Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading Makassar, 5 September 2016

BLOK KONSERVASI GIGI KLINIK LANJUT 1 (KGKL 1)

Kegagalan Perawatan Endodontik dan Penanganan Pasien dengan


Penyakit Kardiovaskuler

Oleh :
ERIANA SUTONO J1022 15 102

Tutor :
Dr. drg. Juni Jekti Nugroho, Sp.KG

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


PROGRAM STUDI KONSERVASI GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
Kegagalan Perawatan Endodontik dan Penanganan Pasien dengan
Penyakit Kardiovaskuler

Perawatan endodontik dapat diprediksi dengan tingkat kesuskesan mencapai


86-98%. Bagaimanapun juga belum ada literature yang secara konsisten menyatakan
definisi sukses sebagai kriteria pada perawatan endodontik. Demikian pula dengan
gagal memiliki definisi variable. Didefinisikan pada beberapa penelitian sevagai
rekurensi gejala secara klinis dan tampilan radiolusen pada daerah periapikal.1
Secara umum perawatan endodontik bertujuan untuk menjaga gigi selama
mungkin dalam rongga mulut. Tujuan utama perawatan saluran akar adalah mengisi
atau menutup seluruh saluran akar dan memperoleh fluid-tight seal pada daerah
foramen apikal gigi, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya infeksi
sekunder dari rongga mulut atau kebocoran dari jaringan periradikuler ke dalam
sistem saluran akar. Perlunya pengisian saluran akar sangat jelas, ketika cleaning,
shaping dan disinfeksi selesai, obturasi yang kurang baik akan menjadi awal
kegagalan endodontik. Tingkat reinfeksi bergantung pada kualitas pengisian saluran
akar dan coronal seal. 1,2,3
Hasil perawatan endodontik diukur kedalam empat dimensi disiplin
kesehatan. Yang pertama dimensi fisik/fisiologis dan berhubungan dengan
keberadaan atau tidak adanya kelainan pulpa/periapikal, nyeri dan fungsi. Dimensi
yang kedua mengukur lama gigi dapat bertahan. Dimensi yang ketiga berhubungan
dengan ekonomi dan mengukur secara langsung maupun tidak langsung biaya yang
dibutuhkan. Yang terakhir, dimensi yang keempat pemeriksaan aspek fisiologis aspek
persepsi kesehatan rongga mulut-berhubungan dengan kualitas hidup dan estetik.4
Perawatan saluran akar dengan metode dan bahan konvensional memiliki
tingkat keberhasilan yang tinggi, menjaga fungsi gigi. Bagaimanapun, perawatan
saluran akar awal tidak selalu menghasilkan penyembuhan, dan rekurensi penyakit
endodontik mencegah keberhasilan hasil perawatan. 5
Criteria for Assessing the Outcome of Pulp Therapy

2
Gejala seperti fistula, pembengkakan, nyeri, perkusi, palpasi, rasa tidak
nyaman saat mengunyah dan pada kasus tertentu dengan lesi apikal yang membesar
atau tidak mengecil merupakan indikasi retreatment.2

Faktor-faktor penyebab kegagalan endodontik yaitu:

Bakteri yang menetap (intra-kanal dan ekstra-kanal)

Pengisian saluran akar yang tidak adekuat (pembersihan dan obturasi yang kurang
baik)

Pengisian yang berlebih

Coronal seal yang kurang (kebocoran)

Saluran akar yang tidak dirawat (saluran akar utama dan asesoris)

Kesalahan prosedur iatrogenik seperti preparasi akses kavitas yang kurang baik

Komplikasi instrument (ledges, perforasi).1,3,5

Bakteri yang Menetap

Periodontitis apikalis dapat dikategorikan persisten (menetap meskipun


telah dilakukan perawatan), emergensi (setelah perawatan) atau rekuren (setelah
terjadi penyembuhan). Kelainan yang menetap disebabkan oleh infeksi
intraradikuler yang menetap (bakteri yang tetap bertahan yang berdampak pada
perawatan), emergensi disebabkan oleh infeksi sekunder (kontaminasi selama
perawatan atau kebocoran mahkota setelah perawatan). Kelainan rekuren

3
merupakan kegagalan yang tampak setelah dilakukan perawatan yang diduga
berhubungan dengan hasil dari perawatan (misalnya infeksi sekunder akibat
kebocoran pada daerah korona atau fratur akar). Bagaimanapun, infeksi yang
menetap memegang peranan pada rekurensi penyakit akibat bakteri yang
tertinggal dan bertahan dalam sistem saluran akar selama beberapa tahun setelah
perawatan dilakukan.5,6
Penyebab utama periodontitis apikalis setelah perawatan saluran akar
adalah infeksi intraradikuler yang menetap setelah perawatan saluran akar. Pada
beberapa kasus, dapat disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam sistem
saluran akar setelah perawatan saluran akar atau akibat infeksi ekstra radikuler.
Beberapa penelitian kultur bakteri mengidentifikasi takson mikroba berkaitan
dengan periodontitis apikalis setelah perawatan. Secara umum, beberapa
penelitian menunjukkan penyebaran infeksi didominasi bakteri gram negatif.7

Peran bakteri pada infeksi periradikuler, adanya bakteri yang menetap


hingga dilakukannya obturasi. Bakteri pada saluran akar, seperti pada ismus,
tubulus dentinalis dan ramifikasi sulit dilakukan disinfeksi. Penelitian oleh Lin
dkk pada 236 kasus kegagalan endodontik menunjukkan korelasi antara
keberadaan infeksi bakteri pada saluran akar dan bakteri pada daerah
periradikuler yang tidak terjangkau saat prosedur disinfeksi. Saluran akar dengan
kultur negatif memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dibanding saluran akar
dengan kultur positif. 1,3,6

Pengisian saluran akar yang tidak adekuat atau berlebih


Disinfeksi dan debridemen saluran akar merupakan salah satu faktor yang
penting terhadap kualitas obturasi. Kualitas obturasi saluran akar merupakan faktor
yang penting terhadap keberhasilan perawatan endodontik. Tingkat keberhasilan
rendah pada obturasi yang kurang atau berlebih atau sekitar 2 mm dari apeks.
Berdasarkan penelitian, obturasi yang berlebih 4 kali lebih beresiko terhadap
kegagalan dibanding obturasi yang kurang.2

4
Overfilling sebaiknya dihindari untuk mencegah komplikasi postoperatif
seperti flare-up, akibat ekstrusi bahan pengisi melewati foramen apikal. Sebenarnya,
sangat jelas bahwa infeksi konkomitan pada pengisian saluran akar yang berlebih
mengakibatkan kegagalan perawatan sehingga perlu dicegah dan mengontrol infeksi
endodontik. Kegagalan ini disebabkan infeksi bakteri intra dan ekstra radikuler.
Apikal sealing tidak adekuat pada saluran akar dengan obturasi yang berlebih. Cairan
jaringan yang mengandung glikoprotein masuk kedalam sistem saluran akar dan
menjadi substrat bagi mikroorganisme yang tersisa. Overinstrumentasi dapat
mengakibatkan overfilling. Pada gigi dengan nekrosis pulpa, overinstrumentasi dapat
mengakibatkan dentin yang terinfeksi atau debris masuk ke jaringan periradikuler.
Pada kondisi ini, mikroorganisme akan dilawan dengan mekanisme pertahanan host
sehingga dapat bertahan terhadap lesi periradikuler dan terjadi inflamasi
periradikuler. Adanya dentin yang terinfeksi atau serpihan sementum pada lesi
periradikuler mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan. Inilah yang
menyebabkan terjadinya infeksi ekstra-radikuler.3

Gambar 1. Tingkat keberhasilan menurun (a). pengisian yang berlebih, (b)


pengisian yang kurang.1

Coronal Seal yang kurang baik


Coronal leakage merupakan salah satu penyebab utama kegagalan
endodontik. Obturasi saluran akar yang baik tidak menjamin ketahanan terhadap
penetrasi bakteri dan diharapkan menggunakan restorasi yang memiliki integritas
jangka panjang sebagai coronal seal. 5
Restorasi yang dapat menutup dengan baik setelah dilakukan obturasi dapat
mencegah masuknya mikroorganisme. Pada penelitian Swanson and Madison

5
menekankan bahwa kebocoran korona sebaiknya dihindari karena merupakan faktor
yang berpotensi mengakibatkan kegagalan endodontik. 1,3

Pada beberapa kondisi saluran akar dapat terkontasminasi dari rongga mulut :
kebocoran restorasi sementara atau permanen, restorasi sementara/ permanen pecah
atau fraktur, struktur gigi fraktur. Jika obturasi saluran akar tidak dapat menahan
saliva, mikroorganisme dapat masuk dan berkolonisasi kembali pada sistem saluran
akar. Jika mikroba dan produknya mencapai jaringan periradikuler, dapat
mengakibatkan terjadinya kelainan periradikuler. 3,5

Gambar 2. Coronal seal yang kurang baik dengan obturasi yang kurang dapat
mengakibatkan terjadinya periodontitis periapikal.1

Rekontaminasi sistem saluran akar akibat kebocoran dari korona dapat


mengakibatkan sealer larut akibat saliva; terdapat saliva pada permukaan antara
sealer dan dinding saluran akar (biasanya akibat adanya smear layer) dan/atau antara
sealer dan gutta percha. Celah kecil (void) pada obturasi biasanya tidak dapat
terdeteksi pada radiografi.3

Berdasarkan beberapa penelitian disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan


lebih tinggi pada gigi dengan restorasi yang baik dibanding gigi dengan restorasi
yang kurang baik.1

