Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang jaringan
penyangga ( connective tissue disease) dimana penyakit ini dapat mengenai berbagai sistem
organ dengan manifestasi klinis dan prognosis yang bervariasi. Kelainan kulit merupakan
manifestasi klinis lupus erythematosus yang paling umum setelah arthritis. lupus
erythematosus systemic (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya
iflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi LES diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000.


dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga
Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat
ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang
disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

3
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II Khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada
di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah
berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen
dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal

4
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan
korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan
berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnyaSLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan
SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.

2.4 Etiopatogenesa
Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrena
(HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam
mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks

5
imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya
toleransi imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan
supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan
hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar
faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang
cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara
kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan
dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-
kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi
yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino
lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor

6
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan
dan apoptosis.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Mayoritas
penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen
mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada
pasien LES.13-14 Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti
eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun,
yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak
jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

2.5 Manifestasi klinis


a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah
satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu
tubuh lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES

7
biasanya tidak disertai menggigil.

b. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous
Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula
berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynauds atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula
ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.

c. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana
tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis
reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada
LES tidak meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi,
tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain
yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati
juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid

d. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis
lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi
kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis
merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES
ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan
lasmafaresis atau pemberian sitostatika.

8
e. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG,
Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi
data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-12 Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat
sampai 50%.
f. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5
tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak
tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya
hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin,
proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus
atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan
penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

g. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat
pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang
memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.

9
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu
dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum
SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
h. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik
normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik,
gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
i. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu
luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis
lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer,
sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer,
terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi
steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.

2.6 Diagnosa
Kriteria diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik)
yang mengacu pada kriteria dari the american college of rheumbatology (ACR) revisi
tahun 1997 . namun mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi
tertentu seperti lupus nefritis, neuropsikiatrik lupus ( NPSLE) maka dapat saja kriteria
tersebut belum terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka
diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali
bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dini penyakit SLE menjadi penting.

10
Tabel diagnosis criteria American college of Rheumatology

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,


pada daerah malar dan cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik
dan sumbatan falikular. Pada SLE lanjut
dapat ditemukan parut atrofik.
fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi
abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa
artritis Artritis non erotif yang melibatkan dua atau
lebih sendi perifer. Ditandai oleh nyeri
tekan, bengkak atau efusi
Serositis
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc
friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura
Pericarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau
percardial friction rub atau dapat
bukti efusi pericardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 0,5 gram
perhari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif,
atau
b. Silinder seluler : - dapat berubah
silinder eritrosit, hemoglobin,
granular tubular atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan
metabolik ( misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-

11
seimbangan elektrolit) atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan
oleh obat-obatan atau gangguan
metabolic ( misalnya uremia,
ketoasidosis atau ketidak-
seimbangan elektrolit)
Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan
retikulosis atau
b. Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua
kali pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia < 1.500/mm3 pada dua
kali pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia < 100.000/mm3
tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologi a. Anti-DNA : antibodi terhadap
native DNA dengan iter yang
abnormal atau
b. Atau- SM : terdapatnya antibodi
terhadap antigen nuclear SM atau
c. Temuan positif terhadap antibody
antifosfilipid yang didasarkan atas
I. Kadar serum antibody
antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM
II. Test lupus antikoagulan
positif menggunakan metode
standart atau
III. Hasil test serologi positif
palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama
6 bulan dan dikonfirmasi
dengan test imobilisasi
treponema pallidum atau test
fluoresensi absorbsi

12
antibodi treponema
Antibodi antinuclear positif (ANA) a. Titer abnormal dari antibody anti-
nuclear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma
lupus yang diinduksi obat

Keterangan : klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Modvikasi criteria
ini dilakukan pada tahun 1997

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85 %
dan spesivitas 95 %. Sedangkan bila hnya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE dan observasi jangka panjang
diperlukan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring :
1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin
3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6) Foto polos thorax
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

13
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),
keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-
2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis
LES dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),
Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA
merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan LES.

2.8 Diagnosa banding

Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini seringkali mengacaukan diagnosis gambaran
klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma sjogren
c. Sindroma antibodi antifofolipid (APS)
d. Fibromialgia ( ANA positif )

2.9 Tatalaksana

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE

14
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien
SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh
pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari
secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara
lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian
melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
c. . Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-
Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai
manifestasi klinis yang dialami.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan
lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut
dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual,
muntah, diare dan perdarahan lambung.
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai
tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid
dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :
Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi,
namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek
samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan,
penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur,
perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan

15
dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk
mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem
imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien
SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab

2.10 Prognosis LES


Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila
mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah
menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada
5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10
tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15
tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan
angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang
terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam
perawatan medis umum.

BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

16
Berdasarkan tinjauan pustaka didapatkan kesimpulan bahwa penyakit Sistemic
Lupus Erythematosus ( SLE ) atau dikenal sebagai penyakit dengan seribu wajah,
merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian khusus
baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya. SLE
merupaka penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antara genetik,
hormonal, autoantibodi dan faktor lingkungan. Perjalanan penyakit SLE ini sangatlah
dinamis, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan
penyakit yang beragam sehingga seringkali menyulitkan diagnosis, sehingga
pengenalan dini akan kemungkinan seseorang terkena penyakit ini sangatlah penting.
Dalam pengelolaan SLE dibutuhkan upaya yang komprehensif, yakni berupa
edukasi dan konseling, program rehabilitasi medik, terapi medikamentosa, serta
penanganan komplikasi. Pada terapi medikamentosa, pemberian terapi kortikosteroid
merupakan lini pertama, dimana cara penggunaan, dosis dan efek samping perlu
diperhatikan .

DAFTAR PUSTAKA

17
1. Anna MQ , Peter VR, et al. 2012. diagnosis of systemic lupus eritematosus.
http://www.aafp.org. Download 28 maret 2017
2. Anonim. 2012. Lupus Eritematosus sistemik pada anak.
http://www.childrenclinic.wordpress.com. Download 28 maret 2017
3. Harsono A, Endaryanto A. 2012. Lupus Eritematosus sistemik .
http://www.pediatrik.com. Download 28 maret 2017
4. Sudoyo, aru W dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V.
Jakarta : interna publishing
5. Robins dan cotran. 2010. Dasar Patologis Penyakit edisi.7. jakarta : EGC
6. Isbagia H, Albar Z, kasjmir YI, et al. Lupus eritematosus sistemik. 2009.
Dalam: sudoyo AW, setiyohadi B, alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
jilid III. Edisi kelima. Jakarta: interna publishing
7. Dcruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. systemic lupus eritematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. Available from
http://www.eular.org/myuuloaddata/files/compendium sample chapter.pdf.
download 28 maret 2017
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia Tim Penyusun. 2011. Rekomendasi
perhimpunan reumatologi indonesia untuk diagnosis dan pengelolaan Lupus
eritematosus sistemik. Jakarta : Perhimpunan Reumatologi Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai