Anda di halaman 1dari 30

REFERENSI ARTIKEL

PROSES BIOMOLEKULER DAN TERAPI PREVENTIF KARSINOMA


KOLOREKTAL PADA KASUS INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Oleh:
Hanani Kusumasari G99152076

Muhammad Arief Luthfi Parama G99152077

Rifqy Syaiful Bahri G99152078

Pembimbing

dr. TY Pramana, SpPD-KGEH, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2016

Halaman Pengesahan

Laporan Referat Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :

1
PROSES BIOMOLEKULER DAN TERAPI PREVENTIF KARSINOMA
KOLOREKTAL PADA KASUS INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Oleh:
Hanani Kusumasari G99152076

Muhammad Arief Luthfi Parama G99152077

Rifqy Syaiful Bahri G99152078

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :


_____ November 2016

dr. TY. Pramana, SpPD-KGEH, FINASIM

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 6
A. Patofisiologi Perkembangan Inflammatory Bowel Disease
(IBD) Menjadi Karsinoma Kolorektal ................................6

2
1. Inflamasi Kronik dan Tumor Microenvironment ..........6
2. Inflamasi Kronik dan Stroma Tumor ............................6
3. Makrofag Terasosiasi Tumor ........................................7
4. Sitokin dan Kemokin ....................................................8
5. Reactive Oxygen and Nitrogen Species ........................8
B. Jalur Pensinyalan Sel yang Menghubungkan Inflamasi
dengan Karsinogenesis ........................................................9
1. COX-2 ...........................................................................9
2. NF-B .........................................................................11
3. Phosphatidylinositol 3-kinase .....................................13
C. Karakteristik Molekuler Karsinoma Kolorektal yang
Disebabkan oleh Inflammatory Bowel Disease .................16
D. Terapi Preventif Karsinoma Kolorektal pada kasus
Inflammatory Bowel Disease..............................................18
1. Aspirin dan NSAID ....................................................18
2. Asam Folat ..................................................................18
3. Ursodeoxycholic acid (UDCA)...................................19
4. Immunomodulator ......................................................20
5. Kalsium .......................................................................21
6. Statin ...........................................................................21
7. Mesalamin ...................................................................22
8. Kortikosteroid .............................................................22
9. Biological Treatment pasien Inflammatory Bowel Disease 22
BAB III PENUTUP ..................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk


mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus
gastrointestinal, yaitu Crohns disease dan kolitis ulserativa. Kedua kelainan tersebut
harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan,
karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam
dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata,
ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan
kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD (Alwi dkk, 2015)
Crohns disease pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer
pada tahun 1932. Saat ini, Crohns disease diketahui sebagai suatu proses inflamasi
kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.
Kolitis ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang
timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi
pada kolitis ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan
melibatkan kolon ke arah proksimal. (Rowe, 2016)
Kedua tipe IBD ini paling sering didiagnosa pada orang-orang berusia dewasa
muda. Insiden paling tinggi dan mencapai puncaknya pada usia 15-40 tahun,
kemudian baru yang berusia 55-65 tahun. Namun, pada anak-anak di bawah 5 tahun
maupun pada orang usia lanjut terkadang dapat ditemukan kasusnya. Dari semua
pasien IBD, 10%-nya berusia kurang dari 18 tahun. Berdasarkan statistik
internasional, insiden IBD sekitar 2,2-14,3 kasus per 100.000 orang per tahun untuk
kolitis ulseratif dan 3,1-14,6 kasus per 100.000 orang per tahun untuk Crohns
disease. Rata-rata, insiden IBD 10 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. (Rowe,
2016)
Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Crohns disease setiap 100.000

4
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru kolitis ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun.
Secara umum, prevalensi IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan
perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, di daerah urban, akan tetapi
laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Crohns disease. Pada anak,
Crohns disease biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru
di populasi berusia <20 tahun. (Rowe, 2016)
Pada pasien dengan IBD jika tidak ditangani lebih lanjut akan memiliki risiko
lebih tinggi menderita kanker kolorektal. Pada pasien yang menderita IBD selama >8
tahun memiliki resiko tinggi menderita kanker kolorektal. Untuk itu dilakukan terapi
preventif untuk mencegah timbulnya kanker kolorektal (Mansjoer, 2007)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Patofisiologi Perkembangan Inflammatory Bowel Disease (IBD) Menjadi


Karsinoma Kolorektal
1. Inflamasi Kronik dan Tumor Microenvironment
Respon inflamasi kronik menunjukkan adanya keseimbangan antara
inflamasi yang aktif, proses repair, dan destruksi yang terjadi sebagai
respon terhadap stimulus yang persisten dalam jangka waktu lama.
Aktivasi leukosit dalam merespon stimulus yang terjadi menyebabkan
produksi kemokin, sitokin, dan reactive oxygen species (ROS) sehingga
menghasilkan destruksi jaringan yang terakumulasi dan usaha-usaha
berikutnya untuk proses penyembuhan melalui proses remodeling,
angiogenesis, dan penggantian jaringan ikat. Akumulasi kerusakan sel
yang disertai hilangnya mekanisme kontrol siklus sel diduga sebagai jalur
yang menginisiasi tumor. (Jackson & Evers, 2006)

2. Inflamasi Kronik dan Stroma Tumor


Karsinoma pada pankreas, gaster, dan kolorektal memiliki komposisi
yang sama pada makrofag, sel dendritik, limfosit, fibroblast, jaringan ikat,
dan matriks fibrin. Mediator pertumbuhan tumor dan invasi yang dapat
ditemukan antara lain cyclin El, calcium-binding protein S100A4, matrix
metalloproteinase 2 (MMP-2), and epidermal growth factor (EGF). EGF
lebih banyak ditemukan di bagian stroma, sedangkan reseptor EGF
(EGFR) banyak ditemukan di permukaan sel tumor sehingga stroma
menyediakan banyak faktor pertumbuhan dan proteinase yang berperan
dalam invasi tumor. (Jackson & Evers, 2006)
Selain itu, NF-B, faktor transkripsi yang produknya mengatur
onkogenesis, inflamasi, dan apoptosis, serta aktivator NF-B, yaitu IKB
kinase, kadarnya meningkat pada tumor dan organ digestif yang
mengalami inflamasi kronik, yang telah diberi pewarnaan

6
imunohistokimia. Peningkatan kadar IL-8 dan TNF- ini terjadi sebagai
respon terhadap faktor yang diproduksi oleh reaksi inflamasi kronik dan
stroma tumor sehingga menandakan adanya hubungan mitogenik pada sel.
(Jackson & Evers, 2006)

3. Makrofag Terasosiasi Tumor


Pada elemen stromal tumor, makrofag terasosiasi tumor adalah efektor
utama inflamasi kronik dan berperan dalam patogenesis karsinoma
kolorektal dan organ digestif lainnya, yang memproduksi mediator
inflamasi dalam jumlah besar (tabel 2). Mediator inflamasi tersebut antara
lain faktor pertumbuhan dan angiogenesis (PDGF, TGF-, EGF), sitokin
dan kemokin (IL-1, IL-8, dan TNF-), enzim proteolitik yang
mendegradasi matriks ekstraselular dan memicu invasi (protease, elastase,
collagenase, hidrolase, fosfatase, matrix metalloproteinase-9 (MMP-9),
dan lipase), dan agen sitotoksik yang berperan dalam kerusakan genomik
sel inang dan merangsang karsinogenesis (ROS, hidrogen peroksida, nitrit
oksida). Makrofag juga memproduksi migration inhibitory factor (MIF),
yang mana berkontribusi dalam immobilisasi sel mononuclear pada lokasi
inflamasi kronik yang aktif. Tetapi, MIF juga memiliki peran ganda dalam
mensupresi aktivasi transkripsi gen supresor tumor p53, yang bisa memicu
karsinogenesis. Hidrogen peroksida, hasil sampingan dari aktivasi
makrofag, memiliki kemampuan untuk mengaktifkan NF-B dengan
memindahkan inhibitor IKB, sehingga memicu translokasi faktor
transkripsi menuju nukleus dan memulai ekspresi gen yang mengatur
inflamasi dan cell survival. TNF- juga mengaktifkan kompleks NF-B,
yang akan menghambat apoptosis. (Jackson & Evers, 2006)
Tabel 2. Daftar mekanisme makrofag dalam tumorigenesis

7
(Jackson & Evers, 2006)

4. Sitokin dan Kemokin


TNF-, IL-l, dan IL-6 yang diproduksi oleh leukosit teraktivasi adalah
mediator inflamasi utama dan mediator tumorigenesis utama. Mereka
menginduksi produksi molekul adhesi, faktor pertumbuhan, eikosanoid,
nitrit oksida, faktor kemotatik dan angiogenik seperti VEGF, dan mampu
mengaktifkan jalur NF-B dan PI3K, kemudian menyokong inisiasi,
pertumbuhan, dan invasi tumor. Kedua reseptor tersebut ditemukan di
elemen stroma dan permukaan sel tumor sehingga diduga terdapat
mekanisme efek lokal autokrin dan parakrin. (Jackson & Evers, 2006)

5. Reactive Oxygen and Nitrogen Species


Perkembangan neoplasia pada inflamasi kronik adalah proses multi-
hit, yang disebabkan oleh akumulasi mutasi genetik. Mutasi ini
disebabkan oleh efek ROS seperti anion superoksida, hidrogen peroksida,
radikal bebas, dan reactive nitrogen species seperti NO, peroksinitrit,
nitrogen dioksida, dan nitrosoperoksi karbonat, yang secara bersama
termasuk dalam reactive oxygen and nitrogen species (RONS), yang
muncul akibat sel inflamasi teraktivasi. Efek toksik dari RONS antara lain
putusnya untaian DNA, mismatch, mutasi, dan pembentukan perlengketan

8
DNA oleh nitrotirosin. NO juga bertanggungjawab terhadap nitrosilasi dan
nitrosasi protein yang terlibat dalam apoptosis seperti caspase-3, caspase-
8, dan caspase-9 sehingga menghasilkan inaktivasi dan mencegah
kematian sel akibat cedera sel. (Jackson & Evers, 2006)

B. Jalur Pensinyalan Sel yang Menghubungkan Inflamasi dengan Kanker


Tiga jalur utama patogenesis inflamasi kronik yang berperan dalam
karsinogenesis di saluran pencernaan adalah jalur COX-2, NF-B, and PI3K
1) COX-2
Cyclooxygenase (COX) atau prostaglandin G/H synthase adalah
enzim terbatasi laju yang mengkatalis konversi asam arakhidonat menjadi
berbagai macam mediator fisiologik dan inflamatori, termasuk prostaglandin
and thromboksan (Gambar 2). Dua isoform enzim ini muncul dalam bentuk
bervariasi dalam distribusi jaringannya dan pola ekspresinya. COX-1
terekspresi di banyak jaringan dan produk turunannya mengatur proses
homeostasis seperti fungsi platelet dan sitoprotektif terhadap gaster.
Sebaliknya, COX-2 termasuk dalam kelas gen yang dikenal sebagai gen
perespon pertumbuhan awal (early growth) yang bisa diinduksi oleh sitokin
inflamasi dan faktor pertumbuhan, termasuk IL-1 dan TNF-, dan produk
turunan COX-2 kebanyakan merupakan prostaglandin pro inflamasi dan
eikosanoid yang terlibat dalam pengaturan respon imun. COX-2 tidak
diekspresikan di usus manusia, tetapi aktivitasnya meningkat secara signifikan
pada karsinoma kolorektal, pankreas, gaster, dan karsinoma lain di luar
saluran cerna. Overekspresi awal COX-2 yang signifikan berkaitan dengan
kejadian kolitis ulseratif, baik di mukosa yang terinflamasi maupun yang tidak
inflamasi, serta displasia dan neoplasia terkait kolitis ulseratif. Banyak studi
epidemiologi yang menunjukkan bahwa terdapat pengurangan pembentukan
polip adenomatous sebanyak 30-50% pada karsinoma kolorektal dengan
menghambat aktivitas COX-2 dengan NSAID. (Jackson & Evers, 2006)
Ada beberapa mekanisme terkait overekspresi COX-2 pada inisiasi
dan progesi tumor. Dua produk prostaglandin yang berasal dari COX-2, yaitu

9
PGE2 dan PGI2, memiliki aktivitas angiogenik dan diduga mendukung
pertumbuhan dan pembesaran tumor. Hal ini didukung fakta bahwa ketika sel
karsinoma kolorektal manusia maupun mencit dikultur bersama dengan sel
endotel pembuluh darah dan diberi inhibitor COX-2 selektif secara in vitro,
terdapat hambatan migrasi dan pembentukan pipa pembuluh darah oleh sel
endotel. Ada 2 hipotesis lain mengenai mekanisme aktivasi COX-2 yang
memicu tumorigenesis, yakni kenaikan jumlah derivat malondialdehid dan
kenaikan aktivitas protein antiapoptosis Bcl-2. Malondialdehid adalah produk
sampingan lipid peroksidase dan sintesis prostaglandin yang dimediasi COX
dan bersifat genotoksik. Malondialdehid terdeteksi di karsinoma kolon
sporadik dan inflammatory bowel disease serta mampu memicu instabilitas
genomik. Bcl-2 menghambat pelepasan sitokrom c dari mitokondria dan
mencegah aktivasi caspase sehingga terjadi inhibisi apoptosis. Kerja NSAID
dapat menurunkan kadar malondialdehid dan ekspresi Bcl-2 sehingga
insidensi pembentukan polip berkurang pada pasien yang diberi NSAID dan
ukuran polip juga mengecil. (Jackson & Evers, 2006)

Gambar 2. Metabolisme asam arakhidonat dan peran COX-1 serta COX-2. Lokasi
jaringan tempat ekspresi prostaglandin utama disebutkan dalam tanda kurung. PGD2:

10
Prostaglandin D2; PGE2: Prostaglandin E2; PGF2: Prostaglandin F2; TXA2;
Thromboxane A2; PGI2: Prostaglandin I2; HETE: Hydroxyeicosatetraenoic acid.
(Jackson & Evers, 2006)

2) NF-B
NF-B adalah faktor transkripsi umum yang berperan penting dalam
respon selular terhadap perubahan lingkungan seperti stres, inflamasi, dan
infeksi. NF-B diaktifkan dalam respon terhadap agen infeksius atau sitokin
seperti TNF-, IL-1, platelet activating factor (PAF), ROS,
lipopolysaccharide (LPS), and leukotriene B4. Produknya antara lain faktor
pertumbuhan, sitokin, molekul adhesi sel, imunoreseptor, dan protein
pertahanan sel sehingga perannya sangat penting dalam pengaturan respon
imun yang kompleks. Aktivasi NF-B muncul pada keadaan inflamasi seperti
pankreatitis akut dan kronik, gastritis, dan inflammatory bowel disease, serta
tumor solid, termasuk karsinoma pada traktus digestivus. Aktivasi NF-B oleh
stimulus pro inflamasi dan kemampuannya untuk menghambat apoptosis
membuat jalur NF-B diduga menyediakan hubungan antara inflamasi dan
kanker. Protein NF-B yang fungsional berupa heterodimer, paling sering
dibentuk oleh p65/RelA dan p50 subunit, walaupun banyak dimer lain yang
muncul secara in vivo (Gambar 3). (Jackson & Evers, 2006)
Pada sel yang beristirahat, NF-B terikat pada inhibitor protein NF-B
(IK), menyamarkan sinyal lokal intinya sendiri dan mengisolir NF-B inaktif
di sitoplasma. Stimulasi sel oleh aktivator seperti TNF- menghasilkan
kaskade yang dimulai dengan aktivasi kompleks IKK yang terdiri dari IKK,
IKK, dan IKK. Kompleks ini memfosforilasi IB, menandainya untuk
muncul pada residu lisin spesifik dan menargetnya untuk proteasom 26S.
Proteasom 26S mendegradasi IB, membuka selubung sinyal lokal inti sel
oleh NF-B, kemudian memicu translokasinya menuju nukleus, yang mana
mengatur transkripsi gen target. (Jackson & Evers, 2006)

11
Pengikatan TNF- ke TNR receptor-1 (TNFR1) memicu transduksi
sinyal sehingga NF-B teraktivasi dan meningkatkan aktivitas protein yang
bertanggungjawab dalam memodulasi respon imun dan menghambat
apoptosis, termasuk c-myc proto-oncogene, yang merupakan inhibitor protein
apoptosis, dan Bcl-2. Autoregulasi positif muncul ketika beberapa stimulator
aktivasi NF-B, termasuk TNF- dan IL-1 dipicu oleh aktivasi NF-B,
kemudian mempotensiasi efeknya sendiri. NF-B terdeteksi meningkat dan
diisolasi dari makrofag dan sel epitel yang berasal dari sampel biopsi dan
kultur sel pasien dengan IBD dan karsinoma kolorektal, sedangkan pada sel
normal kadarnya masih normal. (Jackson & Evers, 2006)
Delesi IKK pada sel epitel usus dihubungkan dengan penurunan
drastis kejadian tumor dan adanya peningkatan apoptosis sel tumor,
sedangkan delesi di sel myeloid menghasilkan pengecilan ukuran tumor tanpa
efek bertambahnya jumlah dan berkurangnya sitokin yang berperan sebagai
faktor pertumbuhan tumor. (Jackson & Evers, 2006)

12
Gambar 3. Jalur NF-B. IKK, , : kompleks IB kinase; p50, p65: heterodimer
NF-B; IB: inhibitor B; kompleks E3-SCF-TrCP: kompleks ligase ubiquitin; Ub:
tempat ubiquitinasi; P: tempat fosforilasi; IAP: inhibitor protein apoptosis (Jackson &
Evers, 2006)

3) Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)


Jalur lain yang berperan penting dalam keseimbangan antara cell
survival dan apoptosis adalah jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K).
PI3K adalah lipid kinase yang diaktifkan oleh berbagai macam stimulus
ekstraselular seperti sitokin (misalnya TNF-) dan faktor pertumbuhan, yang
terlibat dalam pengaturan proses selular yang beragam, seperti pertumbuhan
dan pertahanan sel, penyusunan ulang sitoskeletal aktin, aliran vesikel sel.
Peningkatan aktivitas PI3K terdeteksi pada 86% karsinoma kolorektal
manusia dengan peningkatan aktivitas yang berkorelasi dengan peningkatan
potensi tumorigenesis pada sel kanker yang diperiksa. Dorongan cell survival
oleh PI3K dan kontribusi turunannya terhadap tumorigenesis diduga terjadi
melalui inhibisi sinyal proapoptotik dan induksi sinyal survival. PI3K adalah
protein heterodimer yang dibentuk oleh subunit regulator (p85) dan subunit
katalitik (pi10). Ketika reseptornya diaktivasi, PI3K mengkatalis fosforilasi
phosphatidylinositol 4-phosphate dan phosphatidylinositol 4,5-phosphate,
menghasilkan PIP2 dan PIP3. PIP3 kemudian mengikat protein kinase B
(Akt) dan phosphatidylinositide-dependent kinase-1 (PDK-1), mengakibatkan
translokasi struktur tersebut ke membran plasma, yang PDK-1 memfosforilasi
dan mengaktifkan Akt kinase. Akt kinase yang teraktivasi kemudian
memfosforilasi glycogen synthase kinase-3 (GSK-3), dan membuatnya
inaktif. GSK-3 yang aktif dilepaskan fosfornya dan bertanggungjawab untuk
memelihara faktor transkripsi yang mengaktifkan siklus sel, seperti c-myc, c-
jun, cmyb, dan cyclin Dl dalam keadaan inaktifnya (terfosforilasi). Inaktivasi
GSK-3 dengan fosforilasi membuat sel memasuki siklus sel. Selain itu, Akt

13
kinase memfosforilasi Bcl-2 antagonist of cell death (BAD), caspase 9, dan
forkhead transcription factor (FKHR) sehingga mensupresi fungsi pro
apoptosis protein-protein tersebut. FKHRLl, yang termasuk kelompok kecil
golongan forkhead faktor transkripsi, memiliki fungsi dalam mengatur
ekspresi gen p27 ketika protein tersebut dalaam keadaan aktif dan tidak
terfosforilasi. Karena produk gen p27 adalah protein inhibitor Cdk, inaktivasi
inhibitor ini via fosforilasi dan eksklusi inti oleh FKHRL1 meningkatkan
protein Cdk, kemudian mempertahankan kehidupan sel. (Jackson & Evers,
2006)

Gambar 4. Jalur PI3K. p85/p110: heterodimer PI3K; P: tempat fosforilasi; PIP2:


phosphatidylinositol 4,5-phosphate; PIP3: phosphatidylinositol 3,4,5-phophate; PDK:
phosphatidylinositide-dependent kinase; GSK-3: glycogen synthase kinase-3; FKHR-
L1: forkhead transcription factor; BAD: Bcl-2 antagonist of cell death. (Jackson &
Evers, 2006)

14
Aktivasi jalur PDK diatur oleh gen supresor tumor PTEN
(phosphatase and tensin homolog deleted on chromosome ten), yang juga
dikenal sebagai MMAC (mutated in multiple advanced cancers). Produk gen
PTEN, yakni 3' phosphatase, berperan sebagai supresor tumor dengan cara
mendegradasi produk PIP3 yang berasal dari aktivasi PDK, kemudian
menghambat aktivasi jalur PDK. Mutasi gen ini dihubungkan dengan
beberapa gangguan neoplastik, seperti Cowden's disease, Lhermitte-Duclos
disease, dan Bannayan-Zonana syndrome, yang ketiganya berhubungan
dengan peningkatan insidensi poliposis kolorektal dan kanker, juga neoplasia
di sistem organ lain. (Jackson & Evers, 2006)
Hubungan antara jalur PI3K dan karsinogenesis sudah diteliti dengan
memeriksa ekspresi yang berbeda dari berbagai macam komponen jalur dan
efek inhibisinya atau overekspresi pada jaringan tumor. Jalur COX-2, NF-B,
dan PI3K ternyata memiliki hubungan yang kompleks satu sama lain (Gambar
5). (Jackson & Evers, 2006)

15
Gambar 5. Jalur COX-2, NF-B, dan PI3K dalam satu rangkaian. (Jackson & Evers,
2006)
C. Karakteristik Molekuler Karsinoma Kolorektal yang Disebabkan oleh
Inflammatory Bowel Disease
Transformasi neoplastik pada IBD diduga memiliki kemiripan dengan
sekuens adenokarsinoma pada karsinoma kolorektal sporadik (nonherediter).
Tidak seperti karsinoma kolorektal yang lesi displastiknya muncul pada 1-2
area fokal di kolon, pada mukosa yang mengalami kolitis ulseratif biasanya
lokasinya hanya 1 area. Banyak perubahan molekular pada perkembangan
karsinoma kolorektal sporadic yang juga berperan pada karsinogenesis di
kolon yang terkait dengan kolitis. Ada 2 jalur utama dari chromosomal
instability (CIN) dan microsatellite instability (MSI) yang bekerja pada
karsinogenesis di kolon yang terkait kolitis, dengan frekuensi yang hamper
sama (85% CIN dan 15% MSI). Pembedaan karakteristik kolon yang
mengalami karsinogenesis dilihat dari lamanya dan frekuensi perubahan yang

16
terjadi. Contohnya, pada karsinoma kolorektal sporadik, hilangnya fungsi
APC dianggap terjadi paling awal dalam urutan proses karsinoma kolorektal
sporadik, sedangkan pada sekuens displasia-karsinoma yang terkait kolitis,
hilangnya fungsi APC terjadi di urutan akhir. Sebaliknya, mutasi p53 pada
neoplasia sporadik biasanya terjadi di akhir pada sekuens adenokarsinoma,
sedangkan pada pasien dengan kolitis ulseratif, mutasi p53 terjadi di urutan
awal dan sering terdeteksi di mukosa yang tidak mengalami displasia atau
tidak pasti displasia. Metilasi berperan penting dalam mekanisme perubahan
genetik dalam karsinoma terkait kolitis. Metilasi pada CpG island pada
beberapa gen tampak memulai proses displasi dan lebih menyebar pada pasien
kolitis ulseratif. (Jackson & Evers, 2006)

Gambar 6. Perbandingan perubahan molekular pada karsinoma kolon sporadik


(nonherediter) dan karsinoma kolon terkait koliti (Baumgart, 2008)

17
Gambar 7. Skema manajemen yang dianjurkan apabila telah ditemukan displasia.
(Baumgart, 2008)

D. Terapi Preventif Karsinoma Kolorektal pada Kasus Inflammatory Bowel


Disease
1. Aspirin dan NSAID
Aspirin dan NSAID mengurangi insidensi dan mortalitas dari
karsinoma kolorektal sporadik sehingga banyak pasien IBD mengonsumsi
NSAID dalam bentuk 5-aminosalisilat (5-ASA) karena diduga 5-ASA
memiliki sifat protektif. (Triantafillidis, 2009)

2. Asam folat
Pada kasus karsinoma kolorektal sporadik, kurangnya intake folat
berhubungan dengan peningkatan resiko timbulnya karsinoma kolorektal
dan adenoma kolon. Terlibatnya peran asam folat dalam karsinogenesis
pada pasien dengan kolitis ulseratif sudah ditunjukkan banyak penelitian.
Asam folat diduga memiliki efek protektif pada pasien dengan kolitis
ulseratif dan primary sclerosing cholangitis secara bersamaan. Mekanisme

18
kerjanya kemungkinan berhubungan dengan pemeliharaan proses metilasi
DNA normal dan prekursor DNA dalam keadaan stabil. Pernah dilaporkan
bahwa pasien IBD dengan kadar homosisteinemia normal, resiko
karsinogenesisnya rendah. Sebaliknya, pasien dengan
hiperhomosisteinemia, defisiensi folat mungkin berhubungan dengan
peningkatan resiko karsinogenesis daerah kolorektal pada pasien dengan
IBD. Karena asam folat sangat aman dan murah, pemberian asam folat
harus dipertimbangkan untuk mengurangi resiko karsinoma kolorektal
pada pasien dengan IBD yang lama. (Triantafillidis, 2009)

3. Ursodeoxycholic acid (UDCA)


Pada percobaan hewan yang diinduksi karsinogenesis di kolon, UDCA
menghambat karsinogenesis tersebut. Efek ini mungkin karena
berkurangnya konsentrasi asam deoksikholik pada asam empedu sekunder
di kolon. UDCA juga memiliki efek antioksidan. Studi yang dilakukan
pada pasien dengan kolitis ulseratif dan primary sclerosing cholangitis
secara bersamaan menunjukkan bahwa penggunaan UDCA berhubungan
dengan penurunan prevalensi displasia kolon. Penggunaan UDCA
dihubungkan dengan proteksi yang signifikan melawan perkembangan
displasia dan kanker. Tetapi, belum jelas apakah UDCA dapat mencegah
progresi neoplastik pada pasien dengan kolitis ulseratif tanpa primary
sclerosing cholangitis. Pada pasien kolitis ulseratif dengan primary
sclerosing cholangitis, UDCA tidak mengurangi resiko perkembangan
kanker atau displasia, tetapi UDCA mungkin mengurangi mortalitas.
UDCA mungkin mencegah progresi lebih lanjut pada displasia derajat
rendah pada IBD kolorektal. (Triantafillidis, 2009)

4. Immunomodulator
Tidak ada data yang cukup yang dapat menyatakan peran
kemopreventif imunomodulator terhadap perkembangan karsinoma

19
kolorektal pada pasien IBD. Tidak ada rekomendasi apakah pasien yang
membutuhkan terapi imunomodulator harus melanjutkan terapi 5-ASA.
Terapi dengan 6-merkaptopurin tidak memberikan efek kemopreventif.
Tidak ada pengurangan resiko displasia atau karsinoma kolorektal yang
bisa diantisipasi dengan imunosupresan. Pada pasien kolitis ulseratif tanpa
riwayat displasia, penggunaan 6MP/AZA tampak memberikan sedikit efek
bahkan tidak ada efek pada laju transformasi neoplastic di kolon.
(Triantafillidis, 2009)
Penelitian terbaru mengidentifikasi TNF- sebagai mediator penting
pada inisiasi dan progresi karsinoma kolorektal terkait kolitis. Pada
penelitian eksperimental, mencit wild-type yang diberi perlakuan dengan
azoxymethane dan natrium sulfat dekstran menghasilkan peningkatan
ekspresi TNF- dan jumlah infiltrasi leukosit yang mengekspresikan
reseptor p55 (TNF-Rp55) di lamina propria dan regio submukosa kolon.
Akibatnya, banyak tumor yang tumbuh. Mencit yang memiliki sedikit
TNF-Rp55 dan diberi perlakuan azoxymethane dan natrium sulfat
dekstran menunjukkan berkurangnya kerusakan mukosa, berkurangnya
infiltrasi makrofag dan neutrofil, dan pengecilan ukuran tumor. Selain itu,
pemberian etanercept, yakni antagonis TNF-, terhadap mencit wild-type
setelah pemberian azoxymethane dan natrium sulfat dekstran tampak
berkurang dalam jumlah dan ukuran tumor serta berkurangnya infiltrasi
makrofag dan neutrofil di kolon. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menarget TNF- mungkin berguna dalam mengobati karsinoma kolorektal
pada pasien kolitis ulseratif. Asumsi ini berlawanan dengan beberapa ahli
yang memikirkan perkembangan limfoma dan tumor solid lainnya pada
pasien IBD yang menerima agen biologis dalam jangka waktu lama.
(Triantafillidis, 2009)

5. Kalsium

20
Data mengenai pengaruh kalsium pada perkembangan karsinoma
kolorektal pada pasien kolitis ulseratif cukup terbatas. Tidak ada
kesimpulan yang bisa ditarik dari data tersebut. Walaupun ada indikasi
yang menyatakan bahwa suplementasi kalsium mungkin mencegah
pembentukan polip adenomatosa kolorektal, hal ini tidak membuat bukti
yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan suplemen kalsium
untuk mencegah karsinoma kolorektal. (Triantafillidis, 2009)

6. Statin
Data mengenai peran statin pada perkembangan karsinoma kolorektal
juga terbatas. Pada studi eksperimental, mencit yang diberi fluvastatin
menunjukkan berkurangnya resiko kolitis dan karsinogenesis, yang
dibuktikan dengan penghambatan pemendekan kolon dan insidensi
displasia kolorektal, dengan berkurangnya jumlah antibodi anti-8-
hydroxy-2-deoxyguanosine (marker biologis in vivo apabila terdapat
kerusakan oksidatif DNA) pada mukosa kolorektal dan aktivitas enzim
timidin kinase yang mensintesis DNA pada jaringan kolorektal. Pada
model eksperimen karsinoma kolorektal terkait kolitis, simvastatin
mengurangi perkembangan tumor secara signifikan dengan induksi
apoptosis dan supresi angiogenesis. Pada model xenograft, tumor dari
hewan yang diberi perlakuan dengan simvastatin memiliki volume yang
lebih kecil, area nekrotik yang lebih luas, ekspresi VEGF yang lebih
rendah, dan skor apoptosis yang lebih tinggi. Dari data eksperimental
menunjukkan bahwa statin dapat menjadi agen kemopreventif dan
terapetik yang potensial untuk karsinoma kolorektal terkait kolitis. Tetapi,
studi klinis lebih lanjut dalam jangka waktu lama dibutuhka untuk
mengklarifikasi peran statin dalam mencegah karsinoma kolorektal.
(Triantafillidis, 2009)

7. Mesalamin

21
Banyak studi yang mendukung penggunaan mesalazin untuk
mencegah karsinoma kolorektal terkait kolitis ulseratif. Dosis paling tidak
1,2 g/hari adalah yang paling efektif. Dibandingkan dengan mekanisme
kerja 5-ASA, obat ini tampak menurunkan inflamasi, memblok transkripsi
NF-B dengan meningkatkan atau menstabilkan inhibitor alaminya, yakni
IB, dan menginduksi apoptosis. Lebih lanjut, mesalazin memiliki efek
antiproliferatif pada sel kanker kolon manusia serta memiliki efek
antioksidan yang signifikan dan menyebabkan berkurangnya fokus kripte.
(Triantafillidis, 2009)

8. Kortikosteroid
Hanya sedikit penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid sebagai
kemopreventif. Karena efek samping yang serius, kortikosteroid tidak
dianjurkan. Tidak ada studi relevan mengenai budesonide sebagai
kemopreventif. (Triantafillidis, 2009)

antagonis TNF-, Mesalamin

Asam
folat

NSAID

UDCA, Statin

Gambar 8. Inflamasi dan inisiasi kanker secara singkat serta lokasi kerja
kemopreventif yang dianjurkan. (Morrison, 2012)

22
E. Biological Treatment pada Inflammatory Bowel Disease
1. Anti-TNF
Tumor necrosis factor (TNF) merupakan sitokin proinflamasi yang
memiliki peranan utama dalam perkembangan penyakit Imflamatory
Bowel Disease. TNF berperan penting dalam memodulasi proliferasi sel
imun, meregulasi molekul adhesi, dan menginduksi apoptosis sel intestinal
terutama epitel sel usus. (20,21). Inhibisi produksi TNF oleh antibodi TNF
dapat menyebabkan perbaikan inflamasi usus menurut studi
eksperimental. Pada kasus IBD, terapi anti-TNF yang sering dugunakan
adalah infliximab, adalimumab, dan certolizumab pegol. (Rutgeerts et al.,
2009)
Infliximab merupakan antibodi monoklonal chimeric IgG1 yang
berperan menghambat TNF terbukti memiliki efek induksi dan agen
mantenance pada pasien IBD dengan berikatan langsung dengan TNF
yang memiliki afinitas tinggi sehingga menyebabkan hilangnya aktivitas
biologi TNF dalam proses inflamasi. Dosis yang biasanya digunakan
adalah 5 mg/kgBB pada minggu ke 0, 2, dan 6 lalu dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB setiap 8 minggu sebagai maintenance. (Rutgeerts et al., 2009)
Adalimubab merupakan antibodi anti-TNF manusia yang berikatan
dengan afinitas tinggi dan spesifik pada human soluble TNF. Adalimumab
memiliki efek dalam induksi dan maintenance pada pasien dengan IBD
yang tingkatan sedang-berat. Adalimumab juga efektif digunakan pada
kasus respon pengobatan gagal infliximab. Dosis efektif adalimumab
adalah ineksi subcutan 40 mg setiap 2 minggu (Rutgeerts et al., 2009)
Certolizumab pegol merupakan anti TNF selain diatas yang terdiri dari
fragment antigen binding (fab) dari antibodi anti-TNF manusia dengan
polietilen glicol. Fungsi dari certolizumab ini sama dengan anti-TNF
lainnya (infiximab dan adalimumab) yaitu dalam pengcegahan inflamasi
lebih lanjut dari epitel usus. Dosis efektif certolizumab ini adalah injeksi

23
subkutan 400 mg setiap 2 minggu pada 4 minggu pertama lalu dilanjutkan
maintenance setiap 4 minggu (Rutgeerts et al., 2009)
2. Antibodi monoklonal IL-12/IL-23 p40 Subunit
IL-12 dan IL-23 memiliki peranan penting dalam patogenesis
Inflammatory Bowel Disease. IL-12 mengakibatkan CD4+ sel T naif
berdiferensiasi menjadi sel Th1. Kemudian sel Th1 memproduksi IFN-
untuk mediasi imunitas seluler. Feedback positif IL-12 dan IFN- ini
memicu respon imun Th1 berlebih yang menyebabkan perkembangan
IBD. Blokade IL-12 dengan menggunakan antibodi monoklonal sangat
efektif untuk mengatasi inflamasi intestinal. Jalur IL-23 dalam patogenesis
inflammatory bowel disease hampir sama dengan IL-12. IL-23
mengakibatkan sel CD4+ naif berdiferensiasi menjadi Th-17 yang
kemudian memproduksi IL-17 untuk menginduksi produksi TNF dan
mediasi imunitas selular. Terapi yang diberikan adalah ABT-874 dan
ustekinumab. (Rutgeerts et al., 2009)

24
Gambar 9. Cara kerja antibodi ABT-874 dan ustekinumab dalam blokade IL-
12 dan IL-23 (Rutgeerts et al., 2009)

3. Sitokin IL-10 dan IL-11


IL-10 memiliki peranan dalam efek inhibitor inflamasi oleh monosit,
makrofag, neutrofil, sel B dan sel T, mast cell, dan eosinofil. IL-11 adalah
sitokin pleiotropik dari sel mesenkim menunjukkan aktivitas anti-
inflamasi yang kuat pada makrofag dan sel T dengan menghambat sekresi
sitokin proinflamasi. (Rutgeerts et al., 2009)
4. Aktivasi Anti T-cell
Dalam kondisi normal, aktivasi T-sel dengan antigen presenting-cell
(APC) membutuhkan dua sinyal: satu sinyal dimediasi oleh interaksi
kompleks reseptor sel T, yang meliputi CD4 dan CD3, dengan peptida
antigenik dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan antigen-

25
presenting sel APC .Sinyal kedua, sinyal costimulatory, adalah antigen
non spesifik dan disediakan oleh interaksi antara molekul kostimulatori
diekspresikan pada membran sel antigen-presenting dan sel T seperti B7-
CD28 dan CD40 -CD40L. Aktivasi sel T tanpa kostimulasi akan membuat
sel-sel T gagal berkembang biak dalam menanggapi sel antigen-
presenting, dan membuat sel-sel T resisten terhadap stimulasi lebih lanjut,
kemudian menginduksi anergi sel T, delesi sel T atau pengembangan
toleransi kekebalan. Penghambatan aktivasi sel T dengan menargetkan
molekul stimulasi adalah cara yang efektif untuk menginduksi toleransi
kekebalan, dan muncul sebagai pengobatan eksplorasi baru untuk IBD.
Antibodi anti CD3 monoklonal (visilizumab), Antibodi anti CD40
monoklonal, dan Antibodi anti CD25 monoklonal (Daclizumab) dapat
digunakan sebagai penghambatan aktivasi sel T mencegah lebih lanju
perkembangan penyakit IBD. (Rutgeerts et al., 2009)

26
Gambar 10. Cara kerja penghambatan aktivasi sel T (Rutgeerts et al., 2009)

BAB III

PENUTUP

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu kondisi kronis yang tidak
diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering
kali disertai dengan diare. IBD merujuk pada keadaan kolitis ulseratif dan Crohns
disease yang bersifat kronik. Inflamasi kronik yang terjadi akan mengubah struktur
histologis dari saluran cerna, terutama kolon, karena kegagalan regenerasi dan repair
secara normal. Kegagalan repair DNA berakibat munculnya mutasi yang bila tidak
dihentikan atau dihambat lajunya akan terakumulasi sehingga muncul abnormalitas
pertumbuhan sel. Abnormalitas pertumbuhan sel akan tampak dalam bentuk displasia
hingga berakhir dalam bentuk karsinoma. Selain perlu terapi penyebab dan simptom

27
dari IBD, diperlukan pula terapi untuk mencegah terbentuknya karsinoma kolorektal
akibat inflamasi kronik IBD. Kemopreventif yang tepat akan menghambat laju mutasi
serta displasia sehingga kualitas hidup dan usia harapan hidup pasien dapat
meningkat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. 2015. Penatalaksanaan di


bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Baumgart DC. Cancer in inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2008


January 21; 14(3): 378-389.

Chan, A. T., & Giovannucci, E. L. 2010. Primary prevention of colorectal cancer.


Gastroenterology, 138(6), 2029-2043.

Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan


Inflammatory Bowel Disease. CDK-203 Volume 40 2013; 4; 247-252.

Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor.
Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal
1248-1255

Jackson L, Evers BM. 2006. Chronic Inflammation and Pathogenesis of GI and


Pancreatic Cancers dalam The Link Between Inflammation and Cancer
Wounds that Do Not Heal. USA: Springer.

Kathleen a. Calendra, W.Daniel J, Richard JG. Inflammatory Bowel Disease.


M.Gracey, Valerie B, editor Pediatric gastroenterology and hepatology. Edisi
ke-3. Boston: Blackwell,1993. Hlm 859-879.

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius

Morrison WB. Inflammation and Cancer: A Comparative View. J Vet Intern Med
2012; 26: 1831

Rowe AW. (2016). Inflammatory Bowel Disease. Htttp://www.emedicine.com

Rutgeerts, P., Vermeire, S., & Van Assche, G. 2009. Biological therapies for
inflammatory bowel diseases. Gastroenterology, 136(4), 1182-1197.

29
Triantafillidis JK, Nasioulas G, Kosmidis PA. Colorectal Cancer and Inflammatory
Bowel Disease: Epidemiology, Risk Factors, Mechanisms of Carcinogenesis
and Prevention Strategies. Anticancer Research 2009; 29: 2727-2738.

30

Anda mungkin juga menyukai