Anda di halaman 1dari 12

PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT

ANALISIS PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT PADA PROGRAM


PENANGGULANGAN PENYAKIT SKIZOKRENIA DI INDONESIA

OLEH :
KELOMPOK 1 KELAS B
LIES RATNA JUITA G1B013010
LULU SYARIFAH G1B013025
GENDHIS PUTRIZKA F A G1B013049
AULIA RATNA SARI G1B013050
KARINA PRATIWI W G1B013083
DEKA NATUL KASANAH G1B013094
WIWIN GHANI G1B013103

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN

A. Perkembangan Penyakit Skizokrenia di Indonesia


Skizokrenia adalah penyakit otak yang berkembang akibat ketidakseimbangan
pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia otak (Health). Istilah skizokrenia dianjurkan
oleh Eugen Bleuler (1957-1938) karena menurutnya sebutan ini menonjolkan gejala
utama penyakit tersebut yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan. Schizos yang berarti pecah
belah atau bercabang dan phren yang berarti jiwa (Tri Kurniati Ambarini, 2007).
Gejala ini juga disertai dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi
tanpa ada rangsangan dari panca. Skizokrenia adalah sekumpulan sindroma klinik
yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku
(Kaplan & Sadock, 2007).
Perilaku yang sering muncul pada klien skizokrenia adalah: motivasi kurang
(81%), isolasi sosial (72%), perilaku makan dan tidur yang buruk (72%), sukar
menyelesaikan tugas (72%), sukar mengatur keuangan (72%), penampilan yang tidak
rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesuatu (64%), kurang perhatian pada orang lain
(56%), sering bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri (41%), dan tidak teratur
makan obat (40%) (Keliat, 2006).
Sekitar 0,2 1% dari populasi penduduk dunia diperkirakan mengalami
gangguan jiwa skizokrenia (Sani, 1990). Di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 1-2
juta penduduk mengalami gangguan jiwa yang sama dan hanya 7000-10000 penderita
yang telah memperoleh penanganan secara medis. Peningkatan kasus gangguan
psikologis telah terdeteksi mulai tahun 1990, salah satunya tampak dari pernyataan
Kasudin Kesmas Jakarta Barat, Ariani Murti, mengatakan survei dari Dinas Kesehatan
pada tahun 1995 menunjukan, 25-30% pengunjung pukesmas mengalami gangguan
psikis. Data yang ditunjukan oleh survei yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa
pada tahun 1996 di 10 kotamadya memperlihatkan bahwa dari peserta survei, 1,75%
menderita skizokrenia, 4,1% menderita depresi, 7,89% menderita gangguan cemas,
13,45% menderita gangguan somatoform dan 2,05% menderita gangguan konversi.
Rumah Sakit Jiwa Bandung (RSJB) mencatat rata-rata peningkatan jumlah
pasien mencapai 1.000 pasien per tahun. Pada tahun 2002, jumlah pasien di RSJB 12
ribu orang, 2003 sebanyak 13 ribu, 2004 sebanyak 14 ribu, dan tahun 2005 sebanyak
15 ribu pasien. Persentase penderita skizokrenia adalah modus penyakit terjadi pada
usia 30-35 tahun dan penyakit ini dapat menyerang usia 20 tahun dengan persentase
10%, pada usia 20-40 tahun sekitar 65%, dan pada usia diatas 40 tahun sekitar 25%
(Sutatminigsih, 2002).
Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan jiwa berdasarkan
Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp 20 triliun. Jumlah pasien Jamkesmas rawat inap
terbanyak di rumah sakit (RS) Kelas A pada 2010 lalu adalah Hebephrenic
Schizophrenia (1.924 orang), Paranoid Schizophrenia (1.612 orang), Undifferentiated
Schizophrenia (443 orang), Schizophrenia Unspecified (400 orang) dan Other
Schizophrenia (399 orang). Jumlah itu belum termasuk pasien rawat jalan (Ascobat
Gani,2010)
Di Indonesia, skizokrenia termasuk gangguan jiwa berat yang terbanyak
penderitanya. Data Riskesdas 2013 menunjukkan, prevalensi penyakit ini mencapai 1-
2 orang dari 1000 penduduk.

B. Sejarah Penanggulangan Penyakit Skizokrenia di Indonesia


Penanganan atau proses pemulihan pasien dengan gangguan jiwa, salah
satunya skizokrenia di Indonesia masih buruk. Proses penanganan Orang Dengan
Skizokrenia (ODS) itu panjang. Mulai dari perawatan di rumah sakit, pemberian obat,
sampai dukungan sosial, keluarga, dan masyarakat. Jadi proses pemulihannya
melibatkan banyak faktor.
Proses pemulihan penyakit ini berlangsung tahunan. Karena proses yang lama,
maka butuh ketekunan dan kesabaran dari keluarga. Selama ini, banyak keluarga
masuk pada jurang keputusasaan. Keputusasaan itu mengantarkan pihak keluarga
untuk mengambil keputusan untuk memasung ODS. Dari data yang dicatat oleh
Pemerintah, di Indonesia terdapat 18 ribu ODS yang dipasung oleh pihak keluarga,
yang umumnya dipasung menggunakan rantai.
Selain memasung dengan rantai, banyak juga pihak keluarga yang memasung
ODS di rumah sakit jiwa, klinik, yayasan pengobatan penyakit mental, membawa ke
dukun, pondok pesantren khusus orang gila, atau rumah penampungan sosial.
Padahal banyak tempat tempat pengobatan jiwa di Indonesia tidak
manusiawi. Ada pasien yang disuntik asal asalan atau dipasung hingga mengidap
penyakit kulit. Yang lebih tidak manusiawi lagi adalah banyak dari ODS yang dipaksa
untuk mengemis dijalanan, dibiarkan tidak mengenakan baju sehingga penyakit yang
diderita ODS bukannya sembuh justru semakin parah dan menyebabkan mereka
terjangkit penyakit lainnya seperti kudis hingga penyakit yang mengancam jiwa
mereka.
Setelah pulang dari RS atau tempat pengobatan lainnya, ODS juga
membutuhkan rehabilitasi sosial, tempat kumpul, dan lain lain. Karena setelah
kembali dari tempat perawatan, mereka banyak yang menganggur dan tidak memilik
aktivitas. Namun yang terjadi, ODS tidak diberi peran di rumah dan mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat. Hal inilah yang dapat membuat penyakit pada ODS
kambuh.
Tahun 2011 lalu, seorang wartawan dari Majalah Time melakukan peliputan
tentang pengobatan orang dengan gangguan jiwa di Indonesia. Dari liputan tersebut
ditemukan kendala kendala umum bagi masyarakat Indonesia yang memilih
memasung anggota keluarganya yang mengidap gangguan jiwa karena masalah akses
ke perawatan, biaya pengobatan yang mahal, dan kurangnya penyebarluasan
informasi dasar.
Selain itu, minimnya tenaga psikiater di Indonesia juga menambah kendala
penanganan ODS. Dari data yang dicatat oleh Pemerintah, Indonesia hanya memiliki
sekitar 600 800, setengah berbasis di Jawa, setengah jumlah di Jawa berada di
Ibukota Jakarta.
Masyarakat tidak boleh memandang penyakit ini sebelah mata karena
termasuk penyakit jangka panjang yang mengurangi produktivitas bangsa. Penyakit
ini dapat menimbulkan beban cukup besar bagi negara dan harus diselesaikan secara
lintas sektor dan dengan upaya kolaborasi untuk mengatasi permasalahan penyakit
kesehatan jiwa ini. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk berpartisipasi meningkatkan produktivitas para penderita dengan
dukungan yang tepat.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam penanganan skizokrenia adalah dengan
memberikan perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan
perawatan terpai psikologis untuk mencegah gejala yang timbul. Pengenalan dan
intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia
tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya
terapi semakin kuat.

II. PEMBAHASAN

A. Pendidikam Kesehatan Masyarakat Pada Program


1. Tindakan keperawatan spesialis harga diri rendah kronik antara lain :
a. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
Pemberian CBT sangat efektif untuk merubah pikiran dan perilaku
negatif pada pasien dengan skizokrenia di RSMM Bogor (Sasmita & Keliat,
2007). Penelitian yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011)
terhadap 60 pasien gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah kronik
di RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian tindakan
keperawatan spesialis CBT menunjukkan peningkatan kemampuan positif
yang dimiliki.
b. Family Psicho Education (FPE)
Meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien harga diri
rendah kronik (Kustiawan, Hamid & Hastono, 2012).
c. Terapi suportif.

Model Precede-Proceed dari Green memaparkan dua tahap yang


menganalisa kembali ke belakang pencapaian hasil sampai dengan komponen yang
terkait dalam intervensi yang sudah direncanakan. Precede (Predisposing,
Reinforcing, Enabling causes, Educational Diagnosis and Evaluation) merupakan
terjadinya diagnosis atau masalah kesehatan, sedangkan Proceed (Policy,
Regulatory, Organizational, Constructs in Educational and Environment
Development) yaitu menjamin program yang akan dilaksanakan akan tersedianya
sumber daya, mudah diakses, dapat diterima sesuai peraturan yang ada serta dapat
dievaluasi oleh tenaga kesehatan maupun tenaga yang berkontribusi dengan individu
yang mengalami masalah kesehatan (Green & Kreuter, 2005).

Dalam mengembangkan tindakan keperawatan untuk mengatasi suatu


masalah kesehatan baik individu, keluarga maupun masyarakat maka seorang
perawat akan bekerjasama dengan masyarakat agar intervensi yang akan dilakukan
benarbenar membawa perubahan pada individu, keluarga dan masyarakat. Fokus
pada model Precede-Proceed adalah: 1) hasil yang dicapai merupakan suatu
perubahan yang dilakukan oleh masyarakat; 2) hasil dan kegiatan sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masyarakat; 3) model yang menganalisa kebelakang dari
hasil, diagnosis, pengkajian, intervensi sehingga dapat diberikan implementasi yang
tepat; 4) implementasi melibatkan berbagai pihak; 5) evaluasi dilakukan dari proses,
hasil dan dampak dari implemantasi yang diberikan.

Karya ilmiah akhir ini disusun berdasarkan pengalaman penulis melakukan


praktik klinik keperawatan jiwa di kelurahan Tanah Baru, Bogor Utara selama 24
minggu dari 10 September 2012 sampai dengan 19 April 2013, sedangkan untuk
residen 3 selama 9 minggu mulai tanggal 18 Februari sampai dengan 19 April 2013
dengan tujuan mengembangkan program CMHN di wilayah Tanah Baru khususnya
RW 06, 07 dan 10. Berdasarkan data yang ada di kelurahan Tanah Baru jumlah
penduduk secara keseluruhan 18.529 jiwa dengan jumlah KK 16.859, sedangkan
jumlah penduduk RW 06, 07 dan 10 secara keseluruhan 5.204 jiwa dengan jumlah
KK 1.386. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak 48 pasien dan 16 pasien
diantaranya berada di wilayah RW 06, 07 dan 10. Dari 16 pasien gangguan jiwa
yang dirawat seluruh pasien yang mengalami harga diri rendah kronik. Pasien harga
diri kronik telah diberikan beberapa tindakan keperawatan baik terapi individu,
keluarga maupun kelompok.

Pelaksanaan tindakan keperawatan baik individu, keluarga dan kelompok


melibatkan kader kesehatan jiwa (KKJ) yang ada di wilayah RW 06, 07 dan 10
secara keseluruhan berjumlah 42 orang. Kegiatan KKJ meliputi deteksi dini,
penggerakan keluarga untuk mengikuti pendidikan kesehatan dan melakukan
kunjungan rumah. KKJ berperan aktif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
pasien dengan harga diri rendah kronik baik tindakan secara individu maupun
kelompok. Pelaksanaan kegiatan tindakan keperawatan menggunakan sarana dan
prasarana yang ada di masing-masing wilayah RW seperti posyandu maupun majelis
taklim. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan jiwa di RW 06, 07
dan 10 Tanah Baru tidak terlepas dari peran KKJ, hal ini menunjukkan betapa
pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesehatan jiwa sehingga
produktifitas pasien dengan harga diri rendah kronik menjadi meningkat dan beban
keluarga menjadi berkurang.

2. Analisis
Pada pasien harga diri rendah kronik di komunitas, penulis memberikan satu
paket tindakan keperawatan (CBT, FPE dan terapi supportif) menunjukkan hasil yang
efektif dalam meningkatkan kemampuan positif pasien. Untuk itu diperlukan
pemberian tindakan keperawatan yang berkesinambungan agar kemampuan pasien
terus meningkat maka diperlukan tindakan pencegahan tersier atau rehabilitatif.
Tindakan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat dilakukan di masyarakat tidak
hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan pemberdayaan masyarakat melalui
kegiatan memberikan pemahaman, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
masyarakat terhadap masalah kesehatan jiwa warga.
Dalam pelaksanaan metode ini menggunakan model Precede (Predisposing,
Reinforcing, Enabling causes, Educational Diagnosis and Evaluation) merupakan
terjadinya diagnosis atau masalah kesehatan, sedangkan Proceed (Policy, Regulatory,
Organizational, Constructs in Educational and Environment Development) yaitu
menjamin program yang akan dilaksanakan akan tersedianya sumber daya, mudah
diakses, dapat diterima sesuai peraturan yang ada serta dapat dievaluasi oleh tenaga
kesehatan maupun tenaga yang berkontribusi dengan individu yang mengalami
masalah kesehatan (Green & Kreuter, 2005).
Metode dan model ini efektif karena program ini didukung oleh masyarakat,
tenaga kesehatan yang terdiri dari KKJ (Kader Kesehatan Jiwa) selain itu program ini
juga terkesan tidak mengucilkan pasien. Melainkan masyarakat dan tenaga kesehatan
di tempat tersebut menciptakan lingkungan yang nyaman demi mendukung proses
penyembuhan pasien skizokrenia tersebut. Program ini perlu dikembangkan di
wilayah lain karena di Indonesia sendiri penanggulangan penyakit skizokrenia belum
tertangani dengan baik sedangkan penderitanya terus meningkat dari tahun ke tahun.

B. Evaluasi PKM Pada Program Penanggulangan Penyakit Skizokrenia


Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan
psikoterapi yang paling banyak diterapkan dan telah terbukti efektif dalam mengtatasi
berbagai gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang mendasari
Cognitive Behavioral Therapy CBT, terutama untuk kasus depresi yaitu bahwa
gangguan emosional berasal dari distorsi (penyimpangan) dalam berpikir. Perbaikan
dalam keadaan emosi hanya dapat berlangsung lama kalau dicapai perubahan pola-
pola berpikir selama proses terapi. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berorientasi
pada pemecahan masalah dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan disini dan
sekarang, yang memandang individu sebagai pengambil keputusan penting tentang
tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi. Dengan cara tersebut,
pasien sebagai mitra kerja terapis dalam mengatasi masalahnya dan dengan
pemahaman yang memadai tentang teknik yang digunakan untuk mengatasi
masalahnya.
Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah
Membangkitkan pikiran pikiran negative/ berbahaya, Dialog internal atau bicara
sendiri (swelf-talk), interpretasi terhadap kejadian kejadian yang dialami. Pikiran
pikiran negative tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadarann pasien,
apabila menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi
kognitif tersebut perilaku maladaptive yang menambah berat masalahnya.
Berdasarkan Buku Saku Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa, (2013:8),
pelaksanaann CBT dilakukan melalui 5 sesi yaitu :
Mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif serta akibat negatif pada
perilaku,
Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif,
Memodifikasi perilaku negatif menjadi positif dengan token,
Mengevaluasi perkembangan pikiran dan perilaku positif,
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas untuk
mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta membudayakan
pikiran dan perilaku positif.

CBT telah berhasil digunakan untuk menolong orang dengan masalah non-
klinis sampai klinis , menggunakan berbagai macam modalitas indikasi CBT
meliputi :

Depresi
Gangguan cemas meliputi, meliputi gangguan obsesif kompulsif,
agorafobia, fobia spesifik, gangguan cemes menyeluruh, gangguan stress
pasca trauma, dll
Skizofernia
Gangguan makan
Kecanduan
Hipokondriasis
Disfungsi seksual
Pengendalian kemarahan.

Saat ini, total telah dilakukan secara lengkap 21 penelitian acak terkontrol
tentang CBT untuk skizofrenia atau gangguan dalam lingkup skizofrenia (sebagai
contoh : gangguan wahana, gangguan skisoafektif).
1. Evaluasi Proses
Program terapi CBT (Cognitive Behaviour Therapy) sudah banyak
dilakukan sebagai terapi pada skizokrenia dan terapi tambahan pada
skizofren iakronik.
Program tersebut memiliki kualitas pelaksanaan yang baik karena
terapi berfokus pada perkembangan kemampuan control diri yang yang
diperlukan untuk mengubah pola pikir untuk pengolahan realitas yang
lebih efektif.Program terapi CBT (Cognitive Behaviour Therapy) dapat
mencegah kekambuhan, mengurangi gejala, memperbaiki tilikan, dan
kepatuhan pengobatan yang rendah.
Pada penelitian yang dilakukan di Bogor tepatnya di wilayah Tanah
Baru khususnya RW 06, 07 dan 10 terdapat 16 pasien menderita KKJ
menunjukan bahwa ketidakmampuan pasien dalam mengidentifikasi aspek
positif yang dimiliki dan menilai kemampuan yang dapat digunakan dari
16 pasien menjadi 3 pasien artinya 13 (81%) pasien harga diri rendah
kronik sudah mampu mengidentifikasi aspek positif dan sudah mampu
menilai kemampuan positif yang dapat digunakan. Hasil peningkatan
kemampuan pada 12 pasien (75%) sudah mampu melakukan kemampuan
yang dilatih oleh penulis maupun perawat CMHN. Pada 11 pasien (69%)
sudah mampu merubah pikiran dan perilaku negatif menjadi pikiran dan
perilaku yang positif. Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa
dengan pemberian kombinasi tindakan keperawatan spesialis dan
pemberdayaan keluarga dan kader kesehatan jiwa kemampuan positif
pasien harga diri rendah kronik menjadi meningkat.

2. Evaluasi Outcome
Program terapi CBT (Cognitive Behaviour Therapy) sesuai dalam
pelaksanaanya dan sebagian berhasil pada beberapa pasien.Program terapi
CBT (Cognitive Behaviour Therap) telah berhasil digunakan untuk
menolong orang dengan masalah klinis dan non klinis. Hasil dari evaluasi
outcome :
Terdapat penurunan tanda dan gejala kekambuhan skizokrenia
Mampu mengendalikan gejala gejala dari gangguan yang dialami.
Mampu melakukan perubahan cara berpikirnya
Peningkatan kemampuan positif yang dimiliki

3. Evaluasi Impact
Akibat dari terselenggaranya program terapi CBT (Cognitive
Behaviour Therapy) terjadi penurunan angka kesakitan (morbiditas) akibat
skizokrenia. Hasil evaluasi impact:
Meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien harga
diri rendah kronik

Meningkatnya pemahaman, kesadaran dan kepedulian masyarakat


terhadap masalah kesehatan jiwa warga.
Menurunnya jumlah penderita skizokrenia

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Skizokrenia adalah penyakit otak yang berkembang akibat ketidakseimbangan
pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia otak (Health). Gejala utama yang terjadi
pada penyakit tersebut yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan, selain itu gejala tersebut
disertai dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada
rangsangan dari panca indera.
Proses penanganan Orang Dengan Skizokrenia (ODS) membutuhkan waktu
yang panjang dan berlangsung tahunan oleh sebab itu membutuhkan ketekunan dan
kesabaran dari keluarga. Selain itu cara atau metode yang digunakan untuk
penanganan penyakit skizokrenia ini yaitu dengan memberikan perawatan obat-obatan
antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis untuk
mencegah gejala yang timbul. Selanjutnya pengenalan dan intervensi dini berupa obat
dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan
kambuhnya penyakit semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin
kuat.
Metode pendidikan kesehatan masyarakat yang dipakai pada program
penanggulangan atau pemulihan pasien skizokrenia yaitu Cognitive Behavior Therapy
(CBT), Family Psicho Education (FPE) dan Terapisuportif. Metode tersebut pada
umumnya mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengatasi suatu masalah
kesehatan terutama masalah skizokrenia baik secara individu, keluarga maupun
masyarakat agar terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik pada individu,
keluarga maupun masyarakat tersebut.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan
psikoterapi yang paling banyak diterapkan dan telah terbukti efektif dalam mengtatasi
berbagai gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Tujuan dari CBT ini yaitu
Membangkitkan pikiran pikiran negative/ berbahaya, Dialog internal atau bicara
sendiri (swelf-talk), interpretasi terhadap kejadian kejadian yang dialami.
Menurunnya jumlah penderita skizokrenia, terdapat penurunan tanda dan gejala
kekambuhan skizokrenia, mampu mengendalikan gejala gejala dari gangguan yang
dialami, mampu melakukan perubahan cara berpikirnya serta ada peningkatan
kemampuan positif yang dimiliki itu merupaka indicator keberhasilah program dari
metode CBT.
Terjadinya penurunan angka kesakitan (morbiditas) akibat penyakit
skizokrenia setelah terselenggaranya program terapi CBT (Cognitive Behaviour
Therapy. Program terapi CBT (Cognitive BehaviourTherap) juga telah berhasil
digunakan untuk menolong orang dengan masalah klinis dan non klinis karena
program tersebut memiliki kualitas pelaksanaan yang baik karena terapi berfokus
pada perkembangan kemampuan kontrol diri yang yang diperlukan untuk mengubah
pola piker untuk pengolahan realitas yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.berita.yahoo.com/di-indonesia-ada-18-ribu-penderita-gangguan-jiwa
224011109.html

Ambarwati, Wahyu Nur.2009.Keefektifan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) sebagai


Terapi Tambahan Pasien Skizokrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi Makarti
Boyolali.Tesis.Universitas Sebelas Maret

Keliat, B.A., , A.P. Wiyono, dan , H. Susanti. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa: CMHN
(Intermediate Course). EGC. Jakarta.2012.

Pramujiwati, Desi.2013.Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam


Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede
L.Green Di Rw 06, 07 Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara. Karya Ilmiah Akhir.Universitas
Indonesia

Raboch. (2011). Schizophrenia, Call of Paper. Prague: Raboch Department of Psychiatry

Siswanto, (2007). Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Penerbit


Andi. Yogyakarta

Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta EGC

Anda mungkin juga menyukai