Komplikasi yang sering terjadi setelah perawatan endodontik adalah rasa

6
nyeri yang menetap saat menggigit dan mengunyah. Perawatan endodontik yang
gagal dapat mengakibatkan nyeri, nyeri saat mengunyah dan menggigit juga dapat
disebabkan oleh struktur mahkota yang tidak mendukung atau kerusakan yang luas. 8

Komplikasi Instrumentasi
Rotary instruments mudah patah dalam saluran akar bila preparasi akses
kavitas kurang baik. Akibat patahnya alat, akses ke daerah apikal menjadi sulit dan
menghambat disinfeksi dan obturasi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa alat
yang patah menunjukkan pengaruh yang minimal terhadap keberhasilan suatu
perawatan. Letak Alat yang patah dapat mempengaruhi prognosis.1

Saluran akar yang tidak dirawat


Akses opening yang kurang akan menyulitkan dokter gigi untuk mengetahui
letak salran akar. Ketidakmampuan untuk merawat saluran akar merupakan salah satu
penyebab kegagaln endodontik. Bakteri pada saluran akar mengakibatkan gejala yang
menetap. Hasil penelitian pada 5616 gigi molar yang dirawat kembali menunjukkan
bahwa kegagalan mendeteksi MB2 secara signifikan menurunkan prognosis jangka
panjang.1

Gambar 3. Pasien merasakan gejala setelah perawatan endodontik. (b) didapatkan


saluran akar MB2 pada kunjungan berikutnya, dan telah dilakukan perawatan dan
obturasi.1

Nyeri dan Flare-Up setelah Prosedur Perawatan Endodontik


Angka kejadian flare up setelah perawatan endodontik sebesar 1.4-16%.
Flare-up dapat terjadi setelah perawatan saluran akar berupa eksaserbasi akut pada

7
pulpa asimptomatik dan/atau kondisi patologis periradikuler. Mikroorganisme
berperan menyebabkan nyeri antar kunjungan yang dapat disebabkan oleh: ekstrusi
debris ke apikal, instrumentasi yang tidak sempurna sehingga terjadi perubahan
mikrobiota atau kondisi lingkungan, dan infeksi intra radikuler sekunder. Nyeri antar
kunjungan dapat terjadi akibat perkembangan inflamasi akut pada jaringan
periradikuler sebagai respon peningkatan intensitas injuri pada sistem saluran akar.
Iritasi mekanis yang dapat terjadi akibat overinstrumentasi saluran akar dan ekstrusi
bahan pengisi ke foramen apikal. Pengukuran panjang kerj yang kurang tepat
merupakan hal faktor penyebab terjadinya flare up endodontik.9,10
Tujuan utama perawatan endodontik adalah preparasi biomekanis pada
saluran akar (cleaning, shaping dan disinfeksi) dan diperoleh seal yang hermetis
tanpa rasa tidak nyaman yang dirasakan pasien. Flare up didefinisikan sebagai nyeri
dan/atau pembengkakan pada jaringan lunak dan mukosa oral pada daerah gigi yang
telah dirawat endodontik selama beberapa jam atau hari setelah perawatan saluran
akar, dengan gejala klinis (nyeri gigi ketika menggigit, mengunyah) yang dirasakan
sangat hebat dan biasanya pasien datang ke klinik lebih awal dari jadwal
kunjungannya. Setelah perawatan endodontik, terdapat beragam manifestasi nyeri.9,10
Jika selama perawatan endodontik jaringan periradikuler mengalami
kerusakan, respon inflamasi akut ini disebut sebagai flare up. Meskipun flare up
merupakan sistem pertahanan tubuh melawan infeksi, flare up ini memberi efek rasa
yang tidak nyaman yang dirasakan pasien berupa rasa sakit dan pembengkakan.9
Flare up post endodontik memiliki polietiologi yaitu mekanis, kimia dan
faktor mikroba yang mempengaruhi perkembangannya. Faktor faktor ini saling
berhubungan dan berkaitan secara langsung. 9

Faktor Mikroba
Mikroorganisme pada sistem saluran akar mengambil bagian pada
pathogenesis periodontitis apikalis asimptomatik dan menjadi faktor virulen yang
mencapai jaringan periradikuler. Beragam spesies proliferasi mikroorganisme pada
daerah apikal saluran akar. Ketebalan mikroba 5 mm pada daerah apikal akar

8
mengandung sekitar 106 bakteri, yang secara dominan terdapat mikroorganisme
anarob. Karena adanya komplikasi anatomi (saluran akar asesoris, apikal delta) dan
densitas bakteri yang tinggi, daerah apikal akar dapat dikatakan berbahaya bagi
bakteri pathogen, host dan dokter gigi.9,10
Pada kasus periodontitis apikalis asimptomatik terjadi keseimbangan antara
mikrofloras infeksius dan mekanisme pertahanan sistem imun manusia pada jaringan
periodontal. Fenomena ini disebut sebagai "local adaptation syndrome" pada
literature ilmiah. Selama preparasi kemomekanis pada saluran akar, ekstrusi debris
yang terinfeksi melalui foramen apikal ke jaringan periradikuler, inflamsai akan
meningkat yang berkibat ketidakseimbangan antara mikroorganisme dan sistem imun
manusia disebabkan oleh iritasi pada jaringan periradikuler, dilatasi pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas dan kemotaksis sel inflamasi. Pada kasus periodontitis
apikalis simptomatik, ketika gigi sensitif terhadap perkusi, mikroorganisme yang
dominan adalah Parvimonas micra, Eubacterium, Porphyromonas (P.endodontalis, P.
gingivalis) and Prevotella. Khususnya, BPB (black pigmented bacteria) yang
memegang peranan penting. 9
Jika aturan aseptik tidak dilakukan selama perawatan endodontik, kebersihan
rongga mulut pasien yang kurang, bekerja tanpa menggunakan rubber dam, jaringan
karies atau restorasi lama yang tidak hermetis tidak dihilangkan dan infeksi sekunder
pada saluran akar dapat menjadi penyebab nyeri post operatif dan flare up.
Mikroorganisme antar kunjungan dapat masuk ke dalam saluran akar bila restorasi
sementara tidak hermetis atau terlepas. Setelah perawatan endodontik bakteri masuk
melalui restorasi sementara yang lebih dari 2 minggu digunakan dan kurang hermetis
atau melalui restorasi permanen yang yang pecah. 9

Faktor Mekanis
Pada periodontitis apikalis asimptomatik, sistem saluran akar pada gigi yang
terinfeksi terdapat mikroorganisme yang mencapai daerah sepertiga saluran akar,
foramen apikal dan delta apikal. Preparasi kemomekanis merupakan salah satu
penyebab keberhasilan perawatan endodontik. Ketika serpihan debris, pupa nekrotik,

9
bahan irigasi dan mikroorganisme dari saluran akar mencapai jaringan periodontal
menyebabkan inflamasi dan nyeri post-operatif dapat mengganggu proses
penyembuhan jaringan periradikuler. Penelitian menunjukkan bahwa ekstrusi
minimal ke foramen apikal ketika menggunakan teknik crown-down dengan sistem
mesin Ni-Ti. Dibandingkan dengan penelitian oleh Reddy dan Hicks yang
menunjukkan pembersihan saluran akar dengan hand endodontic instruments
menggunakan teknik step-back, menunjukkan jumlah ekstrusi debris ke jaringan
periradikuler sebesar 2,58 mg, bila menggunakan instrument rotary dengan teknik
crown-down ekstrusi debris kurang dari 0,5 mg.
Salah satu penyebab faktor iatrogenik adalah pengukuran panjang kerja yang tidak
sesuai. Panjang kerja adalah jarak dari titik tertinggi pada mahkota gigi ke pertemuan
sementum dan dentin yang biasa disebut apeks fisiologis pada akar dimana preparasi
kemomekanis dan pengisian saluran akar berakhir. Langeland mengestimasi
pertemuan sementum dan dentin pada daerah apeks akar dan berada 1-2 mm dari
apeks akar secara radiografi. Jika pengukuran panjang kerja terlalu panjang,
konstriksi apikal pada daerah apeks akan rusak, debris yang terinfeksi dan bahan
pengisi ssaluran akar akan terekstrusi ke jaringan periodontal, jaringan periodontal
akan terstimulasi secara mekanis dan eksudat serta darah akan masuk ke saluran akar,
sehingga mikroorganisme yang tertinggal pada saluran akar akan bertambah banyak
dan berploriferasi pada kondisi ini. Jika panjag kerja terlalu pendek, sisa pulpa dan
bakteri akan tertinggal pada daerah sepertiga apikal sehingga keberhasilan dan
prognosis perawatan saluran akar akan berkurang.9

Perawatan pada Nyeri Antar Kunjungan


Re-Instrumentasi
Perawatan definitif dapat dilakukan dengan melakukan akses kembali pada
gigi yang brgejala. Akses kavitas harus terbuka dengan baik. Panjang kerja sebaiknya
dikonfirmasi kembali, patensi foramen apikal diperoleh dan debridement dengan
irigasi yang banyak. Jaringan yang tersisa, mikroorganisme dan produk toksiknya

10
atau yang terkstrusi dapat menimbulkan gejala. Drainase eksudat pada jaringan
periradikuler dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan jaringan lokal.10

Insisi dan Drainase (I dan D)


Prosedur I dan D yang rasional untuk membantu jalan keluar pus, mikroorganisme,
dan produk toksik dari jaringan periradikuler. Sehingga, terjadi dekompressi akibat
peningkatan tekanan jaringan periradikuler sehingga nyeri dapat berkurang secara
signifikan. 10

