Anda di halaman 1dari 3

DOA UNTUK KEISTIMEWAAN DIY

Jawahir Thontowi1

UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU-K DIY)
digugat melalui uji materiil Nomor 88/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi RI sungguh
terasa memprihatinkan. Tidak saja karena sejak tahun 2001 penyiapan Naskah Akademi
RUUK DIY tersebut mengalami pasang surut. Melainkan karena perjuangan yang melibatkan
sebagian besar masyarakat DIY akan melumpuhkan keistimewaan ketika MK RI
mengabulkan permohonan penggugat.
Enam orang penggugat tersebut diwakili kuasa hukum Dr. Irman Sidin, SH, MH yang
dalam substansi gugatan tersebut, maaf, dinilai kurang memahami landasan filosofis dan
historis lahirnya UU-K DIY tersebut. Persidangan di MK RI telah sampai pada putaran
mendengarkan saksi-saksi, fakta dan ahli, maka MK RI dalam beberapa hari atau minggu ke
depan pasti akan mengumumkan keputusannya.
Akan tetapi, dalam sistem hukum yang tidak sehat ini, upaya masyarakat DIY tidak
boleh surut. Kebersamaan dan dorongan doa serta tawakkal harus ditambatkan agar putusan
MK RI tidak mengabulkan permohonan penggugat. Pembatalan Pasal 18 ayat (1) huruf m,
sebagai syarat pengusulan calon gubernur dengan menghilangkan kata istri akan berarti
bahwa Sri Sultan HB sebagai calon Gubernur pasca putusan MK RI bolehlah seorang
perempuan. Jika permohonan pembatalan ini dikabulkan MK RI, maka lumpuh dan musnah
keistimewaan dari bumi Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengingat pengangkatan Sri Sultan
HB sebagai gubernur DIY tergolong nilai inti keistimewaan (core value of speciality) dan
empat pilar keistimewaan lainnya.
Tim dan Jamaah Masjid Pateh Negoro hampir setiap malam Jumat melakukan doa
bersama agar bumi Yogyakarta tetap pada keistimewaannya dan menolak timbulnya tsunami
budaya ketika MK RI mengabulkan permohonan penggugat. Mengapa doa masyarakat DIY
begitu urgen untuk menyelamatkan keistimewaan dan menolak penghapusan Pasal 18 ayat
(1) huruf m sebagaimana diajukan pihak penggugat ke MK RI? Beberapa argumentasi
obyektif dapat dijadikan acuannya. Pertama, kedudukan legal standing penggugat tidak
legitimit secara politik, juga tidak memiliki kepastian hukum secara yuridis. Dari keenam
orang yang menggugat, tidak satupun merupakan ahli waris keraton atau kerabat Sultan HB
yang hak-hak konstitusinya dapat dibuktikan potensi kerugian oleh Pasal 18 ayat (1) huruf m.
1 Penulis adalah Guru Besar Ilmu Hukum dan Direktur Centre for Local Law Development
Studies (CLDS) Fakultas Hukum UII
Jikapun diduga ada orang-orang yang terlibat, dipastikan mereka adalah subyek hukum
terbatas yang memiliki konflik kepentingan (conflict of interest). Sehingga mereka bukan atas
nama perjuangan untuk kepentingan publik (public interest).
Kedua, secara yuridis formal, Pasal 8 ayat (1) huruf m, merupakan norma imperatif
yang obyek dan subyeknya sudah mengandung kepastian hukum. Kedudukan Sultan HB
sebagai Khalifatullah adalah laki-laki, dan karena itu pengangkatan Sultan oleh keraton
sebagai gubernur DIY merupakan satu-satunya keistimewaan dalam bidang kekuasaan
eksekutif (executive power). Ciri inilah menjadi pembeda dengan Provinsi Aceh dan Papua.
Pasal 18B ayat (1), Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang
Ketiga, asas hukum menyatakan bahwa peraturan khusus dapat menghapuskan
peraturan hukum yang bersifat umum (lex specially derogat lex generally). Pasal 18B ayat
(1) UUD NRI 1945 telah diimplementasikan ke dalam UU-K DIY, UU Pemerintahan Aceh,
dan UU Otsus Papua. Khususnya UU-K DIY merupakan wujud norma hukum khusus yang
tidak bisa dikalahkan atau digeser. Karena penggunaan Pasal 27 tentang kesetaraan di depan
hukum, dan Pasal 28 tentang diskriminasi merupakan peraturan umum yang tidak dapat
menggeser kedudukan Pasal 18 B ayat (1).
Keempat, Paugeran adat keraton atau hukum kebiasaan merupakan kesepakatan
yang tidak tertulis. Secara faktual dan psikologis telah mengikat masyarakat DIY.
Konsekuensinya, keistimewaan terkait pengangkatan Sultan HB sebagai gubernur telah
menjadi fakta sejarah dan hukum. Selain lahir sejak penandatangan perjanjian Giyanti 1755
antara Pemerintah Belanda dengan Sultan HB, berlaku asas Pacta Sunt Servanda yang wajib
dihormati dan mengikat. Paugeran adat atau Jus Cogen yang telah mengikat sejak ratusan
tahun, menjadi sangat tidak mudah dibatalkan oleh peraturan hukum tertulis sekalipun.
Karena paugeran adat sebagai hukum adat telah menjadi ingatan bersama (collective
remembrance).
Kelima, sebagian besar masyarakat menolak uji materiil terhadap UU Nomor 13
Tahun 2012 tentang UU-K DIY. Dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ikatan Dukuh dan
Lurah DIY, termasuk keluarga keraton menolaknya. Penolakan ini merupakan aspirasi
masyarakat DIY yang setuju dengan perintah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akhirnya, semoga doa atas keistimewaan DIY akan dikabulkan Allah SWT, Tuhan
YME, ketika putusan MK RI tidak mengabulkan permohonan penggugat. Argumentasi
filosofis dan yuridis pihak penggugat tidak jauh lebih meyakinkan daripada pertimbangan
kepastian kemanfaatan dan keadilan hukum masyarakat DIY yang setia keistimewaan DIY
dalam kepemimpinan Sultan Khalifatullah sebagai Gubernur.

Anda mungkin juga menyukai