Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

MODUL HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI


PENGGUNAAN ERITROPOETIN PADA
PENGOBATAN ANEMIA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK
2013
1. Erythropoietin (EPO)
Pada tahun 1906, Paul Carnot seorang professor kedokteran di Paris bersama dengan asistennya
Deflandre mengemukakan sebuah ide bahwa proses eritropoiesis diregulasi oleh hormon. Carnot &
Deflandre melengkapi eksperimennya dengan menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan sel darah
merah pada kelinci dipicu oleh adanya faktor hemotopic yang disebut hemopoetin. Selanjutnya
penelitian ini dilanjutkan oleh Eva Bonsdorff dan Eeva Jalavisto, hasilnya diungkapkan bahwa faktor
hemopoetic itu adalah Eritropoietin. Studi selanjutnya adalah menyelidiki keberadaan EPO yang
dilakukan oleh Reissman & Erslev. Hasilnya diperoleh kesimpulan bahwa ada sebuah senyawa kimia
khusus yang disirkulasi dalam darah dan dapat menstimulasi produksi sel darah merah serta
meningkatkan hematokrit (ukuran yang menentukan seberapa banyak jumlah sel darah merah dalam
satu mililiter darah atau dengan kata lain perbandingan antara sel darah merah dengan komponen
darah yang lain). Senyawa kimia tersebut akhirnya dipurifikasi dan dipublikasikan sebagai
Erytropoietin. Penemuan ini memberi angin segar dan memperkaya khazanah dalam pengobatan
anemia.

Ahli hematologi Dr. John Adamson dan Dr. Joseph W.Eshbach melihat adanya peranan EPO dalam
pembentukan sel-sel darah merah, sehingga dianggap sangat menguntungkan digunakan untuk terapi
gagal ginjal. Lin et al pada tahun 1985 telah mengisolasi gen human Erytropoietin kemudian
megkarakterisasinya. Hasil penelitiannya adalah menyebutkan bahwa gen EPO mengkode produksi
pada sel-sel mamalia yang juga mempunyai aktivitas biologi baik in vivo maupun in vitro. Dengan
adanya penemuan ini semakin membuka peluang untuk produksi skala industri rekombinan human
Erythropoietin (RhEPO) sebagai agen terapi untuk penderita anemia.

Sekuens asam aminonya pertama kali dipetakan pada tahun 1983. EPO berikatan dengan gugus gula
(glikosilasi). EPO terglikosilasi memiliki 3 tipe: alfa (jenis paling umum digunakan untuk obat-obatan
hewan), beta (secara klinis memiliki kemanjuran yang sama dengan tipe alfa) dan Darbepoietin. Sel-
sel ginjal yang membuat EPO adalah khusus sehingga mereka peka pada tingkat-tingkat oksigen yang
rendah di dalam darah yang mengalir melalui ginjal. Sel-sel ini membuat dan melepaskan EPO ketika
tingkat oksigen terlalu rendah. Tingkat oksigen yang rendah mungkin mengindikasikan Anemia.
Erythropoietin adalah protein yang mengontrol proses eritropoiesis dan dihasilkan oleh ginjal
yang dapat menstimulasi pembentukan sel-sel darah merah oleh sumsum tulang (bone
marrow). Terkadang tubuh tidak bisa membuat cukup EPO sehingga sel darah merah tidak
bisa diproduksi

EPO merupakan obat yang telah disetujui oleh badan administrasi obat & makanan (FDA)
yang dapat digunakan untuk mengobati rendahnya jumlah sel darah merah (anemia). Anemia
yang menggunakan EPO sebagai agen terapinya adalah jenis anemia yang disebabkan oleh
kanker, gagal ginjal atau untuk terapi AIDS. EPO juga bisa digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menderita kurang darah (anemic) serta pasien yang
telah menjalani operasi, sehingga mengurangi resiko akibat transfusi darah.

