0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
781 tayangan24 halaman
Berita mengenai kasus plagiat di Indonesia yang mencakup beberapa kasus plagiat yang terjadi di kalangan dosen dan perguruan tinggi. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus plagiat yang dilakukan dosen Unpad dan UGM serta permintaan maaf dari Universitas Katolik Parahyangan atas kasus plagiat yang dilakukan salah satu dosennya. Kasus-kasus ini menunjukkan masalah plagiat yang sering terjadi di kalangan akademis.
Berita mengenai kasus plagiat di Indonesia yang mencakup beberapa kasus plagiat yang terjadi di kalangan dosen dan perguruan tinggi. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus plagiat yang dilakukan dosen Unpad dan UGM serta permintaan maaf dari Universitas Katolik Parahyangan atas kasus plagiat yang dilakukan salah satu dosennya. Kasus-kasus ini menunjukkan masalah plagiat yang sering terjadi di kalangan akademis.
Berita mengenai kasus plagiat di Indonesia yang mencakup beberapa kasus plagiat yang terjadi di kalangan dosen dan perguruan tinggi. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus plagiat yang dilakukan dosen Unpad dan UGM serta permintaan maaf dari Universitas Katolik Parahyangan atas kasus plagiat yang dilakukan salah satu dosennya. Kasus-kasus ini menunjukkan masalah plagiat yang sering terjadi di kalangan akademis.
1. Dirjen Dikti: Suka Menjiplak Tanda Bangsa Inferior
RABU, 26 FEBRUARI 2014 | 11:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso menilai maraknya kasus plagiarisme di lingkungan kampus menandakan bangsa Indonesia masih merasa inferior. Sikap itu membuat para dosen Indonesia tak percaya diri sehingga akhirnya menjiplak karya orang lain saat menulis, baik di jurnal, naskah akademik, hingga publikasi populer. "Kalau bangsa ini merasa superior, pasti tak akan menjiplak karya orang lain," kata Djoko saat berkunjung ke kantor Tempo, Senin, 24 Februari 2014. (8 Kasus Plagiat yang Menghebohkan Indonesia) Selain merasa inferior, kata Djoko, banyak perguruan tinggi memang tak mengajarkan teknik tulis-menulis dengan benar sejak awal. Para dosen--dulunya mahasiswa--yang menulis di jurnal, naskah akademik, atau publikasi populer, kata Djoko, kerap keliru atau tak mencantumkan referensi sehingga terkesan menjiplak karya orang lain. "Ini tergantung lulusan universitasnya. Kalau lulusnya mudah, kasus plagiatnya akan tinggi. Kalau lulusnya sukar, plagiatnya rendah. Pokoknya semakin turun kualitas universitas, kasus plagiat akan tinggi," kata Djoko. Isu plagiasi di kalangan akademik mencuat kembali setelah dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu dituding menjiplak karya orang saat menulis artikel berjudul "Gagasan Asuransi Bencana" yang diterbitkan Kompas, Senin, 10 Februari lalu. Anggito dinilai menjiplak karya Hatbonar Sinaga berjudul "Menggagas Asuransi Bencana" yang juga dimuat Kompas pada 21 Juli 2006. Anggito membantah bahwa dia menjiplak karya Hatbonar. Dia mengklaim artikel itu berawal dari gagasan pembiayaan bencana tsunami Aceh 2005 dan bahan seminar asuransi bencana di UGM bekerja sama dengan Bank Dunia pada 2011 lalu.
2. Pelapor Dugaan Plagiat Dosen Unpad Kecewa
KAMIS, 30 MEI 2013 | 20:09 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Pelapor dugaan penjiplakan (plagiat) dua
orang dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, kecewa terhadap keputusan Majelis Etika kampus tersebut. Majelis Etika Unpad menyatakan dugaan penjiplakan tidak terbukti. Pelapor kasus ini adalah Helen Ryanita, lulusan program studi Magister Kenotariatan Unpad 2011. "Saya tidak puas jika kasus itu hanya disebut salah kutip," kata pengacara pelapor, yang juga suami Helen, Agus Sihombing kepada Tempo, Rabu, 29 Mei 2013. Menurut Agus, buku karangan dua dosen tersebut merupakan penjiplakan. Sebab hampir separuh isi buku itu berasal dari tesis Helen. Agus mengakui, pada pengantar buku itu, dijelaskan bahwa sumber utama buku itu adalah kutipan dari tesis istrinya. Namun yang kemudian dipersoalan adalah banyaknya halaman buku itu yang persis sama dengan karya ilmiah Helen. "Biasanya kutipan pada karya ilmiah kan tidak banyak-banyak. Pengutipan pada buku ini tidak sesuai tata cara keilmuan," ujar Agus. Agus khawatir hasil keputusan Majelis Etika Unpad akan jadi acuan untuk mahasiswa. "Kalau dosennya saja begitu, mahasiswa tentu berpikir bisa juga begitu," katanya. Karena tak terima dengan keputusan Unpad, Agus berencana melaporkan masalah ini ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, Agus telah melaporkan dugaan plagiat itu ke Kepolisian Daerah Jawa Barat.
3. Anggito Serahkan Surat Resmi Mundur dari UGM terkait
berkas mengenai kajiannya terhadap topik asuransi kebencanaan ke Rektorat UGM pada Jumat, 21 Februari 2014. Akademikus, yang baru-baru ini menyatakan mengundurkan diri dari posisinya sebagai Direktur Jenderal Haji dan Umroh Kementerian Agama dan pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM buntut kasus plagiasi salah satu artikelnya di Koran Kompas, tersebut menyerahkan berkas itu pada Jumat pagi. (baca: Kasus Plagiarisme, Anggito Serahkan Berkas Tulisan) Juru bicara kampus UGM, Wijayanti menyatakan Anggito menyerahkan surat permohonan izin pengunduran diri sebagai pengajar UGM dan sejumlah dokumen tulisannya tentang tema asuransi bencana ke Rektor UGM, Pratikno. "Untuk persisnya dokumen apa saja, saya belum tahu banyak," kata dia. Kolega Anggito di FEB UGM, Poppy Ismalina juga menyatakan Anggito menyerahkan dokumen mengenai kajiannya dalam membahas tema asuransi bencana sejak 2005 lalu. "Iya, dia menyerahkan itu untuk membantu UGM dalam melakukan penyelidikan di kasus dugaan plagiasi," kata dia. Poppy pernah menjadi Wakil Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada 2010. Saat itu lembaga ini baru dibentuk dan Anggito menjadi direktur lembaga tersebut. Menurut Poppy saat menjadi direktur P2EB, Anggito pernah banyak menulis kajian mengenai asuransi bencana. Lembaga ini juga sempat menggelar seminar mengenai tema ini saat itu. "Seminarnya sekitar 2011," kata dia.(baca: Ungkap Plagiarisme Anggito, Rektor UGM Bentuk Tim) Namun, menurut Poppy koleganya itu sudah sejak lama mengkaji topik asuransi bencana. Dia mengaku banyak mengetahui sejumlah tulisan-tulisan Anggito di sejumlah forum ilmiah sejak 2005 atau pasca muncul bencana tsunami Aceh. "Saat itu dia masih menjabat kepala Badan Kebijakan Fiskal," kata dia. Anggito dituding oleh penulis anonim yang menjadi blogger kompasiana telah menjiplak artikel opini karya Hatbonar Sinaga yang pernah terbit di Koran Kompas pada tahun 2006. Artikel Anggito yang memuat sejumlah materi tulisan mirip karya milik Hatbonar diterbitkan oleh Koran Kompas pada 10 Januari 2014. (baca: Kasus Plagiarisme Anggito, Hotbonar: Case Closed) UGM masih melakukan kajian untuk menyelidiki kebenaran dugaan ini. Tapi, Anggito sudah meminta menngundurkan diri dari posisinya sebagai pengajar FEB UGM pada awal pekan ini. Pada Kamis kemarin, dia juga dikabarkan mengundurkan diri dari jabatannya saat ini sebagai sebagai Direktur Jenderal Haji dan Umroh Kementerian Agama.(baca: Dituding Plagiarisme, Anggito Mundur dari UGM)
4. Kasus Plagiat Di Duga Libatkan Disdikpora
MUNGKID,KABARMAGELANG.com_Pendiri MDI Fahrurodin HS atau Fahrur memaparkan bukti-bukti plagiat yang dilakukan Setiawan. Selain Ke Polres Setiawan juga dilaporkan ke Polda Jateng, Kasus plagiat ini di duga Disdikpora Magelang ikut terlibat. Fahrur mengatakan, plagiarisme bisa mengancam dunia pendidikan di Kabupaten Magelang. Karena rumus-rumus matematika hasil kegiatan plagiarisme dipelajari ratusan guru matematika se-Kabupaten Magelang. Padahal rumus-rumus tersebut nantinya akan kembali diajarkan kepada ribuan siswa,tuturnya. Kami sudah berusaha lanjut Fahrur, mencari penyelesaian masalah secara damai namun ternyata tidak mendapatkan respon yang baik. "Jika mereka ijin atau bilang baik-baik saya tidak masalah,tegas Fahrur. Rumus ini sudah didaftarkan Fahrur hak patennya ke Kemenkumham dengan nomer 060228 tertanggal 29 Agustus 2012. "Kami sudah melaporkannya ke Polres Magelang dan Polda Jawa Tengah," terangnya. Disdikpora Kabupaten Magelang di duga juga terlibat dalam kasus ini. Pasalnya Disdikpora melalui surat nomor 421.2/7345/20.2a/2014 memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama LKP Matematika Indonesia untuk menggelar seminar. Surat yang ditandatangani Plt Kepala Disdikpora Drs Eko Triyono tertanggal 17 Maret 2014 itu menjadi senjata LKP Matematika Indonesia untuk 'memaksa' ratusan guru-guru matematika mengikuti seminar. Para guru harus membayar Rp 160 ribu per orang. Kasus ini mencuat ketika Direktur Utama LKP Matematika Indonesia asal Kabupaten Wonogiri Setiawan menggelar Seminar Nasional Matematika Indonesia di ruang Cemara Hotel Grand Artos, Mertoyudan, Kabupaten Magelang mulai Selasa- Kamis 5-7 Mei 2015. Setiawan diduga mengajarkan dengan menggunakan rumus konversi ukuran hasil ciptaan pendiri Matematika Dahsyat Indonesia (MDI) Fahrurodin HS atau Fahrur dari Muntilan. (zis) 5. Profesor Tersandung Plagiat, Unpar Minta Maaf Rabu, 17 Februari 2010 | 19:56 WIB
VIVAnews - Universitas Khatolik Parahyangan Bandung
menyampaikan permintaan maaf atas tindakan plagiarisme yang telah dilakukan salah satu dosennya, Profesor Anak Agung Banyu Perwita. Permintaan maaf itu disampaikan secara tertulis dalam pernyataan resminya. Yayasan Universitas Khatolik Parahyangan dengan ini menyampaikan penyesalan dan mohon maaf atas terjadinya tindakan plagiarisme yang dilakukan Profesor Anak Agung Banyu Perwita, PhD," kata Rektor Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Cecilia Lauw, Rabu 17 Februari 2010. Sekali pun tindakan tersebut merupakan tanggung jawab dirinya Banyu, pihak kampus menilai tetap harus meminta maaf karena saat kasus itu terjadi Banyu masih berstatus dosen tetap. Selain itu, kata Cecilia, pihaknya juga menyadari, tindakan plagiarisme yang dilakukan Banyu ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang berada di Jalan Ciumbuleuit Bandung itu. Ini menjadi pelajaran untuk mawas diri seraya mewujudkan peningkatan integritas keunggulan akademik dan etik, keserasian antara identitas yang disandangnya dengan aktivitas yang dilakukannya, serta kesepadanan antara apa yang diajarkan dengan apa yang dikerjakan, katanya. Universitas Khatolik Parahyangan Bandung akhirnya memberhentikan Anak Agung Banyu Perwita sebagai dosen di perguruan tinggi itu. Keputusan ini diambil setelah Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan menggelar rapat pada Selasa malam. Pengurus Yayasan Khatolik Parahyangan menerima pengunduran diri Anak Agung Banyu Perwita sebagai dosen tetap, ujar Cecilia. Menurut Cecilia, pemberhentian ini sebagai respon atas surat pengunduran diri Banyu yang sudah diajukan kepada rektor pada tanggal 8 Februari lalu. Pengunduran diri ini diajukan dengan sadar sebagai pertanggungjawaban atas kesalahannya melakukan tindakan plagiarisme, ujar Cecilia. Dengan begitu, kata dia, terhitung sejak tanggal 16 Februari 2010, Banyu tidak lagi memiliki hubungan kerja dengan Yayasan Universitas Khatolik Parahyangan. Pemberhentian ini akan segera dilaporkan ke Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional, katanya. Kasus plagiarisme yang dilakukan Banyu ini mencuat setelah artikelnya berjudul RI as a new middle power? yang dimuat di harian The Jakarta Post ternyata sama dengan artikel yang ditulis Carl Ungerer, peneliti asal Australia. Tulisan Ungerer berjudul The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy diterbitkan dalam Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007. Harian ini lalu mencabut artikel itu. BERITA KASUS PLAGIAT DI INDONESIA
1. Dokumen kasus plagiat rektor Untirta beredar,
mahasiswa tolak Sholeh
Merdeka.com - Dokumen berita acara teguran atas kasus
plagiat dilakukan oleh Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat beredar di kalangan mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Alhasil, mahasiswa menolak Hidayat buat memimpin kembali kampus negeri itu. Berdasarkan informasi dihimpun, dokumen itu tersebar di kalangan mahasiswa dalam bentuk fotokopi. Dalam dokumen tertanggal 22 Maret 2010 dengan kop surat Untirta. Isinya adalah rekomendasi rapat senat Untirta pada tanggal 19 Maret 2010 dipimpin Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah M.Sc., melakukan teguran lisan terhadap Hidayat saat itu berpangkat Pembina Utama Madya/IVd. "Telah melakukan teguran lisan tentang pengaduan pelanggaran karya tulis kepada Prof Dr Sholeh Hidayat M Pd," begitu isi petikan dokumen itu seperti dikutip pada Kamis (4/6). Akibat tersebarnya dokumen itu menimbulkan penolakan pencalonan Sholeh Hidayat sebagai rektor oleh mahasiswa. "Plagiat dalam dunia akademis sangat bertentangan dengan Permenristek Dikti No 1 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri," kata Ningsih, salah satu mahasiswa yang tergabung dalam Untirta Movement Community (UMC). Pada Permenristek Dikti No 1 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri Pasal 4 point L tertulis, persyaratan untuk diangkat sebagai rektor tidak pernah melakukan plagiat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. "Maka dari itu, dengan tegas kami menolak pencalonan Prof. Soleh menjadi salah satu kandidat rektor," ujar Ningsih. Ningsih menilai, jika ditinjau dari Permenristek Dikti tersebut, calon petahana Sholeh Hidayat tidak layak mencalonkan diri sebagai rektor. "Kemenristek Dikti sebagai lembaga tertinggi yang akan memproses pelaksanaan pemilihan rektor yang dilakukan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, diharapkan dapat selektif dalam proses pemilihan tiga calon Rektor Untirta. Tentu bukanlah seorang plagiator yang pantas untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan tertinggi ini. Kami menolak calon rektor plagiat," ucap Ningsih. [ary]
2. Dosen Lebih Suka Menjiplak, Tahun Lalu Ada 808 Kasus
Plagiarisme Rabu, 4 Juni 2014 07:16 WIB
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Salah satu persyaratan untuk
mengajukan sertifikasi dosen adalah membuat karya ilmiah atau makalah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah, nasional, atau internasional. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak dosen yang melakukan plagiarisme untuk pembuatan karya ilmiahnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, saat dikonfirmasi tentang hal tersebut, mengakui masih adanya persoalan krusial dalam proses sertifikasi, salah satunya adalah masih adanya plagiarisme. Menurut data Kemendikbud, kasus plagiat atau biasa disebut copy paste (copas) pada proses sertifikasi dosen mencapai 808 kasus di tahun 2013. Kasus plagiarisme bisa terungkap karena Kemendikbud mempunyai data lengkap karya ilmiah, makalah, dan jurnal ilmiah. Terlebih adanya sistem yang bisa mengetahui ada- tidaknya plagiarisme dalam suatu karya ilmiah. "Jadi, kalau ada yang copas, pasti ketahuan karena kita punya sistem bagus. Disangkanya tidak tahu. Kalau ada yang ngeyel (tidak mengaku), kami punya buktinya," kata Djoko saat ditemui pada acara Pameran Elektronic Engineering Day ITB di Aula Barat Kampus ITB, Jalan Ganeca, Bandung, Selasa (3/6/2014). Kasus-kasus yang ditemui Kemendikbud antara lain pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal rakitan, jurnal bodong, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama tapi sampul baru, dan nama pengarang yang berbeda. Sebenarnya, kata Djoko, imbauan atau peringatan sudah kerap dilayangkan kepada universitas dan perguruan tinggi untuk tidak coba-coba melakukan tindakan plagiarisme karena Kemendikbud memiliki data base komplet. "Sudah diimbau, karya ilmiah ya buat sendiri, jangan sekali-kali melakukan tindakan (copas/plagiat) yang merugikan sendiri," katanya. Karena hal tersebut, kata Djoko, Kemendikbud membuat persyaratan khusus bagi doktoral ditingkatkan standar nasional pendidikannya. Dicontohkan, para calon doktor tersebut harus menulis di jurnal internasional minimal dua kali. Selain itu, bagi mahasiswa S3 juga ada batas minimal dan tidak ada batas maksimal. Hal ini dimaksudkan agar riset yang dilakukan benar- benar maksimal dan tidak asal-asalan. "Masa doktor hanya dua tahun, kan ngga benar," katanya. Persoalan lain yang masih dihadapi oleh perguruan tinggi adalah masih adanya perguruan tinggi yang tingkat rasio antara dosen dan mahasiswanya tidak seimbang. Hal ini tentu menjadi pertanyaan tentang kualitas perguruan tinggi tersebut. Diakuinya, persolan tersebut lebih banyak ditemui di perguruan tinggi swasta (PTS). "PTS yang ideal ya sudah ada. Tapi masih ada juga yang belum ideal. Bagaimana mau berkualitas kalau rasio dosen dan mahasiswanya masih tinggi," ujar Djoko. Ia mencontohkan, ada PTS yang rasio dosen dengan mahasiswanya 1:300, bahkan ada 1:700. Menyikapi hal ini, Djoko berharap perguruan tinggi tersebut bisa segera melakukan pembenahan. Selain itu, upaya lainnya, Kemendikbud akan memperketat seleksi atau pengangkatan calon profesor. "Untuk mencetak profesor ya tidak asal-asalan. Kalau begitu, dibubarkan saja. Karena kalau nggak benar, nantinya jadi profesor-profesoran, terus ke bawahnya jadi doktor-doktoran, magister-magisteran, sarjana-sarjanaan, terus universitasnya ya jadi universitas-universitasan," katanya. (tif) 3. Rektor UIN Malang Dituding Plagiat Karya Mahasiswa JUM'AT, 31 OKTOBER 2014 | 16:19 WIB
TEMPO.CO, Malang - Mahasiswa Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengungkap plagiarisme karya ilmiah rektor kampus tersebut, Mudjia Rahardjo, Jumat, 31 Oktober 2014. Mereka melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo, Kementerian Agama, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi untuk mendesakkan pembentukan tim independen guna menuntaskan kasus penjiplakan tersebut. "Kasus plagiarisme ini mencederai dunia pendidikan dan memalukan," kata Ketua Himpunan Mahasiswa Islam UIN Maliki Malang Alfian Hadi Ma'arif. (Baca: Dirjen Dikti: Suka Menjiplak Tanda Bangsa Inferior) Apalagi pelakunya adalah seorang rektor, yang seharusnya menjadi teladan bagi mahasiswa dan dosen. Menurut Alfian, Mudjia telah memberikan contoh buruk bagi mahasiswa UIN Maliki Malang. Mudjia diduga menjiplak 13 makalah mahasiswa pasca-sarjana. Karya ilmiah itu dikumpulkan dalam buku berjudul Sosiolinguistik Qurani atas nama Mudjia. (Baca: Diakui Dosen Banyak Lakukan Plagiat Naskah Populer) Dalam buku terbitan UIN Malang Press tahun 2007 tersebut, sejumlah bab identik dengan karya ilmiah para mahasiswa. Makalah yang dijadikan tugas mata kuliah yang diampu Mudjia tersebut disusun terstruktur tanpa proses penyuntingan. Bahkan kalimat dan struktur bahasa pun sama persis dengan makalah mahasiswa. Sedangkan makalah mahasiswa yang ditiru antara lain berjudul "Bahasa dan Masyarakat" di halaman 107, "Bahasa dan Agama" (46), "Ragam Bahasa" (86), dan "Pria Wanita dalam Bahasa" (166). (Baca: Ungkap Plagiarisme Anggito, Rektor UGM Bentuk Tim) Juru bicara UIN Maliki Malang, Sutaman, menjelaskan, Mudjia tengah melakukan perjalanan dinas ke Polandia. Setelah merampungkan tugas itu pekan depan, Mudjia berjanji akan menemui para mahasiswa. "Pak Rektor sangat senang sekali bertemu mahasiswa," katanya. Ihwal kasus plagiarisme ini, kata Sutarman, hanya mahasiswa yang selama ini berteriak. Sedangkana badan atau lembaga yang berhak menilai belum memberikan keputusan apakah Mudjia melakukan plagiarisme atau tidak.
4. Rektor UIN Dipanggil Terkait Plagiat Dosen
Kasus dugaan plagiat oleh seorang dosen muncul di kampus
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof Djoko Santoso, akan memanggil rektor UIN untuk dimintai keterangan. Djoko mengakui, hingga kini masih banyak laporan dari masyarakat mengenai plagiat karya ilmiah di lingkungan perguruan tinggi. "Termasuk yang dilakukan para pengajar atau dosen," katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (5/6). Dirjen menjelaskan, pemanggilan rektor dilakukan jika ada laporan plagiat yang dinilai merugikan peneliti, terutama mahasiswa yang karya ilmiahnya dicontek dosen. Setiap ada laporan plagiat, rektor akan dipanggil dan dimintai keterangan. "Kemudian kami serahkan penanganan masalah ini ke lembaga perguruan tinggi tersebut, bagaimana mekanismenya," ujarnya. Djoko juga mengatakan, jika terbukti menjiplak hasil karya ilmiah, maka orang yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi seperti pencabutan gelar guru besar, turun pangkat, tidak boleh naik pangkat hingga diberhentikan. Selama ini, kata Djoko, Direktorat Jenderal Dikti melakukan pencegahan dengan berbagai cara, antara lain sebelum pemberian gelar guru besar, semua hasil karya ilmiahnya diperiksa lagi. "Sebelum mendapat guru besar, kami cek lagi dengan sumber-sumber lainnya. Termasuk laporan masyarakat, apakah ada kasus-kasus plagiarisme yang melibatkannya," katanya. Djoko mengatakan, dalam satu lembaga seperti perguruan tinggi, mekanisme pengawasan juga harus ditingkatkan. "Plagiarisme terjadi di satu perguruan tinggi karena sistem pengawasan yang lemah. Kemudian ketidaktahuan," ujarnya. Dikatakan Djoko, Dirjen Dikti akan memasukkan beberapa poin penting dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Perguruan Tinggi, antara lain memuat kewenangan pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap plagiarisme. "Yang bisa mencabut gelar adalah lembaga yang memberikan gelar itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa memanggil rektor untuk meminta klarifikasi dan masalah itu diselesaikan," ujar Djoko. Dugaan plagiat di UIN mencuat dengan adanya laporan penelitian individu yang judulnya mirip dengan judul skripsi mahasiswa. Laporan penelitian individu seorang dosen yang berjudul 'Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Surat Keputusan: Studi Kasus Administrasi Kepegawaian UIN Jakarta' itu mirip skripsi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN berjudul 'Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Surat Keputusan Studi Kasus Subbagian Administrasi Kepegawaian Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta'. Selain itu, juga terlihat ada kesamaan dalam penyusunan kata dan kalimat, antara lain di pendahuluan, hingga daftar pustaka sebagai bahan referensi penelitian. Bahkan pada laporan penelitian individu itu masih terselip kalimat, "dalam proses skripsi ini." Pada sub bab lainnya juga masih tertulis, "dalam skripsi." Tak hanya itu, daftar pustaka di laporan penelitian individu dosen itu juga sama dengan daftar pustaka di skripsi mahasiswa. Urutan hingga jumlah daftar pustaka laporan penelitian individu sama persis dengan yang tertulis di skripsi. Namun daftar pustaka dalam laporan penelitian itu tidak mencantumkan nama mahasiswa dan judul skripsinya sebagai bahan pustaka. Waktu penelitian yang dilakukan oleh dosen sama dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswanya. Mahasiwa itu melakukan penelitian untuk penyusunan skripsi pada bulan September 2011. Pada bulan dan tahun yang sama, dosen itu juga melakukan penelitian.
Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin
Hidayat mengatakan, universitas telah menjatuhkan sanksi kepada dosen yang diduga plagiat itu, namun dosen yang bersangkutan tampaknya keberatan. "Sekarang yang bersangkutan menggugat rektor melalui PTUN," kata Komaruddin melalui layanan pesan singkat yang dikirim kepada Kompas.
5. Marak Plagiarisme, Nasir Minta Kampus buat Sistem
Pencegahan Tri Wahyuni, CNN Indonesia Selasa, 09/06/2015 13:31 WIB Depok, CNN Indonesia -- Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengimbau para rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk membangun sistem yang dapat digunakan untuk melacak kasus plagiarisme pada lingkup pendidikan tinggi. Hal itu guna mencegah adanya kasus plagiarisme oleh dosen ataupun mahasiswa. "Antisipasinya saya minta kepada PTN dan PTS membuat sistem supaya bisa melacak plagiarisme," kata Nasir saat ditemui usai peninjauan langsung pelaksanaan Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SMBPTN) di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (9/6). (Baca Juga: Menteri Nasir Bekukan Kegiatan STIE Adhy soal Ijazah Palsu) Sebelumnya, seorang Rektor di Universitas Islam Negeri (UIN), Maulana Malik Ibrahim, digugat praperadilan atas dugaan plagiat atas makalah 19 mahasiswanya. Praperadilan tersebut diajukan karena Ditreskrimum Polda Jatim menghentikan proses penyidikan sejak 6 Maret 2015 dengan alasan laporan telah dicabut pelapor yang bernama Subaryo. Sementara itu, Nasir mengatakan pihaknya menyerahkan kewenangan kepada tiap universitas untuk menentukan sanksi atas staf kampus, dosen, atau mahasiswa yang terbukti melakukan plagiarisme pada hasil karya mereka, baik skripsi, thesis ataupun disertasi. "Kalau Menteri yang mengatur itu, terlalu jauh. Ini sudah otonomi akademik rektor. Universitas yang akan mengantur," kata Nasir menegaskan. Ditemui di kesempatan yang berbeda, Rektor Universitas Indoneaia Muhammad Anis mengatakan untuk kasus plagiarisme karya tulis di areal kampus, pihaknya tidak akan memberikan ampun pada pelaku. (Lihat Juga: Menteri Nasir: 187 Pemilik Ijazah Palsu Punya Jabatan Penting) "Kalau plagiat sudah pasti tidak ada ampun. Kami langsung keluarkan dan cabut ijazahnya. Tidak akan lulus," ujar Anis menegaskan.
Marak Skripsi Bayaran
Nasir juga meminta para pihak universitas untuk menindak tegas staf kampus, dosen atau mahasiswa yang terlibat menggunakan jasa skripsi bayaran. Sementara itu, untuk pelaku pembuatan skripsi bayaran, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan pihak Polda Metro Jaya untuk terus mengusut praktik penipuan tersebut. Dia mengatakan belum lama ini pihaknya bersama dengan aparat Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya menemukan adanya tempat pambuatan skripsi bayaran di daerah Pramuka, Jakarta Timur. Bahkan, di tempat itu juga ditemukan adanya pembuatan ijazah palsu. "Tempat pembuatan skripsi yang kami tangkap di Jalan Pramuka, polisi menangkap tiga orang. Di situ ada transaksi jual beli ijazah palsu," ujar Nasir. Tak tanggung-tanggung, kata Nasir, ijazah keluaran tempat pembuatan skripsi itu adalah ijazah Universitas Indonesia. Munculnya jasa pembuatan skripsi sekaligus pencetak ijazah palsu tersebut menurut Nasir terbentuk karena adanya permintaan yang tinggi. "Modusnya kembali kepada supply dan demand. Kalau permintaan tinggi muncul produksi baru," ujarnya. (utd) BERITA KASUS PLAGIAT DI INDONESIA
atau Fahrur memaparkan bukti-bukti plagiat yang dilakukan Setiawan. Selain Ke Polres Setiawan juga dilaporkan ke Polda Jateng, Kasus plagiat ini di duga Disdikpora Magelang ikut terlibat. Fahrur mengatakan, plagiarisme bisa mengancam dunia pendidikan di Kabupaten Magelang. Karena rumus-rumus matematika hasil kegiatan plagiarisme dipelajari ratusan guru matematika se-Kabupaten Magelang. Padahal rumus-rumus tersebut nantinya akan kembali diajarkan kepada ribuan siswa,tuturnya. Kami sudah berusaha lanjut Fahrur, mencari penyelesaian masalah secara damai namun ternyata tidak mendapatkan respon yang baik. "Jika mereka ijin atau bilang baik-baik saya tidak masalah,tegas Fahrur. Rumus ini sudah didaftarkan Fahrur hak patennya ke Kemenkumham dengan nomer 060228 tertanggal 29 Agustus 2012. "Kami sudah melaporkannya ke Polres Magelang dan Polda Jawa Tengah," terangnya. Disdikpora Kabupaten Magelang di duga juga terlibat dalam kasus ini. Pasalnya Disdikpora melalui surat nomor 421.2/7345/20.2a/2014 memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama LKP Matematika Indonesia untuk menggelar seminar. Surat yang ditandatangani Plt Kepala Disdikpora Drs Eko Triyono tertanggal 17 Maret 2014 itu menjadi senjata LKP Matematika Indonesia untuk 'memaksa' ratusan guru-guru matematika mengikuti seminar. Para guru harus membayar Rp 160 ribu per orang.
Kasus ini mencuat ketika Direktur Utama LKP Matematika
Indonesia asal Kabupaten Wonogiri Setiawan menggelar Seminar Nasional Matematika Indonesia di ruang Cemara Hotel Grand Artos, Mertoyudan, Kabupaten Magelang mulai Selasa- Kamis 5-7 Mei 2015. Setiawan diduga mengajarkan dengan menggunakan rumus konversi ukuran hasil ciptaan pendiri Matematika Dahsyat Indonesia (MDI) Fahrurodin HS atau Fahrur dari Muntilan. (zis)
2. Plagiat, Tiga Dosen UPI Batal Jadi Gubes
Okezone.com Minggu, 4 Maret 2012 - 07:39 wib
BANDUNG - Tiga dosen terduga plagiarisme dari Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) mendapat sanksi berupa penurunan pangkat dan jabatan. Sanksi ini sesuai rapat senat akademik UPI yang digelar baru-baru ini. Ketua Senat akademik UPI, Syihabudin, mengatakan sanksi diberikan kepada ketiga doktor sesuai dengan peraturan pemerintah No.53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, Permendiknas No 17 tahun 2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi, dan keputusan senat akademik No.001/senat.akd./UPI-SK/V/2008 tentang kode etik dosen UPI. "Senat Akademik UPI menggugurkan persetujuan atas usulan kenaikan jabatan guru besar terhadap tiga calon tersebut," kata Syihabudin, baru-baru ini. Lanjutnya, UPI prihatin dan menyesal atas terjadinya kasus plagiarisme. Tetapi UPI seruis menangani masalah yang mencoreng kampus pendidikan itu. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya tim khusus segera setelah menerima surat dari direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sebelumnya diberitakan, tiga dosen UPI diduga melakukan praktik plagiat hasil karya untuk diajukan ke Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menjadi guru besar. Menurut informasi yang dihimpun, tiga dosen tersebut salah satunya memegang jabatan strategis di UPI. (rfa)
3. Dosen UPI Diduga Jiplak Karya Tulis
Okezone.com Kamis, 1 Maret 2012 - 08:30 wib
BANDUNG Tiga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
diduga melakukan praktik plagiat hasil karya yang ajukan ke Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menjadi guru besar. Kejadian memalukan institusi pendidikan ini telah sampai ke Dikti Kemendikbud, meski belum mengantongi nama-nama dosen yang bersangkutan. Menurut sumber yang enggan disebutkan identitasnya, akibat kejadian ini UPI menerima moratorium dari Dikti. "Dari tiga dosen itu, salah satunya plagiat dari hasil karya Universitas Padjadjaran (Unpad). Selama satu tahun UPI tidak boleh mengajukan guru besar dan semua dosen tidak bisa naik golongan atau pangkat," ujarnya, kemarin. Pembantu Rektor Bidang Penelitian dan Pengembangan UPI Aminudin Azis mengatakan, akan menggelar rapat meski tidak mengetahui persis apa yang dibahas. "Kalau urusan kemiripan, saya tidak tahu karena tidak menjadi tim pemeriksa. Biasanya kalau ada plagiarisme akan tergantung pelanggaran norma akademik atau aturan kementerian, bukan masalah tegas atau tidak, karena ini tidak bisa digeneralisasi," ucapnya. Menurut dia, surat dari Dikti tidak hanya untuk UPI, rektor perguruan tinggi lain juga menerimanya. Isinya semua rektor berhati-hati tindak plagiat, karena dianggap kurang bermartabat. Kepala Humas UPI Suwatno Fakhrudin mengatakan, tim evaluasi sudah selesai bekerja merespons rekomendasi Dikti dan akan dibawa ke senat akademik. "Kami juga sekaligus merumuskan langkah-langkah penyelesaian terkait masalah ini," ucapnya. Asisten Direktur I Pascasarjana Unpad Engkus Kuswarno mengungkapkan, satu minggu lalu Unpad menerima surat dari Dikti untuk mengecek karya tulis pengajuan guru besar mengenai sub judul ilmu pemerintahan studi kasus di Cianjur. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Djoko Santoso membenarkan adanya pelanggaran norma akademik. Hal ini terlihat dari kemiripan karya tulis yang diajukan ke Dikti. "Kalau dari data-data yang ada tampak ada pelanggaran akademik," ucapnya. (masita ulfah/koran si) (rfa)
4. Seperempat Esai Mahasiswa Indonesia Terindikasi
Plagiat SELASA, 09 FEBRUARI 2016 | 23:03 WIB TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Politik dari Northwestern Unversity, Chicago, Amerika Serikat, Jeffrey A Winters, mengaku masih menemukan plagiarisme dalam penulisan esai akademik mahasiswa Indonesia. "Plagiarisme itu bisa membuat mereka langsung didiskualifikasi dari daftar penerima beasiswa," kata Winters, yang juga Ketua Dewan Pengawas Indonesian Scholarship and Research Support (ISRSF), sebuah lembaga yang mendukung mahasiswa Indonesia mengejar studi doktoral di Amerika Serikat, Selasa 9 Februari 2016. Menurut Winters, dia memiliki aplikasi yang bisa mendeteksi plagiarisme dalam karya tulis mahasiswanya hanya dalam 2 menit. Indikasi plagiarisme ini kerap muncul dalam seleksi lomba menulis akademik 2015 yang diselenggarakan ISRSF di Indonesia. "Sekitar seperempat dari esai yang masuk melakukan plagiarisme dalam jumlah banyak," kata Winters lagi. Lebih lanjut, Winters menjelaskan bahwa plagiarisme itu bisa dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Plagiarisme sengaja dilakukan jika penulis langsung mencontek tulisan orang dan sengaja tidak menuliskan catatan kaki asal tulisan itu. Sedangkan plagiarisme yang dilakukan secara tidak sengaja terjadi ketika seseorang menulis ide orang lain, namun cara mereferensikannya kepada pemilik ide, kurang tepat. Dalam temuannya, Winters menegaskan, jumlah konten plagiarisme dalam esai mahasiswa Indonesia berbeda-beda. Ada yang plagiarisme hanya 4 persen, ada pula yang 50 persen. "Sayangnya ada pula yang plagiat esai mereka sampai 99 persen," katanya. Winters menyesalkan masih adanya plagiarisme ini. Menurutnya, kemampuan menulis esai yang baik adalah parameter penting yang selalu dipakai oleh perguruan tinggi ternama dan lembaga pemberi beasiswa di luar negeri untuk mengukur kualitas calon mahasiswa. Sayangnya, kemampuan tersebut umumnya masih menjadi kelemahan bagi mahasiswa calon penerima beasiswa dari Indonesia. Menurut Winters, biasanya para penyelenggara beasiswa langsung mendiskualifikasikan calon peserta beasiswa tanpa memberikan informasi bila ketahuan melakukan plagiarisme. Bahkan sistem gugur langsung itu dilakukan sebelum esai akademik itu diserahkan untuk dinilai juri. Plagiarisme, dengan mencontek data orang, dalam esai akademik yang bukan untuk mencari beasiswa pun akan fatal bila diketahui 10-20 tahun kemudian. "Maka jangan coba-coba lakukan plagiarisme dalam esai akademik," katanya. Juri kompetisi Esai Akademik ISRSF, Dewi Cahyaningrum, membenarkan temuan Winters. Menurutnya, salah satu alasan beberapa mahasiswa melakukan plagiarisme adalah karena tidak terbiasa membaca. Ia menilai budaya baca masyarakat Indonesia rendah. Siswa Indonesia, kata Dewi, terbiasa dimanjakan dengan menonton televisi dibanding membaca. Menurut Dewi, menulis adalah buah pikir yang didapat seseorang dari membaca. Tanpa terbiasa membaca, penulis akan kekurangan kosakata atau susah menyampaikan buah pikirnya . "Karena kesulitan, akhirnya mereka mencontek," kata peneliti dari Jurnal Perempuan ini.
5. Badan Kehormatan: Plagiat Pelanggaran Etika Berat
RABU, 18 JANUARI 2012 | 01:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Kehormatan DPR Muhammad
Prakosa menilai plagiat merupakan pelanggaran etika berat. Ketentuan itu berlaku untuk semua orang, termasuk anggota DPR. Anggota Dewan tidak boleh dan tidak layak (plagiat), kata Prakosa di gedung MPR/DPR, Selasa, 17 Januari 2011. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menilai plagiat merupakan pelanggaran paling berat terhadap hasil karya. Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Marwan Jafar diduga memplagiat karya Jusman Dalle, aktivis mahasiswa Makassar. Jusman menilai Marwan menjiplak 80 persen karyanya dalam tulisan yang dikirim atas nama Marwan ke Koran Tempo. Tulisan Marwan itu dimuat di rubrik opini pada 13 Januari 2011. Prakosa belum bisa menilai adanya pelanggaran etika dalam dugaan plagiat oleh Marwan Jafar. Badan Kehormatan juga belum menindaklanjuti dugaan itu karena belum menerima laporan. Saya baru baca di koran. Jika Marwan terbukti memplagiat, Badan Kehormatan bisa memberikan sanksi atas pelanggaran etika itu. Sanksinya bisa dari teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap. Marwan Jafar mengaku seudah bertemu dengan Jusman dan menyatakan berdamai. Ia mengaku tak pernah membuat tulisan yang dikirim ke Koran Tempo. Opini itu terbit karena salah satu stafnya mengirim. Saya juga tidak tahu dia kirim. Jadi ini murni kesalahan dan kecerobohan staf saya, kata Marwan.