Anda di halaman 1dari 15

FIQIH WARIS

OLEH :

ERNI DHARMAWATI (14081194036)

KARINA DEWI ALFISYAH (14081194042)

KELAS : 14B

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016
1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai
Fiqh Waris atau Ilmu Waris ini yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Muamalah II.
Penyusun menyadari, penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, serta masih
terdapat banyak kekurangan. Penyusun mohon kritik dan saran untuk membuat makalah ini
menjadi lebih sempurna.
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun semua
pihak yang memerlukan.

Surabaya, 01 September 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang.... 4
II. Rumusan Masalah...... 4

BAB II PEMBAHASAN
I. Pengertian dan Landasan Syariah Waris 5
A. Harta Warisan... 5
B. Rukun dan Syarat Waris....... 6
C. Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris Dan Gugurnya Ahli Waris......... 8
II. Furudhul Muqaddarah...... 8

BAB III PENUTUP


I. Kesimpulan 16
II. Daftar Pustaka... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bagi seorang muslim menjaga kesejahteraan dan kedamaian antar sesama
manusia adalah hal yang wajib untuk dilakukan. Namun dalam menjaganya, tentu
saja manusia tidak luput dari godaan setan yang membuat manusia dapat
kehilangan akalnya dan melakukan tindakan buruk yang dapat menimbulkan
kerusakan dan putusnya tali silaturahmi diantara manusia. Salah satu hal yang
dapat membuat manusia kehilangan akal dan bertindak diluar etika adalah jika
menyangkut masalah harta peninggalan atau warisan. Hal ini sering terjadi
dikalangan manusia yang sampai membuat manusia memutuskan hubungan tali
silaturahmi bahkan dengan anggota keluarganya sendiri. Padahal sudah jelas yang
tercantum dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya; Tidak akan masuk surga
orang yang memutuskan (silaturahmi) (HR. Bukhari dan Muslim).
Agama Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali
dengan masalah harta peninggalan atau warisan. Masalah warisan dalam Islam
telah memiliki landasan hukum yang tidak boleh dilanggar dan harus dijadikan
sebagai acuan yaitu hukum waris atau fiqih waris yang berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah yang akan mengarahkan masalah warisan menjadi masalah yang dapat
terselesaikan secara benar, adil, dan tentu saja tidak menimbulkan kerusakan
diantara manusia.
Maka dari itu agar tidak terjadi terputusnya silaturahmi diantara manusia yang
disebabkan oleh permasalahan harta warisan, sebagai muslim kita perlu
mempelajari ilmu fiqih waris atau faraid yang telah mengatur masalah harta
warisan. Karena pada umumnya terjadinya perpecahan yang timbul di antara
anggota keluarga mengenai masalah harta peninggalan atau warisan dikarenakan
oleh kurangnya pemahaman para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dari
hukum waris.

II. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian fiqih waris?
2. Apa saja rukun dan syarat waris ?
3. Apa sebab-sebab menjadi ahli waris dan gugurnya ahli waris?
4. Bagaimana Furudhul Muqaddarah atau pembagiannya?
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian dan Landasan Syariah Waris

4
A. Harta Warisan
Harta waris dalam bahasa arab adalah mirast yang berarti harta yang ditinggalkan
atau peninggalan orang yang meninggal yang kemudian akan diwariskan kepada ahli
warisnya baik berupa uang, tanah, atau apa saja yang merupakan hak milik legal
secara syarI (Panduan Hukum Waris Islam, 2007). Dalam literatur hukum arab,
penggunaan kata mirast menjadi kata mawaris. Sedangkan dalam kitab fiqh kata yang
digunakan adalah faraid dan Rasullullah sendiri juga menggunakan kata faraid hal
tersebut dapat dibuktikan dengan adanya hadist HR Ibnu Abbas Maud berbunyi : dari
ibnu Abbas ia berkata, rosulullah bersabda : pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah pada
orang lain. Pelajari pula faraid dan ajarkan kepada orang-orang (HR Ahmad).

Secara bahasa waris ialah sisa-sisa harta seseorang setelah kematian dalam rangka
menerima sisa harta yang mati oleh pewaris harta. Sedangkan menurut para fuqaha
(ahli fqih) warisan adalah pewaris harta dari orang yang mati yaitu harta-harta dan
hak-hak yang di sepakati oleh yang mati dengan warisan yang sesuai syariat islam.
Dan ilmu warisan atau ilmu faraid ialah qaidah fiqh dan perhitungannya yang
diketahui dengan warisan. Setengah setiap warisan dari yang di tinggalkan.

Dan Nabipun Bersabda :

Artinya: belajarlah ilmu faraid (pembagian harta waris).

(Kitab Fiqh Al-Islam Waadillatuhu Tentang Faraid)

Dengan adanya latar belakang yang telah disampaikan bahwasanya dalam


menjaga kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga, fiqih waris atau ilmu faraid
merupakan hal yang sangat penting. Dan jika dilihat dari pengertian waris tersebut
bahwa waris adalah peninggalan harta, fiqih waris atau ilmu faraid sangatlah
dibutuhkan. Karena jika menyangkut masalah harta seseorang dapat bertindak diluar
etika yang menjadikan pembagian harta waris menjadi timbul ketidak adilan,
persengketaan, dan hal buruk lainnya yang dapat mengorbankan terputusnya
silaturahmi dengan keluarga sendiri atau ahli waris yang lain. Maka ilmu fiqih waris
atau ilmu faraid ini sangatlah penting demi menjaga hal-hal tersebut.

5
Menurut Buku Panduan Praktis Hukum Waris Islam (2007), hukum waris ini di
dasari dengan menggunakan dasar hukum Al-Quran, Al-Hadist dan Ijma, antara lain
sebagai berikut:
1. Al-Quran

Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
(Q.S An-Nisa:7)
2. Al-Hadits

( ) ) ) )) )
) ) ) )

Artinya:
Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-
masing. sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah yang lebih dekat yaitu,
orang laki-laki yang lebih utama. (HR. Bukhari muslim)

3. Ijma (kesepakatan para ulama)

Ijma para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid fiqh menjadi


sumber hukum atas permasalahan waris yang belum dijelaskan oleh beberapa nas
yang jelas. Misalkan seperti menentukan status kakek dan bagian yang dia terima bila
bersama saudara-saudara yang meninggal. Juga menentukan bagian anak perempuan
dari anak laki-laki bila bersama anak perempuan atau dengan saudara yang
meninggal, seperti masalah Aul dan lain sebagainya.

B. Rukun dan Syarat Waris

6
Menurut Ahmad (2013), dalam menjalankan waris agar sesuai dengan
sebagaimana mestinya dan tidak menimbulkan kerusakan dalam tali silaturahmi,
maka harus terpenuhi tiga rukun waris antara lain adalah :

1. Al-Muwarits (pewaris)
Pewaris yang dimaksud adalah orang yang telah meniggal dunia yang
memberikan atau meninggalkan sejumlah harta dan peniggalan lainnya kepada
para ahli warisnya. Harta yang akan diwariskan haruslah milik pribadi orang
yang telah meninggal tersebut bukanlah milik negara atau instansi. Sebab
instansi atau negara tidak termasuk ahli waris
2. Al-Warits (ahli waris)

Ahli waris disini adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak
untuk menerima atau menguasai harta peninggalan yang ditinggalkan oleh
pewaris, dikarenakan adanya suatau ikatan baik itu kekerabatan (nasab) atau
pernikahan dan lain sebagainya.

3. Al-Maurus (harta waris)


Harta waris adalah hak kepemiliksn yang ditinggalkan oleh pewaris yang
ditinggalkan ketika wafat baik berupa uang, tanah dan sebagainya yang
didalamnya ada nilai materinya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris
tidak boleh diwariskan. Contohnya: suami istri yang memiliki harta jika
suami meninggal maka harta tersebut harus dibagi dua terlebih dahulu hal ini
bertujuan untuk memisahkan harta suami dan istri. Setelah itu harta milik
suami baru boleh di bagi ke ahli warisnya. Hal ini jelas bertujuan agar harta
istri tidak tercampur untuk diwariskan karena harta istri bukan termasuk harta
warisan.

