Anda di halaman 1dari 15

Tugas Individu

Nama Dosen : Dr. Lalu

Mata Kuliah : Ergonomi Industri

MUSKULOSKELETAL DISORDER

Oleh:

Delfani Gemely P1800216004

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
MUSKULOSKELETAL DISORDER

Musculoskeletal Disorders adalah suatu gangguan muskuloskeletal yang ditandai


dengan terjadinya sebuah luka pada otot, tendon, ligament, saraf, sendi, kartilago, tulang atau
pembuluh darah pada tangan, kaki, leher, atau punggung (OSHA 2010).

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang


dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah
yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera
pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996). Secara garis besar keluhan
otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila
pembebanan dihentikan, dan
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun
pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena konstraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang.
Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar
antara 15 - 20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20 %,
maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh
besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Sumamur, 1982; Grandjean, 1993).

Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal

Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat


menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal.

1. Peregangan Otot yang Berlebihan


Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering
dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga
yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban
yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga
yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
2. Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti
pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut dsb. Keluhan otot
terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus
tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap Kerja Tidak Alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat,dsb. Semakin jauh
posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko
terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya
karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan
kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993; Anis & McCnville, 1996;
Waters & Anderson, 1996 & Manuaba, 2000).
Di Indonesia, sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya
ketidak sesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh
pekerja. Sebagai negara berkembang, sampai saat ini Indonesia masih tergantung
pada perkembangan teknologi negara-negara maju, khususnya dalam pengadaan
peralatan industri. Mengingat bahwa dimensi peralatan tersebut didesain tidak
berdasarkan ukuran tubuh orang Indonesia, maka pada saat pekerja Indonesia
harus mengoperasikan peralatan tersebut, terjadilah sikap kerja tidak alamiah.
Sebagai contoh, pengoperasian mesin-mesin produksi di suatu pabrik yang
diimpor dari Amerika dan Eropa akan menjadi masalah bagi sebagian besar
pekerja kita. Hal tersebut disebabkan karena negara pengekspor di dalam
mendesain mesin-mesin tersebut hanya didasarkan pada antropometri dari
populasi pekerja negara yang bersangkutan, yang pada kenyataannya ukuran
tubuhnya lebih besar dari pekerja kita. Sudah dapat dipastikan, bahwa kondisi
tersebut akan menyebabkan sikap paksa pada waktu pekerja mengoperasikan
mesin. Apabila hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama, maka akan terjadi
akumulasi keluhan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya cedera otot.
4. Faktor Penyebab Sekunder
Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang
lunakakan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini
sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.
Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot
(Sumamur, 1982).
Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,
kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit
bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot (Astrand & Rodhl,
1977; Pulat, 1992; Wilson & Corlett, 1992). Demikian juga dengan paparan udara
yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar
menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh
tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan
suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai
oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi
penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Sumamur,
1982; Grandjean, 1993).
5. Penyebab Kombinasi
Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam
melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor resiko dalam
waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut
di bawah tekanan panas matahari seperti yang dilakukan oleh para pekerja
bangunan. Di samping kelima faktor penyebab terjadinya keluhan otot tersebut di
atas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat
menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skelatal.
Umur
Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan
otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama
biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah
baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga resiko terjadinya
keluhan otot meningkat. Sebagai contoh, Bettie, et al (1989) telah melakukan
studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20
sampai dengan di atas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan,
punggung dan kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal
terjadi pada saat umur antara 20 - 29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan
sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata
kekuatan otot menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun
maka resiko terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki et al. (1989)
menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan
otot, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya
menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot.
Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh
jenis kelamin terhadap resiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil
penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat
mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Astrand & Rodahl
(1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari
kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Hasil penelitian Bettie at al. (1989) menunjukkan bahwa rerata
kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60 % dari kekuatan otot pria, khususnya
untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson
(1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita
adalah 1:3. Dari uraian tersebut di atas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan
dalam mendesain beban tugas.
Kebiasaan Merokok
Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap
resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian,
beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat
erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan
semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang
dirasakan. Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan
yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi
kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas
paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan
sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang
bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka
akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran
karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa
nyeri otot.
Kesegaran Jasmani
Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam
aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya,
bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan
pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat keluhan
otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh.
Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady et al. (1979) menyatakan
bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka resiko terjadinya
keluhan adalah 7,1 %, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2 % dan tingkat
kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8 %. Hal ini juga diperkuat dengan laporan
Bettie et al. (1989) yang menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap para
penerbang menunjukkan bahwa kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran
tubuh yang tinggi mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap resiko cedera
otot.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang
rendah akan mempertingi resiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.

