Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN

A. ANATOMI & FISIOLOGI

Anatomi fisiologi sistem reproduksi wanita dibagi menjadi 2 bagian yaitu:


alat reproduksi wanita bagian dalam yang terletak di dalam rongga pelvis, dan alat
reproduksi wanita bagian luar yang terletak di perineum.

1. Alat genitalia wanita bagian luar

Gambar 4.1 Organ Eksterna Wanita (Bobak, IM, 2000)


a. Mons veneris
Disebut juga gunung venus merupakan bagian yang menonjol di
bagian depan simfisis terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat
setelah dewasa tertutup oleh rambut yang bentuknya segitiga. Mons pubis
mengandung banyak kelenjar sebasea (minyak) berfungsi sebagai bantal
pada waktu melakukan hubungan seks.
b. Labia mayora
Merupakan kelanjutan dari mons veneris berbentuk lonjong, panjang
labia mayora 7-8 cm, lebar 2-3 cm dan agak meruncing pada ujung bawah.
Kedua bibir ini dibagian bawah bertemu membentuk perineum, permukaan
terdiri dari:
1) Bagian luar
Tertutup oleh rambut yang merupakan kelanjutan dari rambut pada
mons veneris.
2) Bagian dalam
Tanpa rambut merupakan selaput yang mengandung kelenjar sebasea
(lemak).
c. Labia minora
Merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, terletak dibagian
dalam bibir besar (labia mayora) tanpa rambut yang memanjang kea rah
bawah klitoris dan menyatu dengan fourchette, semantara bagian lateral dan
anterior labia biasanya mengandung pigmen, permukaan medial labia
minora sama dengan mukosa vagina yaitu merah muda dan basah.
d. Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil,
dan letaknya dekat ujung superior vulva. Organ ini mengandung banyak
pembuluh darah dan serat saraf sensoris sehingga sangat sensitif analog
dengan penis laki-laki. Fungsi utama klitoris adalah menstimulasi dan
meningkatkan ketegangan seksual.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang berbentuk seperti
perahu atau lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette.
Vestibulum terdiri dari muara uretra, kelenjar parauretra, vagina dan
kelenjar paravagina. Permukaan vestibulum yang tipis dan agak berlendir
mudah teriritasi oleh bahan kimia, panas, dan friksi.
f. Perinium
Merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus
vagina dan anus. Perinium membentuk dasar badan perinium.
g. Kelenjar Bartholin
Kelenjar penting di daerah vulva dan vagina yang bersifat rapuh dan
mudah robek. Pada saat hubungan seks pengeluaran lendir meningkat.
h. Himen
Merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina bersifat rapuh
dan mudah robek, himen ini berlubang sehingga menjadi saluran dari lendir
yang di keluarkan uterus dan darah saat menstruasi.
i. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak
pada pertemuan ujung bawah labia mayoradan labia minora. Di garis tengah
berada di bawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil dan fosa
navikularis terletak di antara fourchette dan himen.
Precancerouses:

1. Senile Keratosis (Keratoma Senile)


2. Radiodermatitis
3. Leukoplakia (Leukokeratosis)
(Dewa)

4. Xeroderma Pigmentosum (Kaposi/Atrophoderma Pigmentosum)


5. Bowens Disease
(Ipul)

6. Erythroplasia (Queyrat)
7. Circumscribed Precancerous Melanosis (Melanotic Freckle of
Hutchinson)
(Oliv)

Contents of Chapter III

1. Definition
2. Pathophysiology
3. Etiology
4. Epidemiology
5. Risk Factors
6. Signs and Symptoms
7. Examination:
a. Physical
b. Laboratory
c. Etc....
8. Treatment and Management:
a. Medical care
b. Surgical care (Terutama ini yang dicari)
c. Etc....
9. Complication
10.Outcome and Prognosis

Nb:

*khusus cancer bahas juga staging


Chapter IV (any idea?)

A. Efek Samping dan Toksisitas


Berikut ini adalah efek samping dan toksisitas kaptopril: 21
1. Hipotensi
Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada hipertensi
dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus berhati-hati pada pasien
dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat
kombinasi beberapa antihipertensi.
2. Batuk Kering
Merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan insidens 5-20%,
lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada malam hari. Dapat terjadi
segera atau setelah beberapa lama pengobatan. Diduga efek samping ini ada
kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, atau
prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat
reversibel bila obat dihentikan.
3. Hiperkalemia
Dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien yang
juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau -bloker.
4. Rash dan gangguan pengecapan
Lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga dapat terjadi pada ACE-
inhibitor yang lain. Diduga karena adanya gugus sulfhidril (SH) pada kaptopril
yang tidak dimiliki oleh ACE-inhibitor yang lain. Gangguan pengecapan
(disgeusia) terjadi pada kira-kira 7% pasien yang mendapat kaptopril. Sekitar
10% pemakai kaptopril mengalami rash makulopapular atau morbiliform yang
bersifat reversibel pada penghentian obat atau dengan pemberian antihistamin.
Sebagaiannya menghilang walaupun obat diteruskan atau tidak muncul lagi
pada pemberian ulangan.
5. Edema angioneurotik
Terjadi pada 0,1-0,2% pasien berupa pembengkakan di hidung, bibir,
tenggorokan, laring dan sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek
samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian ACE-
inhibitor.
6. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis
arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini
disebabkan dominasi efek ACE-inhibitor pada arteriol eferen yang
menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi
glomerulus semakin berkurang.
7. Proteinuria
Dapat terjadi >1 g/hari. Kaptopril yang diberikan dengan dosis tinggi pada
pasien insufisiensi renal, menyebabkan proteinuria atau neutropenia.
8. Efek teratogenik
Terutama pada pemberian selama trimester 2 dan 3 kehamilan. Dapat
menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus akibat berbagai kelainan
lainnya.

B. Gejala Toksisitas dan Penanggulangan


Berikut ini adalah toksisitas kaptopril dan penanggulangannya: 22
1. Pemberian epinefrin, antihistamin atau kortikosteroid dapat membantu
mengatasi apabila timbul gejala edema pada hidung, bibir, tenggorokan, laring
serta terjadi sumbatan jalan napas.
2. Untuk menentukan apakah batuk kronis disebabkan captopril atau ACE
inhibitor lain, maka obat tersebut harus dihentikan tanpa memperhatikan onset
batuk maupun awal minum obat. Diagnosis ditegakkan bila batuk membaik
biasanya dalam 1-4 minggu setelah dihentikan. Tetapi ada yang baru membaik
setelah 3 bulan. Penghentian obat merupakan terapi yang paling efektif bila
batuk tersebut karena captopril atau ACE inhibitor lain. Meskipun telah terbukti
batuk itu membaik dengan penghentian captopril, ACE inhibitor tetap dapat
dicoba ulang pemberiannya. Bila penghentian ACE inhibitor bukan merupakan
pilihan, terapi farmakologis termasuk sodium cromoglycate, thophyline,
sulindac, indomethacin, amlodipin, nifedipin, ferrous sulfate dan picotamide
yang bertujuan menekan batuk dapat dicoba.
3. Pada pasien yang persisten atau intoleran terhadap ACE inhibitor, terapi harus
diganti. Dapat dengan ARB bila memang indikasi, atau agen kelompok lain
yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai