik
itu dalam bentuk rumah adatnya maupun dalam pola perkampungan. Dalam bentuk rumah
adat, masyarakat Nias menepatkan bagian atas dari pada bangunannya sebagai tempat yang
paling dihormati (disucikan).

Dalam pola perkampungan, semakin tinggi letak kampung berada, semakin dekat dengan
dunia atas, yang berarti semakin aman dan sejahtera kampung tersebut.

Gambar 9 : Kosmologi masyarakat Nias


Dunia atas, dunia manusia dan dunia bawah digambarkan oleh masyarakat Nias dalam bentuk
perkampungannya. Gambaran Teteholi Anaa (langit) diperlihatkan dengan gerbang atau
jalan menuju ke kampung.
Filosofi

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa
aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha =
manusia) dan pulau Nias sebagai "Tan Niha" (Tan = tanah). Suku Nias adalah masyarakat
yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias
secara umum disebut fondrak yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran
sampai kematian. Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan
kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu
melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor
ternak babi selama berhari-hari.

Bengkulu

Provinsi Bengkulu terletak di Pulau Sumatera bagian barat daya. Ia berbatasan dengan
Sumatera Barat, Jambi di sebelah timur dan Lampung di arah selatan. Bengkulu dikenal
dalam beragam nama antara lain Bengkulen, Benkoelen, Bencoolen dan juga Bangkahulu.
Dahulu, wilayah ini pernah dihuni banyak kerajaan antara lain Kerajaan Selebar, Kerajaan
Sungai Serut, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Marau Riang dan
masih banyak lagi lainnya. Mungkin karena alasan inilah, Bengkulu kemudian kental dengan
budaya. Salah satu fitur seni yang bisa dinikmati di tempat ini adalah rumah tradisional. Sama
seperti wilayah lainnya, juga menyimpan falsafah hidup masyarakat setempat.

Rumah Adat Bubungan Lima

Rumah Adat Bubungan Lima (https://kebudayaanindonesia.net)

Rumah adat Bengkulu bernama Bubungan Lima. Secara umum, bangunan ini tergolong
rumah panggung. Sejatinya, nama Bubungan Lima melekat bukan tanpa alasan. Ia merujuk
pada atap rumah tersebut. Selain disebut dengan Bubungan Lima, rumah adat Bengkulu ini
juga terkadang dikenal dengan nama Bubungan Haji Bubungan Limas, dan juga
Bubungan Jembatan.
Rumah apik nan cantik ini umumnya terbuat dari kayu medang kemuning atau dikenal juga
dengan nama balam. Kayu ini dipilih sebab karakternya lembut namun ia tahan lama bahkan
hingga ratusan tahun. Adapun bagian lantai rumah Bubungan Lima ini terbuat dari papan,.
Bagian atapnya disusun dari ijuk enau bisa juga sirap. Bagian depan rumah terdapat tangga.
Anak tangga ini berjumlah ganjil sebab berkaitan dengan adat dan kepercayaan setempat.

Jika didasarkan pada literatur yang ada, sebenarnya, rumah adat Bengkulu ini tidak ditujukan
untuk tempat tinggal umum. Rumah Bubungan Lima memiliki fungsi khusus yakni sebagai
tempat dilaksanakannya berbgai ritual adat seperti kelahiran, penyambutan tamu, perkawinan,
dan juga kematian.

Bagian-Bagian Rumah Bubungan Lima

Secara umum, rumah bubungan lima ini terdiri atas:

1. Bagian atas, yakni atap yang terbuat dari ijuk, seng namun terkadang juga bambu.
Bubungan yang dibuat dalam beragam bentuk. Pecu atau plafon yang terbuat dari papan bisa
juga pelupuh. Peran, yakni balok-balok di bagian atas, fungsinya adalah untuk
menghubungkan tiang di bagian atas rumah. Kap, atau kerangka tempat kasau menempel.
Kasau sendiri berfungsi untuk mendasi reng. Sementara reng berperan sebagai tempat atap
menempel. Bagian atas rumah Bubungan Lima selanjutnya adalah listplang, sayuk dan
penyunting.