Strategi utama untuk mengatasi keluhan MSDs adalah dengan tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan dengan exercise, postur tubuh yang baik, dan diet (Wulandari, 2012).
Exercise atau latihan fisik yang dilakukan dapat berupa latihan peregangan, seperti gerakan
pada senam ergonomis. Peregangan (stretching) adalah suatu bentuk latihan fisik pada
sekelompok otot atau tendon untuk melenturkan otot, meningkatkan elastisitas, dan
memperoleh kenyamanan pada otot (Weerapong et al., 2004). Peregangan juga digunakan
sebagai terapi untuk mengurangi atau meringankan kram dengan hasil berupa peningkatan
fleksibilitas, peningkatan kontrol otot, dan rentang gerak sendi (Weerapong et al., 2004).
Pemberian latihan peregangan senam ergonomis pada penelitian ini bertujuan untuk
mengurangi nyeri muskuloskeletal yang dirasakan oleh pekerja.

Pada Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2013 tentang


Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Tempat kerja berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas pekerja. Pekerja dapat
bekerja secara efektif dan efisien jika tempat kerja aman dan sehat. Namun jika tempat kerja
tidak aman dan tidak sehat serta terdapat banyak bahaya maka produktivitas pun akan
berkurang sehingga berpengaruh terhadap hilangnya pendapatan bagi pekerja (ILO, 2013).

Tubuh manusia dirancang untuk bisa melakukan segala aktivitas dalam pekerjaan
sehari-hari. Massa otot dalam tubuh bobotnya hampir lebih dari separuh dari berat tubuh,
yang memungkinkan manusia bisa melakukan suatu pekerjaan. Namun apabila otot
menerima beban statis secara terus menerus dengan posisi yang keliru dan dalam waktu yang
lama bisa menyebabkan suatu keluhan pada bagian-bagian otot skeletal. Keluhan-keluhan
yang dirasakan pada bagian otot skeletal baik keluhan sangat ringan maupun keluhan parah
disebut sebagai Musculoskeletal disorders (MSDs). Studi tentang MSDs pada berbagai
industri menunjukkan bahwa keluhan otot yang sering dirasakan pekerja antara lain otot otot
leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah (Tarwaka,
2015).

Menurut International Labour Organization (ILO) (2013), setiap tahun kurang lebih
ada 250 juta kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja mengalami sakit
akibat bahaya yang ada di tempat kerja. Selain itu ada 1,2 juta pekerja meninggal akibat
kecelakaan dan sakit di tempat kerja.

Masalah kesehatan yang paling umum di Uni Eropa adalah gangguan musculoskeletal
yaitu 25-27% pekerja menderita sakit punggung dan 23% menderita nyeri otot. Kemudian
62% pekerja, 27 terekspos seperemat waktu atau lebih menggerakan tangan secara repetitive
dan gerakan lengan, 46% megalami posisi yang melelahkan, 35% gerakan membawa atau
memindahkan beban berat. Data lainnnya dari The Labour Force Survey pada tahun
2007/2008, diperkirakan 539.000 pekerja di Britania Raya menderita musculoskeletal
disorders (Maijunidah, 2010).

Data dari Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika (2001), pada tahun 1996
1998 terdapat 2.811.000 kasus yang diantaranya adalah gangguan yang berhubungan dengan
faktor risiko ergonomi. Kemudian data lainnya menyebutkan terjadi sekitar 6 juta kasus per
tahun atau rata-rata 300 400 kasus per 100 ribu pekerja. Masalah ini berdampak pada
produktivitas pekerja dan perusahaan atau instansi (Maijunidah, 2010).

Hasil studi Departemen Kesehatan tentang profil masalah kesehatan di Indonesia pada
tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang dialami pekerja berhubungan
dengan pekerjaannya. Hasil dari studi yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12
kabupaten/kota di Indonesia, pada umumnya berupa penyakit muskuloskeletal 16%,
kardiovaskuler 8%, gangguan saraf 6%, gangguan pernafasan 3% dan gangguan THT 1,5%
(Nurdiati dkk, 2015).