Medikamen Intrakanal
Penelitian klinis menunjukkan nyeri setelah perawatan dapat dicegah dengan
medikamen intrakanal seperti formkresol, camphorated paramonochlorophenol,
eugenol, iodine potassium iodide, Ledermix, atau kalsium hidroksida. Bagamanapun
juga, penggunaan steroid intrakanal, However, obat anti inflamasi non-steroid
(NSAIDs), atau komponen antibiotic-kortikosteroid dapat menunjukkan penurunan
rasa nyeri setelah perawatan. Pada penelitian oleh Walton et al. steroids dan NSAIDs,
bila ditempatkan pada sistem saluran akar setelah prosedur debridement, dapat
menurunkan atau mencegah nyeri setelah perawatan. 10
Penelitian Langeland dkk menunjukkan kortikosteroid efektif menurunkan
rasa nyeri, nyeri berkurang dalam beberapa menit atau jam pada gigi dengan gejala
asimptomatik pulpitis setelah pulpa diekstirpasi dan diberi pasta ledermix.
Kortikosteroid menekan respon inflamsi yang menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan sel polmorfonuklear dan leukosit, seperti fagositosis dan menghambat
pembentukan aam arakidonat yang memblok siklooksigenase, lipoksigenase dan
mensintesisi prostaglandin dan lukotrin. Bersamaan dengan menurunnya reaksi
fagositosis dan dintesis protein kortikosteroid dengan perlahan akan terjadi
penyembuhan pada jaringan peri radikuler.9

Reduksi oklusal

11
Beberapa literature menyetujui pengurangan permukaan oklusal untuk
mengurangi nyeri setelah perawatan endodontik. Rosenburg et al.[38] menunjukkan
bahwa rasa nyeri saat menggigit, data dikuramgi secara efektif dengan reduksi
oklusal. Sensitivitas saat menggigit atau mengunyah diharapkan mampu menurunkan
tingkat mediator inflamasi yang menstimulasi nosiseptor periradikuler. 10

Obat-obatan
Analgesik Non-narkotik
Analgesik non narkotika, NSAIDs dan acetaminophen, efektif digunakan pada pasien
dengan nyeri endodontic. Obat ini menghasilkan analgesia pada jaringan perifer yang
terinflamasi dan pada bagian tertentu di otak dan spinal cord. NSAIDs menunjukkan
hasil yang sangat efektif untuk menangani nyeri pulpa dan periradikuler. Pada pasien
yang sensitive terhadap NSAIDs atau aspirin, dan memiliki gangguan ulserasi
lambung atau hipertensi yang berefek pada gangguan ginjal, acetaminophen
sebaiknya menjadi pilihan. Pre-treatment dengan NSAIDs pada pulpitis irreversibel
dapat memberi efek mengurangi mediator inflamasi prostaglandin E2 (PGE2) pada
pulpa dan periradikuler. Penggunaan tunggal NSAIDs biasanya sudah cukup bagi
pasien yang dapat ditoleransi oleh golongan obat ini. Kombinasi NSAIDs dan
acetaminophen, yang digunakan bersama-sama dapat digunakan untuk menangani
nyeri gigi. Jika nyeri tidak dapat dikontrol dengan NSAIDs dan acetaminophen,
analgesik narkotika dapat digunakan untuk meningkatkan efek analgesiknya. 10

Hubungan Infeksi Endodontik dengan Deteksi Lesi Awal pada Sistem


Kardiovaskular

Telah diakui fakta bahwa equilibrium pada sistem sirkulasi menjaga fungsi
normal endothelium, dengan cara menghambat agregasi platelet, adhesi monosit, dan
proliferasi vaskuler smooth muscle cell, menjaga keseimbangan biologis antara
prokoagulan dan antikoagulan. Penyakit kardiovaskuler (CVDs) terutama disebabkan
oleh disfungsi endothel inflamatori dan dipengaruhi oleh faktor resiko

12
kardiovaskular, seperti merokok, diabetes, hipertensi, dan dislipidemia. Inflamasi
kronis memegang peranan penting pada pathogenesis dan progresi aterosklerosis dan
pada waktu yang sama meningkatkan terjadinya kardiovaskuler akut seperti ruptur
plak dan thrombosis koroner. 11

Akhir-akhir ini, beberapa penelitan meneliti adanya kemungkinan hubungan


antara CVD dan penyakit periodontal. Periodontitis apikalis merupakan penyakit
inflamasi dan bersifat kronis pada jaringan periapikal disebabkan oleh infeksi
mikroba yang menetap pada sistem saluran akar yang mempengaruhi gigi. Literatur
ilmiah gagal memberikan interpretasi terhadap hubungan antara infeksi endodontik
dengan resiko kardiovaskuler. Oleh karena itu, akan sangat baik, bila diamati dari
sudut pandang ilmiah dan dari perspektif kesehatan masyarakat, untuk memastikan
keberadaan periodontitis apikalis berhubungan dengan indeks marker biologis dan
fungsional kardiovaskuler.yang berkaitan dengan inflamasi sistemik.11

Empat puluh orang dewasa berusia 20 hingga 40 tahun dilibatkan pada


penelitian ini; 20 subjek dengan periodontitis apikalis dan 20 subjek sebagai kontrol.
Dilakukan pemeriksaan gigi dan pemeriksaan jantung secara lengkap: pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, echokardiografi jaringan Doppler dan konvensional, dan
pengukuran endothelial flow reserve (EFR). Dilanjutkan dengan pemeriksaan
parameter di laboratorium : interleukin 1, -2 dan -6 (IL-1, IL-2, IL-6), tumor
necrosis factor alpha, and asymmetrical dimethylarginine (ADMA). Data dianalisis
dan diperoleh hasil bahwa terdapat kelainan echocardiography pada seluruh subjek
yang diteliti. Level ADMA memiliki hubungan yang berlawanan dengan EFR dan
secara langsung berhubungan dengan IL-2. Pasien Dengan AP menunjukkan
peningkatan konsentrasi darah yang signifikan terhadap IL-1, dan ADMA secara
signifikan menurun terhadap EFR. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan
level ADMA berkaitan dengan EFR yaag rendah dan peningkatan IL-2
mempengaruhi terjadinya disfungsi endothelial tahap awal pada dewasa muda dengan
periodontitis apikalis.11
Infeksi rongga mulut lainnya dengan peradangan sistemik memiliki

13
keterkaitan dengan CVD. Telah banyak perkembangan pada peneltian baru yang
menunjukkan hubungan CVDs dan infeksi rongga mulut. Pada tahun 2013, pada
workshop sendi di European Federation of Periodontology (EFP)/ American
Academy of Periodontology (AAP), periodontitis dan penyakit sistemik dihasilkan
kesimpulan yang menggambarkan tiga masalah utama :
1. Bukti epidemiologi yang menunjukkan periodontitis meningkatkan resiko
CVD
2. Pengaruh periodontitis pada CVD aterosklerosis disebabkan karena sirkulasi
mikrobiota rongga mulut yang secara langsung maupun tidak langsung
memepengaruhi pathogenesis aterosklerosis.
3. Interaksi dan mekanisme biologis yang dilakukan pada hewan, secara in vitro,
dan penelitian klinis yang mendukung mekanisme terjadinya aterosklerosis. 12

Penyakit kardiovaskular termasuk tekanan darah tinggi, penyakit jantung


koroner, stroke, gagal jantung, penyakit pada arteri, seperti penyakit arteri perifer, dan
cacat jantung bawaan. Patofisiologi cardiovascular disesae (CVD) termasuk
peradangan pada perkembangan aterosklerosis dan thrombosis. Banyak bukti yang
mendukung infeksi oral, dan penyakit periodontal, yang memiliki keterkaitan dengan
perkembangan penyakit kardiovaskuler. Infeksi periodontal sedang dan ringan
terdapat pada sekitar 35% populasi di seluruh dunia menurut World Health
Organiation (WHO). 12,13

Bukti-bukti tersebut mengimplikasikan bahwa berbagai mikroorganisme


terdapat dalam jaringan. Meskipun belum ada bukti pasti tentang hubungan kausal,
epidemiologi dan data klinis yang menunjukkan bahwa infeksi gigi kronis bisa
menjadi faktor resiko independen untuk arteroskelerosis setelah pengecualian
penyebab lainnya seperti usia, jenis kelamin, ras, kemiskinan, hipertensi, merokok,
dan kolesterol. Selain itu, baru-baru ini suatu uji coba placebo terkontrol
menunjukkan bahwa mugkin ada pengaruh menguntungkan dari pengobatan
antibiotik dalam mengurangi resiko kejadian iskemik berulang pada pasien dengan
penyakit jantung koroner.13

14
Harus menjadi perhatian pada seluruh pasien gigi dengan penyakit jantung
dan sedang mengkonsumsi obat-obatan untuk pengobatannya, dan peningkatan
jumlah obat-obatan yang dikonsumsi pada penderita penyakit jantung yang berat.
Oleh karena itu pasien kardiovaskular memerlukan pertimbangan khusus
sehubungan dengan kapan dan perawatan gigi yang tepat serta tindakan pencegahan
yang sebaiknya dilakukan. Reaksi obat-obatan yang mungkin terjadi serta konsul ke
dokter yang menangani penyakitnya atau dokter ahli jantung bila ada hal-hal yang
perlu dicurigai.14

Obat Antikoagulan bagi Pasien Perawatan Gigi

Terapi antikoagulasi digunakan dalam beberapa kondisi untuk mencegah,


mengobati, atau mengurangi risiko terjadinya tromboemboli. Termasuk pada kondisi
deep vein thrombosis (DVT); emboli paru (PE); fibrilasi atrium; katup jantung
buatan; infark miokard; serangan iskemik dan stroke. Selama 40 tahun terakhir,
coumarin-derivatif, vitamin k antagonis, warfarin telah menjadi oral antikoagulan
pilihan dan telah dianggap sebagai pengobatan terbaik. vitamin K antagonis sebagai
anti koagulan oral paling sering digunakan. 15

Namun, seperti semua obat-obatan lainya, warfarin memiliki kekurangan.


