Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Non-Performing Loan merupakan salah satu indikator dalam menilai kinerja fungsi
bank, dimana fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediary. Tingginya tingkat NPL
menunjukkan kesehatan bank yang rendah karena banyak sekali terjadi kredit bermasalah
di dalam kegiatan bank tersebut. Dengan mengetahui prosentase Non-Performing Loan
yang terjadi pada suatu bank, maka masyarakat dan Bank Central (Bank Indonesia) dapat
mengambil langkah yang bijak dalam menyikapi dan menghadapi bank tersebut.Tingginya
rasio Non-Performing Loan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor eksternal dan
juga internal.Faktor eksternal contohnya adalah fenomena ekonomi yang terjadi baik
secara global maupun nasional sementara untuk faktor internal contohnya adalah
kebijakan-kebijakan kredit yang diambil oleh bank yang bersangkutan.
Kebijakan-kebijakan kredit yang diambil meliputi penetapan suku bunga kredit,
jangka waktu pembayaran/pelunasan, jenis-jenis kredit yang disediakan, dan lain-lain.
Selain itu, kita juga melihat fakor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya
kenaikan rasio NPL karena dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat memicu
kemungkinan naiknya tingkat NPL maka bank akan dapat melakukan antisipasi terlebih
dahulu dalam mempersiapkan kebijakan-kebijakan kredit yang 6 akan dikeluarkan agar
tetap memberikan keuntungan dan pendapatan yang maksimal bagi bank tanpa
memperbesar kemungkinan naiknya angka Non-Performing Loan. Semakin tinggi tingkat
Non-Performing Loan maka akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan bank yang akan
menjalar pada tingkat kepercayaan masyarakat yang ingin menyimpan kelebihan dananya
pada bank tersebut.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

II. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Non- Performing Loan?
2. Apakah faktor-faktor yang dapat menimbulkan Non- Performing Loan ?
3. Bagaimana cara untuk mengatasi Non- Performing Loan ?

1
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengertian Non- Performing Loan

Menurut Slamet Riyadi (2006) rasio Non-Performing Loan merupakan perbandingan


antara jumlah kredit yang diberikan dengan tingkat kolektibilitas yang merupakan kredit
bermasalah dibandingkan dengan total kredit yang diberikan oleh bank. Kredit bermasalah
ialah kredit yang tidak lancar atau kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan
yang diperjanjikan (Mudrajaddan Suhardjono, 2002), misalnya persyaratan pembayaran
bunga, pengambilan pokok pinjaman bunga, peningkatan margin deposit, pengikatan dan
peningkatan agunan, dan sebagainya. Rasio Non-Performing Loan (NPL) atau tingkat
kolektibilitas yang dicapai mencerminkan keefektifan dan keefisienan dari penerapan
strategi pemberian kredit. Menurut ketentuan Bank Indonesia terdapat tiga kelompok
kolektibilitas yangmerupakan kredit bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) adalah
sebagai berikut : (Kuncoro dan Suhardjono, 2002)
1. Kredit kurang lancar (substandard) dengan kriteria:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90hari.
b. Sering terjadi cerukan.
c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah.
d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari.
e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur.
f. Dokumentasi pinjaman yang lemah.
2. Kredit Diragukan (doubtful) dengan kriteria:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari.
b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen.
c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari.
d. Terjadi kapitalisasi bunga.
3. Kredit Macet (loss) dengan kriteria:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari.
b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.
c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai
wajar.

Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk
membayarkan kewajiban, baik berupa pembayaran bunga maupun pengembalian pokok
pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan
NPL sekecil mungkin. Dengan kata lain, tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh
kemampuan Bank dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun
dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit
disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun
indikasi gagal bayar (Djohanputro dan Kountur, 2007).

Kualitas Aktiva produktif dalam bentuk kredit ditetapkan dalam empat golongan
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, yaitu
: Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.

