Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indeks Massa Tubuh


2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan dalam kilogram (kg) dibagi
tinggi dalam meter kuadrat (m2) (Sugondo, 2006). IMT merupakan indikator yang
paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan
lebih dan obese pada orang dewasa. IMT dapat memperkirakan jumlah lemak
tubuh yang dapat dinilai dengan menimbang di bawah air (r2 =79%) dengan
kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin (Sugondo, 2006).
IMT juga dapat diterapkan untuk anak dan remaja, dengan cara yang sama
menghitung nilai IMT seperti pada orang dewasa, kemudian nilai tersebut di-plot-
kan ke grafik CDC IMT-berdasarkan umur (CDC, 2011). Dalam grafik tersebut
akan terlihat persentil IMT-berdasarkan umur si anak, dari nilai persentil inilah
dapat ditentukan apakah anak kurus, normal atau obese (CDC, 2011).

2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh


Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi
lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika kulit hitam
memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Polinesia dan etnik Polinesia memiliki
nilai IMT lebih tinggi daripada etnik Kaukasia, sedangkan untuk Indonesia
memiliki nilai IMT berbeda 3.2 kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia (Sugondo,
2006).
Tabel 2.1. Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT
Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5-22.9
Berat badan lebih 23
Berisiko 23 -24.9
Obes I 25-29.9
Obes II 30
Referensi: Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO 2011, untuk
menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara: sampel
diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur tinggi
badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:

Berat Badan (kilogram)


IMT=
Tinggi Badan2 (meter2)

Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel klasifikasi


IMT menurut Asia Pasifik di atas.

2.1.4. Indeks Massa Tubuh dan Obesitas


Pada situs Badan Kesehatan Dunia, WHO, dapat dilihat persentase warga
yang obese, normal, maupun kurus pada setiap negara di seluruh dunia (WHO,
2011). WHO global database on Body Mass Indeks (IMT) ini dikembangkan
sebagai bagian dari komitmen WHO dalam menjalankan rekomendasi atas The
WHO Expert Consultation on Obesity: Preventing and Managing the Global
Epidemic (Geneva, 3-5 June 1997) (WHO, 2011).
Departemen Gizi untuk Kesehatan dan Perkembangan (Department of
Nutrition for Health and Development) awalnya mengembangkan the WHO
Global Database on BMI untuk memberikan data yang menyeluruh mengenai
data obesitas dan berat badan berlebih yang representatif dari tiap negara. Data-
data ini dilaporkan dengan mengunakan cara standar BMI cut-off points untuk
menghasilkan data yang valid secara internasional (WHO, 2011).

2.2. Obesitas
2.2.1. Definisi Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologis dan spesifik.

Universitas Sumatera Utara


Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi
lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan (Sugondo, 2006).

2.2.2. Etiologi Obesitas


Berbagai hal yang dapat menyebabkan obesitas. Penyebab utamanya adalah
gaya hidup yang tidak aktif, hal ini dikarenakan aktivitas otot adalah cara
terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh sehingga ini merupakan satu
cara paling efektif untuk mengurangi simpanan lemak (Guyton, 2007).
Hal lain yang berperan dalam meningkatkan kejadian obesitas adalah:

1. Perilaku makan yang tidak baik


Hal yang mempengaruhi seseorang sehingga memiliki perilaku makan yang tidak
baik adalah: (a) faktor lingkungan dan sosial, lingkungan yang memiliki
pendapatan yang tinggi cenderung memiliki tingkat konsumsi yang tinggi dan
kurang aktivitas, (b) faktor psikologis, misalnya pada orang stres yang memiliki
kecenderungan untuk banyak makan guna menurunkan stres yang dialami, (c)
nutrisi berlebih pada masa kanak-kanak, ini dikarenakan pada tahun-tahun
pertama kehidupan kecepatan pembentukan sel lemak meningkat, sehingga makin
besar jumlah lemak yang disimpan maka makin besar pula jumlah jaringan lemak
yang dibentuk (Guyton, 2007).

2. Kelainan neurogenik
Lesi pada nukleus ventromedial hipotalamus pada binatang dapat menyebabkan
obesitas, namun pada kebanyakan penderita obese tidak mengalami hal ini. Yang
dijumpai pada penderita obese umumnya adalah abnormalitas neurotransmitter di
hipotalamus yakni peningkatan oreksigenik, seperti neuropeptida Y (NPY), dan
penurunan anoreksigenik, seperti leptin dan -MSH (Flier et al, 2007).

3. Faktor genetik
Sekitar 20-25 persen kasus obesitas disebabkan faktor genetik (Guyton, 2007).
Gen berperan dalam menyebabkan kelainan pada jaras yang mengatur pusat
makan dan pengaturan pengeluaran dan penyimpanan lemak. Gen-gen yang

Universitas Sumatera Utara


terlibat dalam obesitas tersebut antara lain: (a) mutasi MCR-4 (Guyton, 2007), (b)
defisiensi leptin kongenital dan (c) mutasi reseptor leptin (Flier et al, 2007).

2.2.3. Patogenesis Obesitas


Obesitas terjadi akibat berbagai multifaktor yang saling berinteraksi satu
sama lain, baik itu keterlibatan antara gen, hormonal maupun faktor lingkungan
yang mempengaruhi si individu, meskipun mekanismenya masih sukar untuk
dimengerti. Patofisiologi obesitas yang paling sederhana untuk dapat diterima
sebagian besar peneliti maupun penderita adalah ketidakseimbangan antara
jumlah energi yang masuk dengan jumlah energi yang dikeluarkan untuk
beraktivitas (Flier et al, 2007). Namun tidak hanya hal tersebut yang dapat
mencetuskan timbulnya obesitas, beberapa penyakit pun dapat menimbulkan
gejala klinis obesitas (Flier et al, 2007).
Berbagai hal yang terlibat dalam mencetuskan obesitas. Berikut ini adalah
paparan mengenai beberapa gen dan keterlibatannya dengan terjadinya obesitas:

1. Gen ob
Mutasi gen ini pada tikus menimbulkan gejala hiperfagia, resistensi insulin dan
obesitas yang parah. Produk dari gen ob ini adalah leptin, yang disekresi oleh sel
adiposa dan bekerja secara langsung ke hipotalamus. Peningkatan kadar leptin
pada dasarnya akan menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi dan
meningkatkan penggunaan energi. Pada penderita obes dijumpai penurunan kadar
leptin ini, bahkan yang mengalami onset dini obesitas tidak hanya dikarenakan
inaktivasi gen reseptor (db) tetapi juga gen leptin (ob) itu sendiri (Flier et al,
2007).

2. Gen proopiomelanokortin (POMC)


Mutasi pada gen ini menyebabkan gagalnya pembentukan -MSH (melanocyte-
stimulating hormone), yang merupakan neuropeptida kunci yang menghambat
nafsu makan di hipotalamus. -MSH akan berikatan dengan reseptor melanocortin
tipe 4, yaitu reseptor kunci hipotalamus yang menghambat makan (Flier et al,
2007).

Universitas Sumatera Utara


3. Gen proenzyme convertase 1 (PC-1)
Mutasi pada gen ini akan mencegah terjadinya pembentukan -MSH dari prekusor
peptidanya, POMC (Flier et al, 2007).
Beberapa gen lain yang menyebabkan obesitas, baik yang menyebabkan
obesitas pada manusia maupun yang menyebabkan obesitas pada hewan, akan
dijelaskan secara singkat dalam Tabel 2.1. di bawah ini:

Tabel 2.2. Beberapa Gen Lain yang Terlibat dalam Obesitas


Gen Produk gen Mekanisme Pada Pada
manusia hewan
MC4R Reseptor tipe 4 Mutasi mencegah Ya Ya
untuk MSH penerimaan sinyal kenyang
dari MSH
AgRP Neuropeptida yang Ekspresi berlebih Tidak Ya
(agouti- diekspresikan di menghambat sinyal melalui
related hipotalamus MC4R
peptide)
Lemak Karboksipeptidase- Mutasi mencegah sintesa Tidak Ya
E neuropeptida, mungkin
MSH
Tub Protein Disfungsi hipotalamus Tidak Ya
hipotalamus
TrkB Reseptor Hiperfagia karena defek Ya Ya
neurotropin hipotalamus
Sumber: Flier, et al. 2007. Biology of Obesity. In: Harrisons Internal Medicine.

Peningkatan jumlah makan yang dialami pada penderita obese mungkin juga
dikarenakan abnormalitas dari pengaturan rasa kenyang. Beberapa hal yang terkait
dalam pengaturan rasa kenyang tersebut adalah sinyal hormonal. Beberapa sinyal
hormonal tersebut antara lain: insulin, kortisol dan peptida usus, seperti: ghrelin,
peptida YY dan kolesistokinin, yang bekerja secara langsung pusat kontrol
hipotalamus maupun melalui nervus vagus. Tidak hanya hormonal, metabolit
seperti glukosa juga berperan dalam mengatur rasa lapar, misalnya ketika
hipoglikemia individu akan merasa lapar (Barret et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Polipeptida dan Protein Utama yang Mungkin Berperan dalam
Pengendalian Nafsu Makan
Meningkatkan Nafsu Makan Mengurangi Nafsu Makan
(Oreksigenik) (Anoreksigenik)
AgRP Bombesin
-Endorfin CART
Galanin CCK
Ghrelin CRH
GHRH CGRP
MCH Glukagon
Neuropeptida Y GLP-1,2
Oreksin A GRP
Oreksin B Leptin
Neurotensin
Oksitosin
Peptida YY
Somastasin
-MSH
Sumber: Barret, et al, 2008. Ganong Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22.

Sel adiposa juga terlibat dalam patogenesis obesitas. Ini dikarenakan sel
tersebut juga berfungsi sebagai sel endokrin yang melepaskan beberapa molekul
berkaitan dengan obesitas, seperti adiponektin, resistin, dan RBP4 (retinal binding
protein 4). Kadar adinopektin diketahui menurun pada penderita obesitas
sedangkan kadar resistin dan RBP4 meningkat. Faktor-faktor tersebut
menyebabkan gangguan homeostasis lemak, sensitivitas insulin, kontrol gula
darah dan koagulasi (Flier et al, 2007).
Terakhir yang terlibat dalam patogenesa obesitas adalah beberapa penyakit
berikut (Flier et al, 2007):
1. Sindroma Cushing
Obesitas mungkin diasosiasikan dengan peningkatan reaktivasi lokal kortisol di
lemak oleh 11-hydroxysteroid dehydrogenase 1, enzim yang mengaktivasi
kortison menjadi kortisol.

2. Hipotiroid
Peningkatan berat badan pada penderita ini dikarenakan myxedema. Ini akan
menyebabkan penderita berpenampilan seperti penderita obese.

Universitas Sumatera Utara


3. Insulinoma
Penambahan berat badan dikarenakan makan berlebih dikarenakan gejala takut
hipoglikemi. Peningkatan kadar insulin menyebabkan penyimpanan energi
menjadi lemak.

4. Craniopharingioma
Penurunan hormon pertumbuhan menyebabkan berkurangnya aktivitas lipolisis.

Berbagai faktor yang menjadi bagian dari patogenesis obesitas dapat dilihat
pada gambar 2.1. di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara


Hormonal

LEPTIN INSULIN KORTISOL PEPTIDA USUS

GHRELIN CCK&PYY

Perubahan ekspresi dan pelepasan peptide hipotalamus Glukosa

NPY AgRP -MSH MCH Metabolit

Disregulasi nafsu makan Adiposity/ sel lemak

miskin adipo resistin


OBESITAS nektin dan RBP4

kaya

Negara Kurang asupan


industri tidur makan dan
Negara aktivitas
berkembang

Faktor sosial/lingkungan
GENETIK

*Insulinoma
*Cushing
Disfungsi Mutasi syndrome
* Tub * Lep ob/db *Craniophary
* Turk * MC4R ngioma
* PC1
* POMC

Peningkatan
ekspresi SINDROM
*AgRP SPESIFIK

Gambar 2.1. Skema multifaktor yang dapat menyebabkan obesitas

Universitas Sumatera Utara


2.3. Tidur
2.3.1. Definisi Tidur
Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
(Guyton, 2007). Tidur memiliki fungsi untuk memulihkan keseimbangan alami di
antara pusat-pusat neuron (Guyton, 2007).

