Anda di halaman 1dari 25

PAPER

Pembangunan Daerah
Paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan
Perekonomian Indonesia (EKU307 A6)
Pengampu : Drs. I Ketut Sutrisna, M.Si.







Disusun oleh :
KELOMPOK 10

I Dewa Ayu Adelia Pratiwi 1506305071/Absen 22


Nyoman Yudha Astriayu Widyari 1506305110/ Absen 30


PROGRAM REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuh a n Yan g M a h a E s a , karena


atas berkat dan karunia-Nya sehingga tugas paper mata kuliah Perekonomian Indonesia
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tugas paper ini penulis susun dengan mengerahkan segala daya dan upaya yang
ada, termasuk bantuan dan bimbingan serta sumbang saran dari berbagai pihak baik
langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari tugas paper ini jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh
keterbatasan dalam pengetahuan, kemampuan mencari sumber, dan pengalaman. Untuk
itu, masukan yang sifatnya konstruktif akan sangat berguna bagi penyempurnaan (revisi)
berikutnya. Semoga tugas paper ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
bagi para pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga tugas paper yang sederhana ini
bisa bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Denpasar, 20 April 2017

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi.


Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi
merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh
pemerintah pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada
daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.
Sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan
pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat
memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah harus
melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam
daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil. Dengan penerapan
sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran
rakyat yang merata di seluruh daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga
kebanyakan daerah yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan
tujuan membangun Good Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru,
berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence,
salah satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat
mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
Pembangunan ekonomi saat ini di negara kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde
baru lebih mementingkan atau memusatkanpada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak
membuat wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai hasil
pembangunan selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini
merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat
nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat
pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun dilihat pada tingkat
regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu pembangunan daerah, otonomi, serta bagaimana hubungan keduanya?
1.2.2. Apa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten?
1.2.3. Apa saja prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah?
1.2.4. Apa saja sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah?
1.2.5. Apa saja sumber pendapatan daerah yang berasal dari pinjaman?

1.3. Tujuan

1.3.1. Menganalisa mengenai pembangunan daerah, otonomi, serta hubungan keduanya


1.3.2. Menganalisa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten
1.3.3. Menganalisa prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah
1.3.4. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
1.3.5. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pembangunan Daerah, Otonomi, Serta Hubungan Keduanya

Pembangunan Daerah
Pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi
pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam mengembangkan
berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Daerah-daerah semakin
memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal.
Kewenangan pemerintah daerah melalui otonomi daerah akan memberikan pelayanan
maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun
global. Otonomi daerah juga akan mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan
akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal. Melalui kewenangan
yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, pemerintah daerah
akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan
kemampuannya. Jadi kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan
kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan
meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan
membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

Prinsip Otonomi Daerah


Sejak ketetapan MPR No. XXI Tahun 1996 prinsip dalam otonomi daerah bersifat
seluas-luasnya dan kemudian berkembang menjadi otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi, Dekosentrasi, dan Tugas Pembantuan


Dalam UU No. 32 dan UU No. 33 dikenal adanya desentralisasi kewenangan,
pelimpahan kewenangan, dan penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah
tertentu. UU No. 32 Tahun 2004 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi
hanya sampai pemerintahan provinsi dan hanya untuk kegiatan bersifat nonfisik. Sedangkan
tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintahan kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang bersifat
fisik.

2.2. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsistem


keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara kedua tingkat
pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada pemerintahan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dengan memperlihatkan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan satu
system yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiscal antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah. Pinjaman derah bertujuan untuk memperoleh
sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Lain-lain
pendapatan bertujuan untuk memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan
selain pendapatan yang disebutkan di atas.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi didanai APBD. Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana. Dengan
demikian penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan
oleh gubernur dalam rangka tugas pembantuan didanai APBN.

2.3. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Pemerintah Daerah


2.3.1. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam
penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau
memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari
pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan
untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan
penyertaan modal oleh pemerintah daerah.

2.3.2. Penerimaan Pembiayaan


Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah
antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi
perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pihak ketiga,
penjualan investasi permanen lainnya dan pencairan dana cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Daerah.
Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan
membukukan penerimaan bruto dan tidak mencatat jumlah nettonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran). Pencairan Dana Cadangan mengurangi Dana
Cadangan yang bersangkutan.
Penerimaan pembiayaan mencakup :
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
b. pencairan dana cadangan
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. penerimaan pinjaman daerah
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman
f. penerimaan piutang daerah.

2.3.3. Pengeluaran Pembiayaan


Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Daerah
antara lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah,
pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran tertentu dan
pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari
Rekening Kas Umum Daerah.
Pembentukan Dana Cadangan menambah Dana Cadangan yang bersangkutan. Hasil-
hasil yang diperoleh dari pengelolaan Dana Cadangan di pemerintah daerah merupakan
penambah Dana Cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam pos pendapatan
asli daerah lainnya.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan
b. penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah.

2.3.4. Pembiayaan Netto


Pembiayaan netto adalah selisih antara penerimaan pembiayaan setelah dikurangi
pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran tertentu. Selisih lebih/kurang antara
penerimaan dan pengeluaran pembiayaan selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos
Pembiayaan Netto.

Sisa Lebih/kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SiKPA)


Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran adalah selisih lebih/kurang antara realisasi
penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan. Selisih lebih/kurang antara
realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos
SiLPA/SiKPA.
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup
pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan
penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum
terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

Dana Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang tidak
dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana Cadangan dibentuk untuk suatu tujuan
tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana Cadangan menggunakan rekening terpisah dari
rekening kas daerah (Pembiayaan Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah ditetapan Pemerintah
daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya
tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah
mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan
dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus
dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun
anggaran pelaksanaan dana cadangan.
Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan dibahas bersamaan
dengan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD. Penetapan rancangan
peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan ditetapkan oleh kepala daerah
bersamaan dengan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Dana cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah, kecuali dari
dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi
untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dana cadangan
ditempatkan pada rekening tersendiri.
Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam
portofolio dicantumkan sebagai penambah dana cadangan berkenaan dalam daftar dana
cadangan pada lampiran rancangan peraturan daerah tentang APBD. Pembentukan dana
cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan
dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan.
Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan
daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekening dana cadangan ke
rekening kas umum daerah dianggarkan dalam belanja langsung SKPD pengguna dana
cadangan berkenaan, kecuali diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.

Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan


Hasil Penjualan Aset yang Dipisahkan adalah penerimaan daerah yang bersumber dari
hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dari kekayaan daerah, misalnya penjualan aset
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD
dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau
hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.

Penerimaan Pinjaman Daerah


Pinjaman Daerah adalah penerimaan daerah yang bersumber dari dana pihak ketiga
(kreditur) yang harus dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian yang
disepakati antara pemda dengan kreditur dan akan menambah utang daerah.
Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman
daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada
tahun anggaran berkenaan.

Pemberian Pinjaman daerah dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Daerah


Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan
kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
Penerimaan Pelunasan Piutang adalah penerimaan daerah yang bersumber dari
pelunasan piutang yang diterima dari pihak ketiga atau debitur dan akan mengurangi piutang
daerah.
Penerimaan kembali pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi
penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah lainnya.

Penerimaan Piutang Daerah


Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari
pelunasan piutang fihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah dari pendapatan
daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan
bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.

Investasi Pemerintah Daerah


Investasi pemerintah daerah digunakan untuk mengelola kekayaan pemerintah daerah
yang diinvestasikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Investasi jangka
pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam
rangka manajemen kas dan beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas)
bulan.
Investasi jangka pendek mencakup deposito berjangka waktu tiga bulan sampai dengan
12 bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat Utang Negara (SUN),
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi yang
dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 bulan yang terdiri dari investasi permanen dan non-
permanen.
Investasi jangka panjang antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah daerah
dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk
menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha, surat berharga yang dibeli
pemerintah daerah untuk tujuan menjaga hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga
yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.
Investasi permanen bertujuan untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk
diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, seperti kerjasama daerah dengan pihak ketiga
dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset daerah, penyertaan modal daerah pada
BUMD dan/atau badan usaha lainnya dan investasi permanen lainnya yang dimiliki
pemerintah daerah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Investasi non permanen bertujuan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada
niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali, seperti pembelian obligasi atau surat utang
jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo, dana
yang disisihkan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat
seperti bantuan modal kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok
masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.
Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang
akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah
tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Investasi pemerintah daerah, dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan. Divestasi
pemerintah daerah dianggarkan dalam penerimaan pembiayaan pada jenis hasil penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Divestasi pemerintah daerah yang dialihkan untuk
diinvestasikan kembali dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan pada jenis penyertaan
modal (investasi) pemerintah daerah.
Penerimaan hasil atas investasi pemerintah daerah dianggarkan dalam kelompok
pendapatan asli daerah pada jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Pembayaran Pokok Utang


Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh tempo adalah pengeluaran daerah yang
digunakan untuk membayar utang pokok yang jatuh tempo. Pembayaran pokok utang
digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.4. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah

Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah


dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa bersumber dari: sisa
lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan
hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Selanjutnya adalah meliputi masing-
masing komponen dari pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya sudah dianggap
cukup jelas.
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (yang meliputi hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk
lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Dalam upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan tentang
pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah,
dan kegiatan impor/ekspor, sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ketentuan
mengenai pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dana Perimbagan
Dana perimbangan terdiri atas: (i) dana bagi hasil, (ii) dana alokasi umum, dan (iii)
dana alokasi khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
(i). Dana Bagi Hasil. Dana ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi
hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Banguan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
dibagi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sebagai pada tabel 1. Sedangkan
dana bagi hasil dari sumber daya alam yang berasal dari: kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi dibagi sebagai tabel 2.

Tabel 1: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Pajak Antar Pemerintahan


Keterangan Pusat Provinsi Kab/Kota
Penerimaan PBB (-9% bea 9% 16,2% 64,8%
pemungutan) 65%1)
10% dari bagian pemerintah Pusat - - 35%2)
Penerimaan BPHTB3) 20% 16% 64%
20% dari bagian pemerintah Pusat - - Rata1)
Penerimaan PPh Ps 25, Ps 29 dan
Psl 21 (dilaksanakan tiap triwulan) 80% 8% 12%
1)
Dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota
2)
Dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun
sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu
3)
BPHTB = Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan
Sumber: UU No. 33 pasal 12 dan 13

Tabel 2: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam antar Pemerintahan
Keterangan Pusat Provinsi* Kab/Kota*
Dana Bagi Hasil dari Kehutanan - - -
-Iuran Hak Pengusahaan Hutaan (IHPH) 20% 16% 64%
-Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 20% 16% 32%
-Dana Reboisasi 60%2) - 32%rata1)
40%3)
Dana Bagi Hasil dari Pertamb. Umum - - -
- Penerimaan iuran tetap 20% 16% 64%
- Royalti 20% 16% 32%
32%lain4)
Dana Bagi Hasil Perikanan:
-Penerimaan Pungutan Pengusahaan 20% - 80%5
-Penerimaan Pungutan Hasil
Dana Bagi Hasil Pertamb. Minyak Bumi 0,5%6)
(setelah dikurangi pajak) 7) 84,5% 3% 6% penghasil
6% lainnya 4)
7)
Dana Bagi Hasil Pertamb. Gas Bumi (setelah 0,5% 6)
dikurangi pajak) 69,5% 6% 12% penghasil
12% lainnya 4)
Dana Bagi Hasil Pertambangan Panas Bumi 20% 16% 32% penghasil
32% lainnya
*Provinsi, Kab/Kota berarti provinsi atau kabupaten/kota penghasil
1)
Rata untuk semua kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2)
Untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional
3)
Untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil
4)
Untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dibagi rata
5)
Dibagikan dengan porsi yang sama besar kepda kabupaten/kota di seluruh Indonesia
6)
Dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (0,1% di provinsi, 0,2% di
kabupaten/kota penghasil, dan o,2% di kabupaten/kota lain di provinsi bersangkutan).
7)
Tidak lebih dari 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN
tahun berjalan, sedangkan kalau melebihi 130% penyalurannya dilakukan melalui mekanisme
APBN Perubahan. Pelanggaran akan dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas
penyaluran dana bagi hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
Sumber: UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 14-Pasal 26

Tabel 3 menunjukkan jumlah dana bagi hasil untuk seluruh kabupaten/kota dan
seluruh provinsi di Indonesia. Dana bagi hasil dari pajak baik di tingkat
kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi selalu mengalami kenaikan dan lebih besar
dari dana bagi hasil dari sumber daya alam. Secara keseluruhan dana dari sumber ini
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sekitar 1 sampai 6 persen.
Tabel 3: Dana Bagi Hasil di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan 2006 2007 2008
1. Seluruh Kabupaten/Kota (2+3) 41.149 41.807 43.628
2. Dana Bagi Hasil dari Pajak 22.441 21.908 25.628
3. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam 18.708 19.899 18.171
4. Seluruh Provinsi (5+6) 19.063 19.259 21.067
5. Dana Bagi Hasil dari Pajak 10.281 12.613 13.567
6. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam 8.782 6.646 7.500
7. Dana Bagi Hasil Indonesia (1+4) 60.212 61.066 64.695
8. Kenaikan per tahun untuk Indonesia - 1,42% 5,94%
(ii) Dana Alokasi Umum. Jumlah DAU keseluruhan ditentukan sekurang-kurangnya 26
persen dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah ini adalah untuk seluruh provinsi
dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk menentukan berapa jumlah DAU yang
diterima oleh satu daerah (provinsi, kabupaten/kota) adalah apa yang disebut celah
fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung
berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara
berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi,
produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia.
Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD
dan dana bagi hasil.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
rasio kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal
untuk satu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang
bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi
merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan
total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Perhitungan yang sama berlaku juga untuk
daerah kabupaten/kota.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol (kebutuhan fiskalnya =
kapasitas fiskalnya) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki
nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar
menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Daerah yang
memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari
alokasi dasar tidak menerima DAU.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dihitung dengan memakai data yang diperoleh
dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang
menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah merumuskan
formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang
bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah.
Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengn
Keputusan Presiden dan disalurkan setiap bulan sebelum bulan bersangkutan, masing-
masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU daerah yang bersangkutan. Data
DAU untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4: DAU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)


Keterangan 2006 2007 2008
Seluruh Provinsi 14.571 16.478 17.825
Seluruh Kabupaten/Kota 128.898 148.956 158.758
Jumlah seluruh DAU (Indonesia) 143.469 165.434 176.583
Kenaikan untuk Indonesia - 15,31% 6,74%
` Jumlah DAU yang diterima oleh kabupaten/kota sekitar 9 kali lipat dibandingkan
dengan yang diterima oleh semua provinsi. Salah satu sebab adalah jumlah
kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah provinsi di Indonesia.
Namun, tidak ada informasi mengenai DAU yang diterima oleh masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota.
(iii) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang
ditetapkan setiap tahun dalam APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam
APBN. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum,
kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus
ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik
daerah. Dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian Negara/departemen teknis.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya
10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana pendamping tersebut dianggarkan
dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan dana pendamping. Dana DAK yang diterima oleh provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia tahun 2006-2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 5: DAK Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)


Keterangan 2006 2007 2008
Seluruh Provinsi 20 775 1.491
Seluruh Kabupaten/Kota 11.773 16.976 20.407
Jumlah seluruh DAK (Indonesia) 11.793 17.751 21.898
Kenaikan untuk Indonesia - 50,52% 23,36%
Jumlah DAK yang diterima oleh kabupaten/kota hampir 600 kali lipat (2006), 22 kali
lipat (2007), dan 14 kali lipat (2008) dibandingkan dengan jumlah DAK yang
diterima oleh semua provinsi untuk tahun yang sama. Salah satu sebab adalah jumlah
kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah provinsi di Indonesia.
Beberapa penulis mengatakan bahwa banyak provinsi dan kabupaten/kota yang tidak
mengusahakan DAK. DAK secara keseluruhan, yakni untuk seluruh provinsi dan
untuk seluruh kabupaten/kota mengalami kenaikan tiap tahun, namun tidak ada
informasi mengenai DAK yang diterima masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
3. Lain-lain Pendapatan.
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat.
Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah yang
bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. Hibah dituangkan dalam satu
naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai
dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian, penerimaan dan penggunaan hibah, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat
digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden.
Pemerintah dapat mengalokasikan dana darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami
krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi pemerintah sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewa
Perwakilan Rakyat. Data berikut ini menunjukkan bahwa pendaapatan lain-lain yang sah di
tingkat kabupaten mengalami penurunan sekita 2 persen; ini mungkin menunjukkan jumlah
keadaan yang memerlukan dana darurat seperti misalnya gempa bumi, banjir, dan lain-
lainnya berkurang di tahun 2008 dibandingan dengan kejadian yang sama di tahun 2007.
Tabel 6: Dana Lain-lain yang Sah di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan 2006 2007 2008
1. Seluruh Provinsi 5.166 6.314 7.316
2. Seluruh Kabupaten/Kota 2.693 20.125 18.602
3. Indonesia (jumlah) 7.859 26.439 25.918
4. Pertumbuhan untuk Indonesia - 236,42% -1,97%

2.5. Pinjaman Daerah

Pengertian dan Batasan Pinjaman.


Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga
pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pemerintah pusat
yang dalam hal ini Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman
pemerintah daerah dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional,
2. tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan
Penentuan batas maksimum tersebut dilakukan selambat-lambatnya bulan Agustus
untuk tahun anggaran berikutnya dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, dan pelanggaran
terhadapnya dikenakan sanksi administrative berupa oenundaan dan/atau pemotongan atas
penyaluran dana perimbangan oleh Menteri Keuangan.

Sumber Pinjaman.
Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain,
lembaga keuangan bank dan non bank, serta masyarakat.
Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah pusat dananya bisa dari dalam
negeri atau dari luar negeri. Pinjaman pemerintah pusat yang dananya berasal dari luar negeri
dapat dinyatakan dalam mata uang rupiah atau mata uang asing melalui perjanjian penerusan
pinjaman kepada pemerintah daerah antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah yang
bersangkutan. Pinjaman daerah yang berasal dari pemerintah daerah lainnya, lembaga
keuangan bank dan bukan bank dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan ke dua belah
pihak, sedangkan yang bersumber dari masyarakat berupa obligasi daerah diterbitkan melalui
pasar modal.

Jangka Waktu dan Penggunaan Pinjaman.


Pinjaman daerah mungkin berupa:
1. Pinjaman jangka pendek, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang
atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun
anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka pendek ini hanya dapat dipergunakan untuk
menutup kekurangan arus kas dan dapat dilaksanakan tanpa minta persetujuan DPRD.
2. Pinjaman jangka menengah, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih
dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa
masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk
membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan dan harus
mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.
3. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan
persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk
membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan
persetujuan DPRD sebelumnya.

Persyaratan Pinjaman.
Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinjaman harus memperhatikan beberapa
ketentuan dan persyaratan, yakni:
1. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah, serta pinjaman dari pihak lain tidak boleh
dipakai sebagai jaminan;
2. Pemerintah daerah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian
pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat.
3. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi
75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
4. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh
pemerintah pusat; dan Obligasi Daerah. Pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi
daerah dalam mata uang rupiah di pasar modal domestik yang nilai nominalnya pada saat
jatuh tempo sama dengan nilai nominalnya pada saat diterbitkan. Proyek yang dibiayai dari
obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat
dijadikan jaminan untuk obligasi daerah yang akan dikeluarkan. Pemerintah pusat tidak
menjamin obligasi daerah.

Prosedur dan Pengelolaan Penerimaan Obligasi Daerah.


Penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana ditentukan
bahwa kepala daerah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan DPRD dan dari
pemerintah pusat. Persetujuan tersebut hanya diberikan atas nilai bersih maksimal obligasi
daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD. Nilai tersebut harus telah meliputi
pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan
obligasi daerah dimaksud.
Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal, yang antara lain harus mencatumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang sekurang-
kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk kebijakan
pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
c. penerbitan obligasi daerah;
d. penjualan obligasi daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.

Hasil Penjualan Obligasi Daerah dan Peruntukannya.

Pemerintah daerah dapat mengeluarkan obligasi daerah untuk membiayai investasi


sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Penerimaan dari investasi sektor publik yang dibiayai melalui obligasi daerah digunakan
untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok obligasi daerah terkait dan sisanya disetorkan
ke kas daerah. Dana untuk membayar bunga dan pokok pinjaman disediakan dalam APBD
setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Dalam hal pembayaran bunga
dimaksud melebihi perkiraan dana yang disediakan, Kepala Daerah melakukan pembayaran
dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan
perubahan APBD.

Pelaporan dan Sanksi.


Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran yang bersangkutan dan pemerintah daerah wajib melaporkan posisi
kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada pemerintah pusat setiap semester dalam
tahun anggaran berjalan. Kalau laporan tersebut tidak dibuat, pemerintah pusat dapat
menunda penyaluran dana perimbangan yang menjadi hak pemerintah daerah yang
bersangkutan. Sedangkan kalau pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban membayar
pinjamannya kepada pemerintah pusat, kewajiban membayar pinjaman tersebut
diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara yang
menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pinjaman daerah termasuk obligasi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis berdasarkan pembahasan di atas adalah
sebagai berikut:
3.1.1. Kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan
meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian
daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat di daerah.
3.1.2. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan
subsistem keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara kedua
tingkat pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada pemerintahan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperlihatkan stabilitas
dan keseimbangan fiskal.
3.1.3. Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali,
yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup
defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain
dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan
antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian
pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
3.1.4. Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan
daerah dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah terdiri dari pendapatan asli daerah,
dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa
bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah,
dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
3.1.5. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah
daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak
lain sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar
kembali. Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah
lain, lembaga keuangan bank dan non bank, serta masyarakat. Pinjaman daerah dapat
berupa pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana University Press.


Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomo Makro : Suatu Pengantar
- Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat.
Virgantari, Kus. 2010. Analisis Faktor yang Menentukan Pelarian Modal (Capital Flight)
dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta : Tesis Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Istikomah, Navik. 2003. Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi "Capital Flight" di
Indonesia. Bandung : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. PP.13 - 31.

Anda mungkin juga menyukai