Untuk Non-Performing Loan (NPL) Bank Indonesia telah menentukan sebesar 5%.
Apabila Bank mampu menekan rasio NPL dibawah 5%, maka potensi keuntungan yang

2
akan diperoleh akan semakin besar, karena bank-bank akan semakin menghemat uang
yang diperlukan untuk membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah atau Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Adapun penilaian rasio ini menurut Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Hasil Penilaian Faktor NPL

Predikat Rasio NPL


Sehat 0% - 10,53%
Cukup Sehat >10,35% - <=12,60%
Kurang Sehat >112,6% - <=14,85%
Tidak Sehat >14,8%

Sumber : Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR 30

Potensi terjadinya NPL dimulai dari tahap awal persetujuan kredit, terutama
pemberian kredit yang tidak sehat. Supaya NPL tidak membengkak, bank-bank hendaknya
lebih berhati-hati dalam penyaluran kredit. Misalnya menyalurkan kredit ke sektor yang
ber-NPL rendah dan berprospek bisnis tinggi (Infobank, 2003). Hendaknya selalu diingat
bahwa perubahan penggolongan kredit dari kredit lancar menjadi NPL adalah secara
bertahap melalui propses penurunan kualitas kredit (Dunil, 2005). Salah satu risiko yang
muncul akibat semakin kompleksnya kegiatan perbankan adalah munculnya Non-
Performing Loan (NPL) yang semakin besar. Dengan kata lain semakin besar skala operasi
suatu bank maka aspek pengawasan semakin menurun, sehingga NPL semakin besar atau
risiko kredit semakin besar (Mawardi, 2005).

. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan Non- Performing Loan.

Kredit lancar yang diberikan bank dapat berubah menjadi kredit bermasalah (kurang
lancar, diragukan, maupun macet). Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kredit
bermasalah tersebut, maka perlu diadakan sistem pengenalan diri secara sistematis yang
berupa daftar kejadian atau gejala yang dapat menyebabkan kredit menjadi bermasalah.
Gejala tersebut terjadi karena beberapa faktor berikut : (Dendawijaya, 2001)
1. Faktor interal bank yang memberikan kredit, seperti :mark up yang dilakukan dengan
sengaja, feasibility study yang dibuat supaya proyek sangat feasible, 31 adanya praktik
KKN, kurang ketatnya monitoring kredit, dan sebagainya. Adanya faktor-faktor ini
setidaknya berpengaruh terhadap tingkat rasio-rasio kesehatan bank seperti CAR dan
LDR serta mempengaruhi total asset yang dimiliki oleh bank yang tercermin dalam
rasio bank size.
2. Faktor internal perusahaan (nasabah bank), seperti mismanagement dalam perusahaan
nasabah, kesulitan keuangan, kesalahan dalam produksi, kesalahan dalam marketing
strategy, dan sebagainya.
3. Faktor eksternal seperti keadaan ekonomi secara makro yang tercermin dalam tingkat
Gross Domestic Product dan juga tingkat inflasi, kenaikan nilai tukar US dolar terhadap
rupiah yang menaikkan harga pokok produk/jasa, kebijakan pemerintah, dan
sebagainya.

Adapun dari berbagai faktor di atas, dapat diambil beberapa rasio sang sesuai dengan
research gap dan fenomena gap yang terjadi, antara lain :
1. Bank size

3
Rasio Bank Size diperoleh dari total assets yang dimiliki bank yang bersangkutan jika
dibandingkan dengan total assets dari bank-bank lain atau dirumuskan sebagai berikut :
(Ranjan dan Dahl, 2003)

Bank Size = Total asset Bank x


100%
Total asset seluruh Bank Populasi

Assets disebut juga aktiva. Menurut Sastradipura (2004), sisi aktiva pada bank
menunjukkan strategi dan kegiatan manajemen yang berkaitan dengan tempat
pengumpulan danameliputi kas, rekening pada bank sentral, pinjaman jangkapendek
dan jangka panjang, dan aktiva tetap. Manajemen aktiva bank ialah manajemen yang
berhubungan dengan alokasi dana ke dalam kemungkinan investasi. Alokasi dana ke
dalam investasi perlu direncanakan, diorganisasi, diarahkan, dan diawasi agar tujuannya
dapat tecapai.
Pengelompokkan aktiva dilihati dari sifatnya terbadi menjadi dua, yaitu:

1. Aktiva Tidak Produktif


Meliputi : alat-alat likuid dan giro bnk pada bank-bank lain dan aktif tetap dan
inventaris. Disebut aktiva tidak produktif karena aktiva ini tidak menghasilkan
laba atau rugi.
2. Aktiva Poduktif
Meliputi : kredit jangka pendek dan kredit jangka panjang, deposito pada bank
lain, call money, surat-surat berharga, penempatan dana pada bank lain di
dalam dan diluar negeri dan penyertaan modal.