Berdasarkan data di atas penulis mengumpulkan beberapa jurnal yang terkait dengan
kejadian Muskoloskeletal disorder di Indonesia yang terkait dengan pekerja dan yang
berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu:

A. Ditinjau dari Faktor Individu Dan Faktor Pekerjaan

Dalam Penelitian Krisdianto, et al, (2015) menyatakan bahwa faktor individu dan
faktor pekerjaan adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keluhan terhadap
munculnya muskuloskeletal. Nelayan tradisional dalam proses bekerja menangkap ikan di
laut masih mengandalkan tenaga manusia dan kekuatan yang dapat menyebabkan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja. Kondisi ini karena pada saat nelayan bekerja posisi kerja
nelayan dalam posisi tidak alami. Para pekerja pada umumnya kurang memperhatikan
posisi tubuh dalam bekerja. Metode yang digunakan untuk menganalisis posisi tubuh
adalah Rapid Entire Body Assesment (REBA). Jenis penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan pada nelayan di
Desa Puger Wetan Kecamatan Puger Kabupaten Jember pada tahun 2015. Penelitian ini
menunjukkan adanya hubungan antara usia ((p =0,049) dengan keluhan muskuloskeletal
akibat kerja. Semakin bertambahnya usia seorang pekerja maka semakin meningkatkan
kemungkinan pekerja tersebut mengalami keluhan muskuloskeletal akibat kerja. Semakin
bertambahnya usia seseorang, kepadatan tulang semakin menurun sehingga mudah
mengalami keluhan-keluhan otot skeletal. Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil
penelitian Asni,dkk (2013) yang menunjukan hasil uji statistik menggunakan Fisher
Exact memperoleh nilai p = 0,044 < 0,05 sehingga dinyatakan terdapat hubungan yang
bermakna antara umur dengan keluhan MSDs pemanen kelapa sawit PT. Sinergi
Perkebunan Nusantara.

Berdasarkan hasil analisis SPSS menggunakan analisis bivariat uji asosiasi


lambda dapat diketahui bahwa hubungan variabel indeks massa tubuh dengan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja indexs massa tubuh (IMT) ((p =0,02). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel indeks massa tubuh dengan
keluhan muskuloskeletal akibat kerja karena nilai p-value <0,05. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono pada bidan tahun 2012
diketahui bahwa bidan yang memiliki ukuran IMT > 25 kg/m2 (80%) terjadinya risiko
MSDs lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bidan yang mempunyai ukuran IMT
< 25 kg/m2 (52,94%).
Berdasarkan hasil analisis SPSS menggunakan analisis bivariat uji asosiasi
lambda dapat diketahui bahwa hubungan faktor pekerjaan berdasarkan REBA dengan
keluhan muskuloskeletal akibat kerja diperoleh hasil ( p = 0,033). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel faktor pekerjaan berdasarkan
REBA dengan keluhan muskuloskeletal akibat kerja karena nilai p-value <0,05. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian Bedu,dkk (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara sikap kerja dengan gangguan muskuloskeletal pada cleaning service di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2013.
Berdasarkan hasil analisis SPSS menggunakan analisis bivariat uji asosiasi
lambda dapat diketahui bahwa hubungan variabel kebiasaan merokok dengan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja diperoleh hasil (p=0,542). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel kebiasaan merokok dengan
keluhan muskuloskeletal akibat kerja karena nilai p-value > 0,05. Hasil penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maijunidah (2010) pada pekerja
assembling PT. X Bogor tahun 2010 yang tidak menemukan hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs (p value = 0,358). Efek yang
ditimbulkan dari bahaya rokok bersifat kronik sehingga ada kemungkinan bahwa pada
saat penelitian dilakukan belum terlihat pengaruh/efek dari bahaya rokok yang berarti
pada responden. Selain itu, kemungkinan responden yang tidak merokok banyak yang
melakukan pekerjaan dengan risiko pekerjaan tinggi sehingga mengalami keluhan
muskuloskeletal. Oleh karena itu, meskipun kebiasaan merokok berperan untuk
menyebabkan keluhan muskuloskeletal, tetapi pengaruh dari rokok juga dipengaruhi atau
didukung oleh faktor lain seperti usia, indeks massa tubuh dan faktor pekerjaan, masa
kerja (p = 0,189) dan kebiasaan olahraga (p=0,315) menunjukkan tidak ada hubungan
dengan keluhan muskuloskeletal akibat kerja.
Berdasarkan hasil analisis SPSS menggunakan analisis bivariat uji asosiasi
lambda dapat diketahui bahwa hubungan variabel masa kerja dengan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja diperoleh hasil (p = 0,189). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel masa kerja dengan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja karena nilai p-value > 0,05. Hasil ini diperkuat dengan hasil
penelitian oleh Bukhori (2010) pada tukang angkut beban penambang emas di kecamatan
Cilograng kabupaten Lebak tahun 2010 yang menemukan bahwa tidak ada hubungan
antara massa kerja dengan keluhan MSDs (p value = 0,487). Hasil analisis statistik antara
masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal tidak memiliki hubungan. Hal ini dapat
disebabkan karena penyesuaian yang dialami oleh pekerja yang memiliki masa kerja lama
sudah bisa menyesuaikan dengan aktivitas kerja seperti mengangkat, menahan,dan
memindahkan beban/barang dibandingkan dengan pekerja baru. Penyesuaian tubuh
terhadap aktivitas kerja yang dilakukan terus-menerus menyebabkan ketahanan tubuh
terhadap rasa nyeri atau sakit pada sistem muskuloskeletal.
Berdasarkan hasil analisis SPSS menggunakan analisis bivariat uji asosiasi
lambda dapat diketahui bahwa hubungan variabel kebiasaan olahraga dengan keluhan
muskuloskeletal akibat kerja diperoleh hasil (p= 0,315). Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel kebiasaan olahraga dengan
keluhan muskuloskeletal akibat kerja karena nilai p-value > 0,05. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurliah (2012) pada responden yang
berolahraga minimal seminggu sekali, 42 orang (91,3%) menderita MSDs. Dengan nilai p
=0.07 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kebiasaan olahraga
dengan MSDs. Penyebab dari kebiasaan olahraga tidak memiliki hubungan dengan
keluhan muskuloskeletal akibat kerja karena baik responden yang tidak memiliki
kebiasaan olahraga maupun responden yang memiliki kebiasaan olahraga sama-sama
mengalami keluhan muskuloskeletal. Kondisi ini yang menyebabkan kebiasaan olahraga
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan muskuloskeletal.

B. Ditinjau dari Faktor Keluhan Muskuloskeletal

Pulau Bali merupakan pulau yang dikenal sebagai pulau seribu pura. Pekerja
pembuat pura harus memotong batu yang keras dan merakitnya. Keluhan muskuloskeletal
sering dialami oleh pekerja. Penelitian Putu Sukadena (2016) ini adalah penelitian cross
sectional dan hasilnya dianalisis secara deskriptif. Jumlah responden 32 orang yang
terdiri dari perakit dan pemotong batu pura batu padas di Desa Tamblang. Responden
diminta untuk mengisi kuesioner Nordic Body Map. Prevalensi keluhan muskuloskeletal
dan keluhan kesehatan lainnya pada pekerja dalam penelitian Putu Sukedana, et al (2016)
menemukan bahwa Keluhan responden dominan pada siku (45,8%), pergelangan tangan
(37,5%), dan pinggang (75%) untuk bagian tubuh di atas bokong. Sedangkan untuk
keluhan otot di bawah bokong dominan sering dirasakan pada lutut (62,5%), dan
pergelangan kaki (50%). Sedangkan pada penelitian Gusti Ngurah Nugraha Agung , et al
(2016) pada pekerja pengisian LPG menemukan bahwa keluhan muskuloskeletal yang
dirasakan terbanyak pada bagian pinggang (78%), lutut kiri (48%), punggung (48%),
leher atas (47%) dan leher bawah (47%). Keluhan tersebut disebabkan oleh postur dan
sikap kerja saat mengisi tabung LPG. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pekerja pengisian LPG di PT. SMI dan PT. SDK sebanyak 45 orang.

C. Ditnjau dari Faktor Lama Kerja dan Posisi Kerja

Penelitian Nusa (2014) ini bertujuan mengetahui hubungan antara lama kerja dan
posisi kerja duduk dengan keluhan muskuloskeletal pada supir bus jurusan Mando-Bitung
di Terminal Paal Dua Manado. Menggunakan jenis penelitian survei analitik dengan
desain cross sectional study. Dilaksanakan di terminal Paal Dua Manado pada bulan
September-Oktober 2015. Dengan jumlah sampel 88 orang. Menggunakan uji statistik
korelasi Spearman. Variabel yang diteliti adalah lama kerja, posisi kerja duduk dan
keluhan muskuloskeletal. Pengambilan data lama kerja dan posisi kerja duduk
menggunakan kuesioner, dan keluhan muskuloskeletal menggunakan metode Nordic
Body Map (NBM). Uji hubungan menggunakan uji korelasi spearman dengan = 0,05
dan confidence interval 95%. Hasil penelitian didapatkan lama kerja terbanyak adalah 3
jam per hari sebanyak 63 orang (71,6%), posisi kerja duduk terbanyak adalah tidak
ergonomi sebanyak 55 orang (62,5), dan tingkat keluhan muskuloskeletal rendah
sebanyak 59 orang (67,0%). Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan antara
lama kerja dengan keluhan muskuloskeletal (p = 0,496), Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nusa (2013) tentang hubungan antara umur, lama kerja dan getaran
dengan keluhan system musculoskeletal pada sopir bus trayek Manado-Langowan di
Terminal Karombasan dengan hasil p = 0,763 (p < 0,05) da rata-rata lama kerja hanya 4
jam per hari yang berarti tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan
muskuloskeletal. Dari hasil penelitian dari Cindyastira, dkk (2014) tentang Hubungan
Intensitas Getaran Dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) Pada Tenaga
Kerja Unit Produksi Paving Block CV. Sumber Galian Makassar dengan hasil (p = 0,079).
Alasan mengapa lama kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan
muskuloskeletal mungkin disebabkan oleh aspek lain misalnya frekuensi kerja yang
berbeda dan dari segi waktu istirahat tiap pekerja.

Posisi kerja duduk adalah bagaimana posisi duduk responden selama bekerja atau
selama membawa bus untuk mengantarkan penumpang. Posisi kerja diambil dengan cara
mengisi kuesioner yang semua pertanyaannya menyangkut posisi duduk. Posisi kerja
duduk dibagi dalam 2 kategori yaitu ergonomi dan tidak ergonomi Berdasarkan hasil
statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan hasil ada hubungan
antara posisi kerja duduk dengan keluhan musculoskeletal (p = 0,005). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sang dkk (2014) tentang hubungan risiko
postur kerja dengan keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada pemanen kelapa
sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara dengan hasil p = 0,022 (p < 0,05) yang berarti
ada hubungan antara postur tubuh (posisi kerja) dengan keluhan muskuloskeletal. Begitu
juga dengan penelitian dari Santoso dan Widajati (2015) tentang posisi kerja dan keluhan
subyektif muskuloskeletal pada tenaga kerja bagian packing di PT. Y Gresik, didapatkan
bahwa postur kerja dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal ataupun juga bisa
memperparah keluhan muskulokeletal. Hasil penelitian dari Arfiasari (2014) juga
menunjukkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat r = 0,439 dan signifikan dengan nilai
p 0,019 antara postur kerja dengan keluhan muskuloskeletal. Posisi kerja yang tidak
ergonomi dalam kurun waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya cedera otot
(Tarwaka, 2015).

D. Ditinjau dari Faktor Sikap Kerja Duduk-Berdiri Bergantian, Perbaikan Sikap


Kerja dan Penambahan Penerangan Lokal, serta Perbaikan Cara Angkat-
Angkut Material sebagai Upaya Menurunkan Kelahan dan Keluhan
Muskuloskeletal
1. Sikap kerja Duduk-Berdiri Bergantian sebagai Upaya Menurunkan
Kelelahan & Keluhan Muskuloskeletal

Banyak aktivitas rutin di rumah tangga yang dilakukan berulang setiap hari
sepanjang tahun sehingga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan jika tidak
diterapkan prinsip-prinsip ergonomi. Diantara aktivitas rutin tersebut yang paling
dikeluhkan adalah proses kerja menyetrika sehingga mendapatkan prioritas untuk
segera dicarikan solusinya di antara proses kerja yang lain. Keluhan yang timbul pada
proses menyetrika disebabkan antara lain karena proses menyetrika yang statis dan
monotoni. Dalam mengatasi masalah ini, diperlukan suatu perubahan sikap kerja
sehingga sikap kerja yang statis dapat dihindari. Penggunaan kursi yang didesain
khusus dapat membuat pekerja bekerja dengan sikap kerja yang dinamis yaitu sikap
kerja duduk dan berdiri secara bergantian.

Penelitian eksperimental Agnestry (2015) ini menggunakan rancangan sama


subjek dengan dua jenis perlakuan yaitu sikap kerja duduk dan sikap kerja duduk-
berdiri bergantian. Jumlah sampel yang diteliti adalah 9 orang dengan menggunakan
teknik sampling acak sederhana. Penelitian dilakukan di satu tempat yang sudah
dirancang sedemikian rupa sebagai tempat simulasi. Pengambilan data dilakukan
selama tiga hari untuk sikap kerja duduk dan tiga hari untuk sikap kerja duduk berdiri
bergantian pukul 08.00 17.00 wita dibagi dalam tiga sesi.

Dalam penilaian beban kerja didapatkan hasil berupa penurunan nadi kerja
sebesar 19,72% dan penurunan rerata %CVL sebesar 19,80%. Keluhan
muskuloskeletal turun sebesar 13,15%. Nyeri pada bagian pinggang dan pantat paling
banyak dikeluhkan pada sikap kerja duduk (pinggang 37,04%; pantat 33,33%). Untuk
penilaian kelelahan dengan menggunakan kuesioner Bourdon Wiersma didapatkan
peningkatan kecepatan sebesar 11,79%, ketelitian sebesar 42,68%, dan konstansi
sebesar 13,21%. Terjadi peningkatan produktivitas sebesar 38,46% yang sangat
berkaitan dengan menurunnya beban kerja dan durasi kerja. Setelah dilakukan uji
statistik, didapatkan semua perbaikan yang terjadi berbeda secara bermakna (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Widana dimana aplikasi ergonomi
mampu menurunkan kelelahan sebesar 9% pada subjek yang diteliti (Widana, 2012).
Serta Santosa & Bawa (2011) dan Sudarma et al (2012). Dari hasil-hasil penelitian
yang dilakukan oleh para peneliti tersebut, dilaporkan temuan yang hampir sama. Di
mana melalui perbaikan stasiun kerja termasuk alat kerja dan sikap kerja yang lebih
ergonomis produktivitas kerja dapat ditingkatkan secara signifikan. Hal ini sangat
berkaitan Dari grafik waktu kerja didapatkan bahwa pekerja boleh bekerja selama
delapan jam terus menerus. Dapat disimpulkan bahwa sikap kerja duduk-berdiri
bergantian dapat menurunkan beban kerja, kelelahan, dan keluhan muskuloskeletal,
serta meningkatkan produktivitas penyetrika wanita di rumah tangga. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup pekerjaan
rumah tangga.

2. Perbaikan Sikap Kerja dan Penambahan Penerangan Lokal Sebagai Upaya


Menurunkan Keluhan Muskuloskelatal

Praktikum pembubutan dilakukan dengan posisi berdiri. Selama proses


membubut tidak disediakan bangku untuk duduk. Praktek pembubutan juga terkadang
memerlukan sikap kerja membungkuk untuk melihat lebih teliti atau memperbaiki
peralatan yang ada. Di samping itu tidak adanya penerangan lokal pada mesin bubut
menyebabkan tingkat ketelitian mahasiswa dalam membaca skala pengukuran
menjadi kurang. Hal ini menyebabkan keluhan pada sistem musculoskeletal,
kelelahan pada mata, dan penurunan ketelitian sehingga diperlukan intervensi
ergonomi berupa perbaikan sikap kerja dan penambahan penerangan lokal.

Penelitian I Gede et, al ini dilakukan secara eksperimental menggunakan


rancangan sama subjek melibatkan 15 orang sampel penelitian. Subjek mendapatkan
dua perlakuan, Periode I melakukan pembubutan dengan menggunakan cara lama,
Periode II menggunakan cara baru dengan intervensi ergonomi berupa perubahan
sikap kerja dan penambahan penerangan lokal. Hasil analisis menunjukkan bahwa
terjadi penurunan yang signifikan pada keluhan muskuloskeletal; pada Periode I rerata
skor 81,411,80 sedangkan Periode II dengan rerata skor 65,743,08 atau menurun
sebesar 19,3% (p<0,05). Juga terjadi penurunan yang sinifikan pada kelelahan mata;
Periode I dengan skor 31,411,78 sedangkan Periode II dengan skor 16,892,32 atau
menurun sebesar 46,2% (p<0,05). Terjadi peningkatan yang signifikan terhadap
ketelitian hasil kerja pada Periode I dengan nilai bias 1,290,45cm dan Periode II
dengan nilai bias 0,560,15 cm atau peningkatan ketelitian sebesar 56,9% (p<0,05).

Sejalan dengan apa yang dinyatakan Ruccer dan Sunnel (2002) terhadap para
dokter gigi, mereka menyatakan bahwa posisi praktek yang salah dalam bekerja
terlebih lagi dalam menggunakan perlatan pompa akan menyebabkan gangguan
muskuloskeletal. Keadaan ini dapat ditanggulangi dengan melakukan perubahan sikap
kerja yang tidak alamiah menjadi alamiah. Sutajaya dan Citrawathi (2000), Petrus dan
Rina (2012) juga menyatakan bahwa keluhan subjektif berupa gangguan
muskuloskeletal dan kelelahan dapat diturunkan secara signifikan (p < 0,05) pada
subjek dengan melakukan perbaikan pada stasiun kerja dan sikap kerja yang lebih
ergonomis

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa (a) Perbaikan sikap kerja dan
penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan dapat menurunkan keluhan
muskuloskeletal mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali, (b) Perbaikan
sikap kerja dan penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan dapat
menurunkan kelelahan mata mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali,
(c) Perbaikan sikap kerja dan penambahan penerangan lokal pada proses pembubutan
dapat meningkatkan ketelitian hasil kerja mahasiswa di bengkel mekanik Politeknik
Negeri Bali.

3. Perbaikan Cara Angkat-Angkut Material Bangunan Mengurangi Aktivitas


Listrik Otot Erector Spinae Dan Keluhan Muskuloskeletal

Pertumbuhan sektor properti yang cukup pesat membawa konsekuensi makin


banyaknya jumlah tukang bangunan yang bekerja di sektor ini. Sistem kerja yang
mereka terapkan masih bersifat tradisional. Salah satu aktivitas yang sering dilakukan
adalah angkat-angkut bahan bangunan. Cara angkat-angkut yang kurang ergonomis
menyebabkan peningkatan aktivitas listrik otot erector spinae dan keluhan
muskuloskeletal.

Pada penelitian I Made Muliarta ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan


cara kerja angkat-angkut bahan bangunan dapat menurunkan aktivitas listrik otot
erector spinae dan keluhan muskuloskeletal. Penelitian menggunakan rancangan
eksperimental sama subjek. Sampel diambil secara purpossive sampling dengan
melibatkan 11 orang tukang bangunan laki-laki dengan rerata umur 38,57,4 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata aktivitas listrik otot erector spinae pada
Periode 1 sebesar 36,953,85% dan pada Periode 2 sebesar 4,101,10%. Secara
statistik terdapat penurunan aktivitas listrik otot erector spinae sebesar 32,85 atau
88,90% dengan 95% CI sebesar 30,22 untuk batas bawah dan 35,48 untuk batas atas
(p=0,000). Rerata skor keluhan muskuloskeletal pada Periode 1 sebesar 50,362,54
dan pada Periode 2 sebesar 38,824,36. Secara statistik terdapat penurunan skor
keluhan muskuloskeletal sebesar 11,54 atau 22,92% dengan 95% CI sebesar 7,66
untuk batas bawah dan 15,43 untuk batas atas (p=0,000).

Dari penelitian ini dapat ditarik simpulan bahwa dengan perbaikan cara
angkat-angkut bahan bangunan dapat menurunkan aktivitas listrik otot erector spinae
sebesar 88,90% dan keluhan muskuloskeletal sebesar 22,92%.

E. Ditinjau dari Faktor Pelatihan Peregangan Dan Istirahat Aktif serta Pengaruh
Peregangan Senam Ergonomis Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal
1. Pelatihan Peregangan dan Istirahat Aktif Menurunkan Keluhan
Muskuloskeletal

Eko Putu, et al. (201_) menemukan bahwa bagian rekam medis (BRM) Rumah
Sakit Sanglah saat ini telah menggunakan sistem komputerisasi, sehingga sebagian besar
pekerjaan pengelolaan rekam medis pasien dilakukan dengan komputer. Berbagai keluhan
fisik dijumpai pada pemakai komputer antara lain leher, bahu, lengan, pergelangan,
tangan, dan kelelahan mata, yang dapat mengganggu kualitas dan produktivitas kerja
karyawan. Perlu dilakukan intervensi terhadap karyawan BRM Rumah Sakit Sanglah.
Tujuan pelatihan peregangan dan istirahat aktif untuk menurunkan keluhan tersebut serta
meningkatkan konsentrasi kerjanya. Telah dilakukan penelitian dengan rancangan sama
subjek pada karyawan BRM, sampel berjumlah 20 orang yang diberikan perlakuan daiam
bentuk pelatihan peregangan dan istirahat aktif, Variabel yang diukur adalah keluhan
musculoskeletal, kelelahan mata dan konsentrasi kerja. Hasil perlakuan antara sebelum
bekerja dan sesudah bekerja pada Periode I dan Periode II dibandingkan dan dianalisis
secara statistik.

Hasil penelitian menunjukkan keluhan muskuloskeletal, kelelahan mata, dan


konsentrasi kerja pada kedua perlakuan mengalami peningkatan setelah bekerja. Pada PI
rerata skor keluhan muskuloskeletal 77,36 kelelahan mata 67,90, dan konsentrasi kerja
dilihat dari kecepatan 26,03, ketelitian 18,01, dan konstansi 7,22. Sedangkan pada PII
rerata skor keluhan muskuloskeletal 45,56, kelelahan mata 52,25, dan konsentrasi kerja
dilihat dari kecepatan 15,00, ketelitian 13,50, dan konstansi 6,23. Pelatihan peregangan
dan istirahat aktif ternyata menurunkan keluhan muskuloskeletal 71,98%, kelelahan mata
46,73% dan meningkatkan konsentrasi kerja dilihat dari kecepatan 80,06%, ketelitian
61,89%, dan konstansi 40,08%, sehingga ada pengaruh perbaikan terhadap kondisi kerja
(p<0,05). Disimpulkan bahwa pelatihan peregangan dan istirahat aktif menurunkan
keluhan muskuloskeletal, kelelahan mata, dan meningkatkan konsentrasi kerja karyawan
BRM Rumah Sakit Sanglah. Pelatihan peregangan dan istirahat aktif sebaiknya mulai
digunakan dalam aktivitas kerja karyawan BRM Rumah Sakit Sanglah karena sudah
terbukti mampu menurunkan keluhan muskuloskeletal, kelelahan mata, dan
meningkatkan konsentrasi kerja karyawan.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Dewi (2012), bahwa pemberian peregangan
otot peserta didik kelas X SMK Pariwisata Triatma Jaya di sela pembelajarannya
dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal secara bermakna yaitu sebesar 64,28%.

2. Peregangan Senam Ergonomis Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal


Strategi utama untuk mengatasi keluhan MSDs adalah dengan tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan dengan exercise, postur tubuh yang baik, dan diet
(Wulandari, 2012). Exercise atau latihan fisik yang dilakukan dapat berupa latihan
peregangan, seperti gerakan pada senam ergonomis. Peregangan (stretching) adalah
suatu bentuk latihan fi sik pada sekelompok otot atau tendon untuk melenturkan otot,
meningkatkan elastisitas, dan memperoleh kenyamanan pada otot (Weerapong et al.,
2004). Peregangan juga digunakan sebagai terapi untuk mengurangi atau meringankan
kram dengan hasil berupa peningkatan fleksibilitas, peningkatan kontrol otot, dan
rentang gerak sendi (Weerapong et al., 2004). Pemberian latihan peregangan senam
ergonomis pada penelitian ini bertujuan untuk mengurangi nyeri muskuloskeletal
yang dirasakan oleh pekerja.
Hasil penelitian Fatsiwi (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan analisis uji
statistik Paired T test dan Wiloxon test didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan
terhadap penurunan nyeri MSDs kelompok intervensi setelah melakukan senam
ergonomis selama empat minggu dan ada pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan nyeri MSDs pada kelompok kontrol yang tidak melakukan senam
ergonomis. Rata-rata perubahan skor nyeri MSDs sebelum dan setelah dilakukan
senam ergonomis pada kelompok intervensi lebih tinggi dibanding pada kelompok
kontrol. Hasil analisis untuk membandingkan perbedaan kedua kelompok dengan
Independent T Test dan Mann Whitney Test didapatkan hasil bahwa ada perbedaan
rata-rata perubahan skor nyeri MSDs yang signifikan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
Penurunan skor nyeri MSDs pada kelompok intervensi setelah melakukan
gerakan senam ergonomis sebagai latihan peregangan memberikan kenyamanan bagi
responden. Responden merasakan tubuh menjadi terasa lebih ringan, lebih segar dan
keluhan nyeri otot berkurang. Hasil ini didukung oleh pernyataan bahwa latihan
peregangan yang dilakukan 5-10 menit sebelum dan setelah bekerja dapat mengurangi
nyeri otot (Ariyanto, 2013). Senam ergonomis yang dilakukan sebelum dan setelah
bekerja dapat mengaktifkan fungsi organ dan fungsi serabut saraf segmen di seluruh
tubuh dengan cara membangkitkan biolistrik dalam tubuh dan sekaligus
meningkatkan sirkulasi darah dan oksigen sehingga terjadi penambahan energi yang
dibutuhkan untuk memulai aktifitas kerja. Senam ergonomis juga dapat digunakan
sebagai fase relaksasi otot, yaitu melonggarkan otot-otot punggung bagian bawah,
paha, dan betis, menjaga kelenturan tubuh terutama bagian tulang belakang
(vertebrae), persendian diantara ruas tulang belakang (corpus vertebrae), tulang
selangkang (os sacrum), dan tulang tungging (os cocygeus) serta menjaga kekuatan
strukturalanatomis fungsional otot, ligament, dan tulang belakang setelah seharian
bekerja (Wratsongko, 2006; Sagiran 2012).
Kebiasaan merokok yang dilakukan oleh responden kelompok kontrol juga
mendukung terjadinya peningkatan nyeri MSDs. Kebiasaan merokok memiliki
hubungan dengan keluhan otot (Soleha, 2009; Rahayu, 2012), dikarenakan kebiasaan
merokok dapat menurunkan kapasitas paru akibat adanya kandungan
karbonmonoksida pada rokok sehingga berdampak pada penurunan kemampuan
dalam mengkonsumsi oksigen (Tarwaka et al., 2004). Faktor lainnya yang juga dapat
menyebabkan terdapatnya perbedaan rata-rata perubahan skor nyeri MSDs antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah karena adanya kepatuhan
responden kelompok intervensi dalam melakukan senam ergonomis dengan teratur
dan sesuai prosedur yang telah diberikan di awal penelitian. Senam ergonomis yang
dilakukan secara rutin akan memberikan manfaat yang dapat dirasakan secara
langsung bagi pelakunya (Wratsongko, 2006). Salah satu manfaat yang dirasakan
langsung oleh responden dalam penelitian ini adalah adanya kenyamanan karena nyeri
MSDs yang dirasakan berkurang.

Anda mungkin juga menyukai