Oleh:
Hanani Kusumasari G99152076
Pembimbing
Halaman Pengesahan
1
PROSES BIOMOLEKULER DAN TERAPI PREVENTIF KARSINOMA
KOLOREKTAL PADA KASUS INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
Oleh:
Hanani Kusumasari G99152076
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 6
A. Patofisiologi Perkembangan Inflammatory Bowel Disease
(IBD) Menjadi Karsinoma Kolorektal ................................6
2
1. Inflamasi Kronik dan Tumor Microenvironment ..........6
2. Inflamasi Kronik dan Stroma Tumor ............................6
3. Makrofag Terasosiasi Tumor ........................................7
4. Sitokin dan Kemokin ....................................................8
5. Reactive Oxygen and Nitrogen Species ........................8
B. Jalur Pensinyalan Sel yang Menghubungkan Inflamasi
dengan Karsinogenesis ........................................................9
1. COX-2 ...........................................................................9
2. NF-B .........................................................................11
3. Phosphatidylinositol 3-kinase .....................................13
C. Karakteristik Molekuler Karsinoma Kolorektal yang
Disebabkan oleh Inflammatory Bowel Disease .................16
D. Terapi Preventif Karsinoma Kolorektal pada kasus
Inflammatory Bowel Disease..............................................18
1. Aspirin dan NSAID ....................................................18
2. Asam Folat ..................................................................18
3. Ursodeoxycholic acid (UDCA)...................................19
4. Immunomodulator ......................................................20
5. Kalsium .......................................................................21
6. Statin ...........................................................................21
7. Mesalamin ...................................................................22
8. Kortikosteroid .............................................................22
9. Biological Treatment pasien Inflammatory Bowel Disease 22
BAB III PENUTUP ..................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru kolitis ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun.
Secara umum, prevalensi IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan
perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, di daerah urban, akan tetapi
laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Crohns disease. Pada anak,
Crohns disease biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru
di populasi berusia <20 tahun. (Rowe, 2016)
Pada pasien dengan IBD jika tidak ditangani lebih lanjut akan memiliki risiko
lebih tinggi menderita kanker kolorektal. Pada pasien yang menderita IBD selama >8
tahun memiliki resiko tinggi menderita kanker kolorektal. Untuk itu dilakukan terapi
preventif untuk mencegah timbulnya kanker kolorektal (Mansjoer, 2007)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
imunohistokimia. Peningkatan kadar IL-8 dan TNF- ini terjadi sebagai
respon terhadap faktor yang diproduksi oleh reaksi inflamasi kronik dan
stroma tumor sehingga menandakan adanya hubungan mitogenik pada sel.
(Jackson & Evers, 2006)
7
(Jackson & Evers, 2006)
8
DNA oleh nitrotirosin. NO juga bertanggungjawab terhadap nitrosilasi dan
nitrosasi protein yang terlibat dalam apoptosis seperti caspase-3, caspase-
8, dan caspase-9 sehingga menghasilkan inaktivasi dan mencegah
kematian sel akibat cedera sel. (Jackson & Evers, 2006)
9
PGE2 dan PGI2, memiliki aktivitas angiogenik dan diduga mendukung
pertumbuhan dan pembesaran tumor. Hal ini didukung fakta bahwa ketika sel
karsinoma kolorektal manusia maupun mencit dikultur bersama dengan sel
endotel pembuluh darah dan diberi inhibitor COX-2 selektif secara in vitro,
terdapat hambatan migrasi dan pembentukan pipa pembuluh darah oleh sel
endotel. Ada 2 hipotesis lain mengenai mekanisme aktivasi COX-2 yang
memicu tumorigenesis, yakni kenaikan jumlah derivat malondialdehid dan
kenaikan aktivitas protein antiapoptosis Bcl-2. Malondialdehid adalah produk
sampingan lipid peroksidase dan sintesis prostaglandin yang dimediasi COX
dan bersifat genotoksik. Malondialdehid terdeteksi di karsinoma kolon
sporadik dan inflammatory bowel disease serta mampu memicu instabilitas
genomik. Bcl-2 menghambat pelepasan sitokrom c dari mitokondria dan
mencegah aktivasi caspase sehingga terjadi inhibisi apoptosis. Kerja NSAID
dapat menurunkan kadar malondialdehid dan ekspresi Bcl-2 sehingga
insidensi pembentukan polip berkurang pada pasien yang diberi NSAID dan
ukuran polip juga mengecil. (Jackson & Evers, 2006)
Gambar 2. Metabolisme asam arakhidonat dan peran COX-1 serta COX-2. Lokasi
jaringan tempat ekspresi prostaglandin utama disebutkan dalam tanda kurung. PGD2:
10
Prostaglandin D2; PGE2: Prostaglandin E2; PGF2: Prostaglandin F2; TXA2;
Thromboxane A2; PGI2: Prostaglandin I2; HETE: Hydroxyeicosatetraenoic acid.
(Jackson & Evers, 2006)
2) NF-B
NF-B adalah faktor transkripsi umum yang berperan penting dalam
respon selular terhadap perubahan lingkungan seperti stres, inflamasi, dan
infeksi. NF-B diaktifkan dalam respon terhadap agen infeksius atau sitokin
seperti TNF-, IL-1, platelet activating factor (PAF), ROS,
lipopolysaccharide (LPS), and leukotriene B4. Produknya antara lain faktor
pertumbuhan, sitokin, molekul adhesi sel, imunoreseptor, dan protein
pertahanan sel sehingga perannya sangat penting dalam pengaturan respon
imun yang kompleks. Aktivasi NF-B muncul pada keadaan inflamasi seperti
pankreatitis akut dan kronik, gastritis, dan inflammatory bowel disease, serta
tumor solid, termasuk karsinoma pada traktus digestivus. Aktivasi NF-B oleh
stimulus pro inflamasi dan kemampuannya untuk menghambat apoptosis
membuat jalur NF-B diduga menyediakan hubungan antara inflamasi dan
kanker. Protein NF-B yang fungsional berupa heterodimer, paling sering
dibentuk oleh p65/RelA dan p50 subunit, walaupun banyak dimer lain yang
muncul secara in vivo (Gambar 3). (Jackson & Evers, 2006)
Pada sel yang beristirahat, NF-B terikat pada inhibitor protein NF-B
(IK), menyamarkan sinyal lokal intinya sendiri dan mengisolir NF-B inaktif
di sitoplasma. Stimulasi sel oleh aktivator seperti TNF- menghasilkan
kaskade yang dimulai dengan aktivasi kompleks IKK yang terdiri dari IKK,
IKK, dan IKK. Kompleks ini memfosforilasi IB, menandainya untuk
muncul pada residu lisin spesifik dan menargetnya untuk proteasom 26S.
Proteasom 26S mendegradasi IB, membuka selubung sinyal lokal inti sel
oleh NF-B, kemudian memicu translokasinya menuju nukleus, yang mana
mengatur transkripsi gen target. (Jackson & Evers, 2006)
11
Pengikatan TNF- ke TNR receptor-1 (TNFR1) memicu transduksi
sinyal sehingga NF-B teraktivasi dan meningkatkan aktivitas protein yang
bertanggungjawab dalam memodulasi respon imun dan menghambat
apoptosis, termasuk c-myc proto-oncogene, yang merupakan inhibitor protein
apoptosis, dan Bcl-2. Autoregulasi positif muncul ketika beberapa stimulator
aktivasi NF-B, termasuk TNF- dan IL-1 dipicu oleh aktivasi NF-B,
kemudian mempotensiasi efeknya sendiri. NF-B terdeteksi meningkat dan
diisolasi dari makrofag dan sel epitel yang berasal dari sampel biopsi dan
kultur sel pasien dengan IBD dan karsinoma kolorektal, sedangkan pada sel
normal kadarnya masih normal. (Jackson & Evers, 2006)
Delesi IKK pada sel epitel usus dihubungkan dengan penurunan
drastis kejadian tumor dan adanya peningkatan apoptosis sel tumor,
sedangkan delesi di sel myeloid menghasilkan pengecilan ukuran tumor tanpa
efek bertambahnya jumlah dan berkurangnya sitokin yang berperan sebagai
faktor pertumbuhan tumor. (Jackson & Evers, 2006)
12
Gambar 3. Jalur NF-B. IKK, , : kompleks IB kinase; p50, p65: heterodimer
NF-B; IB: inhibitor B; kompleks E3-SCF-TrCP: kompleks ligase ubiquitin; Ub:
tempat ubiquitinasi; P: tempat fosforilasi; IAP: inhibitor protein apoptosis (Jackson &
Evers, 2006)
13
kinase memfosforilasi Bcl-2 antagonist of cell death (BAD), caspase 9, dan
forkhead transcription factor (FKHR) sehingga mensupresi fungsi pro
apoptosis protein-protein tersebut. FKHRLl, yang termasuk kelompok kecil
golongan forkhead faktor transkripsi, memiliki fungsi dalam mengatur
ekspresi gen p27 ketika protein tersebut dalaam keadaan aktif dan tidak
terfosforilasi. Karena produk gen p27 adalah protein inhibitor Cdk, inaktivasi
inhibitor ini via fosforilasi dan eksklusi inti oleh FKHRL1 meningkatkan
protein Cdk, kemudian mempertahankan kehidupan sel. (Jackson & Evers,
2006)
14
Aktivasi jalur PDK diatur oleh gen supresor tumor PTEN
(phosphatase and tensin homolog deleted on chromosome ten), yang juga
dikenal sebagai MMAC (mutated in multiple advanced cancers). Produk gen
PTEN, yakni 3' phosphatase, berperan sebagai supresor tumor dengan cara
mendegradasi produk PIP3 yang berasal dari aktivasi PDK, kemudian
menghambat aktivasi jalur PDK. Mutasi gen ini dihubungkan dengan
beberapa gangguan neoplastik, seperti Cowden's disease, Lhermitte-Duclos
disease, dan Bannayan-Zonana syndrome, yang ketiganya berhubungan
dengan peningkatan insidensi poliposis kolorektal dan kanker, juga neoplasia
di sistem organ lain. (Jackson & Evers, 2006)
Hubungan antara jalur PI3K dan karsinogenesis sudah diteliti dengan
memeriksa ekspresi yang berbeda dari berbagai macam komponen jalur dan
efek inhibisinya atau overekspresi pada jaringan tumor. Jalur COX-2, NF-B,
dan PI3K ternyata memiliki hubungan yang kompleks satu sama lain (Gambar
5). (Jackson & Evers, 2006)
15
Gambar 5. Jalur COX-2, NF-B, dan PI3K dalam satu rangkaian. (Jackson & Evers,
2006)
C. Karakteristik Molekuler Karsinoma Kolorektal yang Disebabkan oleh
Inflammatory Bowel Disease
Transformasi neoplastik pada IBD diduga memiliki kemiripan dengan
sekuens adenokarsinoma pada karsinoma kolorektal sporadik (nonherediter).
Tidak seperti karsinoma kolorektal yang lesi displastiknya muncul pada 1-2
area fokal di kolon, pada mukosa yang mengalami kolitis ulseratif biasanya
lokasinya hanya 1 area. Banyak perubahan molekular pada perkembangan
karsinoma kolorektal sporadic yang juga berperan pada karsinogenesis di
kolon yang terkait dengan kolitis. Ada 2 jalur utama dari chromosomal
instability (CIN) dan microsatellite instability (MSI) yang bekerja pada
karsinogenesis di kolon yang terkait kolitis, dengan frekuensi yang hamper
sama (85% CIN dan 15% MSI). Pembedaan karakteristik kolon yang
mengalami karsinogenesis dilihat dari lamanya dan frekuensi perubahan yang
16
terjadi. Contohnya, pada karsinoma kolorektal sporadik, hilangnya fungsi
APC dianggap terjadi paling awal dalam urutan proses karsinoma kolorektal
sporadik, sedangkan pada sekuens displasia-karsinoma yang terkait kolitis,
hilangnya fungsi APC terjadi di urutan akhir. Sebaliknya, mutasi p53 pada
neoplasia sporadik biasanya terjadi di akhir pada sekuens adenokarsinoma,
sedangkan pada pasien dengan kolitis ulseratif, mutasi p53 terjadi di urutan
awal dan sering terdeteksi di mukosa yang tidak mengalami displasia atau
tidak pasti displasia. Metilasi berperan penting dalam mekanisme perubahan
genetik dalam karsinoma terkait kolitis. Metilasi pada CpG island pada
beberapa gen tampak memulai proses displasi dan lebih menyebar pada pasien
kolitis ulseratif. (Jackson & Evers, 2006)
17
Gambar 7. Skema manajemen yang dianjurkan apabila telah ditemukan displasia.
(Baumgart, 2008)
2. Asam folat
Pada kasus karsinoma kolorektal sporadik, kurangnya intake folat
berhubungan dengan peningkatan resiko timbulnya karsinoma kolorektal
dan adenoma kolon. Terlibatnya peran asam folat dalam karsinogenesis
pada pasien dengan kolitis ulseratif sudah ditunjukkan banyak penelitian.
Asam folat diduga memiliki efek protektif pada pasien dengan kolitis
ulseratif dan primary sclerosing cholangitis secara bersamaan. Mekanisme
18
kerjanya kemungkinan berhubungan dengan pemeliharaan proses metilasi
DNA normal dan prekursor DNA dalam keadaan stabil. Pernah dilaporkan
bahwa pasien IBD dengan kadar homosisteinemia normal, resiko
karsinogenesisnya rendah. Sebaliknya, pasien dengan
hiperhomosisteinemia, defisiensi folat mungkin berhubungan dengan
peningkatan resiko karsinogenesis daerah kolorektal pada pasien dengan
IBD. Karena asam folat sangat aman dan murah, pemberian asam folat
harus dipertimbangkan untuk mengurangi resiko karsinoma kolorektal
pada pasien dengan IBD yang lama. (Triantafillidis, 2009)
4. Immunomodulator
Tidak ada data yang cukup yang dapat menyatakan peran
kemopreventif imunomodulator terhadap perkembangan karsinoma
19
kolorektal pada pasien IBD. Tidak ada rekomendasi apakah pasien yang
membutuhkan terapi imunomodulator harus melanjutkan terapi 5-ASA.
Terapi dengan 6-merkaptopurin tidak memberikan efek kemopreventif.
Tidak ada pengurangan resiko displasia atau karsinoma kolorektal yang
bisa diantisipasi dengan imunosupresan. Pada pasien kolitis ulseratif tanpa
riwayat displasia, penggunaan 6MP/AZA tampak memberikan sedikit efek
bahkan tidak ada efek pada laju transformasi neoplastic di kolon.
(Triantafillidis, 2009)
Penelitian terbaru mengidentifikasi TNF- sebagai mediator penting
pada inisiasi dan progresi karsinoma kolorektal terkait kolitis. Pada
penelitian eksperimental, mencit wild-type yang diberi perlakuan dengan
azoxymethane dan natrium sulfat dekstran menghasilkan peningkatan
ekspresi TNF- dan jumlah infiltrasi leukosit yang mengekspresikan
reseptor p55 (TNF-Rp55) di lamina propria dan regio submukosa kolon.
Akibatnya, banyak tumor yang tumbuh. Mencit yang memiliki sedikit
TNF-Rp55 dan diberi perlakuan azoxymethane dan natrium sulfat
dekstran menunjukkan berkurangnya kerusakan mukosa, berkurangnya
infiltrasi makrofag dan neutrofil, dan pengecilan ukuran tumor. Selain itu,
pemberian etanercept, yakni antagonis TNF-, terhadap mencit wild-type
setelah pemberian azoxymethane dan natrium sulfat dekstran tampak
berkurang dalam jumlah dan ukuran tumor serta berkurangnya infiltrasi
makrofag dan neutrofil di kolon. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menarget TNF- mungkin berguna dalam mengobati karsinoma kolorektal
pada pasien kolitis ulseratif. Asumsi ini berlawanan dengan beberapa ahli
yang memikirkan perkembangan limfoma dan tumor solid lainnya pada
pasien IBD yang menerima agen biologis dalam jangka waktu lama.
(Triantafillidis, 2009)
5. Kalsium
20
Data mengenai pengaruh kalsium pada perkembangan karsinoma
kolorektal pada pasien kolitis ulseratif cukup terbatas. Tidak ada
kesimpulan yang bisa ditarik dari data tersebut. Walaupun ada indikasi
yang menyatakan bahwa suplementasi kalsium mungkin mencegah
pembentukan polip adenomatosa kolorektal, hal ini tidak membuat bukti
yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan suplemen kalsium
untuk mencegah karsinoma kolorektal. (Triantafillidis, 2009)
6. Statin
Data mengenai peran statin pada perkembangan karsinoma kolorektal
juga terbatas. Pada studi eksperimental, mencit yang diberi fluvastatin
menunjukkan berkurangnya resiko kolitis dan karsinogenesis, yang
dibuktikan dengan penghambatan pemendekan kolon dan insidensi
displasia kolorektal, dengan berkurangnya jumlah antibodi anti-8-
hydroxy-2-deoxyguanosine (marker biologis in vivo apabila terdapat
kerusakan oksidatif DNA) pada mukosa kolorektal dan aktivitas enzim
timidin kinase yang mensintesis DNA pada jaringan kolorektal. Pada
model eksperimen karsinoma kolorektal terkait kolitis, simvastatin
mengurangi perkembangan tumor secara signifikan dengan induksi
apoptosis dan supresi angiogenesis. Pada model xenograft, tumor dari
hewan yang diberi perlakuan dengan simvastatin memiliki volume yang
lebih kecil, area nekrotik yang lebih luas, ekspresi VEGF yang lebih
rendah, dan skor apoptosis yang lebih tinggi. Dari data eksperimental
menunjukkan bahwa statin dapat menjadi agen kemopreventif dan
terapetik yang potensial untuk karsinoma kolorektal terkait kolitis. Tetapi,
studi klinis lebih lanjut dalam jangka waktu lama dibutuhka untuk
mengklarifikasi peran statin dalam mencegah karsinoma kolorektal.
(Triantafillidis, 2009)
7. Mesalamin
21
Banyak studi yang mendukung penggunaan mesalazin untuk
mencegah karsinoma kolorektal terkait kolitis ulseratif. Dosis paling tidak
1,2 g/hari adalah yang paling efektif. Dibandingkan dengan mekanisme
kerja 5-ASA, obat ini tampak menurunkan inflamasi, memblok transkripsi
NF-B dengan meningkatkan atau menstabilkan inhibitor alaminya, yakni
IB, dan menginduksi apoptosis. Lebih lanjut, mesalazin memiliki efek
antiproliferatif pada sel kanker kolon manusia serta memiliki efek
antioksidan yang signifikan dan menyebabkan berkurangnya fokus kripte.
(Triantafillidis, 2009)
8. Kortikosteroid
Hanya sedikit penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid sebagai
kemopreventif. Karena efek samping yang serius, kortikosteroid tidak
dianjurkan. Tidak ada studi relevan mengenai budesonide sebagai
kemopreventif. (Triantafillidis, 2009)
Asam
folat
NSAID
UDCA, Statin
Gambar 8. Inflamasi dan inisiasi kanker secara singkat serta lokasi kerja
kemopreventif yang dianjurkan. (Morrison, 2012)
22
E. Biological Treatment pada Inflammatory Bowel Disease
1. Anti-TNF
Tumor necrosis factor (TNF) merupakan sitokin proinflamasi yang
memiliki peranan utama dalam perkembangan penyakit Imflamatory
Bowel Disease. TNF berperan penting dalam memodulasi proliferasi sel
imun, meregulasi molekul adhesi, dan menginduksi apoptosis sel intestinal
terutama epitel sel usus. (20,21). Inhibisi produksi TNF oleh antibodi TNF
dapat menyebabkan perbaikan inflamasi usus menurut studi
eksperimental. Pada kasus IBD, terapi anti-TNF yang sering dugunakan
adalah infliximab, adalimumab, dan certolizumab pegol. (Rutgeerts et al.,
2009)
Infliximab merupakan antibodi monoklonal chimeric IgG1 yang
berperan menghambat TNF terbukti memiliki efek induksi dan agen
mantenance pada pasien IBD dengan berikatan langsung dengan TNF
yang memiliki afinitas tinggi sehingga menyebabkan hilangnya aktivitas
biologi TNF dalam proses inflamasi. Dosis yang biasanya digunakan
adalah 5 mg/kgBB pada minggu ke 0, 2, dan 6 lalu dilanjutkan dengan 5
mg/kgBB setiap 8 minggu sebagai maintenance. (Rutgeerts et al., 2009)
Adalimubab merupakan antibodi anti-TNF manusia yang berikatan
dengan afinitas tinggi dan spesifik pada human soluble TNF. Adalimumab
memiliki efek dalam induksi dan maintenance pada pasien dengan IBD
yang tingkatan sedang-berat. Adalimumab juga efektif digunakan pada
kasus respon pengobatan gagal infliximab. Dosis efektif adalimumab
adalah ineksi subcutan 40 mg setiap 2 minggu (Rutgeerts et al., 2009)
Certolizumab pegol merupakan anti TNF selain diatas yang terdiri dari
fragment antigen binding (fab) dari antibodi anti-TNF manusia dengan
polietilen glicol. Fungsi dari certolizumab ini sama dengan anti-TNF
lainnya (infiximab dan adalimumab) yaitu dalam pengcegahan inflamasi
lebih lanjut dari epitel usus. Dosis efektif certolizumab ini adalah injeksi
23
subkutan 400 mg setiap 2 minggu pada 4 minggu pertama lalu dilanjutkan
maintenance setiap 4 minggu (Rutgeerts et al., 2009)
2. Antibodi monoklonal IL-12/IL-23 p40 Subunit
IL-12 dan IL-23 memiliki peranan penting dalam patogenesis
Inflammatory Bowel Disease. IL-12 mengakibatkan CD4+ sel T naif
berdiferensiasi menjadi sel Th1. Kemudian sel Th1 memproduksi IFN-
untuk mediasi imunitas seluler. Feedback positif IL-12 dan IFN- ini
memicu respon imun Th1 berlebih yang menyebabkan perkembangan
IBD. Blokade IL-12 dengan menggunakan antibodi monoklonal sangat
efektif untuk mengatasi inflamasi intestinal. Jalur IL-23 dalam patogenesis
inflammatory bowel disease hampir sama dengan IL-12. IL-23
mengakibatkan sel CD4+ naif berdiferensiasi menjadi Th-17 yang
kemudian memproduksi IL-17 untuk menginduksi produksi TNF dan
mediasi imunitas selular. Terapi yang diberikan adalah ABT-874 dan
ustekinumab. (Rutgeerts et al., 2009)
24
Gambar 9. Cara kerja antibodi ABT-874 dan ustekinumab dalam blokade IL-
12 dan IL-23 (Rutgeerts et al., 2009)
25
presenting sel APC .Sinyal kedua, sinyal costimulatory, adalah antigen
non spesifik dan disediakan oleh interaksi antara molekul kostimulatori
diekspresikan pada membran sel antigen-presenting dan sel T seperti B7-
CD28 dan CD40 -CD40L. Aktivasi sel T tanpa kostimulasi akan membuat
sel-sel T gagal berkembang biak dalam menanggapi sel antigen-
presenting, dan membuat sel-sel T resisten terhadap stimulasi lebih lanjut,
kemudian menginduksi anergi sel T, delesi sel T atau pengembangan
toleransi kekebalan. Penghambatan aktivasi sel T dengan menargetkan
molekul stimulasi adalah cara yang efektif untuk menginduksi toleransi
kekebalan, dan muncul sebagai pengobatan eksplorasi baru untuk IBD.
Antibodi anti CD3 monoklonal (visilizumab), Antibodi anti CD40
monoklonal, dan Antibodi anti CD25 monoklonal (Daclizumab) dapat
digunakan sebagai penghambatan aktivasi sel T mencegah lebih lanju
perkembangan penyakit IBD. (Rutgeerts et al., 2009)
26
Gambar 10. Cara kerja penghambatan aktivasi sel T (Rutgeerts et al., 2009)
BAB III
PENUTUP
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu kondisi kronis yang tidak
diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering
kali disertai dengan diare. IBD merujuk pada keadaan kolitis ulseratif dan Crohns
disease yang bersifat kronik. Inflamasi kronik yang terjadi akan mengubah struktur
histologis dari saluran cerna, terutama kolon, karena kegagalan regenerasi dan repair
secara normal. Kegagalan repair DNA berakibat munculnya mutasi yang bila tidak
dihentikan atau dihambat lajunya akan terakumulasi sehingga muncul abnormalitas
pertumbuhan sel. Abnormalitas pertumbuhan sel akan tampak dalam bentuk displasia
hingga berakhir dalam bentuk karsinoma. Selain perlu terapi penyebab dan simptom
27
dari IBD, diperlukan pula terapi untuk mencegah terbentuknya karsinoma kolorektal
akibat inflamasi kronik IBD. Kemopreventif yang tepat akan menghambat laju mutasi
serta displasia sehingga kualitas hidup dan usia harapan hidup pasien dapat
meningkat.
28
DAFTAR PUSTAKA
Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editor.
Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. Hal
1248-1255
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Morrison WB. Inflammation and Cancer: A Comparative View. J Vet Intern Med
2012; 26: 1831
Rutgeerts, P., Vermeire, S., & Van Assche, G. 2009. Biological therapies for
inflammatory bowel diseases. Gastroenterology, 136(4), 1182-1197.
29
Triantafillidis JK, Nasioulas G, Kosmidis PA. Colorectal Cancer and Inflammatory
Bowel Disease: Epidemiology, Risk Factors, Mechanisms of Carcinogenesis
and Prevention Strategies. Anticancer Research 2009; 29: 2727-2738.
30