Penggunaannya terbatas dengan indeks terapi sempit dan farmakodinamik kompleks,
memerlukan monitoring dan penyesuaian dosis. Selain itu, memiliki beberapa
interaksi obat dan makanan. Kekurangan ini mendorong pengembangan dari obat oral
antikoagulan dengan Indeks terapi yang lebih luas, interaksi berkurang, dan tingkat
antikoagulan dapat diprediksi pada dosis tertentu.15
Baru-baru ini, dua oral antikoagulan terbaru, dabigatran etexilate (direct
thrombin inhibitor) dan rivaroxiban (factor Xainhibitor) telah disetujui untuk
digunakan di Amerika Utara dan Eropa. Di Eropa, baik dabigatran dan rivaroxiban
disetujui untu kpencegahan primer jangka pendek vena tromboemboli pada pasien
dewasa.15

Interaksi obat

15
Tidak seperti Warfarin, dabigatran memiliki beberapa interaksi klinis yang signifikan
pada obat dan makanan. Ketoconazole, verapamil, dan amiodarone dapat
meningkatkan efek antikoagulannya, sementara rifampisin dapat menurunkan
efeknya. Resiko perdarahan sementara pada dabigatran dapat ditingkatkan dengan
penggunaan bersamaan antikoagulan lainnya, antiplatelets, dan salisilat. Stangier
melaporkan bahwa penggunaannya bersama obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID),
natrium diklofenak, dabigatran tidak menghasilkan interaksi yang signifikan. Namun,
mengingat bahwa NSAID merupkan non-cox-selektif yang menghambat agregasi
platelet dan berhubungan dengan perdarahan gastro-intestinal dan penyakit ulkus
peptikum, akan lebih baik untuk menghindari penggunaannya pada pasien yang
mengkonsumsi dabigatran. Parasetamol dan opioid merupakan alternative analgesik
yang cocok.15

Pertimbangan perawatan gigi


Sayangnya, sampai saat ini, belum ada uji klinis yang mendukung langkah-
langkah spesifik dalam hal perdarahan pada pasien gigi dengan menggunakan
dabigatran. Informasi terkini menunjukkan bahwa pasien dengan dabigatran dapat
menjalani prosedur invasif gigi tanpa perubahan dosis. Seperti halnya pada pasien,
terlepas dari status koagulasi, tindakan hemostatik lokal (penyerap gelatin atau pelet
selulosa teroksidasi, jahitan, kain kasa yang direndam dalam 5% asam traneksamat,
tekanan) harus digunakan pada kasus perdarahan. Terhadap resiko tromboemboli,
dabigatran tidak harus dihentikan tanpa konsultasi dengan dokter yang merawat.
Firriolo dan Hupp, mempelajari data dari laporan perdarahan post-ekstraksi pada
pasien yang menerima Low Molecular Weight Heparin (LMWH). Selain itu, Van
Rynetal merekomendasikan penghentian penggunaan dabigatran sebelum bedah
umum, dan menyimpulkan bahwa risiko tidak signifikan untuk perdarahan yang
serius setelah perawatan gigi, termasuk ekstraksi gigi yang tidak rumit, pada pasien
dengan fungsi ginjal normal dan tanpa faktor risiko lain untuk perdarahan. Namun,
perlu bahwa penghentian sementara dabigatran mungkin diperlukan pada pasien yang
membutuhkan bedah oral/maksilofasial. Jika pada kasus ini, dabigatran harus
dihentikan (disertai konsultasi dengan dokter yang merawat pasien) kurang dari 24

16
jam (atau lebih pada pasien dengan kerusakan ginjal) sebelum operasi.15

Penanganan pasien gigi yang menggunakan dabigatran atau rivaroxaban


Berdasarkan informasi, pasien dengan fungsi ginjal normal yang
menggunakan dabigatran atau rivaroxaban, prosedur invasif gigi dapat
dilakukan tanpa efek samping dari obat ini.
Langkah hemostatik lokal harus digunakan secara rutin pada pasien ini.
Pasien yang membutuhkan pembedahan oral / maksilofasial mungkin
diperlukan penghentian obat antikoagulan oral selama minimal 24 jam
sebelum operasi, perlu konsultasi dengan dokter yang merawat.
Jika berhenti, dabigatran dan rivaroxaban hanya dapat dimulai ketika
pembekuan stabil telah terbentuk (biasanya 24-48 jam pasca-operasi).
Jika perdarahan pasca-operasi terjadi, menghentikan antikoagulan,
menggunakan langkah-langkah hemostatik lokal, dan menghubungi dokter
pasien.
NSAID dan salisilat harus digunakan secara hati-hati dengan dabigatran.
Sebagai alternatif arasetamol dan opioid diterima.
NSAID, salisilat, antibiotik makrolida (terutama eritromisin dan
klaritromisin), flukonazol, dan opioid harus digunakan dengan hati-hati
dengan rivaroxaban.
Hindari ketoconazole, itraconazole, dan vorikonazol denga rivaroxaban.15

Kesimpulan

Tujuan utama perawatan saluran akar adalah mengisi atau menutup seluruh
saluran akar dan memperoleh fluid-tight seal pada daerah foramen apikal gigi,
sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya infeksi sekunder dari
rongga mulut atau kebocoran dari jaringan periradikuler ke dalam sistem
saluran akar. Perlunya pengisian saluran akar sangat jelas, ketika cleaning,
shaping dan disinfeksi selesai, obturasi yang kurang baik akan menjadi awal
kegagalan endodontik.
Terapi antikoagulasi digunakan dalam beberapa kondisi untuk mencegah,

17
mengobati, atau mengurangi risiko terjadinya tromboemboli.
Harus menjadi perhatian pada seluruh pasien gigi dengan penyakit jantung
dan sedang mengkonsumsi obat-obatan untuk pengobatannya, dan
peningkatan jumlah obat-obatan yang dikonsumsi pada penderita penyakit
jantung yang berat. Pasien kardiovaskular memerlukan pertimbangan khusus
sehubungan dengan kapan dan perawatan gigi yang tepat serta tindakan
pencegahan yang sebaiknya dilakukan. Reaksi obat-obatan yang mungkin
terjadi serta konsul ke dokter yang menangani penyakitnya atau dokter ahli
jantung bila ada hal-hal yang perlu dicurigai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tabassum Sadia, Farhan Raza Khan. Failure of endodontic treatment: The


usual suspect. Eur J Dent 2016;10:144-7
2. Chaurasiya Suman et.al. Endodontic Failures and its Management: A Review.
International Journal of Oral Health and Medical Research. January-
February 2016.Vol. 2;5
3. Siqueira, J.F. Aetiology of Root Canal Treatment Failure: why well-treated
can fail.International Endodontic Journal 2001;34:1-1.
4. Hargreaves Kenneth, Louis H. Berman, Ilan Rotstein, editors. Cohen

18
Pathways of The Pulp 11th ed. St. Louis, Missour : Elsevier Inc;2016.p.474
5. Torabinejad Mahmoud, Richard E. Walton, Ashraf F. Fouad. Endodontics
Principles and Practice 5th ed. St. Louis, Missouri; Elsevier Inc.;2015.p 303-
54
6. Vieira, Adalberto R. Dentinal Tubule Infection as the Cause of Recurrent
Disease
and Late Endodontic Treatment Failure: A Case Report Journal of
Endodontics; February 2012.Vol.38;2.
7. Provenzano, Jos_e Claudio, Host-Bacterial Interactions in Post-treatment
Apical Periodontitis: A Metaproteome Analysis. Journal of Endodontics; June
2016.Vol.42; 6
8. Michaelson, Philip L. A Novel Treatment for Propagated Crown
Fracture.
9. Sipaviit, Egl. Rasmut Manelien. Pain and fl are-up after endodontic
treatment procedure. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal,
16:25-30, 2014
10. Jayakodi, Harikaran et al. Clinical and pharmacological management of
endodontic flare-up. Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences;August
2012.Vol 4;2;3.
11. Cotti, Elisabetta Association of Endodontic Infection with Detection of an
Initial Lesion to the Cardiovascular System. Journal of Endodontics;
December 2011.Vol.37;12.
12. Hheim, Lise Lund. The Infection Hypothesis Revisited: Oral Infection and
Cardiovascular Disease. Hindawi Publishing Corporation, Epidemiology
Research International Volume 2014, Article ID 735378
13. Slavkin, Harold C. Bruce J. Baum. Relationship of Dental and Oral
Pathology to Systemic Illness. Downloaded from jama.ama-assn.org at
University of Toronto. 2012
14. OConnell, John Edward. New oral anticoagulants and their implications for
dental patients. Journal of the Irish Dental Association 2014; 60 (3): 137-143
15. Collins, Flona M. Cardiovascular disease and the dental office. The academy
of dental therapeutic and stomatology. 2013

19

Anda mungkin juga menyukai