Anda di halaman 1dari 19

PORTOFOLIO KASUS II

SINDROM KORONER
AKUT

Disusun oleh :
dr. Wendhy Pramana
(dokter Internship RSUD Ungaran)

1
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
UNGARAN 2011
Topik : Kegawatdaruratan
Kasus : STEMI
Tanggal Kasus : 10 April 2011
Tanggal Diskusi : 30 April 2011
Tempat Diskusi : RSUD Ungaran
Objektif : Tata Laksana
Deskripsi : Seorang laki-laki, 50 tahun, dengan keluhan utama nyeri
ulu hati seperti tertindih beban berat, gambaran EKG
berupa STEMI bagian inferior
Tujuan : - Mampu melakukan tindakan pertolongan pertama pada
kasus infark miokardium akut
- Mampu melakukan pertimbangan terhadap pilihan
terapi reperfusi pada pasien STEMI
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus
Cara Membahas : Diskusi

KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Tn. W
No. RM : 162732
Umur : 50 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl masuk : 10 April 2011

2. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : nyeri dada
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
5JSMRS, Os mulai mengeluhkan nyeri dada di bagian ulu hati. Nyeri
dirasakan seperti ditindih, sehingga Os menjadi merasa sulit bernafas.
Nyeri dirasakan lebih dari 20 menit. Nyeri menjalar hingga ke pundak
bagian kiri. Nyeri mulai dirasakan setelah Os melakukan aktivitas. Os
juga merasakan mual, namun tidak sampai muntah. Os kemudian
meminta dikerik. Tidak ada obat-obatan yang diminum. Nyeri
kemudian mereda sendiri setelah Os beristirahat.
1JSMRS, Os kembali merasa nyei dada yang lebih berat dari
sebelumnya. Nyeri dirasakan setelah mandi. Mual kembali dirasakan

2
pasien. Keringat juga banyak keluar dari tubuh pasien. Nyeri tidak
mereda meskipun Os beristirahat.
Os mengatakan bahwa malam hari sebelumnya, Os minum Alkohol
dalam jumlah banyak hingga mabuk. Sebelumnya Os mempunyai
kebiasaan minum alkohol, minimal seminggu sekali. Os juga memiliki
kebiasaan merokok 1 bungkus tiap 2 hari.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit serupa (-), Penyakit Jantung (-), Keracunan Alkohol (+),
Hipertensi (tidak tahu)
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Penyakit Jantung (-), Tekanan darah tinggi (+)

3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Kondisi Umum : Compos Mentis, pasien tampak kesakitan, status gizi
tampak cukup
B. Status Vital : TD : 140/80 mmHg, posisi semi-fowler
Nadi : 56 x/menit, regular, isi dan tekanan cukup
RR : 28x/menit, reguler
Suhu : 37,1C, suhu axilla
C. Kepala : c.a (-), s.i (-)
D. Leher : lnn ttb, JVP tak meningkat
E. Thorak : P/ simetris, sonor di semua lapang, vesikuler +/+, ST -/-
J/ IC pada SIC V LMCS, HR 56x/menit, konfigurasi dbn,
S1-2 normal, bising (-)
F. Abdomen : Kontur DP>DD, BU (+) normal, tympani (+), H/L ttb, NT
(-)
G. Ekstremitas : akral dingin, diaphoresis (+)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. GDS : 108 mg/dL
B. EKG : sinus, HR 56x/menit, ST elevasi pada Lead II, III, aVF
C. Darah rutin : Hb : 12,7 g/dL Hct : 38,6%
AL : 10,4 AT : 177
D. Kimia darah : Total kolesterol : 168
Trigliseride : 259 (>>)
SGOT : 129 (>>)
SGPT : 23
Asam urat : 5,81
Ureum : 34
Creatinin : 0,66

5. DIAGNOSIS
STEMI Inferior (Onset 6 jam, Killip I)

3
6. PENATALAKSANAAN
- O2 4 lpm nasal kanul
- Inf. Ringer Asetat 20 tpm
- Inj. Ranitidin 1A/12jam
- ISDN 3 x 1 tab
- Aspirin 2 x 80mg
- Diazepam 1 x 2mg
- Sucralfat Syrup 3 x CI
- Inj. Arixtra 1A / 24 jam

6. EDUKASI
- Tirah baring total
- Hindari mengejan selama perawatan di RS
- Hentikan kebiasaan merokok
- Hentikan kebiasaan mengkonsumsi alkohol
- Minum obat secara teratur sesuai anjuran dokter
- Diet Jantung sesuai AHA
Asupan lemak maksimal < 25-35% total kalori/hari
Asupan lemak jenuh maksimal < 7% dari total kalori
Asupan cholesterol < 200mg/hari
Asupan garam maksimal 2400mg/hari
- Hindari Stres

7. EKG

4
MANAJEMEN PADA PASIEN DENGAN SINDROM
KORONER AKUT

5
Penanganan terhadap adanya suatu kumpulan gejala penyakit jantung
koroner, harus dilakukan secara cepat dan tepat. Data Epidemiologis
menunjukkan bahwa 40% kematian akibat SKA terjadi sebelum seorang pasien
SKA mencapai rumah sakit. Data lain menunjukkan bahwa 250.000 kematian
terjadi dalam 1 jam setelah onset, sebelum terapi dimulai, dan sebanyak 12% yang
datang dengan angina tak stabil, akan berkembang menjadi infark myocard dalam
2 minggu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penangan awal akan sangat
menentukan prognosis pasien dengan sindrom koroner akut (SKA). Untuk itu,
sebelum masuk ke tahap penangan, kita perlu lebih dahulu memahami cara
mendiagnosis suatu SKA.

A. Tanda dan Gejala


Berikut merupakan gejala yang mengarah pada SKA:
1. Nyeri dada bagian tengah atau kiri, seperti ditekan, diremas, dibakar,
terasa penuh yang terjadi dalam beberapa menit
2. Nyeri tersebut dapat menjalar ke dagu, leher, bahu, punggung, atau
kedua lengan
3. Dapat disertai rasa mual, sempoyongan, berkeringat, berdebar-debar
atau pun sesak nafas
Hasil dari pemeriksaan fisik pasien dengan SKA dapat normal. Namun
dapat pula ditemukan berbagai tanda berikut :
1. Hipotensi, menunjukkan disfungsi ventrikuler
2. Hipertensi, menunjukkan adanya respon katekolamin
3. Diaphoresis, menunjukkan adanya respon katekolamin
4. Edema, peningkatan tekanan vena jugularis, yang menunjukkan
adanya gagal jantung
5. Hipoksemia
Perlu diingat bahwa kita harus dapat melakukan kajian ananmnesis,
pemeriksaan fisik, EKG 12-sadapan dalam 10 menit pertama sejak pasien
tiba di UGD. Kemudian, apa saja yang harus segera kita lakukan di UGD,
akan dijelaskan dalam bahasan berikutnya.

B. Penangan di ruang UGD


Penilaian harus dilakukan dalam 10 menit pertama sejak pasien tiba di
UGD, penilaian yang dilakukan meliputi :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik : tanda vital, tanda gagal jantung, dsb
3. Kaji EKG 12-sadapan, dan Saturasi oksigen
4. Pasang jalur IV
5. Tentukan tindakan reperfusi dini dan perhatikan kontraindikasinya
(kontraindikasi tnrombolisis)
6. Pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah

6
Sembari melakukan berbagai kajian di atas, kita dapat memulai memberikan
penganan awal terhadap SKA, yakni :
1. Oksigen
Lebih dari 70% pasien SKA disertai hipoksemia. Penelitian
menunjukkan bahwa pemberian oksigen akan mengurangi ST elevasi,
hal ini dimungkinkan karena akan mengurangi kerusakan otot jantung
melalui mekanisme peningkatan suplai oksigen
2. Nitrogliserin
Di Indonesia, dapat dijumpai ISDN (Isosorbit Dinitrat) sublingual yang
diberikan 5mg/3-5 menit, dengan maksimal 3x pemberian. Nitrat
mempunyai dua efek utama. Pertama, Nitrat bereperan sebagai
venodilator, sehingga akan menyebabkan pooling darah, yang
selanjutnya akan menurunkan venous return (preload), sehingga kerja
jantung akan berkurang. Selain itu, Nitrat juga akan merelaksasikan
otot polos pembuluh koroner, sehingga suplai oksigen pada jantung
akan ditingkatkan. Sehinga kedua hal di atas akan memberikan efek
perlindungan pada jantung dan sekaligus mengurangi gejala angina.
Karena nitrat merupakan venodilator, maka penggunaannya harus
dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan infark ventrikel kanan
dan inferior. Tidak boleh diberikan pada pasien dengan TD 90mmHG
atau 30mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal (jika dilakukan).
3. Morfin
Dapat diberikan secara intravena dengan dosis 2-4mg. Diberikan jika
nyeri tidak berkurang dengan ISDN. Efek analgesia akan menurunkan
aktivasi SSP dalam melepaskan katekolamin, sehingga akan
menurunkan konsumsi oksigen oleh sel otot jantung. Selain itu, morfin
juga memiliki efek venodilator yang akan menurunkan beban ventrikel
kiri (preload). Terakhir, morfin juga akan menurunkan tahanan vaskular
sistemik, sehingga dapat menurunkan afterload.
4. Apirin
Dosis Aspirin yang digunakan adalah 160-325mg, dengan dosis
pemeliharaan 75-162 mg/hari Tablet kunyah aspirin memiliki efek anti-
agregasi platelet yang ireversibel. Apirin bekerja dengan cara
menghambat enzim cyclooksigenase yang selanjutnya akan berefek
pada penurunan kadar thromboxan A2, yang merupakan activator
platelet. Selain itu, Apirin juga memiliki efek penstabil plak.
Berdasarkan penelitian, pemberian Aspirin akan menurunkan angka
mortalitas pasien dengan STEMI.
Untuk mempermudah kita dalam mengingat penanganan pengobatan awal
terhadap SKA, maka sebagai bantuan, terdapat singkatan ONiMA (Oksigen-
Nitrat-Morfin-Aspirin) atau MONA (Morfin-Oksigen-Nitrat-Aspilet).

7
5. Heparin
Heparin akan dijelaskan pada bab tersendiri
Pada tahap selanjutnya, kita akan melakukan tindakan berdasar hasil kajian
EKG 12-sadapan.

C. Manajemen pasien dengan STEMI


STEMI ditandai dengan adanya peningkatan (elevasi) segmen ST > 1mm
(0,1mV) pada minimal 2 sadapan ekstremitas atau prekordial yang
bersebelahan, atau adanya LBBB baru atau diduga baru. Apabila onset < 12
jam, maka lakukan tindakan reperfusi dini dengan metode thrombolisis
(fibrinolisis), atau dengan tindakan invasif berupa PCI (Percutaneus Coronary
Intervention) Primer.
1. Tentukan onset serangan
Apakah onset < 12 jam atau lebih. Bedasar penelitian, tindakan
reperfusi < 6 jam sejak onset sangat bermanfaat, apabila 6-12 jam sejak
onset masih bermanfaat, namun apabila > 12 jam sejak onset, maka
tindakan reperfusi awal tidak bermanfaat.
2. Tindakan yang sebaiknya dipilih (Fibrinolisis / PCI ?)
Terlebih dahulu kita sadari di mana kita bekerja, apakah RS tempat kita
bekerja memiliki fasilitas terapi reperfusi invasif atau tidak, dan apabila
tidak, kita tentukan berapa waktu yang kita butuhkan untuk pasien
dapat sampai ke RS rujukan yang terdapat terapi PCI.
- Apabila memilih PCI, kontak door-balloon sebaiknya < 90 menit.
Artinya adalah bahwa sejak pasien tiba di UGD hingga pemasangan
balon PCI, sebaiknya dilakukan dalam waktu < 90 menit.
Ketentuan ini oleh AHA (American Heart Association) didasarkan
pada angka survival rate pasien dalam 30 hari paska-PCI, di mana
pada pasien yang menjalani PCI dalam waktu < 60 menit sejak tiba
di UGD, dibanding dengan yang menjalani PCI dalam waktu > 90
menit, angka survival rate-nya yakni 1% berbanding 6,4%.
- Apabila waktu tersebut dirasa tidak memungkinkan, dapat dipilih
terapi fibrinolisis dengan target door-needle < 30 menit.
3. Lakukan penilaian derajat risiko pasien STEMI tersebut
Penilaian dapat dilakukan dengan klasifikasi Kilip :
- Klip I : tidak ada tanda gagal jantung
- Kilip II : pasien dengan ronkhi basah basal, S3 gallop, atau
peningkatan tekanan vena jugularis
- Kilip III : dengan tanda edema paru akut yang nyata
- Kilip IV : dengan tanda syok( TD < 90mmHg)
Pada pasien dengan Kilip 3, pilih terapi invasif PCI.
4. Periksa ada tidaknya kontraindikasi dilakukan Fibrinolisis pada pasien
Berikut kontraindikasi absolut terapi fibrinolisis
- Perdarahan intrakranial

8
- Riwayat stroke iskemik < 3 bulan
- Tumor intrakranial
- Cedera kepala tertutup atau cedera wajah < 3 bulan
- Malformasi struktur vaskular otak
- Diseksi aorta
- Gangguan sistem pembekuan darah atau adanya perdarahan internal
aktif
Kontraindikasi relatif-nya yakni:
- TD > 180/110 mmHg
- Riwayat stroke iskemik > 3 bula, demensia
- Operasi besar < 3 bulan
- Perdarahan internal < 4 minggu
- Pernah mendapat streptokinase
- Hamil
- Ulkus peptikum aktif
- Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi
Perbandingan antara PCI dengan Fibrinolisis
Berdasarkan hasil penelitian, terapi reperfusi dengan teknik infasif PCI
lebih menguntungkan daripada dengan non-infasif thrombolisis. Hal ini
didukung dengan suatu studi meta-analisis yang dilakukan oleh Lancet
(2003), yang melibatkan 7739 pasien unuk membandingkan outcome
antara terapi PCI-primer dengan terapi fibrinolisis. Dari penelitian
didapatkan bahwa, angka mortalitas setelah terapi tersebut, yakni 7%
berbanding 9%. Juga terdapat perbedaan pada angka kejadian re-
infark, yakni 3% berbanding 7%, dan angka kejadian stroke, yakni 1%
berbanding 2%.
Percutaneus Coronary Intervention (PCI)
Disebut juga tindakan intervensi koroner perkutan, yaitu suatu teknik
untuk menghilangkan thrombus dan melebarkan pembuluh darah
koroner yang menyempit, dengan menggunakan kateter balon, yang
diikuti pemasangan stent.
Terdapat dua jenis PCI, yakni PCI primer dan PCI elektif. PCI primer
merupakan tindakan emergensi yang dilakukan saat terjadinya serangan
jantung (onset <12jam), yang bertujuan untuk menyelamatkan area
pada jantung terhadap ancaman meluasnya infark. Sedangkan, PCI
elektif merupakan tindakan yang dilakukan, saat tidak dalam serangan,
yang bertujuan agar sel otot jantung mendapatkan aliran darah yang
lancar kembali. Tindakan ini didasarkan atas penilaian risiko yang
diamati lewat angiography, atau pun dilakukan setelah kegagalan terapi
fibrinolisis.
Dosis terapi Fibrinolisis

9
Terapi fibrinolisis yang tersedia di Indonesia adalah dengan
Streptokinase 1,5 juta unit, yang dilarutkan dalam 100c NaCl 0,9%,
diberikan secara infus dalam 1 jam. Apabila terapi tidak berhasil, dapat
dilakukan PCI atau Thrombolisis ulang.
Streptokinase pada dasarnya mempunyai prinsip kerja yang sama
dengan suatu tissue plasminogen activator (tPa). Keduanya bekerja
dengan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Hanya, pada
streptokinase, bekerja dengan cara berikatan terlebih dahulu dengan
plasminogen, dan membentuk suatu kompleks Streptokinase-
plasminogen. Selanjutnya kompleks tersebut baru akan mengaktivasi
konversi plasminogen menjadi plasmin, yang kemudian akan
memfasilitasi terjadinya lisis bekuan.
Selama pemberian, kita harus memantau adanya perdarahan,
hipotensi/syok, dan reaksi alergi.
Berikut penanganan apabila terjadi hal-hal di atas :

Tabel 1. Efek samping terapi fibrinolisis dan penanganannya


Efek samping terapi
Manajemen
fibrinolisis
Perdarahan Hentikan fibrinolitik, berikan FFP 2-4 unit,
Injeksi Asam Tranexamat 10mg/kgBB IV
pelan
Hipotensi Posisikan kepala lebih rndah dari kaki pasien,
resusitasi cairan secara hati-hati, dapat
diberikan dopamine/dobutamin, hentikan
terapi fibrinolitik apabila hipotensi mentap
Reaksi alergi Berikan kortikosteroid atau antihistamin

Tanda keberhasilan terapi thrombolisis :


- Berkurangnya rasa nyeri
- Kembalinya ST-elevasi ke garis iso-elektrik setelah terapi,minimal
50 % dari pemeriksaan awal
Tanda kegagalan terapi thrombolisis :
- Nyeri dada menetap
- ST elevasi menetap

10
Gambar 1. Mekanisme kerja Streptokinase/tissue plasminogen activator

D. Manajemen pasien dengan NSTEMI atau UAP (Unstable Angina Pectoris)


NSTEMI/UAP ditandai dengan adanya depresi segmen ST sebesar 1mm
(0,1mV) atau adanya inversi T yang simetris 1mm. Pasien NSTEMI dan
UAP dapat dibedakan melalui pemeriksaan enzim jantung. Adanya kenaikan
kadar, mengindikasikan adanya infark (NSTEMI). Namun penanganan
keduanya mempunyai prinsip yang sama, yakni :
1. Menilai status risiko
Pertama, kita nilai terlebih dahulu status risikonya. Apabila pasien
masuk ke dalam kategori risiko tinggi, maka pilihan terapi adalah
secara infasif dini. Pasien dalam risiko tinggi jika terdapat :
- Nyeri dada iskemik berulang
- Deviasi ST yang berulang
- Ventrikel Takikardi
- Hemodinamik tidak stabil
- Adanya tanda gagal pompa
2. Tindakan invasif dini, yakni dengan melakukan angografi koroner dan
revaskularisasi dalam 12 48 jam. Revaskularisasi dapat berupa PCI
maupun CABG (Coronary Artery Bypass Grafting).
3. Sedangkan terapi konservatif pada pasien NSTEMI/UAP adalah dengan
ONIMA + Heparin. Kemudian lakukuan EKG dan Cardiac Marker secara
serial

11
Gambar 2. Revaskularisasi dengan PCI dan CABG

E. Terapi tambahan pada pasien SKA


Selain terapi penanganan pertama yang telah dijelaskan sebelumnya dan
reperfusi dini, pasien dengan SKA perlu mendapatkan terapi tambahan sebagai
berikut :
1. ACE-Inhibitor / ARB
ACE-Inhibitor sebaiknya mulai diberikan pada 24 jam pertama dan
dilanjutkan pada pasien paska-STEMI, yang bukan dengan risiko
rendah. (Risiko rendah didefinisikan sebagai pasien dengan normal
LVEF, risiko penyakit jantung yang terkontrol, atau yang telah
menjalani terapi revaskularisasi, kecuali jika terdapat kontraindikasi.
(Rekomendasi kelas I).
Pemberian ACE-Inhibitor pada pasien risiko rendah, dilakukan sesuai
indikasi (Rekomendasi kelas IIa)
Dosis :
- Lisinopril : 5mg segera, kemudian 5mg dalam 24 jam
berikutnya, dilanjutkan 10 mg/hari untuk 6 minggu paska STEMI
- Captopril : dosis inisial 6,25mg, diikuti 12,5mg/dosis selama
beberapa hari berikutnya, kemudian ditingkatkan lagi 25mg/dosis,
dan target yakni 50 mg/dosis. Masing-masing dosis tersebut
diberikan 3x/hari.
2. -blocker
Penggunaan -blocker pada setiap pasien dalam 24 jam pertama paska
infark miokardium, SKA, atau disfungsi ventrrikel kiri bermanfaat,
kecuali jika terdapat kontraindikasi. (Rekomendasi kelas 1)
Berdasar penelitian, pemberian B-blocker paska SKA akan mereduksi
risiko mortalitas dini (dalam 7 hari) sebesar 14 %, dan juga mereduksi
risiko mortalitas jangka panjang sebesar 23 %. Penggunaan obat ini
juga dapat menurunkan risiko progresifitas suatu NSTEMI/UAP
menjadi STEMI sebesar 13 %.
Dosis :
- Atenolol : angina : 50-100mg/hari dalam 1 atau 2x pemberian.
Diberikan selama 6-9 hari paska infark

12
- Propanolol : dosis inisial 20-40 mg/dosis, pemeliharaan 120-
320mg/hari. Pemberian 2x/hari
3. HMG CoA reductase Inhibitor
Pengobatan dengan golongan statin akan bermanfaat dalam
mengahambat pembentukan plak atherosclerotik lebih lanjut, dan juga
akan membuat plak yang telah terbentuk, menjadi lebih stabil, sehingga
risiko tejadinya thrombus dapat diperkecil. Peran statin sebagai
penstabil plak dijalankan dengan menghambat ekspresi enzim matriks
metalloproteinase yang dihasilkan oleh makrofag, sel endotel, dan sel
otot polos pembuluh darah, di mana enzim tersebut dapat memecah
komposisi dari fiber caps dari suatu plak, sehingga menjadikan suatu
plak rentan untuk ruptur.
4. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Terdapat manfaat pada penggunaan ARB pada pasien dengan
intoleransi ACE-I, yang mengalami hipertensi (Rekomendasi Kelas 1)
5. Clopidogrel
Pada pasien paska-PCI dengan stent bare metal, clopidogrel sebaiknya
diberikan untuk jangka waktu minimal 1 bulan, dan idealnya hingga 12
bulan (kecuali hanya jika terdapat risiko perdarahan, pemberian
diberikan minimal 2 minggu) (Rekomendasi Kelas 1)
Dosis : Inisial 300mg/hari, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

F. Terapi Heparin
Heparin merupakan suatu antikoagulan yang bekerja dengan cara
menghambat kaskade pembekuan darah, dengan menginhibisi faktor-faktor
pembekuan darah, yakni : faktor IIa, Xa, IXa, XIa, dan XIIa. Untuk dapat
melakukan aksinya, di dalam plasma, heparin perlu berikatan dengan kofaktor
yang disebut anti-trombin (AT). Selain itu, heparin juga akan menginduksi
sekresi inhibitor jalur faktor jaringan oleh sel endotel pembuluh darah. Hal ini
akan menghambat kompleks faktor jaringan-faktor VIIa, yang selanjutnya
berkontribusi dalam efek antitrombotik.
Dosis pemberian Heparin adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Dosis dan cara pemberian terapi heparin

60-70 U/kgBB (max 5000 U)


Bolus IV
UFH Infus 12 U/kgBB/jam (max 1000 U/jam)
Target aPTT 1,5 2 kali nilai normal (60 80 detik)
Enoxaparin 1mg/kgBB, 2x/hari, sc
LMWH
Fondafarinux 2,5 mg, 1x/hari, sc

13
1. Unfractionated Heparin (UFH)
Heparin merupakan suatu molekul dengan berat antara 3000
30000 dalton dengan sediaan yang beredar biasanya antara 12000-15000
dalton. Heparin dapat di-adminstrasikan baik secara iv (infusan), maupun
sc. Pemberian secara sc harus cermat dalam memperhatikan dosis, karena
bioavalibilitas-nya yang rendah. Efek yang cepat dapat diperoleh lewat
pemberian secara iv. Dosis pemberian UFH dimonitor dengan memantau
aPTT, dengan target terapi, yakni kenaikan 1,5-2x lipat dari nilai aPTT
normal. Hal ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya respon
antikoagulan dari pemberian suatu UFH. Penilaian aPTT dilakukan 6 jam
setelah pemberian awal heparin. Meskipun demikian, berdasar hasil
penelitian, tidak ditemukan adanya hubungan langsung antara perubahan
aPTT dengan efikasi suatu UFH.
Pemberian UFH terhadap pasien dengan SKA telah diletili.
Berdasar penelitian tersebut, didapatkan bahwa pemberian Heparin jangka
pendek akan menurunkan angka rekurensi angina, dan kejadian infark
miokardium akut. Penelitian lain menyatakan bahwa pemberian kombinasi
heparin dan aspirin akan menurunkan risiko kematian akibat infark
miokardium 30 % lebih besar dibanding pemberian aspirin saja.

2. Low Molecular Weight Heparin


Low Molecular Weight Heparin atau yang disingkat LMWH
merupakan derivat dari Heparin yang diperoleh dengan cara dipolimerisasi
kimia. Berat mokelul LMWH antara 1000-10000 dalton dengan rerata
antara 4500-5000 dalton. Perbedaan LMWH dibanding UFH selain
terletak pada berat molekulnya, juga terletak pada farmakokinetiknya.
LMWH dalam aksinya, memiliki rasio penghambtan faktor Xa IIa yang
lebih besar daripada UFH. Artinya bahwa LMWH lebih menghambat
faktor Xa, sehingga aPTT kurang terpengaruh dengan pemberian LMWH
(karena aPTT terutama dipengaruhi faktor IIa). Selain itu, LMWH juga
memiliki waktu paruh plasma yang lebih panjang dan biovailibilitas yang
lebih baik dibanding UFH, sehngga respon terhadap dosis yang diberikan
lebih terprediksi. Hal inilah yang membuat pemberian LMWH hanya
didasarkan berat badan pasien, dan tidak dipengaruhi hasil pemantauan
aPTT seperti halnya pada pemberian UFH.

14
Gambar 2. Mekanisme kerja heparin

G. Penguunaan NSAID dalam SKA


Rekomendasi terbaru dari AHA mengenai penggunaan obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS), yakni bahwa pada setiap pasien STEMI, penggunaan
COX-2 inhibitor atau pun OAINS yang lain, kecuali aspirin, harus dihentikan.
Hal ini dikarenankan obat-obat tersebut dapat meningkatkan risiko mortalitas,
reinfark, hipertensi, gagal jantung, dan ruptur myocard sehungungan dengan
penggunaannya. (Rekomendasi kelas 1)
Terdapat suatu panduan untuk pasien yang telah keluar dari rumash sakit,
yang memerlukan suatu pereda nyeri, yaitu bahwa penanganan harus dimulai
dengan acetaminophen, yang berlanjut sesuai urutan yang direkomendasikan.
Berikut merupakan diagram urutan penggunan OAINS pada pasien yang telah
keluar dari rumah sakit paska SKA, berdasar panduan AHA 2007.

Gambar 3. Urutan penggunaan OAINS pada pasien SKA sesuai


rekomendasi AHA

H. Penanganan Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan kurangnya perfusi jaringan,
yang diakibatkan disfungsi kardiak. Hal ini dapat merupakan suatu komplikasi
dari infark miokardium (7-10%). Tanpa penanganan yang tepat, syok

15
kardiogenik berkaitan dengan angka mortalitas sebesar 70-80%. Syok
kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien dengan infark
miokardium akut yang dirawat di rumah sakit.
Berikut ini merupakan kriteria klasik penegakan diagnosis terjadinya syok
kardiogenik :
1. Hipotensi sistemik : tekanan darah sistolik < 80mmHg
2. Hipotensi persisten : setidaknya bertahan 30 menit
3. Hipoperfusi jaringan : oligouria, hipoperfusi, kesadaran menurun
4. Penurunan fungsi sistolik : indeks cardiac < 1,8 x m2/menit
5. Peningkatan pengisian ventrikel kiri : tekanan baji paru > 18mmHg
Berdasarkan panduan dari AHA, revaskularisasi dini, baik PCI maupun CABG,
direkomendasikan pada pasien < 75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB baru
yang mengalami syok, kecuali jika pasien menolak (Rekomendasi kelas 1).
Terapi fibrinolisis sebaiknya juga diberikan jika tidak terdapat fasilitas di atas,
dan jika tidak terdapat kontraindikasi fibrinolisis (Rekomendasi kelas 1).
Berikut merupakan panduan tata laksana pasien infark miokardium yang
dicurigai disertai syok cardiogenik:

Gambar 4. Panduan tatalaksana hipotensi pada pasien dengan infark

I. Kajian antara teori dan kasus

16
Pada kasus di atas, nyeri yang dirasakan pasien dapat dimasukkan ke
dalam nyeri khas kardial berdasar ciri-ciri yang disampaikan oleh pasien
pada saat anamnesis
Penegakkan diagnosis SKA pada kasus tersebut didasarkan adanya angina,
dan hasil EKG yang abnormal berupa elevasi segmen ST
Penanganan pertama pada pasien ini telah sesuai, yakni ONIMA. Morfin
tidak diberikan karena nyeri dada pada pasien sudah mereda dengan
pemberian ISDN sublingual. Hal ini sesuai dengan panduan AHA.
Karena onset serangan pada pasien ini masih kurang dari 6 jam, maka
sebaiknya pasien disarankan untuk melakukan terapi reperfusi dini berupa
terapi fibrinolisis ataupun PCI. Namun hal tersebut juga sebaiknya sudah
dipikirkan sejak pasien tiba di UGD, mengingat door to needle sebaiknya
< 30 menit, dan door to balloon < 90 menit.
Pemberian terapi tambahan telah dilakukan pada pasien ini, seperti
pemberian heparin subkutan.

J. Referensi

Antman, E.M.,et al.2008.ACC/AHA Guideline for the Management of Patient


With ST-Elevation Myocardial Infarction.Circulation.117:296-329

Coven, L.D.2011.Acute Coronary Syndrome.Medscape Reference.

Hirsh, J.,et al.2011.Heparin and Low-Molecular-Weight-Heparin Mechanism


of Action, Pharmacokinetics, Dosing, Monitoring, Efficacy, and Safety.
Chest Journal. American College of Chest Physician.

Hochman,S.J.2003.Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial


Infarction. Circulation.107:2998-3002

Lu, Z.,2009.Effect of Simvastatin on the Atherosclerotic Plaque Stability and


the Angiogenesis in the Atheroslerotic Plaque of Rabbits.Chinese Science
Bulletin

Morucci, M., et al.2006.Door to Balloon Time in Primary Percutaneous


Coronary Intervention.Circulation.113:1048-1050

17
Santoso, K., et al.2010. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut
ACLS (Advanced Cardiac Life Support) Indonesia. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, Jakarta.

Kontraindikasi

Revaskularisasi Konservatif

Lanjutkan terapi tambahan dan :


PCI
CABG 18
- HMG Co-a reductase- Inhib
Nilai EKG 12-sadapan

Pengobatan
O : Oksige
Ni : ISDN s
3x pem
M : Morfin
A : Aspirin

Penilaian dalam 10 menit :


1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik & SaO2
3. EKG 12-sadapan
4. Akses IV
5. Tentukan tindakan reperfu
6.Periksa cardiac marker, pe

19

Anda mungkin juga menyukai