2. Bagian tengah rumah terdiri atas, kusen atau kerangka pintu juga jendela. Dinding yang
lazim terbuat dari papan juga pelupuh. Jendela dalam bentuk ram atau biasa. Pintu yang juga
bisa dijumpai dalam bentuk ram atau biasa. Tulusi atau lubang angin, lazimnya berada di atas
pintu juga jendela. Ia dibuat dalam beragam jenis lengkap dengan hiasan. Tiang penjuru.
Piangung atau tiang pengjuru halaman. Tiang tengah. Dan terakhir adalah bendok, yakni
balok yang melintang di sepanjang dinding.

3. Bagian bawah rumah bubungan lima antara lain lantai yang tersusun dari papan, pelupuh
dan juga bambu. Geladan yang terdiri atas 8 papan dim, lebarnya 50 cm, ia dipasang di
sepanjang dinding luar di atas balok. Kijing, merupakan penutup balok yang ada di pinggir
luar, ia ada di sepanjang dinding rumah. Tilan, yakni balok sedang dengan fungsi sebagai
tempat menempelnya lantai. Balok besar yakni kerangka besar tempat lantai. Blandar, yakni
penahan talian, bagian ini dipasang melintang. Bedu, balok di bagian ats tempat rel
menempel. Bidai, dibuat dari bambu tebal dan dipasang melintang di papan lantai. Tujuannya
untuk mempertahankan dari serangan musuh dari arah bawah rumah. Peluph kamar tidur,
disusun sejajar dengan papan lantai atau di atas bidai. Lapik tiang, yakni batu pondasi di tiap
tiang rumah. Tangga depan juga tangga belakang.

Susunan Rumah Bubungan Lima dan Fungsinya

Jika didasarkan pada fungsi, maka susunan rumah adat Bengkulu ini, sebagai berikut:

1. Berendo, yakni tempat untuk menerima tetamu yang kita kenal. Dan tamu tersebut hanya
menyampaikan pesan singkat dan tidak bertamu dalam durasi yang lama. Berendo ini juga
digunakan untuk bersantai di pagi dan sore hari. Kadang ia juga digunakan anak-anak sebagai
tempat bermain.
2. Hall, adalah ruang untuk menerima tetamu yang kita sudah kenal dengan baik. Ia bisa juga
kerabat atau tokoh yang disegani. Selain itu, hall ini juga umum dipakai sebgai tempat untuk
bercengkrama bersama dengan keluarga utamanya di malah hari. Kadang juga ia
dimanfaatkan sebagai tempat belajar anak-anak dan tempat untuk bermufakat.

3. Bilik Gedang. Ruangan ini disebut juga dengan nama bilik induk. Ia merupkan ruangan
tempat tidur bagi suami dan istri juga anak kecil yang belum disapih.

4. Bilik Gadis. Ruangan ini digunakan sebagai tempat untuk si gadis dalam keluarga.
Ruangan ini umumnya berada di dekat bilik gedang demi alasan keamanan.

5. Ruang tengah. Bagian yang satu ini lazim dikosongkan dari berbagai macam perabot
rumah. Bagian sudutnya dilengkapi dengan tikar sebab memang fungsi utamanya adalah
tempat unutuk menerima tamu untuk si ibu rumah tangga, atau juga keluarga dekat si gadis.
Selain itu, ruangan ini juga sering digunakan sebagai tempat tidurnya si bujang dalam rumah.

6. Ruang Makan. Merupakan bagian dari rumah bubungan lima yang digunakan sebagai
tempat untuk makan.

7. Garang. Adalah tempat untuk menyimpan tempayan air atau disebut juga dengan nama
gerigik. Ruangan ini lazim digunakan sebagai tempat unutk mencuci piring juga bersih-bersih
diri sebelum memulai aktifitas dapur.

8. Dapur, ruangan ini ada di bagian belakang rumah dekat dengan garang.

9. Berendo belakang. Ruangan ini merupakan serambi tetapi ada di belakang rumah. Ia
merupakan tempat untuk bersantai khususnya bagi wanita. Berendo belakang pada rumah
adat Bengkulu ini juga mirip dengan rumah adat Umeak Potong Jang, rumah Kubung
Beranak (rumah bangsawan suku Rejang Pesisir) dan juga Rumah Patah Sembilan (rumah
tradisional masyarakat biasa suku Rejang Pesisir).

Rumah Adat Umeak Potong Jang

Rumah Adat Umeak Potong Jang (https://mey20.wordpress.com)


Rumah tradisional suku Rejang asli disebut dengan istilah Umeak Potong Jang, Umeak
berarti rumah, Potong berarti buatan, dan Jang maksudnya Rejang. Jadi, Umeak Potong Jang
artinya rumah buatan rejang. Rumah ini juga biasa disebut Umeak-An, dimana An berarti
kuno atau lama. Umeak-an artinya rumah lama. Keberadaan rumah asli rejang ini boleh
dikatakan sudah musnah.

Menurut orang tua yang masih ingat detail rumah asli ini, rumah yang masih ada sekarang
sudah dipengaruhi oleh potongan Meranjat (suku bangsa yang ada di kab. Ogan Komering
Ulu, Sumatera Selatan). Perbedaan rumah asli dan yang dipengaruhi Meranjat terletak pada
bubungan.

Umeak Potong Jang memiliki bubungan melintang, sehingga tritisan atap atau cucuran
menghadap ke depan dan belakang. Sedangkan yang dipengaruhi Meranjat, memiliki
bubungan membujur sehingga tritisan menghadap ke samping.

Rumah tradisional Rejang asli disebut dengan istilah Umeak Potong Jang. Umeak berarti
rumah, Potong berarti buatan, dan Jang maksudnya Rejang. Jadi, Umeak Potong Jang =
rumah buatan rejang. Rumah ini juga biasa disebut Umeak-An, dimana An berarti kuno/lama.
Umeak-an = rumah lama. Keberadaan rumah asli rejang ini boleh dikatakan sudah musnah.
Menurut orang tua yang masih ingat detail rumah asli ini, rumah yang masih ada sekarang
sudah dipengaruhi oleh potongan Meranjat (suku bangsa yang ada di kab. Ogan Komering
Ulu Sum-Sel). Perbedaan rumah asli dan yang dipengaruhi Meranjat terletak pada bubungan.
Umeak Potong Jang memiliki bubungan melintang, sehingga tritisan atap/ cucuran
menghadap ke depan dan belakang. Sedangkan yang dipengaruhi Meranjat, memiliki
bubungan membujur sehingga tritisan menghadap ke samping.

Bentuk bagian-bagian

Umeak potong jang memiliki bubungan jembatan dengan teblayeaa (pelayaran) di kiri
dan kanan. Atap depan dan belakang makin menurun.
Lantai bagian berendo (beranda/teras) dan dapur dibuat lebih rendah dari badan
rumah.

Bentuk pintu dan jendela segi empat, membuka ke dalam atau ke samping.

Tiang rumah besar dengan beginting tengah(kecil di tengah)

Tangga dibuat dari papan tebal dengan lebar selebar pintu berendo

Plafonnya tergantung pada kasau atap, tidak berpagu

Di atas ruang tengah bagian belakang ada ruangan berbentuk loteng yang disebut
geligei

Susunan Ruang
susunan ruang Umeak Potong Jang atau Umeak-an terdiri dari (lihat gambar denah):
1. Berendo
Panjang berendo selebar rumah. Lantainya lebih rendah depicing (selangkah dari
bagian dalam). Berendo memiliki fungsi social (tempat berbincang pagi dan sore
dengan tamu dan tetangga akrab, menegur orang lewat, bermain ank-anak), fungsi
ekonomis (tempat menukang, membuat alat transportasi), dan tempat menjemur
pakaian.

2. Umeak Danea
Merupakan bagian ruang dalam paling depan. Umeak dana ini berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, musyawarah, tempat duduk para bujang waktu bersyair, dan
tempat duduk tamu anak gadis.

3. Pedukuak
Merupakan tempat tidur orang tua, juga terdapat pemenyap atau tempat menyimpan
barang berharga dan tikar.

4. Geligei
Loteng di atas pedukuak dan R. menyambei. Merupakan ruang tidur anak gadis dan
tempat mereka menyambut tamu teman perempuannya. Tangga untuk naik ke geligei
dapat di naik-turunkan. (lihat gambar potongan A-A)

5. Ruang menyambei
Merupakan ruangan tempat perempuan menyambei. Ruangan ini dibatasi dengan
sekat berupa jendela tak bertutup. Gang yang terdapat di ruang ini merupakan jalan
menuju dapur (lihat gambar potongan A-A)

6. Dapur
Merupakan tempat untuk memasak, berdiang, dan tempat makan.

7. Ga-ang
Bagian dari dapur, dekat tangga luar belakang. Ga-ang merupakan ruang terbuka
seperti berendo. Berfungsi tempat mencuci, menyimpan air, dan menjemur bahan
makanan. Lantainya terbuat dari bambu bulat, sehingga waktu mencuci, air langsung
mengalir ke bawah. Di ujung ga-ang terdapat Kepato Lesat Buluak Bioa (rak-rak
tempat perian dan bambu air)

susunan dan fungsi ruang ini sangat ditaati oleh masyarakat Rejang. bagi mereka, malanggar
susunan dan fungsi ruang pada rumah ini sama dengan melanggar adat istiadat..

selain itu, terdapat juga ragam hias yang bisa kita temukan di Umeak Potong Jang ini. untuk
lebih detail, ragam hias seperti apa yang terdapat di rumah ini,

Bangka Belitung

Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti
yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.
Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang
dan Melayu Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan
material seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh
dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki
beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal
terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam
tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang.
Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan
pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari
pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada
penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas
karena pengaruh dari Palembang.
Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur
Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah
Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu
lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan bentuk
lengkung.
Di Bangka Belitung pada umumnya terdapat beberapa macam jenis rumah antara lain adalah
rumah panggung, rumah Limas dan rumah Rakit.

Arsitektur Tradisional Bangka Belitung

Rumah Adat Provinsi Bangka Belitung. Struktur bangunan rumah adat Bangka Belitung
berbentuk rumah panggung dengan atap rumah berbentuk limas. Masyarakat Bangka
Belitung biasa menyebutnya dengan Rumah Panggung Limas.
Menurut kebudayaan1.blogspot.com, secara umum rumah adat Bangka Belitung terkenal
dengan gaya Melayu Bangka-nya. Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15
silam dan pada perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa
bahkan Cina. Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter
rumah adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik
untuk disimak.
Komponen penyusun dari bangunan ini yang dominasi terbuat dari kayu yang melambangkan
kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan. Arsitektur Rumah adat Bangka Belitung
dikenal memiliki tiga 3 jenis yaitu Arsitektur Melayu Awal, Arsitektur Melayu Bubung
Panjang dan Arsitektur Melayu Bubung Limas.

1. Arsitektur Melayu Awal


Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu,
daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap
yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga dipermanis
dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak. Adapun
bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur.
Gambar 1.1 Rumah Melayu Awal
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang.
Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan
terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari
pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak
dipermanis dengan cat dan semacamnya.

2. Arsitektur Melayu Bubung Panjang


Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung
Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama.

Gambar 1.2 Denah, Tampak, dan Potongan Rumah Melayu Bubung Panjang
(sumber: http://buildingconservation.blogspot.com/2007/08/lukisan-terukur-rumah-
melayu.html)
Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu
seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang
diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung.

Gambar 1.3 Rumah Melayu Bubung Panjang


(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

3. Arsitektur Melayu Bubung Limas


Sedangkan Arsitektur Melayu Bubung Limas bagian atap rumah berbentuk limas karena ada
pengaruh budaya dari palembang. Pada umumnya rumah bubung limas dibangun oleh
masyarakat Tionghoa.

Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang
didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding, pintu
dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru.
Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.

Gambar 1.4 Rumah Melayu Bubung Limas


(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

1.3 Bangka Belitung


Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan propinsi pemekaran dari Propinsi Sumatera
Selatan pada tahun 2000. Ibukota propinsi adalah kota Pangkalpinang. Wilayah Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total
luas wilayah mencapai 81.725,14 km. Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km atau 20,10
persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km atau 79,9 persen dari total
wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (ugm.ac.id)

Menurut larnokatro.blogspot.com, wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan


Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara
dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun
1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki
Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putrid Ki Ronggo udo,
yaitu penguasa Belitung sebelumnya.

Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum
didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan
kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah
pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada
keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama
Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.

Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung.


Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang
begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi pesta lebaran yang di rayakan secara
sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut
peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan pesta lebaran serta
juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka.
Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo
Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna
menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan
acara Perang Ketupat.

Acara tradisi adat dan seremoni pesta lebaran memang memaknai hubungan sosial yang
tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri
setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem
pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur
kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai
Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari
Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi
penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar
Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya
tumbuh seiring dengan kebijakan tersebut.

Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka
pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi
dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi
cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang.
Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan
membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya,
misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara
tradisi ritual Tangga Tebu dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang
dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu
hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian
membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di
wilayah ii memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat
kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama
Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi
ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena
pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi
masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung
menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.

Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua
aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat
kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka
geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam
penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih
awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan
sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air
Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa
bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang
beragam.

Perbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya
maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-
bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan
diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada kunjunga ke rumah-rumah
masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya
menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah
untuk tinggal dan menetap.

LAMPUNG

Rumah Adat merupakan suatu simbol untuk suatu budaya yang terdahulu secara turun
temurun diwariskan oleh setiap suku, dengan desain dan disesuaikan dengan kondisi alam
pada masanya dibangun dengan sedemikian rupa untu di gunakan dan dimanfaatkan sesaui
kebutuhan saat itu.

Tentunya Rumah Adat memiliki sejarah tersendiri, dan memiliki arti dalam setiap simbol
simbol yang dibangun, sepertihalnya kita membangun sebuah rumah, pasti kita akan mebuat
rumah dengan memperhitungkan apa yang kita bangun, dari segi atap, pondasi hingga lantai,
untuk Rumah Adat Lampung sendiri mari kita bahas.

Sejarah Rumah Adat Lampung


Rumah pribumi Lampung bernama Lamban / Nuwo. Bentuk bangunan dimaksud berdasarkan
keasliannya mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk panggung bertiang yang bahan bangunannya
sebagian besar terbuat dari kayu. Layaknya sebuah bangunan, ornamen dan bentuk bangunan
Lamban / Nuwo bagi masyarakat Lampung disesuaikan dengan kedudukan seseorang
didalam adat, seperti dalam adat budaya Lampung Sekala Brak terdapat bangunan terkhusus
bagi pimpinan adat yang disebut punyimbang adat lazim juga disebut Sultan / Raja adat.
Bangunan terkhusus untuk Raja Adat / Sai Batin itu disebut Lamban Gedung atau Gedung
Dalom.

Fungsi Gedung Dalom / Lamban Gedung adalah sebagai central dari detak jantung ghiroh
adat, yakni sebagai pusat bermulanya tatanan adat tradisi yang kemudian dipakai dan
diwujudkan dalam tradisi masyarakat, seperti halnya tatanan semenjak kelahiran, keseharian,
hingga kematian. Diumpamakan seperti tubuh manusia maka Lamban Gedung adalah jantung
dan Saibatin Raja Adat sebagai empunya diumpamakan sebagai jasad, sedangkan ruh adat
adalah jamma/jelma-nya Saibatin atau disebut masyarakat adat. Piramida atau segitiga sama
sisi itulah yang membuat marwah adat mesunar atau senantiasa bersinar.

Oleh karena pentingnya Adat Budaya maka Lamban Gedung tidak hanya sekedar simbol adat
atau hanya sebagai tempat bersemayamnya pusaka pusaka adat, akan tetapi juga sebagai
muara penggerak adat itu sendiri. Dan untuk itulah Lamban Gedung berdiri beserta dengan
tatanan atau rukun pedandanan yang melekat padanya.

Namun, Lamban Gedung tak akan bermakna dan berarti lebih tanpa adanya sang Empu yaitu
Sai Batin Raja Adat yang didalam dirinya tersandang pucuk tanggung jawab keberlangsungan
adat, serta tak pula bisa Sai Batin hanya berdiri sendiri tanpa ruh yang membuatnya mampu
berbuat, karena didalam ruh ada wilayah rasa kasih sayang serta tujuan perjuangan adat
dipertahankan. Ruh adat itu adalah masyarakat ( Jamma / jelma) nya SaiBatin yang bersinergi
dengan semua peran diatas untuk menentukan eksistensi adat budaya dikemudian hari.

Ruh masyarakat adat Lampung itu bertumpu pada empat hal yaitu Keberanian ( Bani ),
kemapanan ( Pawar ) , Ilmu Pengetahuan ( Nalom ), dan kebersamaan ( Kemuarian). Empat
hal tersebut adalah empat pilar bagi Sai Batin bersama jamma/jelmanya dalam menegakkan
kehangguman Gedung Dalom / Lamban Gedung, agar degup jantung itu terus dan senantiasa
berirama hingga menjemput takdir Tuhan dihari yang paling kemudian, makna nilai
tersebutlah yang sering diwujudkan dalam simbol simbol empat pada ornamen ataupun tiang
tiang rumah adat Lampung.
Ukiran Asli dan Kuno, Satu Dari Tiang 4 Penjuru Lamban Gedung

Simbol Empat pada Ornamen SUNGGAD berbentuk seperti tumbuhan Pakis yang
melekat di Gedung Dalom

Kekhasan dari Gedung Dalom / Lamban Gedung adalah bagian ujung Bubungan rumah yang
memusat kesatu titik tengah terbuat dari kayu dibulatkan (buttor) diatasnya satu kayu bulat
pula berlapis tembaga, kemudian ada dua tingkatan (sakku) dari tembaga atau kuningan, dan
yang teratas sekali perhiasan dari batu menurut bagaimana kesukaan. Nilai transendental
sebuah lamban gedung ( rumah adat ) yang menjadi pusat nilai dan norma bagi masyarakat
adat saibatin dicerminkan dari atap rumah yg memusat keatas, sebab fungsi dari rumah Raja
Adat adalah tempat berhimpunnya para jelma balak petinggi petinggi dalam struktur
kerajaan dalam bermusyawarah memutuskan persoalan adat yang biasa disebut Himpun Paksi
/ Himpun Agung.

Secara berurutan memasuki Lamban Gedung dapat dijumpai beberapa bagian seperti Jan atau
tangga masuk, selanjutnya menaiki tangga dimuka rumah melalui beranda kecil disebut
usud untuk menuju keberanda yang sebenarnya atau disebut Lepau yaitu ruang terbuka
pada bagian atas depan rumah. Lalu setelah memasuki Pintu Utama maka dijumpai bagian
dalam Lamban Gedung, terdapat satu ruang besar sebagai tempat Sai Batin beristirahat
disebut Bilik Kebik. Tak ada yang masuk ke ruang itu kecuali Sai Batin dan Permaisuri atau
kerabat yang diizinkan oleh Sai Batin. Di dalam ruangan itu, terdapat pula sejumlah senjata
pusaka yang hanya Sai Batin atau Sultan yang berani memindah atau membukanya. Di depan
pintu Bilik Kebik terdapat pelaminan atau singgasana yang disebut margasana. Alas duduk
Sai Batin terdiri atas kasur berlapis-lapis, taber atau kain hiasan dinding, dan langit-langit
yang terbuat dari kain beludru warna warni dan manik-manik yang disebut Leluhor Kejuntai.
Dari dalam singgasana itulah Sai Batin memimpin sidang (hippun paksi) menghadap seluruh
raja suku/ jukkuan duduk bersila. Hanya Sai Batin dan Raja Jukkuan yang boleh duduk di
tempat ini pada saat hippun paksi.
Bagian dalam Istana Basa Pagaruyung,
Menurut Tambo Empat Umpu Paksi Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak
memiliki kaitan dengan Kerajaan Pagaruyung Sumatra Barat.

Lantai Lamban Gedung terdapat dua tingkat / trap, seperti halnya Istana Basa Pagaruyung
yang lantainya bertingkat pula. Pada bagian depan yang disebut Lapang Luar yaitu ruangan
setelah pintu masuk letak lantainya lebih rendah sekitar sejengkal dari ruang margasana,
sebagaimana bisa kita temukan disalah satu Lamban Gedung / Gedung Dalom yang masih
lestari bersama adat tradisinya yakni Gedung Dalom Kepaksian Pernong. Dan didalam acara
tradisi, lantai rumah ini tanpa kursi, kecuali saibatin yang duduk diatas susunan kasur berhias
maka seluruh tamu duduk beralaskan karpet atau tikar yg terbuat dari rotan ( resi ). Begitupun
apabila mereka mendapat jamuan makan dari Sai Batin, maka seluruhanya Mejong Sila.

Susunan Lamban Gedung selanjutnya yang juga biasa terdapat pada rumah rumah orang
lampung adalah Lapang Lom sebagai ruang keluarga dan Tebelayar sebutan untuk kamar
kedua. Serudu adalah ruangan bagian belakang yang diperuntukkan bagi ibu ibu, sementara
Panggar adalah bagian loteng rumah panggung yang biasanya dimanfaatkan sebagai tempat
penyimpanan barang barang dan piranti untuk keperluan adat. Dapor [dapur], dan yang paling
belakang adalah Garang, merupakan tempat untuk mencuci perabotan dapur. Bagian bawah
rumah panggung disebut dengan Bah Lamban yang sengaja menjadi ruangan terbuka. Dan
pada bagian belakang yang terpisah dari bangunan rumah utama biasanya terdapat Balai,
yaitu sebuah bangunan lumbung tempat penyimpanan padi.

Sebagai bagian dari kekhasan Lamban Gedung terdapat pula bermacam ukiran ornamen
tumbuh tumbuhan dan juga hewan seperti ukiran Luday atau lazimnya seperti naga di
bagian tangga masuk Gedung Dalom Kepaksian Pernong Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak.
Luday merupakan hewan satu satunya yang terdapat disungai terdalam, oleh karena nilai
khususan itulah nenek moyang dahulu menorehkan pesan pesan simbolis kedalam ukiran
luday pada sebuah batu maupun rumah, ukiran naga Lampung itu juga terdapat pada batu
penghias makam keramat Raja Selalau Sangun ( Sang Hyang) Guru, di komplek makam raja
raja Kepaksian Pernong Tambak Bata Batu Brak.
Untuk Dokumentasi Rumah Adat Lampung sendiri, berikut dokumentasinya..

Gedung Dalom / Rumah Adat Lampung Sekala Brak

Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi

Bangunan Anjungan Lampung TMII sebelum renovasi


Rumah Adat Si Nyata / Buay Benyata

Rumah milik Mayarakat Adat di Buay Benyata

SINGGASANA / Margasana
LEPAU / Beranda Luar

Tiang Penyangga Usud , terdapat Ukiran Luday atau Naga Lampung

JAN / Tangga menuju Usud beranda kecil sebelum beranda sesungguhnya


SUMBER
http://www.harianlampung.co.id/read/rumah-adat-lampung-13/
http://niaspulauwisata.blogspot.co.id/2016/09/sekilas-mengenai-rumah-adat-nias.html
http://ginanjaraldi.blogspot.co.id/2015/06/rumah-adat-omo-hada-dan-omo-sebua.html
http://rumahadatdiindonesia.blogspot.co.id/2014/02/rumah-adat-jambi-panggung-kajang-
leko.html
http://www.rumah-adat.com/2017/01/rumah-adat-riau-rumah-selaso-jatuh-kembar.html
http://maa.acehprov.go.id/?p=61
http://www.kompasiana.com/hack87/mengenal-lebih-dekat-rumoh-
aceh_5500c43fa33311981450ffc5
http://rumahtradisionalniasutara.blogspot.co.id/
https://prestylarasati.wordpress.com/2008/03/20/arsitektur-tradisional-bengkulu-rumah-adat-
suku-bangsa-rejang/
https://gpswisataindonesia.wordpress.com/2013/12/11/rumah-adat-lampung/
http://raudinadintha.blogspot.co.id/2014/07/arsitektur-tradisional-bangka-belitung.html
https://gpswisataindonesia.wordpress.com/2013/12/09/rumah-adat-bengkulu/
https://gpswisataindonesia.wordpress.com/2013/12/09/rumah-adat-riau-dan-kepulauan-riau/

Anda mungkin juga menyukai