2.3.2. Fisiologis Tidur


Terdapat 2 tipe tidur yakni: (1) tidur gelombang lambat, ini dikarenakan pada
saat ini gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya rendah, dan (2) tidur dengan
pergerakan mata yang cepat, karena pada tipe ini mata bergerak dengan cepat
meskipun si individu tertidur (Guyton, 2007).
Tidur memiliki siklus, yang mana di dalamnya terdapat 2 periode, merupakan
tipe tidur, yang silih berganti hingga tercapai beberapa siklus dalam 7-9 jam
waktu tidur si individu (Barret et al, 2008). Ketika orang tersebut tertidur, maka
pertama-tama ia akan memasuki periode nonrapid eyes movement (NREM) atau
periode tidur gelombang lambat. Periode ini menguasai 75-80% dari total tidur
dan terdiri dari 4 stadium, yakni stadium 1, 2, 3 dan 4. Pada awal tidur, individu
memasuki stadium 1, 3-8% dari total tidur. Stadium ini memiliki gambaran
penurunan aktivitas elektromiografi (EMG), penurunan pergerakan bola mata,
yang dapat dilihat pada elektrookulografi (EOG), dan pengurangan serta voltase
yang rendah, sehingga memberi tampilan gelombang alfa (8-13 Hz) pada
gambaran elektroensefalografi (EEG). Kemudian berlanjut ke stadium 2, 10-12
menit dari stadium 1 dan 45-55% dari total tidur. Stadium ini memiliki
karakteristik adanya sleep spindle dan kompleks K. Sleep spindle adalah bentuk
gelombang dengan frekuensi 12-14 Hz, berlangsung minimal 0,5 detik dan
berbentuk spindle. Sedangkan kompleks K adalah bentuk gelombang yang
memiliki 2 komponen, 1 gelombang negatif yang diikuti 1 gelombang positif,
keduanya berakhir lebih dari 0,5 detik. Gelombang delta pada EEG pertama kali
muncul pada awal stadium ini. Gambaran EMG-nya lebih rendah daripada waktu
sadar. Kemudian masuk ke stadium 3 dan 4, 15-20% dari total tidur dan

Universitas Sumatera Utara


membentuk tidur gelombang lambat. Karakteristik stadium ini adalah memiliki
amplitudo yang tinggi, aktivitas gelombang lambat. Tidur kemudian menjadi
lebih dangkal, dan memasuki periode rapid eyes movement (REM) atau periode
pergerakan bola mata cepat, 60-90 menit setelah mulai periode NREM, 20-25%
dari total tidur. Karakteristiknya adalah voltase yang rendah dan campuran
gelombang alfa dan teta serta terdapat pergerakan bola mata yang cepat. Periode
REM ini memiliki 2 fase yakni tonik dan fasik. Pada fase fasik inilah terdapat
gambaran pergerakan mata yang cepat. Siklus NREM-REM berlangsung setiap 90
menit dan berkisar 4-6 siklus sepanjang malam (Lee-Chiong, 2009).
Terdapat berbagai perbedaan antara NREM dan REM. Tabel 2.4. di bawah
ini akan meringkaskan beberapa perbedaan tersebut (Guyton, 2007 dan Lee-
Chiong, 2009).

