Website : http://mielaberbagiilmu.blogspot.com/2012/03/kecerdasn-adversity-quotient-
aq.html
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan langkah-langkah yang
memungkinkan yang bersangkutan mengambil jalan yang paling taktis. Jalan taktis
tersebut berguna untuk melakukan terobosan penting agar kesuksesan menjadi nyata.
Menurut Stoltz (2000:8), suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh
Adversity Quotient (AQ).
Dikatakan juga bahwa AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan
dengan tantangan-tantangan. Orang yang memiliki AQ lebih tinggi tidak menyalahkan
pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah. (Welles, 2000:2). Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang
diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan
Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan . Yang kedua, low-AQ dinamakan
Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan, dan yang ketiga AQ
sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001:1).
AQ mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2)
merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan
serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon
terhadap kesulitan.
Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz (2003:9) berpendapat bahwa gabungan dari
ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis
merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen
dasar meraih sukses. Di banyak perusahaan dalam berbagai bidang industri termasuk
Abbot Labs, Kaibab National Forest, Boehringer Ingelheim, W.L. Gore & Associates
(Pembuat Goe-Tex), Delloite & Touche LLP, Minessota Power, ADC
Telecommunications, dan U.S West, Stoltz sebagai tokoh AQ bersama rekanrekannya
yang lain, telah membuktikan bahwa mereka yang memiliki AQ lebih tinggi menikmati
serangkian manfaat termasuk kinerja, produktifitasm kreatifitas, kesehatan, ketekunan,
daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang AQ-nya
rendah.
Di Indonesia penelitian tentang AQ diantaranya digunakan pada penelitian\ mengenai
Perbandingan Derajat Adversity Quotient antara Perawat ICU dengan Perawat Rawat
Inap di RS X di Bandung, Studi Korelasional antara Kecerdasan Adversity dan
Motivasi Berprestasi dengan Kinerja Kepala Sekolah di BPK Penabur Jakarta, dan pada
penelitian tentang Pengaruh Tingkat AQ terhadap Orientasi Karir di PT Danzas Surabaya
dan Jakarta.
Stoltz beranggapan bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan
seseorang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga : quitter, camper, dan climber.
Penggunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki
gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang yang
menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada
ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak
tersebut. Itulah kemudian ia mengistilahkan orang yang berhenti di tegah jalan sebelum
usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu
sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan ia sebut climber.
BAB II
PEMBAHASAN
a) DEFINISI KECERDASAN ADVERSITY
Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan
sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan
dan kesadaran. Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses
informasi sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat segera
dipecahkan (problem solved), dan dengan demikian pengetahuan pun menjadi
bertambah (Fanani, 2005).
Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan
merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam
hidup yang dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih
cerdas, akan mampu memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih
baik daripada orang yang kurang cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih
sukses dibanding orang yang kurang cerdas (Fanani, 2005).
Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun
berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari
lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu
pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi.
Kecerdasan adversity memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis,
yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep kecerdasan adversity
pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz (Jaffar, 2003).
Menurut Stoltz (2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga
bentuk, yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai suatu kerangka kerja konseptual
yang baru yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi
kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui
reaksi seseorang terhadap kesulitan yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity
sebagai seperangkat peralatan yang memiliki landasan ilmiah untuk merekonstruksi
reaksi terhadap kesulitan
hidup. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz (Kusuma, 2004) berpendapat
bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan
peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami
dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.
Berbeda dengan Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar
harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk
meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004)
mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya
tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih
kesuksesan dalam hidup.
Secara garis besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat yang
dapat diperoleh, yaitu:
1. kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah
seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan
2. kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas
seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam
menghadapi kesulitan
3. kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan,
kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak
4. kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam
menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).
Stoltz (2005) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk
bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika
hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang
tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi,
sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik
dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan
sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah. Werner
(Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya mengemukakan bahwa
anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu menyelesaikan
masalahnya dan orang yang
mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu
loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian
dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ
membedakan antara para climber, camper, dan quitter . jawaban luar biasa dari
pencipta lampu pijar (Thomas Alfa Edison) itu menjadi salah satu contoh ekstrem
seorang climber (pendaki)yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan
(adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan
emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial
quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient)
karya Stephen R. Covey.AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given.
AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi
pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Para climber, Menurut Maxwell (Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang
dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu:
1. para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus
mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2. para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
3. para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden
tersendiri
4. para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5. para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6. para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7. para peraih prestasi mudah bangkit kembali.
Stoltz (2005) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah
kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas,
motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan.
Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta
kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan .
Pannyavaro (2006) menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan
menjadi sesuatu yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah
perubahan, perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan.
Padahal jika dilihat, sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan
semata.
Mortel (Kusuma, 2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang
perlu dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman
yang akan menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan
yang berbeda. Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam
hidup seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu
individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan
mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan model piramid mulai dari dasar
sebagai berikut:
1. Societal Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang
keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana
alam, serta krisis moral.
2. Workplace Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran
dan ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.
3. Individual Adversity: Individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.
ii. Neurofisiologi
Menurut Dr. Mark Nuwer, kepala neurofisiologi di UCLA Medical Centers dalam Stoltz
(2000:109), mengatakan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar bagian luar
yaitu cerebral cortex. Lama kelamaan jika pola pikiran atau perilaku tersebut diulang
maka kegiatannya akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis,
yaitu basal ganglia.
Jadi, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang destruktif, maka
pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis.
Begitu pun sebaliknya, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang
konstruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, cepat, dan otomatis.
Untuk merubah kebiasaan yang buruk atau destruktif, misalnya AQ rendah, maka
seseorang harus mulai di wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Perubahan
dapat bersifat segera, dan pola-pola lama yang destruktif akan beratrofi dan lenyap
karena tidak digunakan.
A. Kesimpulan
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ merupakan faktor
yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan
dan kinerja Anda terwujud di dunia. Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih
mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Stoltz
membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung
yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan . Yang
kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan, dan yang
ketiga AQ sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001:1).
AQ mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2)
merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan
serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap
kesulitan. Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz (2003:9) berpendapat bahwa gabungan
dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis
merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar
meraih sukses.
DAFTAR ISI
Stoltz, P.G 2000. Keperawatan Jiwa. Edisi-5. Jakarta. EGC Suara Pembaruan. 2006. Kecerdasan.