Menurut Buku Panduan Praktis Hukum Waris Islam (2007), selain rukun yang
harus dijalankan, terdapat juga tiga syarat-syarat yang harus dilakukan. Syarat-syarat
tersebut antara lain adalah:

1. Harus dipastikan bahwa pewaris telah meninggal baik secara nyata


maupun secara hukum. Contohnya: Pada saat terjadi bencana seseorang
telah hilang seperti tenggelam di sungai atau dilaut yang tidak diketahui
keberadaannya, jadi orang tersebut dianggap telah meninggal oleh hukum

7
karena sudah dinantikan hingga kurun waktu tertentu dan hasilnya tidak
ada kabar menggenai hidup dan matinya.
Jika seandainya calon pewaris dinyatakan koma atau tidak sadar sama
sekali tetapi jika calon pewaris tersebut masih dinyatakan hidup maka
harta yang dimilikinya adalah 100% miliknya dan tidak boleh di bagikan
tanpa seizinnya. Jika harta tersebut dibagikan ketika calon pewaris
tersebut masih hidup maka harta tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
harta warisan melainkan harta tersebut adalah hibah atau harta biasa.
2. Ahli waris harus dinyatakan masih hidup ketika pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris dari orang yang telah meninggal tersebut harus
diketahui secara pasti, seperti kedudukannya terhadap ahli waris dan
berapa jumlah bagiannya masing-masing.

C. Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris dan Gugurnya Ahli Waris


(Panduan Praktis Hukum Waris Islam, 2007)

Seseorang dapat menjadi ahli waris dikarenakan sebab-sebab menjadi


tertentu, sebab-sebab tersebut antara lain adalah:

1. Pernikahan

Dengan adanya pernikahan yang sah seorang suami dapat mendapatkan


warisan dari istrinya ketika istrinya meninggal dunia begitu juga
sebaliknya jika suami meninggal maka istri mendapatkan warisan dari
suaminya itu.

2. Nasab (keturunan)

Keturunan yang mendapat harta warisan ini adalah kerabat dilihat dari atas
yaitu kedua orang tua dari pewaris dan juga dilihat dari arah bawah yaitu
keturunan dari pewaris itu sendiri seperti anak dan juga dilihat dari arah
samping yaitu saudara-saudara, paman dan anak-anak mereka

3. Memerdekakan budak (Wala)

Seseorang yang memerdekakan budak (muala/mutiq) dapat menjadi ahli


waris bagi mantan budak yang pernah mudah di memerdekannya apabila
budak tersebut telah meninggal dan tidak mempunyai ahli waris sama
sekali baik melalui pernikahan maupun secara nasab.

8
Selain sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris, adapun sebab-sebab
seseorang gugur dalam menjadi ahli waris, antara lain:

a. Pembunuhan

Seorang ahli waris yang membunuh pewarisnya maka tidak dapat


mewarisi harta pewarisnya sedikitpun atau bisa di katakan haknya
mendapat warisan itu gugur. Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW
yang artinya:

Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun. (HR Abu


Daud )

Adapun perbedaan yang berada dikalangan fuqoha tentang penentuan


jenis pembunuhan, antara lain adalah:

Madzab Hanafi
Menurut madzab ini pembunuhan yang dapat mengugurkan hak
waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar
kafarat.
Madzab Maliki
Seseorang yang dinyatakan gugur hak warisnya adalah orang yang
membunuh secara sengaja atau mwmbunuh secara di sengaja.
Madzhab SyafiI
Menurut madzhab Imam Syafii seseorang dapat dikatakan gugur
haknya mendapat warisan dengan melakukan segala cara dan
macamnya sekalipun hanya melakukan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukum rajam atau bahkan hanya membenarkan
kesaksian lain dalam pelaksanaan qishas atau hukuman mati pada
umumnya.
Madzab Hambali
Pembunuhan yang dikatakan dapat mengugurkan hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang sampai mewajibkan pembunuhnya
untuk di qishas, membayar diyat atau membayar khafarat. Selain
pembunuhan tersebut maka tidak tergolong sebagai pembunuhan
yang mengugurkan hak waris.

