Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA

Kebijaksanaan Fiskal

Dosen Pengampu: Dr. Made Heny Urmila Dewi, S.E., M.Si

PROGRAM STUDI AKUNTANSI NON REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta atas segala kehidupan
yang senantiasa memberikann rahmat sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas Perekonomian Indonesia, dan kiranya dapat
berguna bagi pembaca.
Paper ini berisikan tentang Kebijakan Fiskal. Dalam paper ini kami menyadari bahwa
masih banyak kelemahan dan kekurangan baik dari segi penyajian maupun materinya. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan paper ini.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan rasa terima kasih khusus kepada yang terhormat Ibu
Dr. Made Heny Urmila Dewi, S.E., M.Si selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia
yang telah menjadi pembimbing di dalam penyelesaian pembuatan paper ini. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya.

Denpasar, April 2017

Penyususun

DAFTAR ISI

2
COVER.............................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................................................................2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pola Penerimaan Pemerintah.................................................................................................3

2.2 Pola Pengeluaran Pemerintah.................................................................................................6

2.3 Kebijakan Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah............................................................10

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya
sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya,
gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral
sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian
rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas,
sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan, negara-
negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat mendorong
lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk
memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi
sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan
ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja negara
yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Kebijakan fiskal bukan semata-
mata kebijakan dalam bidang perpajakan, akan tetapi menyangkut bagaimana mengelola
pemasukan dan pengeluaran negara untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal
memiliki tujuan yang persis dengan kebijakan moneter. Perbedaan tersebut terletak pada
instrument kebijakan yang diterapkannya, yaitu dalam kebijakan moneter pemerintah
mengendalikan jumlah uang yang beredar, sedangkan dalam kebijakan fiskal pemerintah
mengendalikan penerimaan dan pengeluarannya.
Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa lepas dari campur tangan pemerintah, karena
pemerintah memegang kendali atas segala sesuatu yang menyangkut semua kebijakan yang
bermuara kepada keberlangsungan negara itu sendiri. Kebijakan ekonomi sangat beragam dan
bermacam-macam pula kebijakannya. Oleh sebab itu, pemerintah wajib menganut salah satu
kebijakan ekonomi sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Apapun sistem
ekonomi yang dianut pemerintah, maka itulah sistem ekonomi yang terbaik bagi perekonomian
rakyat, meskipun nantinya dalam perjalanannya memiliki berbagai kelemahan.
Kebijakan ekonomi pasti memiliki fenomena yang berdampak positif dan negatif, salah satu
dampak negatif yang sering terjadi adalah inflasi. Inflasi merupakan fenomena yang timbul
akibat banyaknya jumlah uang yang beredar, kenaikan biaya produksi, besarnya tarikan

4
permintaan dari konsumen, dan adanya inflasi tularan dari luar negeri. Akbiatnya akan
mempengaruhi perekonomian didalam negeri dan semakin bertambahnya pengangguran. Selain
dampak negatif kebijakan ekonomi, juga memiliki dampak positifnya, yaitu memudahkan
pemerintah untuk mengatur perekonomian dan anggaran pembelajaan negara. Sehingga, dengan
kebijakan ini maka hasil yang didapatkan digunakan untuk keperluan didalam negeri dan
keperluan rakyat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pola-pola penerimaan pemerintah Indonesia?
2. Bagaimana pola-pola pengeluaran pemerintah Indonesia?
3. Bagaimana kebjakan perpajakan dan pengeluaran pemerintah sebagai bagian dari
kebijakan fiskal?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pola-pola penerimaan pemerintah Indonesia
2. Mengetahui pola-pola pengeluaran pemerintah Indonesia.
3. Mengetahui kebjakan perpajakan dan pengeluaran pemerintah sebagai bagian dari
kebijakan fiskal.

BAB II

PEMBAHASAN

5
2.1 Pola Penerimaan Pemerintah
Kebijaksanaan fiskal pada umumnya (juga di Indonesia) terdiri dari kebijaksanaan
penerimaan dan pengeluaran negara/pemerintah. Penerimaan pemerintah Indonesia dibedakan
menjadi
1. Penerimaan dalam negeri, yang tidak lain daripada seluruh penerimaan baik yang berupa
pajak ataupun penerimaan bukan pajak, dan
2. Hibah, yang merupakan bantuan pihak ketiga (yang tidak mengikat) kepada pemerintah
baik yang datang dari dalam negeri maupun yang dari luar negeri. Anggaran untuk dua
komponen ini dari 2002-2007 (dalam miliar rupiah) adalah sebagai berikut:
Data mengenai penerimaan dalam negeri dan hibah disajikan dalam bentuk yang lebih
rinci pada Tabel 9.4, di mana ternyata bahwa jumlah penerimaan negara dari tahun 2002
selalu mengalami kenaikan dari Rp298.605 miliar menjadi Rp694.088 miliar pada tahun
2007, atau menjadi dua kali lipat dalam enam tahun atau rata-rata kenaikan sebesar 50
persen. Dari jumlah ini hanya sebagian kecil (kurang dari satu persen) merupakan hibah
yang ternyata mengalami kenaikan pada tiga tahun pertama untuk kemudian mengalami
penurunan pada dua periode terakhir.
Tabel 9.4: Anggaran Pemerintah Dalam Negeri dan Hibah, 2002-2007

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007

Penerimaan dalam negeri dibedakan menjadi:

1. Penerimaan dari perpajakan (baik pajak langsung maupun tidak langsung, baik di dalam
negeri maupun pajak dari perdagangan internasional), dan
2. Penerimaan bukan pajak (PNBP), semua penerimaan negara yang bukan pajak seperti
halnya uang sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit oleh departemen yang
membuat pembibitan untuk rakyat, aset milik pemerintah yang dijual kepada rakyat
seperti misalnya rumah dinas, mobil dinas, dan sebagainya. Anggaran untuk dua
komponen ini untuk 2002-2007 (dalam miliar rupiah) adalah seperti pada Tabel 9.5.

6
Tabel 9.5: Anggaran Penerimaan Dari Pajak dan Bukan Pajak, 2002-2007

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007


Dari angka-angka dalam tabel 9.5 ternyata bahwa baik anggaran penerimaan negara dari
perpajakan maupun bukan pajak telah mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat dalam kurun
waktu enam tahun dari 2002 sampai 2007, yakni untuk penerimaan negara dari perpajakan telah
menjadi 2,34 kali dari jumlah tahun 2002, sedangkan dari sumber bukan pajak telah menjadi
2,24 dari jumlah tahun 2002. Ini berarti usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi penagihan
pajak dan bukan pajak telah membuahkan hasil, meskipun tidak tertutup kemungkinan perbaikan
di masa akan datang.
Dari sudut jumlah penerimaan pajak telah terjadi kenaikan yang terus menerus dari tahun
2002 sejumlah Rp210.088 miliar menjadi Rp492.001 miliar pada tahun 2007, sedangkan angka-
angka untuk bukan pajak juga terus mengalami peningkatan dari Rp88.440 miliar pada tahun
2002 menjadi Rp198.254 miliar pada tahun 2007. Perbandingan di antara keduanya adalah
sekitar dua pertiga untuk pajak dan sisanya sepertiga dari sumber bukan pajak.
Selanjutnya penerimaan negara dari pajak dibedakan menjadi:

1. Pajak Dalam Negeri, yang terdiri dari komponen: Pajak Penghasilan (Pph) dari Migas
dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Cukai, dan Pajak Lainnya, dan
2. Pajak dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi ekspor.

Untuk periode 2002 sampai dengan 2007 anggaran penerimaan pemerintahdari pajak dalam
negeri dan pajak perdagangan internasional ditunjukkan oleh Tabel 9.6, di mana ternyata
bahwa lebih dari sembulan puluh lima persen merupakan pajak dari dalam negeri dan sisanya
kurang dari lima persen berasal dari pajak perdagangan internasional. Anggaran Pendapatan
dari Perpajakan dalam Negeri untuk 2002-2007 ditunjukkan pada Tabel 9.7. di mana sekitar

7
50 persen dari pajak dalam negei datang dari pajak penghasilan perorangan dan perusahaan,
dari jumlah mana sebagian besar berasal dari pajak atas migas.

Tabel 9.6: Anggaran Penerimaan dari Pajak, 2002-2007

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2008


Pajak pertambahan nilai juga memberikan kontribusi yang cukup besar (yakni sekitar 33
persen dari jumlah penerimaan pajak dalam negeri, kemudian diikuti oleh cukai (sekitar 12
persen). Sisanya sekitar 5 persen merupakan kontribusi dari pajak bumi dan bangunan
(sekitar 3 persen) dan Bea perolehan atas tanah dan bangunan dan pajak lainnya.

Tabel 9.7: Anggaran Pendapatan dari Perpajakn dalam Negeri, 2002-2007

Sumber: BPS seperti BI.LPI 2007


Sedangkan pajak dari perdagangan internasional adalah sebagai berikut di mana sebagian
besar karena bea masuk untuk impor, sedangkan pajak ekspornya hanyalah sekedar bea
administrasi ekspor seperti terlihat pada Tabel 9.8 berikut.

Tabel 9.8: Anggaran Pendapatan dari Pajak Perdagangan Internasional

8
Sumber: BPS seperti BI.LPI 2007

Komponen penerimaan negara dari bukan pajak beserta jumlah (dalam miliar rupiah) dapat
dilihat pada Tabel 9.9 di bawah ini. Dari tabel tersebut kelihatan bahwa komponen
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang paling besar adalah dari sumber daya alam, di mana
minyak bumi mempunyai pangsa lebih dari 60 persen, kemudian diikuti oleh gas alam sekitar
20 persen dari total sumbangan sumber daya alam. Komponen lain dari penerimaan bukan
pajak, selain dari penerimaan dari SDA, adalah bagian laba BUMN, surplus Bank Indonesia,
dan PNBP lainnya (lihat tabel).

Tabel 9.9: ANggaran Pendapatan dari Bukan Pajak (Rp miliar), 2002-2007

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007

2.2 Pola Pengeluaran Pemerintah


Anggaran belanja negara/pemerintah terdiri dari anggaran untuk pemerintah pusat dan
anggaran untuk pemerintah daerah. Dimana anggaran pemerintah untuk pemerintah pusat sekitar
dua kali dari anggaran untuk pemerintah daerah, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 9.10 di
bawah ini. Dalam kurun waktu waktu enam tahun pemerintah telah mampu meningkatkan
anggaran belanjanya lebih dari dua kali lipat dari sebesar Rp322 triliun pada tahun 2002 menjadi
lebih dari Rp752 triliun pada tahun 2007. Kelipatan ini juga berlaku baik untuk belanja
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

9
Tabel 9.10: Anggaran Belanja Pemerintah, 2002-2007 (Miliar rupiah)

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007


Anggarana belanja untuk pemerintah pusat, demikian juga keadaannya untuk pemerintah
daerah, dibedakan menjadi untuk pengeluaran rutin (administrasi pemerintahan) dan untuk
pengeluaran pembangunan. Anggaran rutin pemerintah pusat relatif tetap untuk 2002, 2003, dan
2004, sekitar 180an triliun rupiah kemudian melonjak tajam ke tahun 2005-P (perubahan yang
telah disetujui DPR) menjadi di atas 325 triliun rupiah dan pada anggaran 2007-P menjadi di atas
426 triliun rupiah. Perubahan dengan kecepatan yang hamper sama juga terjadi pada anggaran
belanja untuk pembangunannya.
Tabel 9.11: Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, 2002-2007 (Miliar Rp)

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007

Rincian Anggaran Belanja Rutin Pemerintah Pusat ditunjukkan pada Tabel 9.12 berikut. Hal
perlu mendapat perhatian di sini adalaha anggaran rutin untuk pembayaran bunga hutang dalam
dan luar negeri. Jumlah pembayaran bunga hutang ini sekitar 90 triliun rupiah dari anggaran
rutin sejumlah 186 triliun rupiah pada tahun 2002, mengalami penurunan untuk tiga tahun
beturut-turut (2003, 2004, 2005) menjadi sekitar 60an triliun rupiah dari anggaran rutin 2005-P
sekitar 326 triliun untuk kemudian meningkat ke level semula untuk tahun 2007-P, menjadi lebih
dari 83 triliun rupiah. Terjadi perubahan pembayaran bunga hutang dari untuk hutang luar negeri
(makin menurun) diganti dengan untuk hutang dalam negeri (makin meningkat).

Komponen lain yang perlu mendapat perhatian dalam anggaran rutin pemerintah pusat
adalah untuk pembayaran subsidi (BBM dan NonBBM) yang selalu mengalami peningkatan dari
sekitar 44 triliun rupiah pada anggaran 2002 menjadi sekitar 120 triliun rupiah untuk anggaran

10
205-P dan terus berada di atas 100 triliun sampai 2007-P. Anggaran untuk pembayaran bunga
hutang dan untuk subsidi menelan sebagaian besar anggaran rutin. Katakanlah untuk anggaran
2002, anggaran untuk dua komponen ini lebih dari 130 triliun rupiah dari anggaran rutin yang
jumlahnya hanya 186 triliun rupiah (sekitar 65 persen), dan untuk anggaran 2005-P jumlah ini
mendekati 190 triliun rupiah dari anggaran rutin sebesar 326 triliun rupiah (sekitar 65 persen).
Jumlah ini berada jauh di atas anggaran untuk pembayarannn gaji pegawai, yang untuk anggaran
2005-P hanya berjumlah 61 triliun, dan untuk anggaran 2007-P berjumlah 98 triliun.

Tabel 9.12: Anggaran Belanja Pengeluaran Rutin (miliar rupiah)

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007


Anggaran pembangunan untuk pemerintah pusat yang terdiri dari pembiayaan rupiah dan
pembiayaan proyek (dana luar negeri) ditunjukkan pada Tabel 9.13.
Tabel 9.13: Anggaran Belanja Pengeluaran Pembangunan, 2002-2007 (miliar Rp)

* Angka pengeluaran pembangunan, pembiayaan rupiah dan proyek untuk 2006 dan 2007
sudah sesuai dengan aslinya (kalau dijumlahkan tidak cocok).
Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007

11
Anggaran belanja negara untuk pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari dana perimbangan
dan dana otonomi khusus (+penyeimbang). Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana
alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana Alokasi
Umum (DAU) adalah dana yang di alokasikan pada setiap daerah Otonom di Indonesia sebagai
dana pembangunan. Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksaan otonomi khusus suatu daerah. Contohnya : Aceh, dan Papua. Anggaran untuk
pembiayaan pemerintah daerah untuk 2002 - 2007-P secara rinci ditunjukkan pada Tabel 9.14.

Tabel 9.14 Anggaran Belanja untuk Pemerintah Daerah (miliar rupiah)

Sumber: BPS seperti pada BI.LPI 2007


Anggaran belanja negara untuk pembiayaan pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Pembiayaan ini dibicarakan dengan rinci pada Pasal 10 sampai Pasal 42, yang pada
prinsipnya menjelaskan bahwa dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi
umum, dan dana alokasi khusus. Data mengenai anggaran belanja daerah untuk tahun 2002-2007
disajikan pada Tabel 9.14, dimana dana alokasi umum menempati porsi terbesar yang diikuti
oleh dana bagi hasil dan terakhir dana alokasi khusus.

12
2.3 Kebijakan Perpajakan dan Pengeluaran Pemerintah Sebagai Bagian dari Kebijakan
Fiskal
Sebagaimana kita ketahui bahwa anggaran belanja pemerintah (dan anggaran untuk lembaga
sosial) berbeda dengan anggaran belanja rumah tangga pribadi. Kalau dalam anggaran untuk
rumah tangga pribadi pertama-tama ditentukan penerimaan rumah tangga tersebut sebagai dasar
untuk menentukan anggaran pengeluarannya, maka keadaan sebaliknya berlaku untuk anggaran
rumah tangga pemerintah dan lembaga sosial, dimana pertama-tama ditentukan jumlah
pengeluaran yang diperlukan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar dan dari mana saja
beban belanja tersebut bersumber. Dari sejak awal, katakanlah dari zaman raja-aja dahulu,
setelah menentukan (kalau dibuat anggaran) jumlah pengeluaran pemerintah, sumber pertama
yang terbayang adalah dari pajak. hanya saja pemerintahan modern, baru terpikirkan sumber
dana lain, seperti dari mencetak uang, dari pinjaman dalam negeri, dari pinjaman luar negeri, dan
sebagainya. Dalam tulisan ini, sebagaimana biasa dijumpai dalam literatur ekonomi makro.
Diumpamakan bahwa dana yang bersumber dari pajak cukup, dan hanya cukup, tidak lebih dan
tidak kurang, untuk beban pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain diumpamakan terjadi
anggaran belanja seimbang. Baik pengeluaran pemerintah maupun pajak, keduanya mempunyai
pengaruh terhadap penghasilan nasional.

Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap penghasilan nasional. Pengeluaran pemerintah


rutin dan pembangunan dibayarkan kepada masyarakat (pegawai dan pelaksana pembangunan).
Mereka menerima tambahan pendapatan. Dari tambahan pendapatan tersebut mereka cenderung
untuk melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Kecenderungan tambahan
konsumsinya disebut MPC (Marginal Propensity to Consume) dan kecenderungan tambahan
untuk menabung disebut MPS (Marginal Propensity to Save). MPC biasanya dinyatakan dalam
proporsi terhadap penghasilan (Y), demikian juga MPS dinyatakan dalam proporsi terhadap
penghasilan (Y), sehingga MPC + MPS = 1 kali besarnya penghasilan. Tambahan konsumsi yang
dilakukan oleh orang pertama tadi diterima oleh orang lain kepada siapa konsumsi tersebut
dilakukan (orang kedua). Orang kedua ini, karena menerima tambahan pendapatan, juga
cenderung melakukan tambahan konsumsi dan tambahan tabungan. Tambahan konsumsinya
merupakan tambahan pendapatan bagi yang menerimanya (orang ketiga), yang karena ada
tambahan pendapatan, juga cenderung untuk melakukan tambahan konsumsi dan tambahan
tabungan. Begitu selanjutnya proses berjalan sampai jumlah yang tidak tehingga. Jumah

13
kenaikan penghasilan masyrakat sebagai akibat dari adanya pengeluaran pemerintah adalah
jumlah pengeluaran pemerintah itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan
mengumpamakan bahwa MPC dan MPS untuk setiap orang yang dikatakan di atas sama (orang
ke 1, 2,3), maka dengan memakai manipulasi aljabar dasar diperoleh faktor pengganda sebesar
k = 1/MPS. Kalau setiap orang yang menerima tambahan penghasilan mempunyai
kecenderungan untuk menabung sebesar 20 persen dari tambahan penghasilannya, maka k =
1/0,20 = 0,5.

Pengaruh Pajak terhadap Penghasilan Nasional. Untuk membiayai pengeluarannya,


pemerintah menarik pajak dari rakyat. Pajak ini mempunyai sifat mengurangi pendapatan dari
mereka yang membayar pajak itu (orang 1). Karena pendapatannya berkurang, mereka
cenderung mengurangi konsumsi (sebesar MPC kali berkurangnya penghasilan), dan mereka
cenderung untuk mengurangi menabung (sebesar MPS kali berkurangnya penghasilan), yang
mempunyai akibat lanjutan terhadap mereka yang terkena pengurangan penghasilan. Demikian
prosesnya berjalan, sama seperti logika pada pengeluaran pemerintah, sampai pada orang yang
ke tidak terhingga), jumlah penghasilan masyarakat berkurang karena ada pajak adalah sebesar
pajak itu dikalikan dengan faktor pengganda. Dengan perumpamaan yang sama seperti pada
pengeluaran pemerintah, faktor penggandanya dapat diperoleh dengan manipulasi aljabar dasar
sebesar k = -(1/MPS 1). Kalau setiap orang yang penghasilan berkurang sebesar tambahan
pajak, mempunyai kecenderungan untuk mengurangi menabung sebesar 20 persen dari jumlah
pengurangan penghasilannya, maka k untuk pajak = -(1/0,20 1) = -4.