Semakin besar aktiva atau assets yang dimiliki suatu bank maka semakin besar
pula volume kredit yang dapat disalurkan oleh bank tersebut. Dendawijaya (2000)
mengemukakan, semakin besar volume kredit memberikan kesempatan bagi pihak bank
untuk menekan tingkat spread, yang pada akhirnya akan 33 menurunkan tingkat
lending rate (bunga kredit) sehingga bank akan lebih kompetitif dalam memberikan
pelayanan kepada nasabah yang membutuhkan kredit. Tingkat bunga kredit yang
rendah dapat memacu investasi dan mendorong perbaikan sektor ekonomi. Tingkat
bunga kredit yang rendah juga memperlancar pembayaran kredit sehingga menekan
angka kemacetan kredit (Permono dan Secundatmo, 1993).

2. Loan Deposit Ratio (LDR)


Menurut Mulyono (1995), rasio LDR merupakan rasio perbandingan antara
jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat (kredit) dengan jumlah dana masyarakat
dan modal sendiri yang digunakan. Rasio ini menggambarkan kemampuan bank
membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan
kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin
rendah pula kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2000).
Pengelolaan likuiditas merupakan masalah yang cukup kompleks dalam kegiatan
operasi bank, hal tersebut disebabkan karena dana yang dikelola bank sebagian besar
adalah dana dari masyarakat yang sifatnya jangka pendek dan dapat ditarik sewaktu-
waktu. Likuiditas suatu bank berarti bahwa bank tersebut memiliki sumber dana yang
cukup tersedia untuk memenuhi semua kewajiban (Siamat, 34 2005). Rasio LDR
digunakan untuk mengukur likuiditas.

4
Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh
dananya (loan-up) atau reatif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah
menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap dipinjamkan
(Latumaerissa, 1999). Rasio LDR yang paling sehat menurut Bank Indonesia paling
tinggi adalah 94,75%. Hal ini berarti bahwa dana yang terhimpun, secara optimal dapat
disalurkan ke perkreditan yang merupakan asset yang paling produktif bagi bank.
Menurut Mawardi (2005) LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator
intermediasi perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR
pada saat ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
1. Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank
2. Sebagai salah satu indicator criteria penilaian Bank Jangkar (LDR min, 50%)
3. Sebagai faktor penentu besar kecilnya GWM sebuah bank
4. Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan
merger.
Begitu pentingnya arti angka LDR, maka pemberlakuannya pada seluruh bank
sedapat mungkin diseragamkan. Maksudnya, jangan sampai ada pengecualian
perhitungan LDR di antara perbankan.
Loan Deposit Ratio didapat dari jumlah kredit yang diberikan dibagi dengan
Dana Pihak Ketiga. Dana Pihak Ketiga terdiri dari simpanan masyarakat yang berupa
giro, tabungan dan bebagai jenis deposito (Dendawijaya, 2001). Atau dapat dirumuskan
sebagai berikut : (SE BI No 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001)

LDR = Kredit x
100%
Total dana pihak ketiga
3. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio menurut Lukman Dendawijaya (2000) adalah rasio
yangmemperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko
(kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut di biayai dari dana
modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar
bank, seperti dana dari masyarakat, pinjaman dan lain-lain.
Modal bank harus dapat digunakan untuk menjaga kemungkinan timbulnya risiko
kerugian sebagai akibat pergerakan aktiva bank sebagai financial intermediary,
sedangkan pergerakan pasiva ke arah aktiva akan menimbulkan berbagai risiko, dan
peningkatan peranan aktiva bank sebagai penghasil keuntungan harus dijaga. Besarnya
modal bank akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
bank (Sinungan, 2000). CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk
menutupi penurunan aktivanya sebagai 36 akibat dari kerugian-kerugian bank yang
disebabkan aktiva bank, dengan menggunakan modal sendiri (Siamat, 2001).
Menurut Widjanarto (2003), bahwa posisi CAR suatu bank sangat tergantung
pada :
1. Jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya
2. Kualitas aktiva atau tingkat kolektibilitasnya
3. Total aktiva suatu bank, semakin besar aktiva semakin bertambah pula
risikonya
4. Kemampuan bank untuk meningkatkan pendapatan dan laba.

Rasio CAR menunjukkan kemampuan dari modal untuk menutup kemungkinan


kerugian pada investasi surat-surat berharga. CAR adalah rasio keuangan yang

5
memberikan indikasi apakah permodalan yang telah memadai (adequate) untuk
menutup risiko kerugian akan mengurangi modal. CAR menurut standar BIS (Bank
for International Settlements) minimum sebesar 8%, jika kurang dari itu maka akan
dikenakan sanksi oleh Bank Sentral (Hasibuan, 2004).
Rasio CAR diperoleh dari perbandingan antara modal yang dimiliki dengan
Aktiva Tertimbang menurut Risiko (ATMR). Menurut Lukman Dendawijaya (2001),
modal yang dimiliki oleh bank terdiri dari modal inti (modal disetor, agio saham,
cadangan umum, dan laba ditahan) ditambah dengan modal pelengkap (cadangan
revaluasi aktiva tetap).
CAR dapat dirumuskan sebagai berikut :

CAR = Modal x 100%


ATMR

4. Gross Domestic Product (GDP) Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur
nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada
dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat
digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk
membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Ada dua tipe GDP, yaitu :
. GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang
dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada
tahun tersebut.
. GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan
suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu
tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang
dihasilkan pada tahun-tahun lain.

Menurut Sukirno (2004) pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan GDP


yang dalam hal ini tingkat pertumbuhan GDP adalah pada tahun tertentu dibandingka
dengan tahun sebelumnya. Menurut Putong dalam Soebagio (2005), 38 pada saat
perekonomian dalam kondisi stabil maka konsumsi masyarakat juga stabil sehingga
tabungan juga akan stabil (sesuai dengan teori Keynes). Tetapi manakala perekonomian
mengalami krisis, maka konsumsi akan meningkat dikarenakan harga barang yang naik
dan kelangkaan barang di pasar serta menurunkan tingkat tabungan masyarakat karena
adanya kekhawatiran terhadap lembaga perbankan.

Peningkatan konsumsi yang diiringi dengan menurunnya investasi dan tingkat


GDP riil maka mengindikasikan penurunan dalam memproduksi barang dan jasa
(Soebagio, 2005). Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat hasil usaha yang diperoleh
perusahaan yang merupakan sumber dana dalam pembayaran kredit dari lembaga
perbankan.
5. Tingkat Inflasi
Inflasi merupakan suatu keadaan adanya kecenderungan naiknya harga barang-
barang dan jasa (Martono dan Harjito, 2008). Menurut Kamus Bank Indonesia, inflasi
adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat
sehingga berdampak pada menurunnya daya beli, sering pula diikuti menurunnya
tingkat tabungan dan atau investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan

6
hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang. Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang 39 meningkat, berlebihnya likuiditas di
pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidaklancaran distribusi barang.
Walaupun kredit berjalan lancar dimana utang pokok dan bunga telah dibayar,
namun dengan berjalannya waktu, nilai uang tetap turun karena inflasi, maka daya beli
uang tersebut menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sebelumya yaitu pada saat
kredit diberikan (Firdaus dan Ariyanti, 2004). Pada masa inflasi yang tinggi bank telah
menderita penurunan terhadap daya beli dari rupiah yang dipinjamkan kepada
nasabahnya walaupun utang pokok dan bunga telah dibayar lunas oleh nasabah
(Mulyono, 2001). Menurut Martono dan Agus Harjito (2008), inflasi akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi baik secara makro maupun mikro termasuk kegiatan
investasi. Inflasi juga menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang berakibat
pada penurunan penjualan. Penurunan penjualan yang terjadi dapat menurunkan return
perusahaan. Penurunan return yang terjadi akan mempengaruhi kemampuan
perusahaan dalam membayar angsura kredit. Pembayaran angsuran yang semakin
tidak tepat menimbulkan kualitas kredit semakin buruk bahkan terjadi kredit macet
(Taswan, 2006) sehingga meningkatkan angka Non-Performing Loan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian dari Kevin Greenidge dan Tiffany Grosvenor (2010) yang
menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi maka akan semakin tinggi pula
tingkat NPL.

3. Cara untuk mengatasi Non- Performing Loan

Manajemen Resiko Perbankan menurut PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/


25 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK
UMUM

Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara
individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko,
serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 4
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f. Risiko Reputasi;
g. Risiko Stratejik; dan
h. Risiko Kepatuhan;

7
(2) Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Risiko paling kurang untuk 4
(empat) jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d.
Pasal 20
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis untuk mengelola risiko
yang melekat pada produk atau aktivitas baru Bank.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup:
a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan kewenangan dalam
pengelolaan produk atau aktivitas baru;
b. identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru baik yang
terkait dengan Bank maupun nasabah;
c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk atau
aktivitas baru;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk atau aktivitas baru;
e. analisa aspek hukum untuk produk atau aktivitas baru; dan
f. transparansi informasi kepada nasabah.
(3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk baru atau aktivitas baru apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya oleh Bank; atau
b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun dilakukan
pengembangan yang mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko tertentu pada
Bank.

Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses yamg diawali dengan
proses identifikasi, pengukuran, monitoring, dan kontroling terhadap risiko risiko
portofolio. Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik
dalam identifikasi, kuantifikasi, mementukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan
monitor dan pelapoan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. (Idroes,
2011:5)

Pengawasan Aktif Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan Manajemen


Idroes (2011:58-59) menyatakan bahwa tanggung jawab utama dari dewan direksi dan
dewan komisaris bank adalah untuk menentukan jenis risiko yang perlu dikelola di dalam
unit manajemen risiko berdasarkan kompleksitas bisnisnya.

Prosedur Kebijakan, Mengukur, serta Menetapkan Limit


Risiko Kebijakan manajemen risiko harus berisi suatu penilaian risiko yang berhubungan
dengan masingmasing produk dan transaksi. Penilaian tersebut meliputi:
1. Suatu metode yang tepat untuk mengukur risiko,
2. Informasi relevan yang diperlukan untuk menilai risiko (diambil dari sistem informasi
manajemen bank)
3. Penetapan limit untuk total nilai risiko, yang merupakan besaran risiko yang bersedia
ditanggung oleh bank,
4. Proses penilaian risiko dengan sistem peringkat, seperti proses credit grading, Suatu
penilaian dari scenario kasus terburuk untuk risiko tertentu
5. Memastikan semua risiko mengikuti suatu proses pengawasan yang tepat, untuk itu
peninjauan ulang secara teratur diperlukan.

8
Proses Identifikasi, Penerapan, Pemantauan, dan Sistem Informasi
Idroes (2011:60-62) menyatakan bahwa dewan direksi dari suatu bank mempunyai tugas
secara umum untuk memastikan bahwa:
a. Semua jenis risiko terdentifikasi,
b. Semua material risiko diukur, dimonitor, dan dikendalikan,

Pengukuran risiko didukung oleh informasi terbaru, akurat, dan lengkap. Sistem
Pengawasan Internal menyatakan bahwa proses manajemen risiko harus menciptakan
suatu struktur yang dapat mengatur berbagai risiko dan mempertimbangkan sebagai suatu
ancaman yang potensial bagi kelanjutan dari bisnis bank.