Tabel 2.4. Perbedaan Periode Nonrapid Eyes Movement dan Rapid Eyes
Movement
Perbedaan NREM REM
Saraf Autonom Peningkatan parasimpatis Fase fasik: Peningkatan simpatis
Fase tonik: peningkatan
parasimpatis
Fisiologi kardiak Inspirasi: denyut jantung Fase fasik: peningkatan denyut
berdetak cepat dan singkat jantung
Ekspirasi: penurunan Fase tonik: penurunan denyut
progresif denyut jantung jantung
Fisiologi * frekuensi dan amplitudo Penurunan volum tidal dan minute
pernafasan pernafasan regular ventilation menurun hingga ke
* penurunan ventilasi level yang paling rendah. Apnea
alveolar bersamaan dengan sentral dan periodic breathing lebih
peningkatan PaCO2 sering pada fase REM ini, terutama
fase fasik
Aliran darah ke Penurunan aliran darah ke Peningkatan aliran darah ke otak
otak otak dibandingkan saat
bangun
Suhu inti tubuh TCore lebih rendah daripada Suhu tubuh pada periode REM ini
(TCore) saat bangun bergantung pada suhu lingkungan
Fungsi genital Sedikit perubahan *ereksi penis
*ereksi klitoris dan vaginal
engorgement

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Regulasi Siklus Bangun Tidur
Nukleus pada batang otak dan hipotalamus penting selama transisi siklus
bangun-tidur. Perangsangan pada formasio retikularis midbrain dan hipotalamus
posterior menghasilkan keadaan bangun, sementara untuk menghasilkan tidur
diperlukan perangsangan pada hipotalamus anterior dan daerah di sekitar basal
forebrain. Formasio retikularis melepaskan norepinefrin, serotonin dan
asetilkolin. Neuron preoptikus di hipotalamus, wilayah forebrain yang terlibat
dalam siklus bangun-tidur, melepaskan GABA. Sedangkan neuron hipotalamus
posterior melepaskan histamin. Gambar 2.2. di bawah ini menjelaskan peranan
neurotransmiter dalam siklus bangun-tidur (Barret et al, 2010).

Nukleus batang otak yang merupakan bagian sistem


aktivasi retikular (RAS)

Norepinefrin Norepinefrin
dan serotonin dan serotonin

asetilkolin asetilkolin

Bangun tidur NREM Tidur REM

Aktivasi Aktivasi
talamus & talamus &
korteks korteks

histamin histamin

GABA GABA

Hipotalamus dan pusat


sirkadian dan homeostasis

Gambar 2.2. Peranan Neurotransmiter pada Siklus Bangun-Tidur


Sumber: Barret et al, 2010. Ganongs Review of Medical Physiology. 23rd Ed.

Universitas Sumatera Utara


Selain neurotransmiter, hormonal juga berperan dalam siklus bangun-tidur.
Salah satu contohnya adalah melatonin. Pada malam hari melatonin melalui
aktivitas norepinefrin pada reseptor -adrenergik. Hal ini kemudian meningkatkan
CAMP intraseluler, yang pada akhirnya akan meningkatkan N-acetyltransferase.
Lalu terangsanglah kelenjar pineal. Maka terbentuk dan tersekresilah melatonin.
Melatonin ini yang menjaga keadaan tidur si individu sepanjang malam hari
(Barret et al, 2010).

2.4. Bentuk-bentuk Gangguan Pola Tidur


Terdapat 3 kategori utama dalam Diagnostic and Statistical Mental Disorders
4th ed (DSM-IV): (1) gangguan tidur primer, (2) gangguan tidur yang
berhubungan dengan gangguan mental lain, dan (3) gangguan tidur lain,
khususnya gangguan tidur karena kondisi medis umum dan obat (Kaplan, 2010).
Secara umum terdapat 4 gejala utama yang menandai sebagian besar
gangguan tidur, yakni: (1) insomnia, adalah kesukaran dalam memulai atau
mempertahankan tidur, (2) hipersomnia, adalah jumlah jam tidur yang berlebihan
dan mengantuk yang berlebihan di siang hari, (3) parasomnia, yaitu fenomena
yang tidak umum dan tidak diinginkan yang tampak secara tiba-tiba selama tidur
atau yang terjadi pada ambang antara terjaga dan tertidur, dan (4) gangguan
jadwal tidur-bangun, di sini penderita tidak dapat tidur saat mereka ingin tidur
walaupun mereka dapat tidur pada waktu lain (Kaplan, 2010).

2.5. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Indeks Massa Tubuh


Akhir-akhir ini, beberapa studi menemukan hubungan antara jumlah jam
tidur dengan indeks massa tubuh (Launderdale et al, 2009; Adamkova et al, 2009;
Kohatsu et al, 2006; Sharma et al, 2010). Pada penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan jumlah jam tidur yang kurang memiliki angka indeks massa tubuh
yang lebih tinggi dibandingkan yang memiliki jumlah jam tidur yang normal
(Launderdale et al, 2009; Adamkova et al, 2009; Kohatsu et al, 2006; Sharma et
al, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Berbagai hal yang berlangsung selama tidur, salah satunya dalam hal
metabolisme glukosa. Pada individu yang normal terjadi peningkatan hormon
pertumbuhan dan penurunan kortisol serta epinefrin ketika tidur. Peningkatan
hormon pertumbuhan selama awal tidur ini akan menjaga kadar gula darah stabil
dengan cara menghambat pengambilan glukosa dari otot. Sedangkan penurunan
kadar kortisol inilah yang menyebabkan terlambatnya efek sensitivitas insulin
selama tidur, sehingga efek ini akan muncul pada akhir malam. Karena inilah,
kadar gula darah tetap stabil selama tidur di sepanjang malam meskipun si
individu dalam keadaan berpuasa (Cauter et al, 1997).
Tidak hanya hormon pertumbuhan dan kortisol yang berperan, ghrelin, leptin
dan oreksin juga memiliki kaitan dalam hubungan tidur dan homeostasis glukosa.
Keseimbangan energi positif yang mengubah aktivitas transkripsi kunci sirkadian
juga mampu mempengaruhi homeostasis glukosa. (Zvonic et al, 2007; Tsujino et
al, 2009; Lam et al, 2010; Adamkova et al, 2009; Yang et al, 2009).
Pada penderita yang memiliki nilai indeks massa tubuh lebih tinggi (obese),
sudah tentu terjadi gangguan metabolisme glukosa. Salah satu kemungkinan sebab
penyebabnya adalah bahwa pada penderita obese terjadi penurunan respon sel
beta pankreas terhadap glukosa secara signifikan pada akhir hari (Cauter et al,
1997). Akibatnya terjadi penurunan sekresi insulin pada akhir malam sehingga
kadar glukosa pada malam hari, dalam keadaan berpuasa, terganggu.
Setelah awal mula tidur, pada penderita obese dijumpai penurunan kadar gula
darah dan penurunan kecepatan sekresi insulin dikarenakan penurunan pelepasan
hormon pertumbuhan (Cauter et al, 1997). Mungkin hal ini akan menyebabkan
penderita obese banyak mengonsumsi makanan di malam hari karena tubuh
merasa kelaparan. Penurunan kecepatan sekresi insulin ini tidak hanya
dikarenakan resistensi insulin tetapi juga pengaruh dari perubahan kortisol (Cauter
et al, 1997).
Mutasi homozigot Clock, protein regulator jam sirkadian pada individu
menyebabkan hiperfagia, hipoinsulinemia, hiperglisemia, hiperlipid, yang pada
akhirnya menyebabkan individu mengalami peningkatan nilai indeks massa

Universitas Sumatera Utara


tubuh, serta mengalami gangguan siklus tidur (Zvonic et al, 2007; Yang et al,
2009).
Pada penderita obese juga ditemukan penurunan respon Clock-Bmal1, Bmal1
juga merupakan protein regulator transkripsional, sehingga pada penderita obese
memperlihatkan ritme sirkadian yang berbeda daripada orang normal. (Zvonic et
al, 2007; Yang et al, 2009).
Terdapat pula neuropeptida oreksin atau hipokretin, tidak hanya mengatur
nafsu makan tetapi juga mengatur pola tidur pada individu. Oreksin merupakan
neuropeptida yang diproduksi di neuron hipotalamus, terutama di area lateral
hipotalamus (LHA), yang merupakan pusat pengaturan nafsu makan. Peran
oreksin ini didukung dengan ditemukannya kedua reseptor oreksin, OX1R dan
OX2R, pada pusat-pusat pengaturan makan dan siklus bangun-tidur. OX1R,
misalnya, terdapat di prefrontal, korteks infralimbik, hipokampus, amigdala,
nukleus talamus paraventrikular, dorsal raphe, area tegmental ventral, lokus
serulus dan nukleus tegmental laterodorsal. Sedangkan OX2R terletak di amigdala,
nukleus talamus paraventrikular, area tegmental ventral dan dorsal raphe
(Tsujino et al, 2009).
Tak hanya reseptor-reseptor di atas, oreksin juga menerima inervasi dari area
yang berkaitan dengan pengaturan homeostasis energi, seperti NPY, AgRP dan -
MSH.
Oreksin diaktifkan oleh neurotensin, oksitosin, dan vasopressin. Sebaliknya
GABA, glukosa, 5-HT, noradrenalin dan leptin menghambat aktivitas oreksin
(Tsujino et al, 2009). Pada penderita obese dijumpai disfungsi leptin (Shea et al,
2005). Hal ini yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dikarenakan peran
leptin dalam menekan nafsu makan terganggu.
Dalam pengaturan nafsu makan, oreksin diaktifkan jika tubuh dalam keadaan
hipoglikemi. Sebaliknya, jika kadar gula darah ekstraseluler meninggi maka
oreksin pun akan dihentikan aksi potensialnya (Tsujino et al, 2009).
Penurunan jumlah tidur berkaitan dengan modulasi aktivitas neuron oreksin
melalui noradrenalin. Periode jumlah total tidur yang berkurang akan mengubah
aktivitas noradrenalin pada neuron oreksin dari keadaan tereksitasi menjadi

Universitas Sumatera Utara


terinhibisi. Sehingga penginhibisian noradrenalin ini akan mengaktivasi oreksin
(Tsujino et l, 2009).
Ghrelin juga memiliki peranan. Menurut Thompson et al (1999) dalam
Spiegel et al (2004) penurunan jumlah jam tidur selama 6 hari menunjukkan
peningkatan keseimbangan cardiac sympathovagal. Peningkatan ini
mencerminkan penurunan aktivitas vagus. Seperti yang diketahui bahwa vagus
dan ghrelin memiliki perbandingan yang terbalik, yakni penurunan vagus berarti
peningkatan ghrelin. Ghrelin diduga merupakan hormon yang bersifat
oreksigenik, yakni meningkatkan nafsu makan (Guyton, 2007).
Sedangkan leptin berkaitan dengan aktivitas simpatis, yang mana
perangsangan simpatis akan menurunkan pelepasan leptin. Penurunan jumlah jam
tidur ini, berarti peningkatan cardiac sympathovagal, akan menurunkan kadar
leptin (Spiegel et al, 2004). Akibatnya tidak terdapat penekanan nafsu makan
(Guyton, 2007).
Sehingga secara keseluruhan dapat dilihat terdapat hubungan antara jumlah
jam tidur dengan peningkatan indeks massa tubuh, dikarenakan disregulasi nafsu
makan. Kaitan jumlah jam tidur yang berhubungan dengan peningkatan indeks
massa tubuh, khususnya obesitas, adalah penurunan jumlah jam tidur, normal
jumlah jam tidur 7-8 jam (Adamkova et al, 2009), beberapa referensi menyatakan
penurunan jumlah tidur yang dimaksud adalah kurang dari 7 jam (Theorall-
Haglow, 2010; Watson et al, 2010) sedangkan referensi lain menyatakan
penurunan jumlah tidur tersebut adalah tidur kurang dari 4-5 jam (Schmid et al,
2008; Adamkova et al, 2009). Dari keseluruhan hal yang paling umum
menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh pada penurunan jumlah jam tidur
adalah penurunan kadar leptin dan peningkatan kadar ghrelin.

Universitas Sumatera Utara


PENURUNAN JUMLAH
JAM TIDUR

Mutasi
Clock-
oreksin Bmal1

kortisol GH

KADAR KADAR
LEPTIN GHRELIN

PENINGKATAN NAFSU MAKAN PADA


MALAM HARI

PENINGKATAN IMT
Gambar 2.3. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Obesitas

Gambar 2.3. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Indeks Massa Tubuh

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai