Anda di halaman 1dari 20

2015

PUSAT PEMANFAATAN
PENGINDERAAN JAUH

LAPAN

PEDOMAN PENGOLAHAN DATA PENGINDERAAN


JAUH UNTUK EKOSISTEM TERUMBU KARANG
LI1020020101

PEDOMAN PENGOLAHAN DATA


PENGINDERAAN JAUH UNTUK
EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH


LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
2015
i
LI1020020101
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT bahwa Panduan Penyusunan Pedoman


Pengolahan Data Penginderaan Jauh telah dapat diselesaikan dengan baik.
Pedoman ini disusun sebagai salah satu tugas Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh (Pusfatja) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk
merumuskan Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Untuk Ekosistem
Terumbu Karang sebagai amanat Undang-Undang No. 21 tahun 2013.
Berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak
langsung dalam membuat buku penyusunan pedoman ini, untuk itu perkenankan
kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Segenap pimpinan LAPAN yang telah memberikan segala bentuk naungan


dan dukungan dalam kegiatan ini.
2. Para narasumber yang telah mencurahkan segala kemampuan dan ilmunya
demi terwujudnya buku panduan penyusunan podoman ini.
3. Tim penyusun, tim verifikasi dan tim pelaksana dari instansi sektoral terkait
maupun dari kalangan intern yang telah bekerja keras hingga
terselesaikannya buku panduan penyusunan pedoman ini.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, kritik dan saran kami harapkan demi
perbaikan buku pedoman ini pada masa yang akan datang. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi para pengguna.

DAFTAR Jakarta,
ISI 14 Desember 2015
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Kepala

Dr. M. Rokhis Khomarudin, M.Si


NIP : 197407221999031006

DAFTAR ISI
ii
LI1020020101
Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Daftar Gambar v

vi
Daftar Tabel
BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 2

1.3. Ruang lingkup 2

1.4. Pengertian 2

BAB II TAHAPAN PENGOLAHAN 3

2.1. Pemetaan Unit Pedoman 4

2.2. Deskripsi Unit 4

2.3. Prosedur / Metode 4

2.3.1. Perencanaan dan Persiapan 4

2.3.2. Pengumpulan Data 5

2.3.3. Peralatan 5

2.3.4. Pengolahan Data 7

2.3.5. Uji Akurasi 9

2.3.6. Analisa Data 10

2.3.7. Paska Pengolahan Data dan Analisis 11

BAB III PENUTUP 12

3.1. Ucapan Terimakasih 12

Daftar Pustaka 12

iii
LI1020020101
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kuadrat transek untuk pengukuran sampel karang 6


Gambar 2. Kamera Underwater 6
Gambar 3. Peralatan Untuk SCUBA Diving 7

iv
LI1020020101
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh untuk 4


Ekosistem Terumbu Karang

Tabel 2. Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hdup (Kepmen LH 10


No. 04 Tahun 2001)

Tabel 3. Persentase Luas Tutupan Padang Lamun (Kepmen LH No. 200 11


Tahun 2004)

v
LI1020020101
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua
didunia setelah Kanada, yaitu sepanjang 81.000 Km. Oleh karena itu, Indonesia
memiliki potensi sumberdaya wilayah kepesisiran yang sangat besar (Dahuri, 2003
dalam Khakim, 2009). Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar konsentrasi
penduduk berada di wilayah tersebut. Berdasarkan data KKP Tahun 2008, 440
kabupaten/kota dari total 495 kabupaten/kota di Indonesia berada di wilayah pesisir.
Wilayah pesisir yang kompleks baik dari segi biofisik (abiotik dan biotik) maupun
sosial ekonomi menjadikan dinamisnya sumber daya alam yang ada. Perairan laut
dangkal merupakan wilayah yang kaya nutrisi dimana suplai cahaya matahari yang
berlimpah (euphotic zone) menjadikan biota di dalamnya sangat beranekaragam.
Wilayah ini merupakan wilayah perairan laut yang selalu tergenang pada kedalaman
kurang dari 30 meter (epipelagic upper layer zone) (FGDC, 2010).
Sumber daya pesisir yang dapat menunjang kehidupan diwilayah kepesisiran
yaitu terumbu karang dan lamun. Dua ekosistem tersebut merupakan penunjang
kehidupan utama diwilayah kepesisiran. Clark (1992) melaporkan bahwa terumbu
karang daerah tropis telah mengalami degradasi atau penurunan kualitas maupun
kuantitas. Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan LIPI (P2O-LIPI) diperoleh gambaran bahwa hampir
43% terumbu karang di Indonesia sudah rusak berat atau bahkan dapat dianggap
berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar
6,5% (Moosa dan Suharsono, 1995). Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan
wilayah kepesisiran terutama untuk kedua ekosistem tersebut (Dahuri, 1996).
Informasi yang akurat dan terkini mengenai keberadaan sumber daya pesisir
tersebut sangat diperlukan guna mengelola wilayah kepesisiran. Teknologi
penginderaan jauh mampu memberikan jawaban tersebut karena penginderaan jauh
memungkinkan kajian pada daerah yang luas dan daerah yang terisolir, serta
mampu menyediakan data pada waktu yang berbeda secara up to date, sehingga
memiliki resolusi temporal yang baik. Selain itu, penginderaan jauh juga didukung
oleh teknologi yang mutakhir sehingga pengembangannya selalu mengikuti
perkembangan teknologi dari waktu ke waktu (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk melakukan metode
analisa geospasial, penyediaan informasi ekosistem terumbu karang terbukti
memiliki keunggulan efektifitas biaya (Mumby, 1999). Teknologi dan metode analisa
data penginderaan jauh untuk kajian pemetaan ekosistem terumbu karang
digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menyediakan informasi geospasial
akurat yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. UNESCO menyebutkan
bahwa penggunaan informasi geospasial ekosistem terumbu karang didominasi
untuk kebutuhan monitoring, perencanaan serta pengelolaan kawasan. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan adanya kebutuhan dari pengguna lain terhadap
informasi geospasial ekosistem terumbu karang, khususnya di Indonesia. Kebutuhan
perencanaan atau pengelolaan kawasan akan berbeda di tiap segmen
peruntukannya yang pada akhirnya akan membedakan tingkat kedetilan informasi
geospasial yang disediakan.

1
LI1020020101
Penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk mengidentifikasi ekosistem
terumbu karang diperlukan teknik dalam melakukan pengolahan data citra satelit
yang digunakan. Teknik pengolahan data citra sangat perlu dilakukan guna
menghasilkan informasi yang akurat. Oleh karena itu diperlukan pedoman untuk
menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam mendeteksi ekosistem terumbu
karang. Dengan adanya pedoman pengolahan data penginderaan jauh untuk
identifikasi ekosisitem terumbu karang untuk pengelolaan wilayah pesisir diharapkan
mengasilkan informasi yang tepat, cepat dan akurat.

1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan dokumen pedoman teknis pengolahan data
penginderaan jauh untuk ekosistem terumbu karang adalah untuk menyediakan
pedoman teknis pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi ekosistem
terumbu karang sesuai dengan prosedur yang telah disepakati.
Memberikan pedoman atau panduan untuk pengolahan klasifikasi penutup
lahan secara digital menggunakan data satelit penginderaan jauh bagi pengguna
baik instansi pemerintah maupun swasta di tingkat Propinsi / Kabupaten /Kota.

1.3. Ruang Lingkup


Dokumen ini sebagai pedoman teknis untuk pengolahan data penginderaan
jauh untuk identifikasi ekosistem terumbu karang menggunakan beberapa data citra
satelit diantaranya, LANDSAT, ALOS, SPOT, World View, IKONOS, Quickbird dan
lain-lain. Pengolahan data tersebut terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan
data, pengumpulan data, dan pengolahan data. Sedangkan visualisasi data
dijelaskan dalam SNI 7716:2011 tentang Pemetaan Habitat dasar perairan laut
dangkal. Tahapan kerja yang dibahas dalam dokumen ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Data, meliputi :
a. Persiapan alat dan data;
b. Pengolahan citra inderaja;
c. Penentuan sampel; dan
d. Pembuatan diagram alir pedoman.
2. Pengumpulan Data, meliputi :
a. Pengumpulan Data
b. Metode survei.
3. Pengolahan Data, meliputi :
a. Pengolahan data awal;
b. Pengolahan data lanjutan
c. Analisa data dan Pengujian akurasi

1.4. Pengertian
A. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan
lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
B. Data geospasial adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran,
dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di
bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
C. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk grid atau piksel sehingga
terbentuk suatu ruang yang teratur, data ini merupakan data geospasial
2
LI1020020101
permukaan bumi yang diperoleh dari citra perekaman foto atau radar dengan
wahana Unmanned Aerial Vehicle (UAV), pesawat atau satelit.
D. Data statistik adalah data yang berupa angka, yang dikumpulkan, ditabulasi,
digolong-golongkan sehingga dapat memberi informasi yg berarti mengenai
suatu masalah atau gejala.
E. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang
menampilkan, menempatkan dan menyimpan data geospasial dengan
menggunakan titik, garis atau area (poligon).
F. Deteksi geo-bio-fisik adalah proses identifikasi parameter ketampakan yang
menjadi ciri dari objek permukaan bumi seperti koefisien pantulan, suhu
permukaan, kandungan klorofil, kandungan air, dan kekasaran permukaan
(surface roughness) objek.
G. Interpretasi citra adalah proses penafsiran citra yang terdiri dari tiga rangkaian
kegiatan terstruktur yaitu: deteksi,identifikasi, dan analisis (Sutanto, 1994)
H. Informasi Geospasial Dasar(IGD) adalah Informasi Geospasial yang berisi
tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan
fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.
I. Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang dari filum Cnidaria kelas
Anthozoa, yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga (zooxanthellae),
dan dapat menghasilkan terumbu (hermatipik).
J. Padang lamun adalahtumbuhan (tingkat tinggi) berbunga (Angiospermae)yang
memiliki kemampuan beradaptasi dengan variai salinitas (lingkungan laut).
K. Abiotik adalah komponen benda tak hidup.
L. Biotik adalah makhluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia), baik mikro maupun
makro serta prosesnya.

3
LI1020020101
BAB. II
TAHAPAN PENGOLAHAN

2.1. Pemetaan Unit Pedoman


Kode Unit : LI 1 02 002 01 01

Judul Unit : Klasifikasi Digital Multispektral

2.2. Deskripsi Unit


Analisis data penginderan jauh untuk menghasilkan informasi ekosistem
terumbu karang.

Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh untuk Ekosistem
Terumbu Karang
Tahapan Uraian

1. Menyiapkan data dan 1.1. Data Geospasial dan Data Statistik dipersiapkan
peralatan & 1.2. Peralatan dan perlengkapan untuk survei
perlengkapan dipersiapkan
1.3. Software untuk pengolahan citra (awal maupun
akhir) dan software untuk penyusun pedomn
dpersiapkan
2. Melakukan 2.1. Pengolahan awal data citra (koreksi radiometric,
pengolahan data awal atmosferik, geometrik, kompoit warna, pemotongan
citra & masking, dan penajaman digital)
dilaksanakan
2.2. Interpreasi citra dilakukan(menggunakan klasifikasi
tak terbimbing (Unsupervised) / klasifikasi
terbimbing (Supervised) / klasifikasi citra berbasis
objek
3. Melakukan Uji Akurasi 3.1. Metode survei ditentukan dan kemudian
dilaksanakan
3.2. Uji Akurasi dilaksanakan
3.3. Analisa data dilakukan
4. Melakukan Analisis 4.1. Analisis Paska Pengolahan Data Dilakukan
Paska Pengolahan

2.3. Prosedure / Metode


2.3.1. Perencanaan Dan Persiapan
Sebelum melakukan pengolahan, ada beberapa perencanaan yang perlu
dilakukan. Perencanaan pertama yang biasa dilakukan adalah persiapan alat untuk
pengolahan data, antara lain: persiapan perangkat lunak dan perangkat keras
pengolahan data. Setelah alat disiapkan, tahapan selanjutnya adalah persiapan data

4
LI1020020101
yang terdiri dari data geospasial dan data statistik. Penjelasan mengenai kedua data
tersebut dijabarkan sebagai berikut.

2.3.1.1. Data Geospasial


Data geospasial ini terdiri dari dua jenis yaitu data vektor dan data raster dan
data tersebut digunakan sebagai data utama dalam kegiatan ini.
A. Data Raster
Data raster yang dimaksud dalam pedoman ini adalah data inderaja yang
bersumber dari sensor optis, baik menggunakan wahana pesawat udara mapun
satelit. Data raster yang bersumber dari citra inderaja yang dapat digunakan
dalam Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Habitat Dasar Perairan
Laut Dangkal antara lain citra Landsat, SPOT, ALOS, IKONOS, Quickbird, dan
Worldview.
B. Data Vektor
Data vektor yang digunakan dalam Pengumpulan dan Pengolahan Data
Geospasial Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal ini meliputi data dasar dan
data tematik. Data dasar yang digunakan adalah Peta Rupabumi Indonesia
(RBI), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut
Indonesia (LLN). Sedangkan data tematik yang digunakan antara lain data
eksisting terumbu karang dari pihak terkait lain dan data batas administrasi
terbaru.

2.3.1.2 Data Statistik


Data statistik ini digunakan sebagai informasi tambahan dalam menggambarkan
efek sosial dan kultur masyarakat dalam pemanfaatan di wilayah habitat dasar
perairan laut dangkal. Data sosial, ekonomi, kependudukan masyarakat dapat
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

2.3.2. Pengumpulan Data


Data statistik ini digunakan sebagai informasi tambahan dalam menggambarkan
efek sosial dan kultur masyarakat dalam pemanfaatan di wilayah habitat dasar
perairan laut dangkal. Data sosial, ekonomi, kependudukan masyarakat dapat
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

2.3.3. Peralatan
Beberapa peralatan dan perlengkapan yang akan digunakan dalam survei
lapangan untuk pengumpulan data geospasial Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal
adalah:
a. Peta kerja: merupakan hasil pengolahan awal data spasial Habitat Dasar
Perairan Laut Dangkal yang dilaksanakan dari proses interpretasi awal citra
satelit, yang ditumpangsusunkan dengan peta rupa bumi dan diberi lokasi
pengambilan sampel.
b. Pedoman identifikasi habitat dasar perairan laut dangkal: panduan dalam
mengidentifikasi habitat dasar perairan laut dangkal, baik secara jenis dan
marganya, ketika sedang berada di lapangan. Pedoman ini juga menentukan

5
LI1020020101
bentuk dari persebaran karang,non karang dan biota lainnya (dapat
menggunakan pedoman dalam Veron (1995)).
c. Global Positioning System (GPS)Receiver: disesuaikan dengan ketelitian
pembuatan peta.
d. Roll-meter: digunakan pada saat membuat areal transek ketika pengambilan
sampel/ plot sampel.
e. Transek Kuadrat

Gambar 2. Kuadrat transek untuk pengukuran sampel karang

f. Kertas Tahan Air (newtop): digunakan untuk mencatat data yang diperoleh di
lapangan agar data aman dan tidak basah. Biasanya sudah berbentuk form
isian.
g. Alat tulis: digunakan untuk mencatat data yang diperoleh di lapangan.
h. Kamera Underwater untuk mengambil data tutupan habitat dasar perairan laut
dangkal,

Gambar 2. Kamera Underwater

i. Peralatan dasar penyelaman (masker, snorkle, fin)


j. Peralatan SCUBA (Buoyancy Control Device (BCD), tabung, regulator)
k. Sepatu selam (booties) : digunakan agar kaki mudah bergerak dan terlindungi;

6
LI1020020101

Gambar 3. Peralatan Untuk SCUBA Diving

l. Baju pelampung : digunakan sebagai alat dasar keselamatan di perairan


m. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K): peralatan pertama ketika terjadi
kecelakaan saat di lapangan
n. Perlengkapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Obat-obatan (dalam dan
luar).
Beberapa software yang digunakan dalam kegiatan pengolahan data geospasial
untuk identifikasi habitat dasar perairan laut dangkal adalah software pengolahan
citra mulai pengolahan awal data citra, pengolahan lanjutan hingga pengolahan akhir
serta software pengolahan data statistika dan software penyusunan pedoman dan
laporan.

2.3.4. Pengolahan Data


2.3.4.1. Pengolahan Data Awal
Pengolahan data inderaja merupakan tahapan untuk memperoleh informasi dari
data inderaja dan disajikan dalam peta kerja. Pengolahan data citra difokuskan pada
data citra digital. Pengolahan data inderaja terdiri atas dua tahap yaitu pra
pengolahan citra dan interpretasi citra.

2.3.4.2. Pengolahan Awal Data Citra


Pengolahan awal data citra merupakan tahapan pengolahan data geospasial
sebelum dilakukan interpretasi dan deliniasi citra untuk menghasilkan data sebaran
habitat dasar perairan laut dangkal. Secara umum, tahap ini terdiri atas tiga tahap
yaitu koreksi radiometrik,koreksi geometrik, cropping dan masking, komposit warna,
dan penajaman digital.Pedoman ini merekomendasikan penggunaan citra digital
level koreksi tertinggi yang sudah dikoreksi radiometrik dan geometrik secara
sistematis, yang biasanya disediakan oleh provider citra satelit.
Sebagai catatan, citra yang digunakan harus sudah melalui langkah-langkah pra
pengolahan citra minimal sebagai berikut:
7
LI1020020101
A. Koreksi Radiometrik
Koreksi Radiometrik ditujukan untuk mengkonversi nilai digital number (DN)
menjadi nilai reflektansi. Ini dilakukan untuk mengurangi ketidaksatbilan nilai
digital dari suatu objek yang sama pada daerah yang berbeda.
B. Koreksi Atmosferik
Koreksi Atmosferik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel dengan
mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer, hamburan awan (haze), dan
hamburan objek lainnya sebagai sumber kesalahan utama.
C. Koreksi Geometrik
Koreksi geometri dimaksudkan untuk memperbaiki posisi obyek pada citra
terhadap posisi sebenarnya di lapangan. Koreksi geometri dilakukan dengan
menggunakan rujukan informasi geospasial dasar.
D. Komposit warna
Sehubungan dengan identifikasi objek yang akan dilakukan dari pengolahan
data citra satelit yang digunakan maka terlebih dahulu diketahui karekteristik
band dari citra yang digunakan untuk identifikasi awal suatu obyek.
E. Pemotongan Citra dan Masking
Pemotongan citra diperlukan untuk membatasi daerah pemetaan atau penelitian
sehingga memudahkan analisis citra dalam komputer. Selain itu pemotongan
citra akan mengurangi kapasitas memori citra dan selanjutnya akan
mempercepat pengolahan citra tersebut. Masking dapat dilakukan secara digital
atau manual.
F. Penajaman Digital
Tahapan ini berisi penajaman digital yang bertujuan untuk mendapatkan
kualitas visual dan variabilitas spektral citra menjadi lebih baik. Berikut adalah
teknik yang dilakukan dalam tahapan penajaman digital:
1) Teknik Perentangan Linier
Teknik ini dapat digunakan untuk mempertajam kenampakan objek secara
keseluruhan mempertajam tepian, menghaluskan noise/gangguan,
memunculkan spesifik area tertentu di citra.
2) Penghilangan Efek Glin
Penghilangan efek glint pada umumnya dilakukan pada citra resolusi tinggi
karena pada citra tersebut efek pantulan sinar matahari (glint) secara jelas
dapat terlihat. Secara sederhana, efek glint adalah gangguan yang
ditimbulkan pantulan sinar matahari oleh gelombang air laut.
3) Koreksi Kolom Air
Sebagian penelitian melibatkan proses koreksi kolom air dalam pemetaan
habitat dasar perairan laut dangkal. Dalam pedoman ini, koreksi kolom air
dianggap perlu dilakukan walaupun nilainya sangat kecil atau dapat
dikatakan tidak ada koreksi. Salah satu penelitian yang menganggap
pentingnya koreksi kolom air adalah Green et al. (2005) dan Lyzenga (1978
dan 1981).

2.3.4.3. Interpretasi Citra


Untuk mendapatkan informasi klasifikasi ekosistem terumbu karang, data citra
penginderaan jauh yang sudah dikoreksi kemudian diinterpretasi. Dalam melakukan
interpretasi, digunakan 9 unsur interpretasi, yaitu: rona/warna, tekstur,
bayangan/tinggi, ukuran, pola, asosiasi, lokasi, bentuk, dan konvergensi bukti.
8
LI1020020101
Secara umum, proses atau tahapan interpretasi adalah proses deteksi, klasifikasi,
identifikasi dan analisis, serta delineasi kelas habitat dasar perairan laut dangkal
(Sutanto, 1994). Proses utama dalam interpretasi adalah klasifikasi citra. Dalam
melakukan klasifikasi, metode minimum yang disarankan adalah klasifikasi tidak
terbimbing (unsupervised).
A. Klasifikasi Tak terbimbing (Unsupervised)
Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan dengan mengelompokkan
piksel pada citra menjadi beberapa kelas hanya berdasarkan pada perhitungan
statistik tertentu tanpa menentukan sampel piksel (training) yang digunakan oleh
komputer sebagai acuan untuk melakukan klasifikasi. Identifikasi ulang
dilakukan dengan membandingkan citra hasil koreksi untuk menghasilkan
klasifikasi yang lebih sedikit (penggabungan kelas/merging) sesuai dengan
klasifikasi yang dibutuhkan pada skala hasil. Pada proses interpretasi ulang ini
dibantu secara visual menggunakan citra komposit warna atau data hasil kerja
lapangan sebagai dasar penggabungan kelas. Algoritma yang disarankan
digunakan dalam klasifikasi tidak terbimbing adalah isodata classification.
B. Klasifikasi Terbimbing (Supervised)
Klasifikasi terbimbing merupakan proses pengelompokkan piksel pada citra
menjadi beberapa kelas tertentu dengan berdasarkan pada statistik sampel
piksel (training) atau region of interrest ditentukan oleh pengguna sebagai piksel
acuan yang selanjutnya digunakan oleh komputer sebagai dasar melakukan
klasifikasi.
C. Klasifikasi Citra Berbasis Objek
Klasifkasi berbasis objek dilakukan untuk mengenali objek berdasarkan
kelompok piksel, bukan berdasarkan individu piksel. Teknik ini dikenal dengan
Object-Based Image Analysis (OBIA) atau feature extraction. Klasifikasi ini
mempertimbangkan aspek spektral dan aspek geospasial objek yang dikaji.
Objek dibentuk melalui proses segmentasi yang merupakan proses
pengelompokan piksel yang mempunyai karakteristik spektral dan geospasial
yang homogen.

2.3.5 Uji Akurasi


2.3.5.1. Metode Survei
Secara umum, metode survei dalam pedoman ini adalah metode survei
penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan metode survei ekologi atau biologi
laut. Artinya, pengumpulan data dilakukan untuk keperluan validasi citra
menggunakan alat GPS dan kamera foto, dan untuk keperluan pengumpulan
parameter ekologi habitat seperti persen tutupan, jenis atau bentuk pertumbuhan,
serta kondisi habitat.

2.3.5.2. Uji Akurasi


Uji ketelitian terhadap hasil interpretasi dilakukan dengan bantuan matriks uji
ketelitian hasil pengembangan Short (1982). Uji akurasi penyediaan identifikasi
ekosistem terumbu karang dilakukan untuk ketelitian pemetaan tutupan ekosistem
terumbu karang. Berdasarkan uji ketelitian ini, maka besarnya ketelitian seluruh hasil
interpretasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sederhana sebagai berikut:

9
LI1020020101

dimana:
A = akurasi total,
Xii = matriks diagonal, dan
N = jumlah sampel
Pada dasarnya, uji ketelitian dilakukan setelah melakukan survei atau kerja
lapangan. Hasil klasifikasi perlu dilakukan pengujian agar menghasilkan data yang
dapat diterima dengan tingkat ketelitian (akurasi) tertentu. Dasar yang dipakai
sebagai acuan keakurasian hasil interpretasi yakni minimal sebesar 60 % untuk hasil
interpretasi tutupan habitat dasar perairan laut dangkal.

2.3.6. Analisa Data


Hasil pengukuran lapangan dapat menghasilkan data berbentuk point, garis dan
atau polygon yang dicatat pada tabel isian habitat dasar perairan laut dangkal, yang
selanjutnya diolah lebih lanjut untuk memperoleh informasi kuantitatif struktur
komunitas lokasi survei. Data yang baik dapat dibandingkan dengan data
pengulangan di lain waktu.
Data lapangan dapat dianalisis langsung di lapangan atau dapat melihat
kembali foto yang diambil di lapangan beserta titik GPSnya. Adapun formula yang
digunakan untuk mengetahui persen tutupan dari pengambilan data lapangan per
transek menggunakan metode photoquad adalah sebagai berikut:

Hasil akhir dari pengolahan data (persen tutupan karang) dapat dikelompokkan
ke dalam 4 (empat) kategori seperti yang tersaji dalam Tabel (Kepmen LH No. 04
Tahun 2001) dan Tabel untuk persentase luas tutupan padang lamun (Kepmen LH
No. 200 Tahun 2004). Selanjutnya informasi tersebut dapat dijadikan referensi dan
acuan dalam upaya pengelolaan pesisir dan laut.

Tabel 2. Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hdup (Kepmen LH No. 04 Tahun
2001)
PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG
(dalam %)

Prosentase Luas Rusak Buruk 0 24,9


Tutupan Terumbu
Karang yang Hidup Sedang 25 49,9

Baik Baik 50 74,9

Baik sekali 75 - 100

10
LI1020020101
Tabel 3. Persentase Luas Tutupan Padang Lamun (Kepmen LH No. 200 Tahun 2004)
PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN
(dalam %)

Prosentase Luas Rusak Miskin < 29,9


Tutupan Padang
Lamun Kurang 30 59,9
kaya/kurang sehat

Baik Kaya/sehat > 60

2.3.7. Paska Pengolahan Data dan Analisis.


Hasil kegiatan pengolahan data penginderaan jauh untuk ekosistem terumbu
karang memberikan informasi dasar tentang identifikasi ekosostem terumbu karang .
Informasi identifikasi ekosostem terumbu karang dapat digunakan sebagai baseline
untuk rencana rehabilitasi, penyusunan peta pengelolaan pesisir ataupun sebagai
data dasar analisa kerusakan ekosistem terumbu karang.
Kegiatan pengolahan data penginderaan jauh untuk ekosistem terumbu karang
menjadi kebutuhan bersama antar kementerian/lembaga, pemerintah daerah,
perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Untuk itu, pedoman teknis ini
diharapkan tidak hanya dapat digunakan bahkan juga dievaluasi dan diperbaharui
apabila diperlukan.
Pedoman teknis pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi
ekosistem terumbu karang diharapkan dapat menjadi acuan bersama dalam upaya
penyediaan informasi spasial ekosistem terumbu karang yang diperlukan baik dalam
pengelolaan maupun analisa kerusakan ekosistem. Dengan adanya pedoman ini,
maka diharapkan pula hasil penyediaan informasi spasial ekosistem terumbu karang
dapat menghasilkan informasi yang akurat, standar, dan selaras dengan informasi
tematik yang lainnya.

11
LI1020020101
BAB III.
PENUTUP

3.1. Ucapan Terimakasih


Pembuatan pedoman ini dibuat berdasarkan penelitian yang didanai oleh DIPA
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Tahun Anggaran 2015, untuk itu kami
ucapkan terima kasih kepada Kapusfatja Bapak Dr. Rokhis Khomarudin dan Kabid
SDWPL Bapak Syarif Budhiman, M.Sc.

Daftar Pustaka
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 04 ahun 2001.

SNI 7716:2011 tentang Pemetaan Habitat dasar perairan laut dangkal.

Veron, J.E.N. 1995. Corals in space and time: biogeography and evolution of
Scleractinia. Australia Institute of Marine Science. Cape Ferguson,
Townsville Queensland.

12
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH - 2015

Anda mungkin juga menyukai