Obat EPO sintetik dapat diberikan karena memiliki aktivitas yang sama dengan EPO alami
yaitu bisa meningkatkan produksi sel darah merah. EPO bekerja menstimulasi sumsum tulang
untuk memproduksi lebih banyak sel darah merah. Pasien membutuhkan asupan besi yang
cukup di dalam tubuh agar EPO bisa bekerja dengan baik. Jika pasien mempunyai kadar besi
rendah, maka dokter akan merekomendasikan tablet-tablet sumber zat besi secara oral.
Meningkatnya jumlah sel darah merah dapat dilihat dalam 2-6 minggu sejak dimulainya
terapi pada pasien kanker. Ketika jumlah sel darah merah meningkat, secara umum pasien
akan merasa lebih baik. Pada prinsipnya terapi EPO pada pasien bertujuan untuk
meningkatkan produksi sel darah

2. Struktur dan fungsi


Bila seseorang mengalami pendarahan atau hipoksia, sintesis hemoglobin akan meningkat,
dan pembentukan serta pelepasan sel darah merah dari sumsum tulang ( eritropoeisis)
meningkat. Sebaliknya bila volume sel darah meningkat akibat transfuse, aktivitas
eritropoitik di sumsum tulang menurun. penyesuaian ini terjadi akibat perubahan kadar
eritropoitin dalam darah. Eritropoitin adalah glikoprotein yang mengandung 165 residu asam
amino dan empat rantai oligosakarida yang penting untuk aktivitasnya in vivo. Kadarnya
dalam darah sangat meningkat pada anemia. Eritropoietin meningkatkan jumlah sel bakal
( stem cell) yang peka eritropoietin di sumsum tulang. Sel- sel bekal ini kemudian berubah
menjadi prekusor sel darah merah dan akhirnya menjadi eritrosit matang. reseptor untuk
eritropoeitin adalah suatu protein linear dengan sebuah domain transmembran yang
merupakan anggota superfamili reseptor sitokin. Reseptor ini memiliki aktif tirosin kinase,
dan ia mengaktifkan jenjang serin dan treonin kinase sehingga terjadi pertumbuhan dan
perkembangan sel sasaran. Apabila kadara eritropoietinrendah, sel- sel bakal eritroid akan
memperlihatkan pemecahan DNA yang diikuti oleh programmed cell death ( apoptosis).
Apoptosis pada berbagai jenis sel sekarang diketahui merupakan bagian dari perkembangan
normal di berbagai jaringan. Pada sel-sel bakal eritoid, eritopoietin menurunkan pemecahan
DNA dan memyebabkan sel dapat bertahan hidup. Tempat inaktivasi eritropoietin yang
terpenting adalah di hati dan hormone ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi sekitar 5 jam.
Namun, peningkatan sel darah merah dalam darah dipicu oleh hormon ini terjadi setelah 2-3
hari, karena pematangan sel darah merah merupakan proses yang relative lambat . hilangnya
sebagian kecil residu asam sialat dalam gugus karbohidrat yang merupakan bagian dari
molekul eritropoietin akan akan mempersingkat waktu paruh menjadi 5 menit sehingga
secara biologis hormon menjadi tidak aktif.

3. Sumber

Pada orang dewasa, eritropoietin berasal dari ginjal dan dari hati. Kedua organ tersebut
mengandung mRNA untuk eritropoietin. Eritropoietin juga dapat di ekstraksi dari limpa dan
kelenjer liur, tetapi kedua jaringan ini tidak mengandung mRNA dan dengan demikian
tampaknya tidak membentuk hormon ini. Selama masa janin dan neonatus, tempat tempat
utama sintesis eritropoitin adalah hati , dan hati juga merupakan tempat utama pembentukan
eritropoietin sebelum eritropoiesis diambil alih oleh sumsum tulang dan produksi
eritropoietin oleh ginjal. Bila massa ginjal pada orang dewasa berkurang akibat penyakit
ginjal atau nefrektomi, hati tidak dapat mengompensasi dan terjadi anemia.

Pada orang dewasa, eritropoitin dibentuk oleh sel-sel intertisial di jaringan kapiler peritubulus
ginjal dan hepatost perifena di hati. Gen untuk hormone ini telah di klon, dan sekarang telah
tersedia eritropoietin rekombinan yang diproduksi dalam sel hewan untuk penggunaan klinis
sebagai epoitin alfa. Eritropoietin rekombinan berguna dalam pengobatan anemia yang
berkaitan dengan gagal ginjal : 90% penderita gagal ginjal tahap- akhir yang menjalani
dialysis mengalami anemia akibat defisiensi eritropoietin. Eritropoietin juga digunakan untuk
merangsang pembentukan sel darah merah pada orang yang menyimpan darah mereka
sebagai persiapan untuk transfuse otology selama pembedahan elektif.
4. Faktor yang Berperan dalam Regulasi Eritropoesis

Produksi eritrosit (eritropoesis) diatur oleh beberapa sitokin. Faktor pertumbuhan yang
dikenal terlibat dalam eritropoesis yaitu granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF),
interleukin (IL)-6, stem cell factor (SCF), IL-1, IL-3, IL-4, IL-9, IL-11, granulocyte-
macrophage (GM)-CSF, insulin growth factor-1 (IGF-1) dan EPO. EPOberperan pada tahap
lanjut perkembangan sel progenitor eritroid. EPOterutama merangsang colony forming unit
eritroid (CFU-E) untuk berproliferasi menjadi normoblas, retikulosit, dan eritrosit matur.
Target primer EPOdalam sumsum tulang adalah CFU-E. EPObersama dengan SCF, GM-CSF,
IL-3, IL-4, IL-9, dan IGF-1 menyebabkan maturasi dan proliferasi dari tahap burst forming
unit eritroid (BFU-E) dan CFU-E menuju tahap normoblas dari perkembangan sel eritroid.
Selanjutnya EPOberperan pada proses apoptosis yaitu menurunkan laju kematian sel
progenitor eritroid dalam sumsum tulang. SCF, IL-1, IL-3, IL-6, dan IL-11 memberikan
rangsang yang menyebabkan diferensiasi sel induk pluripoten menjadi sel induk mieloid dan
CFU granulosit, eritroid, monosit, dan megakariosit (GEMM). Kemudian CFU-GEMM
berkembang menjadi CFU yang spesifik untuk granulosit, eritroid, monosit, megakariosit,
makrofag, dan eosinofil.

5.Reseptor EPO
EPOmengikat reseptor permukaan sel progenitor eritroid untuk mengatur proliferasi sel
eritroid sumsum tulang untuk berproliferasi, diferensiasi, dan bertahan hidup. Jumlah reseptor
EPO pada permukaan sel kurang dari 1000 reseptor/sel. Reseptor EPOterutama di
ekspresikan oleh sel eritroid pada tahap antara CFU-E dan tahap pronormoblas. Sejumlah
kecil reseptor EPOdiekspresikan oleh BFU-E dan adanya respon yang lemah terhadap EPO
ditunjukkan oleh sel pada tahap ini. Jumlah reseptor terbanyak didapatkan pada CFU-E dan
pronormoblas. Jumlah reseptor EPOper sel menurun bertahap selama diferensiasi sel eritroid
dan beberapa penelitian melaporkan bahwa retikulosit dan eritrosit matur tidak mengandung
reseptor EPO.

Reseptor EPO diekspresikan sebagai suatu protein dengan berat molekul antara 6678 kD.
Reseptor EPO berbentuk suatu dimer yang preformed.

Pengikatan EPO pada reseptor EPO mengubah struktur konformasional reseptor EPOdengan
suatu mekanisme self dimerization. JAK2 kinase berhubungan dengan reseptor EPO pada
daerah transmembran. Proses dimerisasi ini diperlukan untuk tahap aktivasi JAK2 kinase
selanjutnya

Karena adanya proses dimerisasi ini, dua molekul JAK2 kinase yang terletak transmembran
sebelumnya belum berhubungan menjadi berdekatan dan teraktivasi oleh proses
transfosforilasi. Mekanisme selanjutnya adalah proses fosforilasi dari asam amino tirosin
pada reseptor EPO. Setelah EPO mengaktivasi reseptor, 8 molekul asam amino tirosin yang
terletak pada daerah sitoplasma reseptor EPO terfosforilasi

Gambar 1. Faktor pertumbuhan yang mempengaruhi eritropoesis dari sel induk pluripoten
menjadi eritrosit matur
Gambar 2 Mekanisme Molekuler Aktivasi Reseptor EPO

6. Pengaturan sekresi

Biasanya rangsangan sekresi eritropoietin adalah hipoksia, tetapi sekresi hormone juga dapat
dirangsang oleh garam-garam kobalt dan androgen. Bukti-bukti terakhir mengisyaratkan
bahwa sensor O2 yang mengatur sekresi eritropoietin di ginjal dan hati adalah suatu protein
hem(heme) yang dalam bentuk dioksi merangsang dan dalam bentuk oksi menghambat,
transkripsi gen eritropoietin menjadi mRNA eritropoietin. Sekresi hormone ini di tingkatkan
oleh alkalosisi yang terjadi bila seeorang berada di tempat yang tinggi. Seperti sekresi renin,
sekresi eritropoietin ditingkatkan oleh katekolamin melalui mekanisme adrenergik
walaupun sistem renin- angeotensin secara total terpisah dari sistem eritropoietin.
Pembentukan eritropoietin juga dirangsang oleh adenosine dan dihambat oleh antagonis
adenosine teofilin.

7. Pemakaian (aplikasi) Klinik Penggunaan EPO

EPO berperan baik sebagai faktor ketahanan hidup (survival factor) dan faktor mitogen.
Pada sel progenitor eritroid manusia dengan reseptor EPO yang banyak, yaitu CFU-E dan
proeritroblas, EPO berperan sebagai faktor ketahanan hidup. Model eritropoesis yang
didasarkan pada mekanisme hambatan kematian sel yang terprogram oleh EPO dalam
populasi sel progenitor eritroid. Progenitor eritroid tingkat lanjut (CFU-E dan proeritroblas)
bergantung pada adanya EPOsecara terus-menerus untuk menekan pengguguran (apoptosis)
dan bersifat berbeda bagian (heterogen) sesuai dengan kepekaannya terhadap EPO.
Dalam kondisi normal hanya 1 bagian progenitor eritroid tingkat lanjut yang membutuhkan
sedikit EPO dapat bertahan hidup dan menghasilkan prekursor eritroid yang menghasilkan
sejumlah normal eritrosit yang matur.
Pada keadaan gagal ginjal terminal yang ditandai dengan adanya kegagalan produksi EPO,
yaitu sejumlah besar (mayoritas) progenitor eritroid mengalami apoptosis oleh karena
rendahnya kadar EPO dalam sumsum tulang. Hanya sebuah sub-populasi progenitor yang
sangat sensitif terhadap EPO dan hanya membutuhkan kadar EPO dengan pada kadar yang
sangat rendah dapat bertahan hidup. Pemberian rHuEPO menyebabkan suatu peningkatan
aktivitas eritropoesis dengan jalan menghambat proses apoptosis dari sejumlah besar
progenitor eritroid tingkat lanjut yang memiliki sensitivitas intermediet.
Pada keadaan anemia karena hemolisis atau kehilangan darah akut, produksi EPO endogen
dari ginjal meningkat beberapa kali lipat yang menyebabkan tingginya kadar EPO dalam
sumsum tulang. Hampir semua progenitor eritroid, dapat bertahan hidup. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan eritropoesis secara maksimal. Pemberian rHuEPO tidak
diperlukan untuk meningkatkan eritropoesis lebih lanjut.

8. EPO Treatment

Indications for EPO Treatment

EPO treatment eligibility


(per regulations from the Centers for Medicare and Medicaid Services[CMS])
Patients with anemia caused by the following conditions are eligible:
End state renal disease (ESRD) or chronic kidney disease of at least stage 3 1 (eGFR
<60)
Chemotherapy-induced anemia and currently receiving a course of chemotherapy or
have received a course within the past 2 months for non-myeloid, non-erythroid
cancer (solid tumors, multiple myeloma, lymphoma, and lymphocytic leukemia, and
chemotherapy-induced anemia)
HIV with symptomatic zidovudine-induced anemia
Myelodysplastic syndrome (MDS)
Chronic hepatitis C
Rheumatoid arthritis 1
Systemic lupus erythematosus
Regional enteritis 2
Crohns disease 2

Ulcerative colitis 2
Patients scheduled to undergo elective hip or knee replacement surgery 3
Patients taking chemotherapeutic medications when medically necessary for non-
cancer
diagnosis or following stem cell transplantation and associated
immunosuppression4

1
There is no high-quality evidence on which to base recommendations for initial or optimal
dosing for the treatment of anemia in patients with rheumatoid arthritis. For advice on dosing
and monitoring, consultation with a specialist or knowledgeable clinical pharmacist is
recommended.
2
Patients with regional enteritis, Crohns disease, or ulcerative colitis would require EPO
treatment for their condition only in rare situations. There is no high-quality evidence on
which to base recommendations for initial or optimal dosing for the treatment of anemia in
patients with these conditions. Consult with a gastroenterologist if this treatment is being
considered.
3
The possible harms outweigh the benefits in most situations for this group of patients.
4
There is no high-quality evidence on which to base recommendations for initial or optimal
dosing for the treatment of anemia in patients taking chemotherapeutic medications when
medically necessary for noncancer diagnosis. For advice on dosing and monitoring,
consultation with an oncology specialist or knowledgeable clinical pharmacist is
recommended.

9.Goals

Target hemoglobin
Eligible population/condition Target
ESRD or chronic kidney disease1 of at least stage 3 (eGFR < 60) Hb 10.511.5 g/dL 1
Chemotherapy-induced anemia (currently receiving a course of Hb 10-11g/dL
Chemotherapy or have received a course within
the past 2 months for non-myeloid, nonerythroid cancer)
HIV with symptomatic zidovudine-induced anemia
Myelodysplastic syndrome (MDS)
Chronic hepatitis C under treatment with ribavirin and either
interferon alfa or peginterferon alfa
Systemic lupus erythematosus
Patient taking chemotherapeutic medications when medically
necessary for non-cancer diagnosis or following
stem cell transplantation and associated immunosuppression
1 A higher target range to a maximum 12.0 g/dL may be designated for a patient per physicians
request. If
Hb >12.0 g/dL, hold medication until Hb 12.0 g/dL. CMS (Medicare) does not allow coverage
of EPO when
Hb >12.0, as there is risk of serious heart problems such as heart attack, stroke, heart failure, and
a higher
chance of death if patients are treated with an ESA to a hemoglobin level >12 g/dL.
A lower target range may be desirable for patients with cancer or cancer history.

Daftar pustaka :

Guyton, AC. 1992. Fisiologi Kedokteran. Jakarta :EGC

Neng Herawati, 2009, mengenal Anemia dan Peranan Erytropoitin. Bio Trend. Vol. 4. No, 1

P.B. Notopoero. 2007. Eritropoetin fisiologi, aspek klinik dan laboratorik. Indonesian Journal
of Clinical Phatology and Medical Laboratory, Vol. 14 No.1. RSU. DR. S oetomo Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai