Anda di halaman 1dari 67

1

BUPATI BALANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN
NOMOR 24 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BALANGAN


TAHUN 2013 2032

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BALANGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten


Balangan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya
guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana
tata ruang wilayah;

b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan


antar sektor, wilayah, dan masyarakat, maka rencana tata
ruang wilayah Kabupaten Balangan merupakan arahan lokasi
investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah,
masyarakat, dan/atau dunia usaha;

c. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) hurup a


Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, rencana tata ruang wilayah
Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Balangan Tahun 2013-2032;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan


Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan di Provinsi
Kalimantan Selatan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4265);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
2

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman


Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4592);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk


dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160;

10.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang


Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Daerah;

11.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);

12.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012 tentang


Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 647);
3

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN BALANGAN

dan

BUPATI BALANGAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN BALANGAN TAHUN 2013-2032.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Balangan.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten Balangan.
3. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Bupati adalah Bupati Kabupaten Balangan.
5. Kabupaten adalah Kabupaten Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan
6. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Balangan.
7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan kehidupannya.
8. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
9. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan
fungsional.
10. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budidaya.
11. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
13. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang.
4

14. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan
pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib
tata ruang.
16. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
17. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disebut RTRW
Kabupaten adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang
wilayah Kabupaten Balangan.
18. Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan
Pemerintah Daerah Kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi
dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan
yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah Nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional.
19. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten adalah arahan
pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah guna
mencapai tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten dalam kurun waktu 20
(dua puluh) tahun.
20. Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten adalah penjabaran kebijakan
penataan ruang kedalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih
nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola
ruang wilayah Kabupaten.
21. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana yang
mencakup sistem perkotaan wilayah Kabupaten yang berkaitan dengan
kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana
wilayah Kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah
Kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala Kabupaten yang meliputi
sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem
jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh
daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem
jaringan prasarana lainnya
22. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi
peruntukan ruang wilayah Kabupaten yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa
berlakunya RTRW Kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan
ruang wilayah Kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang.
23. Rawan Bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
24. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten atau
beberapa Kecamatan.
25. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disingkat PKLp adalah
kawasan yang dipromosikan sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala Kabupaten atau beberapa Kecamatan.
26. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disingkat PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau
beberapa Desa.
5

27. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PPL adalah pusat
permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar Desa.
28. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada di permukaan tanah, di atas permukaan tanah,
di bawah permukaan tanah dan/atau air serta diatas permukaan air,
kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
29. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan pada wilayah
yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
30. Sistem Jaringan Jalan Primer adalah jaringan jalan yang menghubungkan
secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga
dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil dalam satu wilayah
pengembangan. Jaringan jalan primer menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan kota jenjang kesatu antar satuan wilayah pengembangan.
31. Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah jaringan jalan yang
menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke permukiman.
32. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
33. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan.
34. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
35. Kawasan Strategis kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
Kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, serta
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi.
36. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya
keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agrobisnis.
37. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
Nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
38. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
39. Ketentuan Perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap
pihak sebelum memanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam
melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.
40. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disingkat
BKPRD adalah badan yang bersifat Ad-Hoc yang dibentuk untuk
mendukung dan membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam rangka
melakukan koordinasi penataan ruang di Daerah.
6

41. Ketentuan Insentif dan Disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana
tata ruang.
42. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten adalah arahan
pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
wilayah Kabupaten sesuai dengan RTRW Kabupaten melalui penyusunan
dan pelaksanaan program penataan/pengembangan Kabupaten beserta
pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan Kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber
pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
43. Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten adalah jaringan prasarana
wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten
dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan
prasarana skala Kabupaten.
44. Jaringan Sumber Daya Air adalah jaringan air, sumber air, dan daya air
yang terkandung di dalamnya.
45. Jaringan Irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang
diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan,
pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya.
46. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang
luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
47. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung
48. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alamiyang batas di darat merupakan
pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.
49. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten agar sesuai dengan RTRW
Kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan
perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk
wilayah Kabupaten.
50. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Kabupaten adalah ketentuan
umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-
unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap
klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten.
51. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan lain
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
7

52. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses


perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.

BAB II
RUANG LINGKUP PENATAAN RUANG WILAYAH DAERAH

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Substansi

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah meliputi :


a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang;
b. rencana struktur ruang wilayah;
c. rencana pola ruang wilayah;
d. kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten;
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang;
g. kelembagaan; dan
h. hak, kewajiban dan peran masyarakat.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup Administrasi

Pasal 3

Ruang lingkup wilayah administrasi penataan ruang wilayah daerah meliputi


wilayah daerah seluas 183.079 Ha, dengan batas :
a. sebelah utara : Kabupaten Tabalong;
b. sebelah timur : Kabupaten Paser dan Kabupaten Kotabaru;
c. sebelah selatan : Kabupaten Hulu Sungai Tengah;
d. sebelah barat : Kabupaten Hulu Sungai Utara.

BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Tujuan

Pasal 4

Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Balangan adalah terwujudnya


wilayah Balangan yang sejahtera, aman, nyaman, dan produktif melalui
pengembangan sektor-sektor unggulan yang berwawasan lingkungan dalam
pemanfaatan ruang.
8

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 5

(1) Untuk menjabarkan tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4, disusunlah kebijakan penataan ruang.

(2) Kebijakan penataan ruang terdiri atas:


a. pengembangan sistem agropolitan untuk mendorong potensi ekonomi
berbasis pertanian dan perkebunan serta peternakan;
b. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah secara hirarkhis dan merata;
c. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana dan
sarana;
d. pengembangan kawasan strategis Kabupaten;
e. pengembangan wisata alam maupun budaya unggulan yang berskala
regional;
f. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup melalui
pengembangan kawasan lindung; dan
g. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan Negara.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang

Pasal 6

(1) Untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5, disusun strategi penataan ruang.

(2) Strategi untuk kebijakan pengembangan sistem agropolitan untuk


mendorong potensi ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan serta
peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas :
a. mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya pertanian pangan
dan hortikultura;
b. menetapkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan;
c. mengembangkan komoditas perkebunan karet dan kelapa sawit yang
berpotensi di Kabupaten Balangan;
d. mengembangkan kelembagaan penunjang kawasan agropolitan;
e. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan pada kawasan pedesaan
sebagai inti kawasan agropolitan; dan
f. meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur terutama
infrastruktur jalan untuk mendukung sistem agropolitan.

(3) Strategi untuk kebijakan peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat
pertumbuhan ekonomi wilayah secara hirarkhis dan merata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
9

a. menjaga interkoneksi antar kawasan perkotaan, antara kawasan


perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar kawasan perkotaan
dengan wilayah sekitarnya;
b. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang potensial
dan belum terlayani oleh pusat pertumbuhan eksisting;
c. mengendalikan perkembangan kawasan perbukitan; dan
d. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih
kompetitif dan lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah
sekitarnya.

(4) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan


prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri
atas:
a. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan sarana serta mewujudkan
keterpaduan pelayanan transportasi darat;
b. mendorong pengembangan prasarana dan sarana telekomunikasi
terutama di kawasan yang masih terisolir;
c. meningkatkan jaringan energi dengan lebih menumbuh-kembangkan
pemanfaatan sumber daya alam terbarukan yang ramah lingkungan
dalam sistem kemandirian energi area mikro, dibanding pemanfaatan
sumber daya alam yang tak terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan
sistem penyediaan tenaga listrik;
d. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan sarana serta mewujudkan
keterpaduan sistem jaringan sumber daya air;
e. meningkatkan sistem jaringan prasarana pengolahan air limbah kegiatan
permukiman, industri dan pertambangan; dan
f. mengembangkan dan melestarikan ruang terbuka hijau.

(5) Strategi untuk pengembangan kawasan strategis Kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 huruf d terdiri atas:
a. melestarikan dan meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan
untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem,
melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan
rona alam, dan melestarikan warisan ragam budaya lokal;
b. mengembangkan dan meningkatkan fungsi kawasan dalam
pengembangan perekonomian Kabupaten yang produktif, efisien, dan
mampu bersaing dalam perekonomian regional, nasional atau
internasional;
c. memanfaatkan sumberdaya alam dan atau perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
d. melestarikan dan meningkatkan kualitas sosial dan budaya lokal yang
beragam; dan
e. mengembangkan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan
sosial ekonomi budaya antar kawasan.

(6) Strategi untuk kebijakan mengembangan wisata alam maupun budaya


unggulan yang berskala regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf e terdiri atas :
10

a. mengembangkan obyek wisata alam dan budaya yang berpotensi skala


regional dengan membentuk zona wisata;
b. melindungi kawasan di sekitar bangunan dan kawasan yang mempunyai
nilai sejarah dan budaya;
c. meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap nilai budaya lokal yang
mencerminkan jati diri komunitas lokal yang berbudi luhur;
d. mengembangkan penerapan ragam nilai budaya lokal dalam kehidupan
masyarakat;
e. melestarikan warisan budaya komunitas lokal yang beragam;
f. mengembangkan agrowisata perkebunan;
g. mengembangkan sarana dan prasarana untuk mengembangkan
kegiatan wisata agro; dan
h. mengadakan promosi melalui berbagai media untuk memperkenalkan
dan memasarkan produk wisata alam dan budaya yang dimiliki
Kabupaten.

(7) Strategi untuk kebijakan melestarikan fungsi lingkungan hidup melalui


pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf f terdiri atas :
a. menetapkan kawasan strategis Kabupaten berfungsi lindung;
b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis Kabupaten yang
berpotensi mengurangi daya lindung kawasan;
c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis Kabupaten
yang berpontensi mengurangi daya lindung kawasan;
d. mengendalikan pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di
sekitar kawasan strategis kabupaten yang dapat memicu perkembangan
kegiatan budidaya permukiman perkotaan;
e. mengembangkan kegiatan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan
strategis kabupaten yang berfungsi sebagai zona penyangga yang
memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budidaya terbangun;
dan
f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak
pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan
strategis Kabupaten.

(8) Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan


keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g, terdiri
atas:
a. mendukung penetapan kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan;
b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di
sekitar kawasan pertahanan dan keamanan untuk menjaga fungsi dan
peruntukannya;
c. mengembangkan kawasan lindung dan atau kawasan budidaya tidak
terbangun di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan Negara sebagai
zona penyangga; dan
d. turut serta memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan dan
keamanan.
11

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7

(1) Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten meliputi :


a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.

(2) Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 : 50.000
sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Pusat-Pusat Kegiatan

Pasal 8

(1) Rencana pengembangan pusat-pusat kegiatan Kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. PKL;
b. PKLp;
c. PPK; dan
d. PPL.

(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di kawasan
Perkotaan Paringin meliputi :
a. perkotaan Paringin di Kecamatan Paringin, dengan fungsi pelayanan :
1. pusat pelayanan perekonomian yaitu sebagai kawasan perdagangan
skala regional Kabupaten dan Provinsi, meliputi pusat perbelanjaan
pasar skala regional Kabupaten;
2. pusat pelayanan jasa yaitu perbankan cabang, lembaga asuransi
cabang, perhotelan dan perusahaan jasa swasta lainnya;
3. pusat pelayanan kesehatan berupa rumah sakit tipe C, dokter
spesialis, apotik;
4. pusat pengembangan fasilitas pendidikan (PAUD, TK, SD, SLTP dan
SLTA / Kejuruan, pesantren dan Perguruan tinggi);
5. pusat olah raga/rekreasi meliputi gedung olah raga (GOR) yang
merupakan kompleks fasilitas olahraga dan gedung hiburan;
6. pengembangan ruang terbuka hijau yang dapat dijadikan tempat
rekreasi bagi masyarakat;
7. pengembangan sarana transportasi terminal tipe C;
8. pengembangan wisata buatan dan budaya atau spiritual;
12

9. pusat pengembangan perkantoran Kabupaten meliputi kantor-kantor


Pemerintahan skala Kabupaten;
10. pusat pelayanan pertahanan dan keamanan;
11. pusat pengembangan industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan, perbengkelan dan pergudangan; dan
12. pusat pengembangan permukiman perkotaan dan fasilitas penunjang.

b. perkotaan Paringin Selatan di Kecamatan Paringin Selatan, dengan fungsi


pelayanan :
1. pusat jasa pendukung kegiatan Pemerintahan (perkantoran),
pelayanan umum dan layanan sosial;
2. pusat pelayanan jasa yaitu perbankan cabang, lembaga asuransi
cabang, perhotelan dan perusahaan jasa swasta lainnya;
3. pusat pelayanan kesehatan;
4. pusat pengembangan fasilitas pendidikan (PAUD, TK, SD, SLTP dan
SLTA / Kejuruan, Pesantren dan Perguruan Tinggi);
5. pengembangan ruang terbuka hijau yang dapat dijadikan tempat
rekreasi bagi masyarakat;
6. pengembangan sarana transportasi terminal tipe C;
7. pengembangan wisata buatan dan budaya atau spiritual;
8. pusat pengembangan industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan;
9. pusat pengembangan permukiman perkotaan dan fasilitas penunjang;
dan
10. pusat kegiatan keagamaan.

(3) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu Perkotaan
Batumandi di Kecamatan Batumandi, dengan fungsi pelayanan :
a. pusat Pemerintahan Kecamatan;
b. pusat perdagangan dan jasa meliputi perbankan, pasar lokal dan pasar
hewan serta pelayanan kesehatan berupa Puskesmas, bidan;
c. pusat pengembangan fasilitas pendidikan (PAUD, TK, SD, SLTP dan
SLTA dan Kejuruan serta Pesantren);
d. transportasi terminal tipe C dan terminal agribisnis untuk mendukung
agropolitan;
e. pelayanan pemerintah, meliputi kantor Kecamatan dan depo kebersihan;
f. pusat pelayanan lintas Kecamatan;
g. pusat pengembangan perumahan dan fasilitas penunjangnya;
h. pusat kegiatan industri kecil rumah tangga pengolahan hasil pertanian;
i. pusat pengembangan komoditas pertanian dan hortikultura; dan
j. pusat pengembangan kegiatan keagamaan.

(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :
a. PPK Muara Pitap berada di Kecamatan Paringin Selatan, dengan fungsi
pelayanan :
13

1. pusat Pemerintahan Kecamatan;


2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang;
4. pusat pengembangan perkantoran; dan
5. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, TK, SD,
SLTP, SLTA atau sederajat.
b. PPK Simpang Tiga berada di Kecamatan Lampihong dengan fungsi
pelayanan :
1. pusat Pemerintahan Kecamatan;
2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan komoditas hasil pertanian dan hortikultura,
perikanan dan peternakan;
4. pusat pengembangan industri kecil;
5. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang; dan
6. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, TK, SD,
SLTP, SLTA.
c. PPK Putat Basiun berada di Kecamatan Awayan dengan fungsi
pelayanan:
1. pusat Pemerintahan Kecamatan;
2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan komoditas hasil pertanian, hortikultura dan
peternakan;
4. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang; dan
5. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, TK, SD,
SLTP, SLTA atau sederajat.
d. PPK Tebing Tinggi berada di Kecamatan Tebing Tinggi dengan fungsi
pelayanan :
1. pusat Pemerintahan Kecamatan;
2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan pariwisata alam dan budaya;
4. pusat pengembangan komoditas hasil pertanian dan hortikultura;
5. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang; dan
6. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, SD, SLTP,
SLTA atau sederajat.
e. PPK Mungkur Uyam berada di Kecamatan Juai dengan fungsi pelayanan:
1. pusat Pemerintahan Kecamatan;
2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan industri kecil;
4. pusat pengembangan komoditas hasil pertanian dan hortikultura;
5. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang; dan
6. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, SD, SLTP,
SLTA atau sederajat.
14

f. PPK Halong berada di Kecamatan Halong dengan fungsi pelayanan :


1. pusat Pemerintahan Kecamatan;
2. pusat pelayanan sosial, kesehatan dan umum;
3. pusat pengembangan pariwisata alam dan budaya;
4. pusat pengumpul komoditas pertanian dan hortikultura;
5. pusat pengembangan komoditas hasil pertanian dan hortikultura;
6. pusat pengembangan perdagangan dan jasa lokal;
7. pusat pengembangan industri kecil;
8. pusat pengembangan fasilitas pendidikan meliputi PAUD, TK, SD,
SLTP, SLTA atau sederajat; dan
9. pusat pengembangan permukiman dan fasilitas penunjang.

(5) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dengan fungsi pelayanan
sebagai pusat pelayanan sosial dan umum, komersial, pariwisata, industri
kecil, pengembangan pertanian, hortikultura, peternakan, perikanan yang
melayani kegiatan skala antar desa, terdiri atas :
a. PPL Mantimin berada di Kecamatan Batumandi;
b. PPL Pudak berada di Kecamatan Awayan;
c. PPL Bihara berada di Kecamatan Awayan;
d. PPL Tabuan berada di Kecamatan Halong;
e. PPL Mauya berada di Kecamatan Halong;
f. PPL Haur Batu berada di Kecamatan Paringin;
g. PPL Gunung Pandau berada di Kecamatan Paringin Selatan;
h. PPL Layap berada di Kecamatan Paringin; dan
i. PPL Bungin berada di Kecamatan Paringin Selatan.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 9

Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. sistem jaringan transportasi darat; dan
b. sistem jaringan transportasi perkereta apian.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 10

(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


huruf a berupa jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi :
a. jaringan jalan dan jembatan;
b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan
c. jaringan layanan lalu lintas.
15

(2) Jaringan jalan dan jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas :
a. jaringan jalan kewenangan Nasional yaitu jaringan jalan arteri primer
(A1), terdiri atas ruas jalan :
1) Desa Hamparaya (Batas Kabupaten Hulu Sungai Tengah) - Batumandi
- Mantimin;
2) Mantimin - Paringin; dan
3) Paringin - Dahai/ Desa Padang Panjang (Batas Kabupaten Tabalong).

b. jaringan jalan kewenangan Provinsi yaitu jaringan jalan kolektor primer


(K1), terdiri atas ruas:
1) Desa Teluk Karya (Batas Kabupaten Hulu Sungai Utara) - Lampihong;
2) Lampihong - Mantimin;
3) Lampihong - Paringin;
4) Paringin Halong; dan
5) Batumandi Lokbatu - Tariwin.

c. jaringan jalan kewenangan Kabupaten terdiri atas :


1. rencana pengembangan jalan kolektor primer (K-1) yang
menghubungkan ibu kota Kabupaten dengan Kecamatan, terdiri atas
ruas jalan :
a. Paringin - Awayan;
b. Awayan - Tebing Tinggi; dan
c. Jalan lingkar barat dan jalan lingkar timur di Kecamatan Paringin
dan Kecamatan Paringin Selatan.

2. rencana pengembangan jalan kolektor sekunder (K-2) yang


menghubungkan antar ibu kota Kecamatan, terdiri atas ruas jalan :
a. Lokbatu (Kecamatan Batumandi)-Muara Jaya (Kecamatan Awayan);
dan
b. Muaraninian-Awayan.

3. rencana pengembangan jalan lokal yang menghubungkan ibukota


Kecamatan dengan pusat Desa serta menghubungkan antar Desa dan
jalan lingkungan sebagaimana tercantum dalam lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

d. jaringan jalan khusus antara lain :


1. jaringan jalan yang melalui Desa Lasung Batu, Desa Sungai Ketapi,
Desa Dahai di Kecamatan Paringin;
2. jaringan jalan pada ruas Uren - Mamantang - Batas Kabupaten Paser
Provinsi Kalimantan Timur;
3. jaringan jalan pada ruas Tundakan Pamurus Balang; dan
4. jaringan jalan pada ruas Handiwin Gunung Riut Puyun Batas
Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
16

e. jaringan jalan strategis Provinsi pada ruas Halong Magalau (Kabupaten


Kotabaru).

(3) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. terminal penumpang; dan
b. terminal barang.

(4) Rencana terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
adalah :
a. terminal penumpang tipe C di Kelurahan Paringin Kota, Kecamatan
Paringin;
b. rencana pengembangan terminal penumpang tipe C di Kelurahan Batu
Piring atau Desa Haur Batu; dan
c. rencana pengembangan sub terminal penumpang di Desa Batumandi,
Desa Halong, Desa Simpang Tiga, Desa Mungkur Uyam, Desa Putat
Basiun, Desa Simpang Nadung.

(5) Rencana pengembangan terminal barang sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) huruf b adalah di Desa Haur Batu, Kecamatan Paringin; dan

(6) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terdiri atas :
a. trayek angkutan perkotaan terdiri atas :
1. dilintasi oleh angkutan umum dalam sistem jaringan pelayanan
angkutan umum kota antar Provinsi (AKAP) berupa trayek
Banjarmasin - Paringin Samarinda, Paringin Halong Paser;
2. dilintasi oleh rute angkutan umum kota dalam Provinsi (AKDP) berupa
trayek Pantai Hambawang - Barabai - Batumandi - Paringin dan
Paringin - Lampihong Amuntai dan Paringin Halong Kotabaru;
3. rencana pengembangan angkutan umum dalam sistem jaringan
pelayanan angkutan umum kota dalam Provinsi (AKDP) yang belum
terlayani berupa trayek Batumandi Mantimin Lampihong -
Amuntai;
4. rencana rute angkutan umum dalam sistem jaringan pelayanan
angkutan umum kota dalam Kabupaten (AKDK) meliputi :
1) trayek Paringin - Juai - Halong;
2) trayek Paringin - Awayan Tebing Tinggi;
3) trayek Batumandi Lok Batu Awayan Tebing Tinggi;
4) trayek Batumandi Lok Batu Awayan Juai Halong;
5) trayek yang melintasi jalan lingkar barat dan lingkar timur yang
diintegrasikan dengan pengembangan terminal angkutan umum.

b. trayek angkutan perdesaan merupakan trayek rintisan yang belum


terlayani oleh trayek Angkutan Umum Kota Antar Provinsi (AKAP),
Angkutan Umum Kota Dalam Provinsi (AKDP) dan Angkutan Umum Kota
Dalam Kabupaten (AKDK).
17

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Perkeretaapian

Pasal 11

(1) Rencana sistem jaringan transportasi perkeretaapian sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 huruf b terdiri atas rencana pembangunan jaringan
prasarana kereta api untuk angkutan barang batas Provinsi Kalimantan
Tengah pada Kabupaten Barito Timur-Kabupaten Tabalong-Kabupaten
Balangan.

(2) Rencana pengembangan terminal/stasiun kereta api pada Desa Mantimin-


Riwa di Kecamatan Batumandi.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 12

(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. sistem jaringan energi;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.

(2) Rencana jaringan prasarana lainnya Kabupaten sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 :
50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi

Pasal 13

(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a


berupa jaringan prasarana energi.

(2) Jaringan prasarana energi yang terkait dengan wilayah Kabupaten Balangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. gardu induk yang melayani kebutuhan listrik di Kabupaten Balangan,
terdiri atas:
1. gardu induk Tanjung di Kabupaten Tabalong yang menyuplai Gardu
Hubung Paringin ; dan
2. rencana pelayanan selanjutnya dari Gardu Induk Amuntai di
Kabupaten Hulu Sungai Utara.
b. jaringan transmisi tenaga listrik Jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) yang menghubungkan gardu induk Amuntai di Kabupaten Hulu
Sungai Utara dan gardu induk Tanjung di Kabupaten Tabalong.

(3) Rencana pengembangan prasarana energi, terdiri atas :


18

a. penambahan daya dan jaringan energi listrik di seluruh Kecamatan;


b. pengembangan sistem distribusi tenaga listrik di Kabupaten Balangan;
c. pembangunan jaringan energi listrik (di kawasan Pegunungan Meratus di
sebagian Kecamatan Halong dan sebagian Kecamatan Tebing Tinggi) dan
d. pengembangan sistem pembangkit listrik skala kecil di Daerah yang
belum terjangkau jaringan listrik di seluruh Kecamatan.

(4) Penyediaan lahan untuk pembangunan prasarana energi dan sistem


jaringan energi disiapkan melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 14

(1) Sistem jaringan telekomunikasi Kabupaten yang terkait dengan wilayah


Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b meliputi:
a. sistem jaringan kabel; dan
b. sistem jaringan nirkabel.

(2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. sistem jaringan kabel terdapat di Kecamatan Paringin, Kecamatan
Paringin Selatan, Kecamatan Juai, dan Kecamatan Batumandi; dan
b. rencana pengembangan jaringan kabel yang meliputi seluruh Kecamatan.

(3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. menara jaringan telekomunikasi terestrial, meliputi Kelurahan Batu
Piring, Kelurahan Paringin Timur, Desa Batumandi, Desa Putat Basiun,
Desa Simpang Tiga, Desa Mungkur Uyam, Desa Halong, Desa Tabukan,
Desa Mauya, Desa Simpang Nadung, Desa Tebing Tinggi, dan Desa
Dayak Pitap;
b. rencana pengembangan menara jaringan telekomunikasi dalam rangka
peningkatan pelayanan dan atau perluasan jaringan telekomunikasi di
seluruh Kecamatan; dan
c. rencana pengembangan jaringan telekomunikasi satelit yang meliputi
seluruh Kecamatan.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 15

(1) Sistem jaringan sumber daya air Kabupaten yang terkait dengan wilayah
kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, terdiri
atas:
a. sungai;
b. cekungan air tanah;
c. jaringan irigasi;
19

d. jaringan air baku untuk air minum; dan


e. sistem pengendalian banjir.

(2) Sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, masuk dalam wilayah
sungai Barito mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.

(3) Pengelolaan sungai dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau


Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi :


a. konservasi sungai;
b. pengembangan sungai; dan
c. pengendalian daya rusak air sungai.

(5) Cekungan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
Cekungan Air Tanah Palangkaraya-Banjarmasin.

(6) Jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. jaringan irigasi yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi berupa
Daerah Irigasi (D.I.) Bendung Pitap di Kecamatan Awayan yang
merupakan penggabungan dari beberapa jaringan irigasi, meliputi :
1) daerah irigasi Paringin;
2) daerah irigasi Putat Basiun;
3) daerah irigasi Lok Batu; dan
4) daerah irigasi Sikuntan.
b. rencana pembangunan Bendung Bihara untuk mengatasi permasalahan
air pada daerah hulu agar pembagian aliran ke daerah hilir dapat terbagi
dengan baik;
c. jaringan irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, terdiri
atas :
1) daerah irigasi Batumandi;
2) daerah irigasi Lok Batu;
3) daerah irigasi Paran;
4) daerah irigasi Suapin; dan
5) daerah irigasi Tundakan.
d. bendung Pitap yang merupakan bendung Nasional dalam jaringan irigasi
Nasional yang meliputi saluran irigasi primer dan sekunder;
e. rencana pengembangan kapasitas jaringan irigasi Provinsi di Bendungan
Balangan;
f. rencana pengembangan daerah irigasi Provinsi berupa daerah irigasi
Bendung Pitap;
g. rencana pengembangan saluran rawa Provinsi di Kecamatan Batumandi;
dan
h. rencana pengembangan daerah rawa di Kecamatan Batumandi dan
daerah rawa Batumandi yang merupakan kewenangan Provinsi.
20

(7) Jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d berupa :
a. rencana pengembangan sumber air baku, meliputi :
1. bendung Pitap, Bendung Bihara; dan
2. sungai Balangan.
b. saluran air baku (SAB) Perusahaan Air Minum di Balangan yang
merupakan Saluran Air Bersih (SAB) Nasional dalam jaringan air bersih
nasional.

(8) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi :
a. pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan bangunan-
bangunan pengendali banjir di seluruh sungai rawan banjir; dan
b. normalisasi sungai-sungai di Kabupaten Balangan.

Paragraf 4
Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan

Pasal 16

(1) Rencana sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12 huruf d terdiri atas :
a. sistem pengelolaan persampahan;
b. sistem jaringan air minum;
c. sistem drainase;
d. sistem jaringan air limbah;
e. jalur evakuasi bencana; dan
f. sistem proteksi kebakaran.

(2) Sistem pengelolaan persampahan yang terkait dalam wilayah Kabupaten


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. rencana pengembangan sistem jaringan prasarana persampahan berupa
Tempat Pemrosesan Akhir Batu Merah di Desa Batu Merah, Kecamatan
Lampihong dengan cakupan pelayanan Kabupaten Balangan;
b. rencana pengembangan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan
dengan pengelolaan sampah menggunakan sistem sanitary landfill atau
minimal dengan sistem control landfill untuk sampah domestik dan
sampah non domestik dan melakukan pemantauan dan evaluasi secara
berkala terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sistem sanitary landfill
dan/atau sistem control landfill serta Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup;
c. rencana pengembangan tempat pembuangan sampah (TPS) diarahkan
untuk diletakkan di pusat-pusat permukiman dan pusat kegiatan di
seluruh kawasan perkotaan di Daerah; dan
d. rencana pengembangan tempat pengolahan sampah dengan konsep 3 R
(reduce, reuse dan recycle) yaitu mengurangi, menggunakan kembali dan
mendaur ulang yang terdapat di seluruh Kecamatan.
21

(3) Sistem jaringan air minum yang terkait dalam wilayah Kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. saluran air bersih Perusahaan Air Minum Balangan yang merupakan
Saluran Air Bersih (SAB) Nasional dalam jaringan air bersih Nasional;
b. rencana jaringan air bersih ke kelompok pengguna berupa rencana
Instalasi Pengolahan Air (IPA) bersih, meliputi :
1) IPA Buntu Pilanduk di Kecamatan Halong;
2) IPA Sungai Batung di Kecamatan Juai;
3) IPA Mantimin di Kecamatan Batumandi;
4) IPA Sungai Balangan di Kecamatan Lampihong;
5) IPA Simpang Nadung di Kecamatan Tebing Tinggi;
6) IPA Awayan di Kecamatan Awayan;
7) IPA Paringin I;
8) IPA Paringin II; dan
9) IPA Paringin III.
c. penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat berupa
penyediaan sarana air bersih meliputi sumur bor, sumur gali dan hidran
umum di seluruh Kecamatan.

(4) Sistem drainase yang terkait dalam wilayah Kabupaten sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :
a. redesain sistem drainase primer sepanjang jalan arteri di Kabupaten
Balangan;
b. pengembangan sistem jaringan drainase sekunder pada setiap sisi jalan
yang dialiri dan disesuaikan dengan topografinya;
c. pembuatan sistem saluran drainase tersier yang pengembangannya
saling terintegrasi dan terpadu dengan sistem jaringan drainase
wilayahnya;
d. pengembangan sistem perencanaan drainase yang terpadu dengan
pengaturan dan pengelolaan sungai; dan
e. pemeliharaan saluran drainase secara berkala.

(5) Sistem jaringan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
terdiri atas:
a. pengolahan limbah B3 dengan sistem pengolahan limbah terpadu dengan
menggunakan sistem sanitasi setempat (on site) yang dilengkapi dengan
tangki septik dan sistem pembuangan air limbah terpusat dan
pengorganisasian (off site) bagi pengelola kawasan industri dan pusat
kegiatan perdagangan dengan kapasitas yang besar;
b. pengolahan limbah B3 dari pertambangan cair ditampung dalam kolam
pengendap limbah, pembuangan limbah cair tersebut setelah melalui
proses pengolahan dan telah memenuhi standar mutu yang di tetapkan
harus memperhatikan daya dukung beban pencemar pada media
penerima limbah serta bisa dimanfaatkan kembali; dan
c. kewajiban pengolahan limbah untuk rumah tangga, industri kecil dan
industri sedang dengan menggunakan sistem sanitasi setempat (on site)
yang dilengkapi dengan tangki septik.
22

(6) Rencana jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e terdiri atas :
a. jalur evakuasi bencana banjir yakni pada jalur utama pada kawasan
rawan bencana banjir berada di Kecamatan Paringin, Kecamatan Paringin
Selatan,Kecamatan Halong, Kecamatan Juai, Kecamatan Batumandi, dan
Kecamatan Lampihong menuju ke ruang terbuka hijau dan fasilitas
umum terdekat yang dipergunakan untuk pengungsian sementara; dan
b. jalur evakuasi bencana longsor yakni jalur utama pada kawasan rawan
bencana longsor di Kecamatan Halong, Kecamatan Tebing Tinggi,
Kecamatan Juai, Kecamatan Paringin dan Kecamatan Awayan menuju
fasilitas umum yang bisa dijadikan tempat pengungsian sementara.

(7) Rencana sistem proteksi kabakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f meliputi penyediaan fasilitas proteksi kebakaran meliputi penyediaan
sumber air untuk pemadaman kebakaran, pompa pemadam kebakaran,
sistem perpipaan pemadam kebakaran pada bangunan gedung, fasilitas dan
lingkungan permukiman yang berpotensi terjadi kebakaran.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 17

(1) Rencana pola ruang wilayah terdiri atas:


a. rencana kawasan lindung; dan
b. rencana kawasan budidaya.

(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 18

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a terdiri
atas :
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan rawan bencana alam; dan
d. kawasan lindung geologi.
23

Paragraf 1
Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan di Bawahnya

Pasal 19

(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a adalah kawasan hutan
lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luas kurang
lebih 60.313 (enam puluh ribu tiga ratus tiga belas) hektar.

(2) Luas kawasan hutan lindung pada setiap kecamatan adalah :


a. kawasan hutan lindung di Kecamatan Tebing Tinggi adalah seluas
kurang lebih 14.718 (empat belas ribu tujuh ratus delapan belas) hektar;
dan
b. kawasan hutan lindung di Kecamatan Halong adalah seluas kurang
lebih 45.595 (empat puluh lima ribu lima ratus sembilan puluh lima)
hektar.

Paragraf 2
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 20

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18


huruf b terdiri atas:
a. kawasan sempadan sungai;
b. kawasan sempadan danau;
c. kawasan sempadan bendung; dan
d. ruang terbuka hijau kota.

(2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. sempadan sungai besar dengan luas kurang lebih 2.946 (dua ribu
sembilan ratus empat puluh enam) hektar meliputi Sungai Pitap dan
Sungai Balangan; dan
b. sempadan sungai kecil dengan luas kurang lebih 8.195 (delapan ribu
seratus sembilan puluh lima) hektar meliputi Sungai Mantuyan, Sungai
Tabuan, Sungai Galumbang, Sungai Halong, Sungai Uren, Sungai
Ninian, Sungai Jauk, Sungai Batumandi, Sungai Lokbatu dan Sungai
Juai baik yang mengalir di kawasan perkotaan maupun di luar kawasan
perkotaan.

(3) Kawasan sempadan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
direncanakan sebesar kurang lebih 59 (lima puluh sembilan) hektar di
Danau Baruh Bahinu Dalam di Kecamatan Paringin Selatan.

(4) Kawasan sempadan bendung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
direncanakan sebesar kurang lebih 6 (enam) hektar di Bendung Pitap di
Kecamatan Awayan.
24

(5) Kawasan ruang terbuka hijau (RTH) kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d direncanakan sebagai RTH seluas 30 % (tiga puluh persen) dari
luas kawasan perkotaan.

Paragraf 3
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 21

(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf
c terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor; dan
b. kawasan rawan banjir.

(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi kawasan rawan tanah longsor di Kecamatan Halong dengan luas
kurang lebih 347 (tiga ratus empat puluh tujuh) hektar, Kecamatan Tebing
Tinggi dengan luas kurang lebih 176 (seratus tujuh puluh enam) hektar,
Kecamatan Juai dengan luas kurang lebih 1 (satu) hektar, Kecamatan
Paringin Selatan kurang lebih 55 (lima puluh lima) hektar dan Kecamatan
Awayan dengan luas kurang lebih 26 (dua puluh enam) hektar, maka total
luas kawasan rawan longsor kurang lebih 605 (enam ratus lima) hektar.

(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi kawasan rawan banjir di Kecamatan Paringin kurang lebih 572
(lima ratus tujuh puluh dua) hektar, Kecamatan Paringan Selatan kurang
lebih 396 (tiga ratus sembilan puluh enam) hektar, Kecamatan Halong
kurang lebih 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hektar, Kecamatan Juai
kurang lebih 705 (tujuh ratus lima) hektar, Kecamatan Batumandi kurang
lebih 1.703 (seribu tujuh ratus tiga) hektar dan Kecamatan Lampihong
kurang lebih 1.323 (seribu tiga ratus dua puluh tiga) hektar, maka luas
total kawasan rawan banjir kurang lebih 4.876 (empat ribu delapan ratus
tujuh puluh enam) hektar.

Paragraf 4
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 22

Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d,
berupa kawasan yang memiliki keunikan batuan dan fosil, serta memiliki
keunikan bentang alam dan memberikan perlindungan terhadap air tanah yang
merupakan pegunungan karst pada lapisan atasnya dan berada di sebagian
Kecamatan Halong dan sebagian Kecamatan Tebing Tinggi.

Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya

Pasal 23

Kawasan budidaya Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)


huruf b terdiri atas:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
25

c. kawasan peruntukan perikanan;


d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 24

(1) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 23 huruf a adalah kawasan hutan produksi tetap seluas kurang lebih
23.899 (dua puluh tiga ribu delapan ratus sembilan puluh sembilan) hektar,
tersebar di Kecamatan Halong, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Paringin,
Kecamatan Juai dan Kecamatan Awayan.

(2) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap di Kecamatan Tebing Tinggi


adalah seluas kurang lebih 6.617 (enam ribu enam ratus tujuh belas) hektar.

(3) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap di Kecamatan Paringin adalah


seluas kurang lebih 1.012 (seribu dua belas) hektar.

(4) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap di Kecamatan Juai adalah seluas
kurang lebih 1.131 (seribu seratus tiga puluh satu) hektar.

(5) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap di Kecamatan Halong adalah


seluas kurang lebih 15.083 (lima belas ribu delapan puluh tiga) hektar.

(6) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap di Kecamatan Awayan adalah


seluas kurang lebih 56 (lima puluh enam) hektar.

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 25

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf b seluas kurang lebih 80.372 (delapan puluh ribu tiga ratus tujuh
puluh dua) hektar, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan hortikultura;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.

(2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a adalah seluas kurang lebih 32.715 (tiga puluh dua
ribu tujuh ratus lima belas) hektar, sebagian besar terdapat di Kecamatan
Batumandi, dan sebagian lainnya tersebar di Kecamatan
26

Lampihong, Kecamatan Awayan, Kecamatan Paringin, Kecamatan Paringin


Selatan, Kecamatan Juai, Kecamatan Halong dan Kecamatan Tebing Tinggi.

(3) Kawasan peruntukan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b adalah seluas kurang lebih 10.262 (sepuluh ribu dua ratus
enam puluh dua) hektar tersebar diseluruh Kecamatan di wilayah
Kabupaten.

(4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf c adalah sebesar kurang lebih 37.395 (tiga puluh tujuh ribu tiga ratus
sembilan puluh lima) hektar terdiri atas :
a. kawasan perkebunan karet, sebagian besar terdapat di Kecamatan
Paringin, Kecamatan Paringin Selatan, Kecamatan Awayan, Kecamatan
Halong, Kecamatan Juai dan Kecamatan Tebing Tinggi;
b. kawasan perkebunan kelapa sawit, terdapat di Desa Tigarun Kecamatan
Juai dan Desa Lamida, Desa Paran, Desa Babayau, Desa Lok Batung,
Desa Dahai di Kecamatan Paringin;
c. rencana pengembangan kawasan perkebunan besar swasta dan
perkebunan besar pemerintah yang pada umumnya membentuk sentra
komoditas kelapa sawit dan karet; dan
d. rencana pengembangan kawasan perkebunan rakyat yang pada
umumnya membentuk sentra komoditas karet, kelapa, kelapa sawit dan
kopi dari hasil perkebunan swadaya dan pola kemitraan dengan
perkebunan besar swasta.

(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf d tersebar di beberapa Kecamatan meliputi :
a. rencana kawasan pengembangan peternakan sapi di Kecamatan
Paringin, Kecamatan Awayan, Kecamatan Lampihong dan Kecamatan
Batumandi;
b. rencana kawasan pengembangan peternakan ayam buras di Kecamatan
Awayan dan Kecamatan Juai;
c. rencana kawasan pengembangan peternakan ayam ras di Kecamatan
Paringin dan Kecamatan Lampihong;
d. rencana kawasan pengembangan peternakan itik di Kecamatan
Lampihong dan Kecamatan Batumandi;
e. kawasan peruntukan peternakan menunjang kawasan agropolitan
Kabupaten Balangan yang mencakup empat kecamatan yaitu
Kecamatan Paringin, Kecamatan Halong, Kecamatan Juai dan
Kecamatan Batumandi;
f. rencana pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) di Kecamatan
Batumandi dan Rumah Potong Unggas (RPU) di Kecamatan Paringin;
dan
g. rencana pengembangan integrasi peternakan dan perkebunan di
Kabupaten Balangan.
27

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perikanan

Pasal 26

(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf c terdiri atas :
a. kegiatan perikanan budidaya di Kawasan Desa Wisata Baruh Bahinu
dan Kawasan Wisata dan Budidaya Terpadu Paringin ; dan
b. kegiatan perikanan budidaya juga terdapat pada rencana pengembangan
Balai Benih Ikan Lokal Gunung Manau komoditi ikan lokal dengan luas
sebesar kurang lebih 1,4 (satu koma empat) hektar.

(2) Kegiatan perikanan juga dikembangkan di sepanjang sungai Balangan,


pengembangan perikanan terdapat pada sungai-sungai alam dan sistem
tumpangsari tanaman karet dan kolam ikan.

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 27

(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf d terdiri atas :
a. pertambangan mineral dan batubara; dan
b. pertambangan minyak dan gas bumi.

(2) Kegiatan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi :
a. potensi pertambangan batubara dapat di usahakan pada kawasan
peruntukan pertambangan, yang direncanakan seluas kurang lebih
77.455 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh lima) hektar yang
terdapat di seluruh Kecamatan di Kabupaten Balangan;
b. potensi pertambangan mineral dapat di usahakan pada kawasan
peruntukan pertambangan, meliputi seluruh Kecamatan di Kabupaten
Balangan; dan
c. pertambangan bahan galian bukan logam dan galian berupa batu
kapur/batu gamping, kaolin, batu pasir, pasir kwarsa, kerikil dan
lempung dapat di usahakan pada kawasan peruntukan pertambangan
meliputi seluruh Kecamatan di Kabupaten Balangan.

(3) Kegiatan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. pertambangan minyak dan gas bumi; dan
b. pengembangan pertambangan minyak dan gas bumi.

(4) Kegiatan pertambangan dapat dilaksanakan berdasarkan daya dukung,


kesesuaian lahan dan analisa lingkungan, untuk yang berada di kawasan
hutan, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai
kehutanan.
28

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 28

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf


e yaitu industri pengolahan hasil pertanian dan perkebunan, industri
perbengkelan dan pergudangan, industri kerajinan terdiri atas:
a. industri besar;
b. industri sedang; dan
c. industri kecil.

(2) Industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di
Kecamatan Paringin, Kecamatan Paringin Selatan, Kecamatan Lampihong,
Kecamatan Batumandi dan Kecamatan Awayan.

(3) Industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di
Kecamatan Lampihong, Kecamatan Batumandi dan di Kecamatan Paringin
Selatan.

(4) Industri kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa industri
rumah tangga hasil pertanian dan kehutanan, meliputi :
a. industri pangan gula merah di Kecamatan Lampihong;
b. industri pangan sirup di Kecamatan Batumandi;
c. industri pangan mandai tiwadak di Kecamatan Batumandi;
d. industri pangan kerupuk dan sejenisnya di Kecamatan Juai;
e. industri bahan bangunan Batu Bata (Tanah Liat) di Kecamatan Paringin;
f. industri bahan bangunan Batako di Kecamatan Batumandi;
g. industri ukiran kayu di Kecamatan Batumandi; dan
h. Industri anyaman bamban di Kecamatan Lampihong.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 29

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf f, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan pariwisata budaya; dan
b. kawasan peruntukan pariwisata alam.

(2) Kegiatan Pariwisata Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdapat pada :
a. pusat wisata religius Makam Datuk Kandang Haji di Kecamatan Juai;
b. pusat sejarah Benteng Tundakan di Kecamatan Awayan;
c. pusat budaya Dayak Pitap di Kecamatan Tebing Tinggi; dan
d. pusat budaya Halong di Kecamatan Halong.
29

(3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas :
a. kawasan konservasi perairan (danau) Baruh Bahinu;
b. kawasan Desa Wisata Danau Baruh Bahinu seluas kurang lebih 295 (dua
ratus sembilan puluh lima) hektar;
c. kawasan budidaya dan pariwisata alam; dan
d. kawasan peruntukan pariwisata buatan.

(4) Rencana pengembangan kegiatan ekowisata pada kawasan hutan lindung


pegunungan meratus dan pariwisata budaya di Kecamatan Tebing Tinggi
dan Kecamatan Halong.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 30

(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf g seluas kurang lebih 5.947 (lima ribu sembilan ratus empat puluh
tujuh) hektar, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan.

(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a sebesar kurang lebih 1.431 (seribu empat ratus tiga puluh
satu) hektar, terdiri atas:
a. kawasan perkotaan paringin; dan
b. kawasan kota agropolitan batumandi.

(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b seluas kurang lebih 4.516 (empat ribu lima ratus enam
belas) hektar, meliputi kawasan permukiman di pusat ibukota Kecamatan
lainnya dan wilayah perdesaannya.

(4) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan juga termasuk kawasan


peruntukan rencana pengembangan kawasan transmigrasi Batumandi,
transmigrasi Lampihong, transmigrasi Halong dan kawasan transmigrasi
Juai.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 31

Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf h


adalah kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan terdiri atas :
a. Kepolisian Resort (Polres) Balangan di Kecamatan Paringin Selatan;
b. Kepolisian Sektor (Polsek) di masing-masing Kecamatan di wilayah
Kabupaten; dan
c. Komando Rayon Militer (Koramil) di masing-masing Kecamatan di wilayah
Kabupaten.
30

BAB VI
KAWASAN STRATEGIS

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 32

(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten berupa kawasan strategis


Kabupaten.

(2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat


ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(3) Untuk operasionalisasi RTRW Kabupaten disusun rencana rinci tata ruang
berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten dan Rencana
Detail Tata Ruang Kabupaten.

(4) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten dan Rencana Detail Tata
Ruang Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah tersendiri.

Pasal 33

(1) Kawasan strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat


(1), terdiri atas :
a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial
budaya; dan
c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup.

(2) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas :
a. kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang merupakan bagian dari
pertanian tanaman pangan dan hortikultura meliputi Kecamatan
Paringin, Kecamatan Paringin Selatan, Kecamatan Batumandi,
Kecamatan Lampihong, Kecamatan Juai dan Kecamatan Awayan;
b. lahan yang dicadangkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan
tersebar di wilayah kabupaten Balangan yang juga merupakan bagian
dari pertanian tanaman pangan dan hortikultura; dan
c. kawasan agropolitan meliputi :
1. kota tani utama Paringin dengan desa pusat pertumbuhan Kota
Paringin meliputi Kelurahan Paringin Kota, Kelurahan Paringin
Timur, Desa Teluk Keramat, Desa Haur Batu dan Desa Gunung
Pandau; dan
2. kota tani Batumandi dengan desa pertumbuhan Batumandi meliputi
Desa Timbun Tulang, Desa Teluk Mesjid, Desa Batumandi, Desa
Bungur, Desa Riwa, Desa Mantimin, Desa Kasai dan Desa Guha.

(3) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :
31

a. kawasan komunitas Adat Dayak Pitap dan Adat Halong yang meliputi
Dayak Balangan dan Dayak Tabalong;
b. kawasan pusat Pemerintahan Kabupaten di Kelurahan Batu Piring;
c. pusat kegiatan keagamaan (Islamic Center) Balangan di Batu Piring
Kecamatan Paringin Selatan, Pondok Pesantren Nurul Muhibbin di Desa
Mantimin Kecamatan Batumandi;
d. pusat kegiatan wisata religius Makam Datuk Kandang Haji di Desa Teluk
Bayur di Kecamatan Juai; dan
e. kawasan Desa Wisata Danau Baruh Bahinu di Desa Murung Abuin, Desa
Baruh Bahinu Dalam, Desa Binjai, dan Desa Telaga Purun.

(4) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c terdiri atas :
a. kawasan ekowisata hutan lindung pegunungan meratus di Desa Dayak
Pitap, Desa Binuang Santang, Desa Marajai, Desa Uren, Desa
Mamantang, Desa Kapul, Desa Aniungan, Desa Liyu, Desa Gunung Riut,
Desa Sumsum, Desa Auh dan Desa Mayanau; dan
b. kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangan.

BAB VII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Pasal 34

(1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten berpedoman pada rencana struktur


ruang dan pola ruang.

(2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan


dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang.

(3) Pendanaan untuk merealisasikan program pemanfaatan ruang dalam


rangka perwujudan rencana struktur ruang dan perwujudan rencana pola
ruang dialokasikan dari sumber dana anggaran Pemerintah, Pemerintah
Daerah (Provinsi/Kabupaten) serta dari dana investasi perorangan dan
masyarakat (swasta/investor) maupun dana yang dibiayai bersama baik
antar Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi, antar Pemerintah dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota maupun antara swasta/investor dengan
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, serta dana lain-lain dari
penerimaan yang sah.

(4) Pengelolaan, penggunaan, dan bentuk-bentuk kerjasama pendanaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 35
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
disusun berdasarkan indikasi program pembangunan yang memiliki jangka
waktu pelaksanaan selama 20 (dua puluh) tahun dengan indikasi program
utama lima tahunan yang ditetapkan dalam lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
32

(2) Indikasi program perwujudan rencana struktur ruang mencakup program


pembangunan prasarana dan sarana untuk mendorong pengembangan
pusat-pusat kegiatan yang akan dikembangkan.
(3) Indikasi program perwujudan rencana pola ruang mencakup progam
pembangunan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

BAB VIII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 36

(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten menjadi


acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.

(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 37

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36


ayat (2) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh
Pemerintah Kabupaten.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem
prasarana Nasional dan wilayah; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis Kabupaten.

(3) Ketentuan Umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar danau atau waduk;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan bendung irigasi;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau;
33

g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam; dan


h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan.
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman; dan
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem nasional
dan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat-pusat kegiatan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi;
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana telekomunikasi;
e. ketentuan umum peraturan zonasi sitem jaringan sumberdaya air; dan
f. ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis Kabupaten


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian berkelanjutan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan kota tani agropolitan;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan komunitas adat Dayak
Pitap dan Adat Halong;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pusat Pemerintahan
Kabupaten;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pusat kegiatan keagamaan;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan wisata religius Makam
Datuk Kandang Haji;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan wisata danau Baruh
Bahinu;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ekowisata hutan lindung
pegunungan meratus; dan
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis Daerah Aliran
Sungai (DAS) Balangan.
34

Paragraf 1
Ketentuan umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung

Pasal 38

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan
lain yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung;
b. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan
sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan syarat harus
dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali
berfungsi sebagai kawasan lindung;
c. penggunaan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat
dikenakan sanksi;
d. kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan sepanjang mengikuti
prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan;
e. permukiman yang sudah berada di kawasan hutan lindung tidak
diperkenankan merusak dan mengganggu fungsi hutan lindung serta
daya dukung lingkungan; dan
f. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung
dapat diperkenankan dengan ketentuan :
1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
2) mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. kawasan resapan air pada kawasan lindung tidak diperkenankan adanya
konstruksi bangunan yang menghalangi dan memperlambat proses aliran
resapan air kecuali untuk kegiatan penelitian, bangunan pengendali air,
sistem peringatan dini dan untuk kepentingan umum;
b. permukiman yang sudah dibangun di dalam kawasan resapan air
sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan
namun harus memenuhi syarat :
1) tingkat kerapatan bangunan rendah (Koefisien Dasar Bangunan
maksimum 20% dan Koefisien Luas Bangunan maksimum 40%);
2) perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya
serap air tinggi; dan
3) dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan
sesuai ketentuan yang berlaku.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan
kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai;
b. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun
prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan :
35

1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang


budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. permukiman yang sudah dibangun di dalam kawasan sempadan sungai
sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan
namun harus memenuhi syarat :
1) tingkat kerapatan bangunan rendah (Koefisien Dasar Bangunan
maksimum 20% dan Koefisien Luas Bangunan maksimum 40%);
2) tidak menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah dan
sampah; dan
3) pengerasan permukaan bangunan tidak menggunakan bahan yang
merusak fungsi sempadan sungai.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan danau atau waduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d, ditetapkan sebagai
berikut :
a. dalam kawasan sempadan waduk/danau tidak diperkenankan dilakukan
kegiatan budidaya yang dapat merusak fungsi danau/waduk;
b. dalam kawasan sempadan waduk/danau diperkenankan dilakukan
kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku;
c. dalam kawasan waduk/danau masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah dan utilitas lainnya sepanjang :
1) tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut; dan
2) pembangunannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang
berlaku.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan bendung irigasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf e, ditetapkan sebagai
berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/ pemanfaatan air;
c. dalam kawasan sempadan bendung irigasi tidak diperkenankan
dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak daerah irigasi;
d. dalam kawasan sempadan bendung irigasi dibangun jalan inspeksi dan
masih diperkenankan dibangun prasarana irigasi;
e. dalam kawasan sempadan bendung irigasi masih diperkenankan
dilakukan kegiatan penunjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
dan
f. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf f, disusun dengan
memperhatikan:
a. kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan;
36

b. dalam kawasan ruang terbuka hijau masih diperkenankan dibangun


fasilitas pelayanan sosial secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang
berlaku; dan
c. penyediaan minimal ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan paling
sedikit 30 % (tiga puluh persen) dari luas wilayah kota.

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf g, ditetapkan sebagai
berikut :
a. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam
kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan
bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam,
serta dilengkapi jalur evakuasi;
b. kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada
kawasan rawan bencana;
c. pengembangan manajemen informasi upaya pencegahan dan
pemasangan sitem peringatan dini (early warning system);
d. pengalokasi ruang dan jalur evakuasi bencana banjir dan longsor pada
daerah-daerah aman di sekitar kawasan rawan bencana banjir dan
longsor yang selanjutnya diatur dalam rencana rinci tata ruang;
e. dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan
prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan
pemasangan sistem peringatan dini (early warning system); dan
f. dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya
kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan,
serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul
akibat bencana alam.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
a. pada kawasan cagar alam geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan
budidaya permukiman;
b. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan
rawan bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building
code) yang sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul
dan dibangun jalur evakuasi;
c. pada kawasan bencana alam geologi budidaya permukiman dibatasi dan
bangunan yang ada harus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan
rawan bencana alam geologi;
d. pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak
diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait
dengan sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air;
e. dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah
masih diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan
secara terbatas; dan
f. pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya
pertanian, perkebunan dan kehutanan.
37

Paragraf 2
Ketentuan umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya

Pasal 39

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan
budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan
prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya
hutan produksi;
b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan dapat
dialihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan setelah potensi
hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan-
undangan;
c. kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan
menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam;
d. sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan, wajib
dilakukan studi kelayakan dan studi dampak lingkungan yang hasilnya
disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
e. kawasan hutan produksi untuk kepentingan pertambangan
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. penggunaan kawasan hutan produksi untuk kepentingan pertambangan
terbuka harus dilakukan dengan ketentuan khusus dan secara selektif.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan dan hortikultura tidak
diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan
kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang tidak
memperhatikan aspek konservasi;
b. dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan tidak diperkenankan
pemborosan penggunaan sumber air;
c. peruntukan budidaya pertanian pangan tanaman pangan dan pertanian
hortikultura diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan
prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan
pertanian;
e. dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan
wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan;
f. kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung;
g. dalam hal kepentingan umum lahan pertanian pangan berkelanjutan
dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-
undangan; dan
h. membatasi pemanfaatan/penggunaan lahan pertanian tanaman pangan
dan hortikultura sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, produksi dan
produktivitas untuk menjadi fungsi sektor non pertanian lainnya
38

sepanjang jalan arteri primer (jalan nasional) dan kolektor primer (jalan
provinsi) paling tinggi 750 (tujuh ratus lima puluh) meter dari as jalan.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. perkebunan rakyat dapat diusahakan pada kawasan budidaya pertanian.
b. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan
penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam
jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di wilayah
hulu/kawasan resapan air;
c. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis
tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
d. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat
diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan
perkebunan dan jaringan prasarana wilayah;
e. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan
sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk
dilakukan studi kelayakan dan studi dampak lingkungan yang hasilnya
disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; dan
g. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perikanan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf d disusun dengan memperhatikan:
a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan
kawasan yang bersifat polutif;
b. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain
yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem
jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
c. alih fungsi kawasan perikanan untuk menjadi fungsi sektor pertanian
lainnya dapat diperkenankan sepanjang tidak mengganggu luasan,
sebaran, produksi dan produktivitas komoditas perikanan; dan
d. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan
wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf e, ditetapkan sebagai
berikut :
a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan di sekitar instalasi dan
peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya
dengan memperhatikan kepentingan wilayah sekitarnya;
b. tidak diperbolehkan kegiatan penambangan terbuka di dalam kawasan
lindung;
c. tidak diperbolehkan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana
dengan tingkat kerentanan tinggi;
d. tidak diperbolehkan penambangan yang menimbulkan kerusakan
lingkungan;
39

e. tidak diperbolehkan kegiatan penambangan diluar kawasan


pertambangan;
f. diperbolehkan pengembangan kegiatan permukiman perdesaan dengan
syarat mematuhi ketentuan mengenai radius minimum terhadap
kawasan pertambangan; dan
g. tidak diperbolehkan kegiatan pertambangan pada lokasi penggalian yang
memiliki lereng curam dan kurang stabil.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan industri sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf f, disusun dengan memperhatikan:
a. untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan
pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis;
b. lokasi kawasan industri besar tidak diperkenankan berbatasan langsung
dengan kawasan permukiman;
c. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman, sarana dan
prasarana penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan;
d. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau
(greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan dan sarana
pengolahan limbah;
e. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri
atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road (jalur lambat) untuk
kelancaran aksesibilitas;
f. limbah industri dilarang dibuang di perairan atau dipendam di dalam
tanah secara langsung tanpa melalui proses pengolahan limbah terlebih
dahulu, instalasi pengolahan limbah mutlak harus ada;
g. setiap industri baru harus berada di kawasan industri; dan
h. sebelum kegiatan industri dilakukan diwajibkan untuk melakukan studi
dampak lingkungan sesuai besaran usaha dan/atau kegiatan.

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf g, ditetapkan sebagai berikut :
a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi
obyek wisata alam;
b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri
yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata;
c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana
yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan
pendidikan;
e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan
lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan
f. pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi dampak
lingkungan.
40

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf h, ditetapkan sebagai berikut :
a. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana
pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan
peraturan yang berlaku;
c. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk
Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan;
e. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan
industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan
skala pelayanan lingkungan;
f. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan
lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
g. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan
kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan
kehidupan sosial masyarakat;
h. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
i. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman
harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang
berlaku (Koefisien Dasar Bangunan maksimum sebesar 70 %, Koefisien
Luas Bangunan maksimum sebesar 2.1 3.1, KDH minimal 30 % dari
keseluruhan luas lahan perumahan, dan lain sebagainya); dan
j. pengaturan kawasan sempadan sungai di dalam kawasan permukiman
perkotaan adalah paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf i yaitu pemanfaatan
kawasan peruntukan lain dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu
fungsi utama kawasan yang bersangkutan dan setelah adanya kajian
komprehensif.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan
Sekitar Sistem Nasional Dan Wilayah

Pasal 40

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat-pusat kegiatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf a, ditetapkan sebagai
berikut :
a. fungsi dan peranan perkotaan yang bersangkutan;
b. karakteristik fisik perkotaan dan sosial budaya masyarakatnya;
c. standar teknik perencanaan yang berlaku;
41

d. Pemerintah Daerah tidak diperkenankan merubah sistem perkotaan yang


telah ditetapkan pada sistem Nasional dan Provinsi, kecuali atas usulan
Pemerintah Daerah dan disepakati bersama; dan
e. Pemerintah Daerah wajib memelihara dan mengamankan sistem
perkotaan Nasional dan Provinsi yang ada di Daerah.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf b terdiri atas :
a. sistem jaringan transportasi darat dengan ketentuan sebagai berikut:
1. di sepanjang sistem jaringan jalan Nasional dan Provinsi tidak
diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan
lalu lintas regional;
2. di sepanjang sistem jaringan jalan Nasional dan Provinsi tidak
diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan;
3. bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan Nasional dan Provinsi
harus memilki sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan
setengah rumija +1;
4. lokasi terminal penumpang tipe A dan B diarahkan sebagai
perpaduan antar moda yang sangat mempertimbangkan aksesibilitas
dan mengacu pada peraturan perundangan-undangan;
5. pengembangan jaringan pelayanan angkutan orang harus
berdasarkan kepada Sistem Angkutan Umum Masal (SAUM) serta
mempertimbangkan tingkat keselamatan jalan; dan
6. setiap pengembangan kawasan yang dapat mengadakan/
membangkitkan perjalanan harus membuat dokumen analisis
dampak lalu lintas.

b. Sistem jaringan transportasi perkeretaapian dengan ketentuan sebagai


berikut :
1. pembatasan pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur
kereta api untuk tingkat intensitas menengah hingga tinggi;
2. pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang
dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan
transportasi perkeretaapian;
3. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak
lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;
4. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta
api dan jalan;
5. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api
dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan
pengembangan jaringan jalur kereta api;
6. diperbolehkan untuk peningkatan pelayanan sarana dan prasarana
stasiun kereta api; dan
7. pelarangan terhadap pemanfaatan ruang didalam lingkungan kerja
stasiun kereta api.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf c, ditetapkan bahwa
pada ruang yang berada di bawah Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT)
42

tidak diperkenankan adanya bangunan permukiman, kecuali berada di kiri-


kanan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET) sesuai ketentuan yang berlaku.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana


telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf d,
ditetapkan sebagai berikut :
a. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-
sama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider);
b. jarak aman menera telekomunikasi terhadap jalan dan bangunan
disekitarnya mengikuti petunjuk teknis yang berlaku.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf e, ditetapkan sebagai
berikut :
a. rehabilitasi, pemeliharaaan, dan peningkatan jaringan irigasi yang ada;
b. pengembangan Daerah Irigasi (DI) pada seluruh daerah potensial yang
memiliki lahan pertanian yang ditujukan untuk mendukung ketahanan
pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan;
c. rencana pengembangan jaringan sumber air baku mengutamakan air
permukaan dengan prinsip keterpaduan air tanah;
d. sistem penyediaan air minum (SPAM) di Kabupaten dipadukan dengan
sistem jaringan sumber daya air untuk menjamin ketersediaan air baku;
e. prasarana jaringan air minum meliputi intake air baku, jaringan
perpipaan air minum, saluran perpipaan air baku, dan instalasi
pengolahan air minum yang dikembangkan pada lokasi air baku
potensial serta pusat-pusat permukiman di seluruh Kecamatan; dan
f. pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan sarana dan
prasarana pengelolaan air baku untuk air minum.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf f, ditetapkan sebagai
berikut:
a. tempat pembuangan akhir tidak diperkenankan terletak berdekatan
dengan kawasan permukiman;
b. lokasi tempat pembuangan akhir harus didukung oleh studi dampak
lingkungan yang telah disepakati oleh instansi yang berwenang;
c. pengelolaan sampah dalam tempat pembuangan akhir dilakukan dengan
sistem sanitary landfill sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;
d. dalam lingkungan tempat pembuangan akhir disediakan prasarana
penunjang pengelolaan sampah;
e. radius tempat pembuangan akhir dengan kawasan budidaya minimal
800 meter;
f. direncanakan secara rutin dan berkala pemeliharaan sistem jaringan
drainase primer dan sekunder;
g. penggunaan tangki septik dan peresapan dilakukan dengan
memperhatikan desain peresapan;
h. diarahkan agar pengelolaan limbah di permukiman penduduk dilakukan
secara mandiri dan komunal;
43

i. sebaiknya penggunaan sistem pembuangan secara komunal di bangunan


kegiatan fasilitas umum;
j. pengelolaan limbah di bangunan rumah sakit sebaiknya dilakukan
secara khusus; dan
k. sistem pengolahan air limbah dari kawasan pertambangan batubara
sebaiknya adalah dengan pengendapan melalui proses kimia dan
gravitasi di media kolam penampungan.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 41

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis pertanian


pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf
a adalah :
a. penetapan kawasan strategis pertanian pangan berkelanjutan meliputi
meliputi Kecamatan Paringin, Kecamatan Paringin Selatan, Kecamatan
Batumandi, Kecamatan Lampihong, Kecamatan Juai dan Kecamatan
Awayan;
b. dapat ditunjuk dan dikembangkan sentra-sentra pertanian tanaman
pangan yang ditunjang perkebunan karet, palawija, ternak itik, dan
ayam ras;
c. diperbolehkan kegiatan budidaya yang sifatnya mendukung fungsi
kawasan strategis pertanian berkelanjutan;
d. dilakukan pembatasan terhadap kegiatan area transmigrasi sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan;
e. dapat dikembangkan sarana dan prasarana produksi, pemasaran dan
jaringan transportasi yang memadai untuk mendukung pemasaran hasil-
hasil pertanian tanaman pangan;
f. dapat dikembangkan sarana dan prasarana transportasi berupa terminal
untuk mendorong pertumbuhan kawasan;
g. wajib menyediakan sarana dan prasarana lingkungan sesuai ketentuan
Perundang-Undangan; dan
h. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis kota tani
agropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf b adalah:
a. penetapan kawasan strategis kota tani agropolitan meliputi kota tani
utama Paringin dengan Desa pusat pertumbuhan Kota Paringin
(Kelurahan Paringin Kota, Kelurahan Paringin Timur, Desa Teluk
Keramat, Desa Haur Batu dan Desa Gunung Pandau) dan kota tani
Batumandi dengan desa pertumbuhan Batumandi (Desa Timbun Tulang,
Desa Teluk Mesjid, Desa Batumandi, Desa Bungur, Desa Riwa, Desa
Mantimin, Desa Kasai dan Desa Guha);
b. dapat ditetapkan daerah-daerah sentra produksi pertanian hortikultura
dan palawija;
44

c. dapat dikembangkan sarana dan prasarana produksi, pemasaran dan


jaringan transportasi yang memadai untuk mendukung pemasaran hasil-
hasil pertanian tanaman pangan;
d. dapat dikembangkan sarana dan prasarana transportasi berupa terminal
agribisnis untuk mendorong pertumbuhan kawasan;
e. wajib menyediakan sarana dan prasarana lingkungan dasar pendukung
kota agropolitan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis Komunitas


Adat Dayak Pitap dan Adat Halong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (6) huruf c adalah :
a. diperbolehkan adanya kegiatan budidaya yang mampu menjaga
kelestarian dan keaslian Komunitas Adat Dayak Pitap dan Adat Halong;
b. wajib menyediakan sarana dan prasarana lingkungan permukiman
Komunitas Adat Dayak Pitap dan Adat Halong;
c. wajib menyediakan jalan akses menuju kawasan Adat Dayak Pitap dan
Halong demi menunjang pertumbuhan ekonomi;
d. wajib melestarikan tradisi dan ritual adat Dayak Pitap dan Halong
sebagai daya tarik pariwisata budaya; dan
e. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis pusat


Pemerintahan Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6)
huruf d adalah :
a. kawasan pusat Pemerintahan Kabupaten adalah di Kelurahan
Batupiring;
b. kawasan pusat Pemerintahan wajib didukung dengan kelengkapan
prasarana (jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi, internet, drainase,
pembuangan limbah, proteksi kebakaran dan persampahan);
c. ketentuan bangunan disesuaikan dengan peraturan teknis dan
peraturan lainnya yang berlaku (koefisien dasar bangunan, koefisien
lantai bangunan, sempadan bangunan dan lain sebagainya);
d. rencana pembangunan sarana pemerintahan maupun yang sedang
berlangsung memperhatikan aspek lokasi yang strategis dan kemudahan
aksesibilitas terkait kemudahan pelayanan masyarakat; dan
e. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis pusat kegiatan
keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf e adalah :
a. kawasan strategis pusat keagamaan meliputi Islamic Centre Balangan di
Kelurahan Batu Piring Kecamatan Paringin Selatan dan Kawasan Pondok
Pesantren Nurul Muhibbin Desa Mantimin Kecamatan Batumandi;
b. wajib dikembangkan sarana dan prasarana penunjang kegiatan
keagamaan di kawasan strategis keagamaan terutama prasarana
penunjang aksesibilitas menuju kawasan;
45

c. ketentuan tentang strandar bangunan dan sarana prasarana


disesuaikan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;
dan
d. rencana pengembangan kawasan diatur lebih lanjut dalam rencana rinci
tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis wisata religius
Makam Datuk Kandang Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6)
huruf f adalah :
a. kawasan strategis wisata religius Makam Datuk Kandang Haji adalah
berada di Desa Teluk Bayur di Kecamatan Juai;
b. kawasan ruang terbuka hijau pada kawasan minimum sebesar 60%
(enam puluh persen) dari luas seluruh kawasan;
c. areal yang boleh dibangun maksimum 40% (empat puluh persen) dari
luas seluruh kawasan dengan dukungan rencana rinci tata ruang
kawasan;
d. pembangunan sarana penunjang pariwisata berupa penginapan, MCK,
fasilitas parkir, dan lain sebagainya;
e. wajib menyediakan sarana dan prasarana lingkungan;
f. pembatasan pembangunan pada wilayah dengan kemiringan >40% (lebih
dari empat puluh persen) atau pada areal perbukitan;
g. wajib menyiapkan jalan-jalan akses umum menuju kawasan pariwisata
sesuai dengan kebutuhan riil; dan
h. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Desa Wisata Danau
Baruh Bahinu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf g
adalah:
a. kawasan desa wisata Danau Baruh Bahinu direncanakan berupa desa
wisata yang meliputi Desa Murung Abuin, Desa Baruh Bahinu Dalam,
Desa Binjai dan Desa Telaga Purun;
b. kawasan ruang terbuka hijau pada kawasan minimum sebesar 60% dari
luas seluruh kawasan;
c. areal yang boleh dibangun maksimum 40% (empat puluh persen) dari
luas seluruh kawasan dengan dukungan rencana rinci tata ruang
kawasan;
d. pembangunan sarana penunjang pariwisata berupa penginapan, MCK,
fasilitas parkir, dan lain sebagainya;
e. wajib menyediakan sarana dan prasarana lingkungan;
f. pembatasan pembangunan pada wilayah dengan kemiringan >40% (lebih
dari empat puluh persen) atau pada areal perbukitan;
g. menyediakan jalan akses menuju kawasan pariwisata sesuai dengan
kebutuhan riil; dan
h. dalam pengembangan kawasan ini lebih lanjut diperlukan dukungan
rencana rinci tata ruang kawasan dan peraturan zonasi.
46

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan ekowisata hutan lindung
pegunungan meratus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf
h adalah:
a. kawasan ekowisata hutan lindung pegunungan meratus berada di Desa
Dayak Pitap, Desa Binuang Santang, Desa Marajai, Desa Uren, Desa
Mamantang, Desa Kapul, Desa Aniungan, Desa Liyu, Desa Gunung Riut,
Desa Sungsum, Desa Auh dan Desa Mayanau;
b. pembatasan kegiatan budidaya yang dianggap bisa merusak fungsi
keanekaragaman hayati, dan mengganggu kelestarian ekosistem, flora,
fauna; dan
c. pembatasan kegiatan budidaya pada wilayah sekitar sumber dan mata
air.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Balangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) huruf i
adalah:
a. kawasan strategis Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangan berada
sepanjang aliran sungai Balangan beserta sempadan sungai;
b. dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangan tidak
diperbolehkan kegiatan budidaya yang menyebabkan kerusakan dan
mengganggu fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangan;
c. dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangan diperbolehkan
dibangun sarana dan utilitas sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku; dan
d. dilakukan kegiatan pemeliharaan dan normalisasi secara berkala dalam
rangka menjaga kelestarian ekosistem sungai.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 42

(1) Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam
pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur ruang
dan pola ruang.

(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan kewenangannya sesuai ketentuan Perundang-Undangan.

(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau


mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

(1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b, terdiri atas :
a. izin prinsip pemanfaatan ruang;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. izin mendirikan bangunan; dan
e. izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
47

(2) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a-e
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44

(1) Izin prinsip pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a adalah izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh Bupati atas
rekomendasi dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).

(2) Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b adalah
izin yang diberikan dalam rangka perolehan tanah guna keperluan
penanaman modal.

(3) Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagaimana ayat (1) huruf c adalah
izin yang diberikan berdasarkan izin lokasi, sedangkan untuk tanah yang
penggunaannya tidak memerlukan izin lokasi maka izin penggunaan
pemanfaatan tanah diberikan berdasarkan izin prinsip pemanfaatanruang.

(4) Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
adalah dasar mendirikan bangunan yang diberikan berdasarkan peraturan
zonasi sebagai dasar bagi pemegang izin untuk mendirikan bangunan
sesuai fungsi yang telah ditetapkan dan rencana teknis bangunan gedung.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 45

(1) Ketentuan insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi pejabat yang
berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.

(2) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36


ayat (2) huruf c meliputi :
a. ketentuan umum insentif dan disinsentif; dan
b. ketentuan khusus insentif dan disinsentif.

(3) Ketentuan umum insentif-disinsentif sebagaimana yang dimaksud pada


ayat (2) huruf a, berupa ketentuan pemberlakuan insentif dan disinsentif
untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum.

(4) Ketentuan khusus insentif-disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (2)


huruf b, ditujukan untuk pemberlakuan insentif dan disinsentif secara
langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau kawasan tertentu di
wilayah Kabupaten.

(5) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana


struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi
yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.

(6) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,


dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini.
48

Paragraf 1
Ketentuan Insentif

Pasal 46

(1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang didorong


perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


a. pemberian keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. pengurangan retribusi;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. urun saham;
g. penyediaan sarana dan prasarana;
h. kemudahan perizinan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif lebih lanjut
diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2
Ketentuan Disinsentif

Pasal 47

(1) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau


dikendalikan perkembangannya bahkan dilarang dikembangkan untuk
kegiatan budidaya.

(2) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :


a. kewajiban memberi konpensasi;
b. pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang;
c. kewajiban memberi imbalan;
d. pembatasan penyediaan sarana dan prasarana; dan/atau
e. pensyaratan khusus dalam perizinan lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian disinsentif lebih
lanjut diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 48

(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf d
merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam pengenaan sanksi
administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang.
49

(2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap :


a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang
dan pola ruang wilayah Kabupaten;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung,
kawasan budidaya, sistem Nasional dan Kabupaten;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan
berdasarkan RTRW Kabupaten;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
f. pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang
oleh Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan sebagai milik umum;
atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang
tidak benar dan/atau tidak sah.

Pasal 49

(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf
a-g dapat dikenakan sanksi administratif berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 50

Pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
penataan ruang.

BAB IX
KELEMBAGAAN

Pasal 51

(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan


kerjasama antar sektor/antar Daerah bidang penataan ruang, dibentuk
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
50

(2) Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) bertugas membantu Bupati dalam mengkoordinasikan dan
merumuskan kebijakan penataan ruang Kabupaten dan bertanggungjawab
kepada Bupati.

(3) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih lanjut ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 52

Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak :


a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah Kabupaten;
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
dari penataan ruang;
d. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
e. mendapat perlindungan dari kegiatan-kegiatan yang merugikan;
f. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang;
g. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; dan
h. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 53

Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah meliputi :


a. mentaati RTRW Kabupaten yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 54

(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 53 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan
kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang
ditetapkan sesuai dengan Perundang-Undangan.
51

(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara
turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor
daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi,
selaras, dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 55

Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan pada tahap :


a. perencanaan tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 56

Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada tahap


perencanaan tata ruang dapat berupa :
a. memberikan masukan mengenai :
1. penentuan arah pengembangan wilayah;
2. potensi dan masalah pembangunan;
3. perumusan rencana tata ruang; dan
4. penyusunan rencana struktur dan pola ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan rencana tata ruang; dan
c. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
sesama unsur masyarakat.

Pasal 57

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa:


a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan
memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan Perundang-
Undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab untuk
pencapaian tujuan penataan ruang;
f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
sumber daya alam;
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan
52

h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pemerintah atau pihak lain apabila
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan.

Pasal 58

Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat


berupa:
a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar
pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan,
tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada Instansi/pejabat yang
berwenang.

Pasal 59

(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara


langsung dan/atau tertulis.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan
kepada Bupati.

(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 60

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, Pemerintah Daerah membangun


sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.
Pasal 61
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 62

RTRW Kabupaten menjadi pedoman untuk:


a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang Daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah Daerah;
53

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah


Kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.

Pasal 63

(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten Balangan adalah 20 (dua puluh) tahun dan
dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana
alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang
ditetapkan dengan Perundang-Undangan, RTRW Kabupaten Balangan dapat
ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan
apabila terjadi perubahan kebijakan Nasional dan strategi yang
mempengaruhi pemanfaatan ruang Kabupaten dan/atau dinamika internal
wilayah.

(4) RTRW Kabupaten Balangan dilengkapi dengan rencana dan album peta yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(5) Peta kawasan hutan Kabupaten/Kota se Kalimantan Selatan skala 1 :


50.000 dan atau skala 1 : 25.000 adalah merupakan hasil pembesaran dan
penyesuaian peta dasar dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi
Kalimantan Selatan skala 1 : 250.000 sesuai Keputusan Menteri Kehutanan
No. SK 435/Menhut-II/2009.

(6) Batas wilayah administrasi pemerintahan dalam Peraturan Daerah ini


merupakan batas wilayah administrasi pemerintahan tentatif (sementara)
sedangkan penetapan batas wilayah administrasi pemerintahan definitif
dilakukan melalui tahapan dan prosedur sesuai dengan ketentuan
Perundang-Undangan.

(7) Batas wilayah kawasan hutan dalam Peraturan Daerah ini merupakan batas
wilayah kawasan hutan tentatif (sementara) sesuai dengan penunjukkan
kawasan dan batas wilayah administrasi pemerintahan sedangkan batas
wilayah kawasan hutan definitif dilakukan melalui tahapan dan prosedur
pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka pelaksanaan Peraturan
Daerah yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
54

(2) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:


a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah
ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan
ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini;
3. untuk yang sudah dilaksanakan dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan
dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin
tersebut dapat diberikan penggantian yang layak;
4. penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga)
dilakukan dengan memperhatikan indikator sebagai berikut:
- memperhatikan harga pasaran setempat;
- sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); dan
- sesuai dengan kemampuan Daerah.
5. ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penggantian yang layak diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 65

(1) Kawasan permukiman dengan status satuan wilayah administrasi


pemerintahan berupa Dusun, Desa, Kelurahan dan Kecamatan beserta
dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum dan merupakan investasi dan aset
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berada dalam kawasan
hutan berdasarkan Peraturan Daerah ini secara bertahap dilakukan tata
batas dan dikeluarkan dari kawasan hutan dimaksud berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengembangan sarana dan prasarana wilayah yang bersifat strategis berupa
jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, baik yang sudah ada maupun
yang direncanakan yang berada di dalam kawasan hutan berdasarkan
Peraturan Daerah ini, dapat dimanfaatkan dan selanjutnya diprioritaskan
perubahan peruntukannya menjadi bukan kawasan hutan.

(3) Pada lokasi Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Lindung (HL) di
Kabupaten Balangan terdapat kawasan yang direncanakan untuk kegiatan
kehutanan dan non kehutanan.

(4) Implementasi pelaksanaan kegiatan Non Kehutanan sebagaimana dimaksud


ayat (3) didahului dengan proses perizinan di bidang kehutanan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
55

(5) Pada lokasi Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Lindung (HL) di
Kecamatan Paringin, Kecamatan Halong, Kecamatan Juai dan Kecamatan
Tebing Tinggi terdapat kawasan yang telah dilakukan kegiatan perkebunan.

(6) Untuk lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) akan dilakukan upaya
penyelesaian keterlanjuran perizinan di dalam kawasan hutan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin
kepastian usaha.

(7) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan


kawasan hutan selanjutnya diintegrasikan dalam perubahan rencana tata
ruang wilayah.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Balangan.

Ditetapkan di Paringin
pada tanggal 31 Desember 2013
BUPATI BALANGAN,

Ttd

H. SEFEK EFFENDIE

Diundangkan di Paringin
pada tanggal 31 Desember 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN BALANGAN,

Ttd

H. RUSKARIADI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN TAHUN 2013 NOMOR 24


56

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN

NOMOR 24 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BALANGAN


TAHUN 2013 2032

I. UMUM

Rencana tata ruang wilayah adalah sebuah rencana peruntukkan,


penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa agar
pemanfaatannya optimal, lestari, seimbang dan serasi bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pada dasarnya tata ruang direncanakan dan dirancang
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. RTRW Kabupaten disusun
agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara materiil dan
moril. Latar belakang upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi
alasan dalam penyusunan RTRW Kabupaten selain alasan teknis fisik
pemenuhan berbagai aturan yang disyaratkan.

Pada dasarnya, kedudukan RTRW Kabupaten adalah sebagai pedoman


utama/pedoman induk untuk keperluan penataan ruang dalam pelaksanaan
kegiatan-kegiatan pembangunan di tiap Daerah. Oleh karenanya, materi atau
kebijakan RTRW Kabupaten disesuaikan dengan gerak dinamika pembangunan
dan kondisi perkembangan yang terjadi baik di bidang sosial atau ekonomi.
Perkembangan tersebut tentu akan berpengaruh pada struktur ruang yang
akan berubah. Di bidang sosial, perkembangan jumlah penduduk akan
meningkatkan kebutuhan sarana hunian dan prasarana pendukung lainnya.
Sedangkan di bidang ekonomi, perkembangan aktivitasnya akan menuntut
kebutuhan lahan dan infrastruktur. Perkembangan ini tentu saja akan
mengubah perwajahan dan pemanfaatan ruang kota. Jika hal ini tidak diatur
melalui RTRW Kabupaten, maka perkembangan yang terjadi kemudian menjadi
tidak searah dengan visi dan misi yang diinginkan oleh Daerah. Oleh karena itu,
RTRW Kabupaten harus selalu relevan dan antisipatif terhadap perkembangan
pembangunan wilayah dalam 20 (dua puluh) tahun ke depan, untuk
evaluasinya dilakukan per tahapan 5 (lima) tahunan sekali.

Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah, perlu diupayakan


adanya keterpaduan pembangunan sektoral dan wilayah/daerah. Wujud
operasionalnya secara terpadu diselenggarakan melalui pendekatan wilayah
yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang komprehensif
dan bersinergi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi.
Kebijakan penataan ruang yang dihasilkan harus sejalan dengan konservasi
dan preservasi lingkungan secara global, serta upaya-upaya mitigasi bencana.
Atau dengan kata lain, kegiatan pembangunan harus tetap dalam koridor daya
dukung lingkungan, dan oleh karenanya keseimbangan alokasi ruang antara
kawasan budidaya dan kawasan lindung merupakan prasyarat yang tetap
dibutuhkan.

Penyusunan RTRW Kabupaten Tahun 2013-2032 dilakukan untuk


menghasilkan rencana tata ruang yang bersifat umum dan makro dengan skala
peta 1 : 50.000 dan disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif
57

Kabupaten dengan muatan mencakup rencana struktur ruang dan rencana


pola ruang. RTRW Kabupaten juga disusun berdasarkan pendekatan nilai
strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang
dapat mencakup hingga penetapan zonasi peruntukan. Penetapan zonasi
tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan
sebagai dasar penetapan indikasi arahan peraturan zonasi.

Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui proses


perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya
penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus
dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur
dan diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan kewenangannya.
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi
administratif, sanksi pidana, dan/atau sanksi perdata sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan di atas, perumusan substansi RTRW


Kabupaten yang memuat tujuan, kebijakan dan strategi, rencana, arahan
pemanfaatan dan pengendalian, ditujukan untuk dapat menjaga sinkronisasi
dan konsistensi pelaksanaan penataan ruang serta mengurangi penyimpangan
implementasi indikasi program utama yang ditetapkan, sehingga yang
diharapkan akan lebih mampu merespon tantangan dan menjamin
keberlanjutan pembangunan, melalui berbagai pembenahan serta
pembangunan ruang yang produktif dan berdaya saing tinggi, demi
terwujudnya masyarakat yang lebih sejahtera.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten merupakan arah
perwujudan ruang wilayah Kabupaten yang ingin dicapai pada
masa yang akan datang(20 tahun).
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten memiliki fungsi:
a. sebagai dasar untuk memformulasikan kebijakan dan
strategi penataan ruang wilayah Kabupaten;
b. memberikan arah bagi penyusunan indikasi program
utama dalam RTRW Kabupaten;
c. sebagai dasar dalam penetapan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.

Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


berdasarkan:
a. visi dan misi pembangunan wilayah Kabupaten;
b. karakteristik wilayah Kabupaten;
c. isu strategis; dan
d. kondisi objektif yang diinginkan.
58

Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


dengan kriteria:
a. tidak bertentangan dengan tujuan penataan ruang
wilayah Provinsi dan Nasional;
b. jelas dan dapat tercapai sesuai jangka waktu
perencanaan; dan
c. tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-
Undangan.

Pasal 5
Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten merupakan arah
tindakan yang harus ditetapkan untuk mencapai tujuan
penataan ruang wilayah Kabupaten.
Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten berfungsi
sebagai:
a. sebagai dasar untuk memformulasikan strategi penataan
ruang wilayah Kabupaten;
b. sebagai dasar untuk merumuskan struktur dan pola
ruang wilayah Kabupaten;
c. memberikan arah bagi penyusunan indikasi program
utama dalam RTRW Kabupaten;dan
d. sebagai dasar dalam penetapan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.

Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


berdasarkan:
a. tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten;
b. karakteristik wilayah Kabupaten;
c. kapasitas sumber daya wilayah Kabupaten dalam
mewujudkan tujuan penataanruangnya; dan
d. ketentuan Peraturan Perundang-Undangan terkait.

Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


dengan kriteria:
a. mengakomodasi kebijakan penataan ruang wilayah
Nasional dan kebijakan penataanruang wilayah Provinsi
yang berlaku pada wilayah Kabupaten bersangkutan;
b. jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam
jangka waktu perencanaan pada wilayah Kabupaten
bersangkutan;
c. mampu menjawab isu-isu strategis baik yang ada
sekarang maupun yangdiperkirakan akan timbul di
masa yang akan datang; dan
d. tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-
Undangan.

Pasal 6

Ayat (1)
Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten merupakan
penjabaran kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten ke
dalam langkah-langkah operasional untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten berfungsi:
a. sebagai dasar untuk penyusunan rencana struktur
ruang, rencana pola ruang, dan penetapan kawasan
59

strategis Kabupaten;
b. memberikan arah bagi penyusunan indikasi program
utama dalam RTRW Kabupaten; dan
c. sebagai dasar dalam penetapan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.

Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


berdasarkan:
a. kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten;
b. kapasitas sumber daya wilayah Kabupaten dalam
melaksanakan kebijakan penataan ruangnya; dan
c. ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten dirumuskan


dengan kriteria:
a. memiliki kaitan logis dengan kebijakan penataan ruang;
b. tidak bertentangan dengan tujuan, kebijakan, dan
strategi penataan ruang wilayah Nasional dan Provinsi;
c. jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam
jangka waktu perencanaan pada wilayah Kabupaten
bersangkutan secara efisien dan efektif;
d. harus dapat dijabarkan secara spasial dalam rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah
Kabupaten; dan
e. tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-
Undangan.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan
pada kawasan pedesaan sebagai inti kawasan agropolitan
adalah sebagai kota tani utama Paringin Kota dan sebagai
kawasan sentra produksi Kecamatan Batumandi, Kecamatan
Juai dan Kecamatan Halong.

Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
60

Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
RTRW Kabupaten menetapkan sistem perkotaan dan pusat-
pusat kegiatan di Kabupaten meliputi PKL, PKLp, PPK dan PPL
sesuai dengan konteks kebijakan dan strategi pembangunan
wilayah Kabupaten dan berdasarkan pertimbangan teknis yang
telah dilakukan dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten
serta sinkronisasi dengan RTRW Propinsi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Rencana pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya
yang diatur dalam peraturan daerah ini adalah kawasan
lindung dan budidaya yang menjadi kewenangan Kabupaten,
bersifat lintas wilayah Kecamatan yang berpotensi
menimbulkan masalah antar wilayah serta bernilai strategis
bagi Kabupaten.
Ayat (2)
Cukup jelas.
61

Pasal 18
Rencana pola ruang kawasan lindung Kabupaten ditujukan
untuk menjaga keberlanjutan pembangunan wilayah dengan
mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan dengan berpegang pada kenyataan bahwa dalam
pembangunan kabupaten telah menimbulkan masalah
lingkungan seperti bencana dan berkurangnya ketersediaan air
baku dan irigasi, serta tingginya alih fungsi lahan berfungsi
lindung untuk kegiatan budidaya.

Pasal 19
Ayat (1)
Kriteria kawasan resapan air adalah :
a. kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1.000
mm per tahun;
b. lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal
1/16 mm;
c. mempunyai kemampuan meluluskan air dengan
kecepatan lebih dari 1 meter per hari;
d. kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap
muka tanah setempat;
e. kelerengan kurang dari 15 persen;
f. kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari
kedudukan muka air tanah dalam.
Yang dimaksud dengan kawasan resapan air adalah kawasan
yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air
hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer)
yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap
kawasan resapan air, dilakukan untuk memberikan ruang
yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu
untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan
pengendalian banjir, baik untuk kawasan bawahannya
maupun kawasan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Kriteria kawasan hutan lindung, meliputi :
a. kawasan hutan dengan faktor-faktor kelerengan
lapangan, jenis tanah, dan curah hujan dengan nilai
skor lebih dari 125; dan/atau
b. kawasan hutan yang mempunyai kelerengan lapangan
40% atau lebih, dan pada daerah yang keadaan
tanahnya peka terhadap erosi, dengan kelerengan
lapangan lebih dari 25%; dan/atau
c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian 2.000 meter
atau lebih di atas permukaan laut.

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Kriteria sempadan sungai adalah :
a. sekurang-kurangnya 5 meter di sebelah luar sepanjang
kaki tanggul di luar kawasan perkotaan dan 3 meter di
sebelah luar sepanjang kaki tanggul di dalam kawasan
perkotaan;
b. sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai
besar dan 50 meter di kanan kiri sungai kecil yang tidak
bertanggul di luar kawasan perkotaan;
62

c. sekurang-kurangnya 10 meter dari tepi sungai untuk


sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3
meter;
d. sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai untuk
sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter
sampai dengan 20 meter;
e. sekurang-kurangnya 30 meter dari tepi sungai untuk
sungai yang mempunyaikedalaman lebih dari 20 meter;
f. sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai untuk
sungai yangter pengaruh pasang surut air laut, dan
berfungsi sebagai jalur hijau.
g. sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan
sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi
primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
h. perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan
untuk melindungi fungsi sungai dari kegiatan budidaya
yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai
dan mengamankan aliran sungai.

Huruf b
Kriteria kawasan sempadan danau adalah daratan sepanjang
tepian danau yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik danau, sekurang-kurangnya 50 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat.
Kawasan sempadan danau adalah kawasan tertentu di
sekeliling danau yang mempunyai manfaat penting
untukmempertahankan kelestarian fungsi danau.
Perlindungan terhadap kawasan sekitar waduk dan danau/situ
dilakukan untuk melindungi danau dari kegiatan budidaya
yang dapat mengganggu kelestarian fungsinya.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau privat adalah
Ruang Terbuka Hijau milik institusi tertentu atau orang
perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas
antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan dan besarnya 10
% dari luas perkotaan
Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau publik, adalah
Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki dan dikelola oleh
Pemerintah Daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum dan besarnya 20 % dari
luas perkotaan.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 21
63

Ayat (1)
Huruf a
Kriteria kawasan rawan tanah longsor adalah kawasan
berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah
atau material campuran.
Huruf b
Kriteria kawasan rawan banjir adalah daerah yang
diidentifikasi sering danberpotensi tinggi mengalami bencana
banjir. Kawasan rawan banjir adalah kawasan yang
diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi terjadi banjir.
Perlindungan terhadap kawasan rawan banjir dilakukan untuk
mengatur kegiatan manusia pada kawasan rawan banjir untuk
menghindari terjadinya bencana akibat perbuatan manusia.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Kriteria kawasan hutan produksi adalah:
a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan
intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 174;
b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu
mempertahankan daya dukungdan daya tampung
lingkungan.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Kegiatan pertambangan di kawasan pertambangan wajib
meninggalkan warisan pasca penutupan tambang berupa
kehidupan sosial yang lebih baik bagi masyarakat sekitar
kawasan pertambangan, melalui penyelenggaraan program-
program pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan
berkelanjutan serta penyelenggaraan program-program
penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana
lainnya. Selain itu meningkatkan perbaikan kondisi
perekonomian setempat dengan menyediakan kesempatan
kerja bagi penduduk dan menyediakan dana bagi
kesejahteraan masyarakat. Penanggulangan kerusakan lahan
eks pertambangan merupakan upaya yang harus dilakukan
untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup di bekas
64

daerah pertambangan menjadi daerah yang berdayaguna.


Penanggulangan kerusakan lahan ekspertambangan dapat
dilakukan dengan memperbaiki hutan yang terganggu oleh
kegiatan pertambangan. Pelaksanaan penanggulangan
kerusakan lahan eks pertambangan dan rehabilitasi hutan
dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai bagian
yang terpadu dalam kegiatan penambangan. Selain itu
penanggulangan kerusakan lahan eks pertambangan
dilakukan pula melalui upaya rehabilitasi lahan kritis di luar
areal pertambangan dan di DAS sebagai bagian dari upaya
untuk mengurangi efek rumah kaca.

Pasal 28

Perusahaan industri yang dikecualikan dari kewajiban


berlokasi di kawasan industri meliputi:
a. perusahaan industri yang menggunakan bahan baku
dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi
khusus, antara lain industri semen, industri pupuk,
industri kertas, industri galangan kapal;
b. industri mikro, kecil, dan menengah;
c. perusahaan industri yang akan menjalankan industri
dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum
memiliki kawasan industri atau yang telah
memilikikawasan industri namun seluruh kaveling
industri dalam kawasan industrinya telah habis.

Syarat teknis meliputi karakteristik lokasi dan kesesuaian


lahan, meliputi:
a. kemiringan lereng: kemiringan lereng yang sesuai untuk
kegiatan industri berkisar 0 persen sampai dengan 25
persen, pada kemiringan lebih besar dari 25 persen
sampai dengan 45 persen dapat dikembangkan kegiatan
industri dengan perbaikan kontur serta ketinggian tidak
lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut;
b. hidrologi: bebas genangan, dekat dengan sumber air
permukaan, drainase baik sampai sedang;
c. klimatologi: lokasi berada pada kecenderungan minimum
arah angin yang menuju permukiman penduduk;
d. geologi: dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak
berada di daerah rawan bencana longsor dan bahaya
gunung api;
e. lahan: area cukup luas, karakteristik tanah bertekstur
sedang sampai kasar, berada pada tanah tidak produktif
untuk pertanian.

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Pengembangan permukiman perkotaan di kawasan rawan
bencana alam dan bencana alam geologi, dilaksanakan dengan
persyaratan teknis yang ditinjau dari tingkat kerentanan,
meliputi :
1). kerentanan tinggi
a. konstruksi bangunan beton tidak bertulang dengan
65

kepadatan bangunan tinggi (lebih besar dari 60 unit/ha)


dan sedang (30 sampai dengan 60 unit/ha);
b. konstruksi bangunan beton bertulang dengan kepadatan
bangunan tinggi (lebih besar dari 60 unit/ha).
2). kerentanan sedang
a. konstruksi bangunan beton bertulang dengan kepadatan
bangunan sedang (30 sampai 60 unit/ha) dan rendah
(lebih kecil dari 30 unit/ha), semi permanen dengan
kepadatan bangunan tinggi (lebih besar dari 60 unit/ha)
dan sedang (30 sampai dengan 60 unit/ha).
b. konstruksi bangunan tradisional dengan kepadatan
bangunan tinggi (lebih besar dari 60 unit/ha).
3). kerentanan rendah
a. konstruksi bangunan semi permanen dengan kepadatan
bangunan rendah (lebih kecil dari 30 unit/ha).
b. konstruksi tradisional dengan kepadatan sedang (30
sampai dengan 60 unit/ha) dan rendah (lebih kecil dari
30 unit/ha).

Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten
digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah Kabupaten
dalam hal :
a. ketentuan umum peraturan zonasi terkait antara
kepentingan perizinan yang menjadi wewenang
kabupaten dengan pola ruang wilayah kabupaten,
termasuk dalam kategori ini adalah ketentuan umum
peraturan zonasi pada kawasan lindung dan budidaya
strategis Kabupaten; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi terkait antara
kepentingan perizinan yang kewenangan perizinannya
berada pada Pemerintah Kabupaten, sedangkan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang strategis provinsi
berada pada kewenangan Provinsi.

Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
66

Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45

Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan


imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana tata ruang.

Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi


pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang.

Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
67

Pasal 63
Ayat (1)
Peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan RTRW Kabupaten
dapat dipengaruhi oleh perubahan peraturan atau rujukan baru
mengenai sistem penataan ruang, perubahan kebijakan, baik yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten maupun sektor, perubahan-
perubahan dinamis akibat kebijakan maupun pertumbuhan
ekonomi, adanya paradigma baru pembangunan dan/atau
penataan ruang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan bencana alam yang dapat mengubah struktur dan pola ruang
yang ada.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Album peta terdiri dari peta curah hujan, peta geologi, peta
geomorfologi, peta kemiringan lereng, peta ketinggian, peta
penggunaan lahan, peta kawasan rawan bencanabanjir, peta
kawasan rawan bencana longsor dan peta kawasan
pertambangan.

Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan non kehutanan antara lain pertambangan,
perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan dan lain-lain
Pasal 66
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 95

Anda mungkin juga menyukai