Risiko-risiko Perbankan yang Harus Dikelola Menurut Bank Indonesia


Idroes (2011:56-58) menyatakan bahwa Bank Indonesia mewajibkan struktur manajemen
risiko dari seluruh bank untuk mencakup risiko-risiko sebagai berikut: risiko pasar, risiko
kredit, risiko operasional, dan risiko likuiditas :

Manajemen Risiko
Kredit Proses identifikasi, penilaian, pengendalian dan pemanataun terhadap risiko kredit
melalui rating risiko kredit usaha sesuai surat edaran direksi no 023/SE-
MRI/DIR/XI/2013. Namun dalam perkembangannya, disadari perlu pembenahan dan
perbaikan terhadap metode pengukuran risiko kredit melalui Credit Rating.
Manajemen risiko pasar
Risiko pasar diukur berdasar dua komponen, yaitu risiko tingkat suku bunga dan risiko
nilai tukar. Strategi bank dalam membangun dan mengembangkan manajemen risiko
pasar, antar lain dengan mengembangkan Asset Liabilities Committe (ALCO)
Manajemen risiko operasional
Pengelolaan risiko operasional terus melakukan penyempurnaan secara berkesinambungan
dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan ini harus didukung oleh sumber daya manusia
yang berkualitas dan sistem yang mendukungnya.
Manajemen risiko likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas
tinggi yang dapat digunakan tanpa menganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Manajemen risiko umum
Kejadian risiko umum yang dapat timbul anatar lain adalah adanya kelemahan terhadap
beberapa faktor seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, kelemahan klausula
perjanjian dan/atau tidak terpenuhinya persyaratan yang telah disepakati, tidak dapat
dilaksanakannya suatu perjanjian baik untuk keseluruhan maupun sebagian.
Manajemen risiko stratejik
Pengendalian atas risiko stratejik dilakukan demi meminimalisir akibat adanya penetapan
dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak
tetap atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal bank seperti
keputusan/kebijakan bisnis, implementasi yang tidak sesuai kebijakan atau karena kurang
tanggap terhadap perubahan industri.
Manajemen risiko kepatuhan
Pemantauan atas risiko kepatuhan adalah dengan mengatur pengendalian terhadap
kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan aturan baik eksternal maupun internal yang
berlaku dalam pengelelolaan perusahaan seperti kepatuhan terhadap undang-undang,
peraturan Bank Indonesia, peraturan Otoritas Jasa Keuangan, kebijakan dan prosedur
internal, standar/kode etik dan peraturan pemerintah lainnya yang terkait.

9
Manajemen risiko reputasi
Kebijakan manajemen dalam memahami dan meminimalisir risiko reputasi bertujuan
untuk meningkatkan kepercayaan stakeholders dan publik terhadap bank, meningkatkan
nilai bank, meningkatkan kredibilitas bank dan menjaga konsistensi kelangsungan usaha
bank dalam kondisi yang sehat dan kondusif. ISSN 2303-1174 R.C.T Tengor., S. Murni.,
S. Moniharapon. Penerapan Manajemen Risiko Jurnal EMBA 353 Vol.3 No.4 Desember
2015, Hal. 345-356 Evaluasi terhadap efektivitas manajemen risiko dan
impelementasi sistem manajemen risiko
Penerapan manajemen risiko di PT. Bank SulutGo selang tahun 2014 cukup baik.
Terutama proses identifikasi risiko dan pelaksanaan mitigasi risiko yang dilakukan oleh
unit kerja, terkait hal ini terlihat bahwa selang tahun 2014 terjadi eksposur risiko yang
tinggi pada risiko pasar menyangkut surat berharga dan NPL kredit konsumer, namun
kondisi risiko ini dapat dimnitigasi dengan baik.

Penyelamatan Kredit Macet


1. Rescheduling
Suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit atau
jangka waktu angsuran. Dalam hal ini, debitur memberikan keringanan dalam masalah
jangka waktu kredit pembayaran kredit, misalnya perpanjangan jangka waktu kredit
dari 6 bulan menjadi satu tahun sehingga debitur mempunyai waktu yang lebih lama
unuk mengembalikannya.Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu
kredit. Dalam hal ini jangka angsuran kreditnya diperpanjang pembayarannya.
Misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah angsuran pun
menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran.
2. Reconditioning adalah bank mengubah berbagai persyaratan yang ada
3. Restructuring
restructuring adalah tindakan bank kepada nasabah dengan cara menambah modal
nasabah dengan pertimbangan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan
usaha yang dibiayai memang masih layak.
4. Kombinasi merupakan kombinasi dari ketiga jenis yang diatas.
5. Penyitaan jaminan
Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah benar benar tidak
punya itikad baik ataupun sudah tidak mampu bagi untuk membayar semua hutang
hutangnya.

10
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Kredit bermasalah atau yang sering disebut sebagai Non Performing Loan (NPL)
masih menjadi masalah besar yang masih sulit diselesaikan oleh lembaga keuangan
perbankan maupun non perbankan. Non Performing Loan (NPL) merupakan salah satu
indikator kunci untuk menilai kinerja lembaga keuangan, karena NPL yang tinggi adalah
indikator gagalnya lembaga keuangan dalam mengelola resiko bisnis. Kenaikan kualitas
pinjaman non produktif (NPL) akan memaksa Bank diwajibkan mengalokasikan dana yang
dihimpun untuk memperbesar dana cadangan Penyisian Penghapusan Asset (PPA) seperti
yang diatur dalam PBI berikut perubahan terbaru tentang Penilaian Kualitas Aset, dan demi
tingkat kesehatan suatu Bank diharuskan menambah modal setor guna memperkuat struktur
permodalannya, Otomatis, Bank dalam hal ini akan tergerus penghasilannya atau
menurunnya Net Profit Margin (NPM) dan akan mengurangi kemampuan perbankan
melakukan ekspansi kredit (ke sektor riil). Tindakan diagnosa terhadap setiap case NPL yang
berdasarkan data mitigasi resiko kredit (MRK) sangat perlu suatu stategi penyelamat kredit
dalam bentuk keputusan yang cepat dan tepat untuk tujuan meningkatkan ratio Loss Given
Default (LGD) dari Exposure of Default (EAD).

Bahwa penting bagi bank untuk melaksanakan Penerapan manjemen risiko khususnya
risiko kredit untuk mengatasi Non Performing Loan (NPL).

Manajemen Resiko Perbankan diatur dalam PERATURAN BANK INDONESIA


NOMOR: 11/ 25 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
BAGI BANK UMUM.

11
Daftar pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/2009 tanggal 1 Juli 2009. Perihal Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum, Jakarta.

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 25 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN


ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/8/PBI/2003 TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM

Buku ;

Rifangga C.T Tengor Sri Murni Silcyljeova Moniharapon. 2015. Penerapan Manajemen
Risiko Untuk Meminimalisir Risiko Kredit Macet Pada Pt. Bank Sulutgo The Application Of
Risk Management To Minimize The Risk Of Bad Debts In Pt. Bank Sulutgo By:

Rizqi, Akhmad. I. 2013. Penerapan Manajemen Risiko Untuk Meminimalsir Risiko Kredit
Bermasalah Pada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) (Study pada PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk Unit Ngancar - Kediri). Artikel Vol. 2 No. 2 18 April 2013.
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/1313. Diakses tanggal 16 desember 2015.

Sembiring, Firdaus. 2014. Analisis Terhadap Penerapan Manajemen Resiko Kredit pada PT.
Bank Sumut. Artikel. library.polmed.ac.id. diakses tanggal 16 desember 2015.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung.

Savitri, Oka Aviani. 2014. Analisis Manajemen Risiko Kredit dalam Meminimalisir Kredit
Bermasalah pada Kredit Usaha Rakyat (Study pada Bank Jatim Cabang Mojokerto)
Meminimalsirkan Kredit Bermasalah pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Bank Jatim
Cabang Mojokerto.Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 12 No. 1 J

Internet :
http://eprints.undip.ac.id/37181/1/DIYANTI.pdf

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=432521&val=1025&title=PENERAPAN
%20MANAJEMEN%20RISIKO%20UNTUK%20MEMINIMALISIR%20RISIKO
%20KREDIT%20MACET%20PADA%20PT.%20BANK%20SULUTGO

12

Anda mungkin juga menyukai