b. Perbedaan agama

9
Seorang muslim tidak dapat mewarisi hartanya kepada non muslim
sekalipun orang tersebut adalah keluarganya sendiri begitu juga
sebaliknya. Hal ini dibuktikan dengan adanya sabda Rosulullah SAW
yang artinya orang islam tidak dapat mewarisi harta orang lain, dan
orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim. (HR
Bukhari Muslim)

c. Budak
Seorang budak tidak dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya
karena seorang budak tidak punya kuasa atas harta bendanya, karena
kekuasaan harta bendanya dimiliki oleh majikan budak tersebut.

II. Furudhul Muqaddarah

Pembagian yang ditentukan dalam Al-Quran dalam hal pembagian warisan terdapat 6
bagian untuk 21 ahli waris, yaitu sebagai berikut:

a. (seperdua) : Ada 5 ahli waris


b. (seperempat) : Ada 2 ahli waris
c. 1/8 (seperlapan) : Ada 1 ahli waris
d. 1/3 (sepertiga) : Ada 2 ahli waris
e. 2/3 (duapertiga) : Ada 4 ahli waris
f. 1/6 (seperenam) : Ada 7 ahli waris
Jumlah : Ada 21 ahli waris

Dengan rincian sebagai berikut :

a. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian ada 5 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Suami
Anak perempuan kandung
Anak perempuan dari anak laki-laki
Saudara perempuan kandung
Saudara perempuan seayah
b. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian ada 2 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Suami
Istri
c. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian 1/8 ada 1 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Istri

10
d. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian 1/3 ada 2 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Ibu
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan
e. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian 2/3 ada 4 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Anak perempuan kandung
Anak perempuan dari anak laki-laki
Saudara perempuan kandung
Saudara perempuan seayah
f. Dzawil Furudh yang mendapatkan bagian 1/6 ada 7 ahli waris antara lain sebagai
berikut:
Bapak
Ibu
Anak perempuan dari laki-laki
Saudara perempuan seayah
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan-perempuan
Kakek (pihak bapak)
Nenek (pihak bapak/ibu)

Berikut adalah rincian Furudhul Muqaddarah menurut Buku Panduan Praktis Hukum Waris
Islam (2007), yang terinci dalam tabel berikut:

Farudhul Muqaddaroh
No Nama
1/2 1/4 1/8 1/3 2/3 1/6
1 Kakek x x x x x
2 Nenek x x x x x
3 Ayah / bapak x x x x x
4 Ibu x x x
5 Suami x x x x
6 Istri x x x x x
7 Anak perempuan kandung x x x x
8 Anak perempuan dari anak laki-laki x x x
9 Saudara perempuan kandung x x x
10 Saudara perempuan seayah/ sebapak x x x
11 Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan x x x x

No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan


1 Suami 1. Tidak ada anak kandung
2. Tidak ada anak dari anak laki-
laki
2 Anak perempuan 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak laki-laki

11
3 Anak perempuan dari anak laki-laki 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak laki-laki dari
anak laki-laki
4 Saudara perempuan sekandung 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak (laki-
laki/perempuan) dari anak laki-
laki
4. Tidak ada bapak
5. Tidak ada kakek atau buyut
6. Tidak ada saudara laki-laki
kandung
5 Saudara perempuan seayah/sebapak 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak (laki-
laki/perempuan) dari anak laki-
laki
4. Tidak ada bapak
5. Tidak ada kakek atau buyut
6. Tidak ada saudara laki-laki
kandung
7. Tidak ada saudara laki-laki
bapak

No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan


1 Suami 1. Tidak ada anak kandung
2. Tidak ada anak dari anak laki-
laki
2 Istri 1. Tidak ada anak kandung
2. Tidak ada anak dari anak laki-
laki

No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan


1 Istri 1/8 1. Tidak ada anak kandung
2. Tidak ada anak dari anak laki-
laki
No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan

1 Ibu 1/3 1. Tidak ada anak kandung


2. Tidak ada anak dari anak laki-

12
laki
3. Tidak ada saudara laki-
laki/perempuan atau hanya ada
satu saudara laki-laki/perempuan
4. Tidak beserta bapak dan suami
atau istri, bila ada bapak beserta
suami/istri, maka ibu dapat 1/3
dari sisa (tsulutsul baqy)
2 Saudra seibu (laki-laki/perempuan ) 1/3 1. Bila ada dua orang atau lebih
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada bapak
4. Tidak ada kakek
5. Tidak ada cucu laki-laki atau
perampuan

QS An-nisa ayat 12 membahas mengenai bagian saudara laki-laki atau perempuan


seibu, apabila seseorang meniggal tidak mempunyai ayah dan anak. Masalah ini
dinamakan dengan Kalalah.
No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan
1 Anak perempuan 2/3 1. Bila lebih dari seorang
2. Tidak ada anak laki-laki
2 Anak perempuan dari anak laki- 2/3 1. Bila lebih dari seorang
2. Tidak ada anak kandung
laki
3. Tidak ada anak laki-laki dari
anak laki-laki
3 Saudara perempuan sekandung 2/3 1. Bila lebih dari seorang
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak (laki-laki atau
perempuan) dari anak laki-laki
4 Saudara perempuan ssebapak 2/3 1. Bila lebih dari seorang
2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak (laki-laki atau
perempuan) dari anak laki-laki
4. Tidak ada bapak
5. Tidak ada kakek
6. Tidak ada saudara laki-laki
kandung
7. Tidak ada laki-laki sebapak

No Dzawil Furudh Fardh Ketentuan

13
1 Bapak 1/6 1. Ada anak kandung
2. Ada anak laki-laki dari anak
laki-laki
2 Ibu 1/6 1. Ada anak kandung
2. Ada anak (laki-laki atau
perempuan) dari anak laki-laki
3. Ada dua saudara atau lebih (laki-
laki atau perempuan) sekandung
sebapak atau seibu

3 Saudara perempuan sebapak 1/6 1. Bila sendirian


2. Tidak ada anak kandung
3. Tidak ada anak (laki-laki atau
perempuan) dari anak laki-laki
4. Tidak ada bapak
5. Tidak ada kakek
6. Tidak ada saudara laki-laki
kandung
7. Bersama seorang saudara
perempuan sekandung untuk
melengkapi 2/3
4 Saudara seibu (laki-laki atau 1/6 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak kandung
perempuan)
3. Tidak ada bapak
4. Tidak ada kakek
5. Tidak ada cucu laki-laki atau
perempuan
5 Anak perempuan dari anak laki-laki 1/6 1. Bila sendirian
2. Tidak ada anak laki-laki
3. Tidak ada anak laki-laki dari
anak laki-laki
1. Bersama seorang anak
perempuan untuk
menrempurnakan 2/3
6 Kakek (pihak bapak) 1/6 1. Tidak ada bapak
2. Ada anak kandung
7 Nenek (pihak bapak atau ibu) 1/6 1. Tidak ada ibu, kalau nenek dari
pihak ibu
2. Tidak ada ibu dan bapak bila
nenek dari pihak bapak
Bagian 1/6 di bagi untuk ke dua nenek, bukan masing-masingmemperoleh 1/6

14
BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan
Mempelajari ilmu waris adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Karena dengan mempelajari ilmu waris, maka seseorang dapat menerapkannya
sesuai dengan landasan syariah Al-Quran dan As-Sunnah yang tentu saja
membuat manusia terhindar dari ketidak adilan dan utamanya dapat
menyelamatkan manusia dari keursakan antar sesame manusia dan putusnya tali
silaturahmi diantara manusia.

II. Daftar Pustaka


Muaddib, Khoirul. 2007.Panduan Praktis Hukum Waris Islam. Surabaya: SMA
Khadijah
Sarwat, Ahmad. 2013.Kitab Hukum Waris Fiqih Mawaris. Surabaya: Yayasan
Masjidillah Indonesia.
Kitab Fiqh Al-Islam Waadillatuhu Tentang Faraid

15

Anda mungkin juga menyukai