Pengganda untuk anggaran berimbang. Oleh karena dalam anggaran berimbang, contoh kita
di atas, jumlah pengeluaran pemerintah sama dengan jumlah pajak, maka akibat dari anggaran
belanja yang seimabang terhadap penghasilan nasional adalah: (Jumlah kenaikan penghasilan
nasional karena pengeluaran pemerintah) dikurangi (jumlah pengurangan penghasilan nasional
karena adanya pajak). Karena yang pertama adalah sebesar (1/MPS) kali jumlah pengeluaran
pemerintah, dan yang disebut belakanganadalah (1/MPS 1 ), maka tambahan penghasilan neto
karena anggaan seimbang adalah (1/MPS) (1/MPS 1) = 1 kali anggaran berimabng tersebut.
dengan kata lain faktor pengganda untuk anggaran berimbang adalah (+1).

Tabungan Pemerintah dan Pembangunan Ekonomi. Pembangunan ekonomi satu negara


dapat dibiayai oleh sumber-sumber dari dalam negeri dan dari luar negeri. Sumber pembiayaan

14
pembangunan ekonomi dari dalam negeri dapat berupa tabungan perseorangan, tabungan
perusahaan, dan tabungan pemerintah, sedangkan yang bersumber dari luar negeri bisa berupa
bantuan dan pinjaman luar negeri, penanaman modal langsung dari luar negeri atau penanaman
modal tidak langsung dari luar negeri.
Yang dimaksud dengan tabungan pemerintah adalah semua penerimaan dari dalam negeri
dikurangi dengan semua pengeluaran rutin. Namun untuk Indonesia masih dikurangi lagi dengan
anggaran belanja untuk daerah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat tiap tahun (bersifat
rutin). Tabungan pemerintah untuk tahun 2002-2007 disajikan pada Tabel 9.15, yang ternyata
terus mengalami peningkatan dari hanya 13,6 triliun rupiah pada tahun 2002 sampai mencapai
52,3 triliun rupiah pada tahun 2005 dan kembali mengalami penurunan menjadi hanya 25,6
triliun pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 hanya menjadi 9,6 tiliun. Jadi pemerintah telah
menyisakan penerimaan dalam negerinya untuk sebagian ditabung. Dalam persentase jumlah
tabungan pemerintah ini berkisar dari sedikit di bawah 5 persen pada tahun 2002, terus
mengalami peningkatan sampai menjadi 13 persen pada tahun 2004, lalu mengalami penurunan
menjadi hanya 1,3 persen dari total penerimaan dalam negeinya. Kalau kita bandingkan jumlah
tabungan pemerintah ini dengan jumlah pembiayaan rupiah dalam rencana pembangunan
tahunannya, ternyata, seperti terlihat pada Tabel 9.15, julah tabungan pemeintah ini selalu lebih
kecil. Ini berarti bahwa tiap tahun (dari 2002 sampai 2007) pemerintah harus menggali sumber-
sumber pembiayaan dalam negeri untuk menalangi pembiayaan rupiah dari rencana
pembangunannya, yang mungkin berupa pinjaman dari Bank Indonesia atau pinjaman jangka
pendek yang biasa disebut Treasury Bill.
Tabel 9.15: Tabungan Pemerintah Indonesia, 2002-2007 (miliar Rp)

15
Sumber: Diolah dari Tabel 9.1

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebijakan fiskal (fiscal policy) adalah implementasi dari bentuk operasional kebijakan
anggaran yang dilakukan pemerintah dalam mengatur keuangan negara. Arah kebijakan
ditekankan pengalokasian pengeluaran negara dan penerimaan negara terkhusus pada
perpajakan, contohnya saja tinggi rendahnya pajak, atau bahkan pembebasan pajak dalam
pengendalian perekonomian untuk mencapai tujuan nasional. Dalam menjalankan kebijakan
sangat efektif apalagi dibarengi dengan kebijakan moneter. Kebijaksanaan fiskal pada umumnya
(juga di Indonesia) terdiri dari kebijaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara/pemerintah.
Penerimaan pemerintah Indonesia dibedakan menjadi:
1. Penerimaan dalam negeri, yang tidak lain daripada seluruh penerimaan baik yang berupa:
a) Penerimaan dari perpajakan dan selanjutnya penerimaan negara dari pajak dibedakan
menjadi:
Pajak Dalam Negeri, yang terdiri dari komponen: Pajak Penghasilan (Pph) dari Migas
dan Nonmigas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Cukai, dan Pajak Lainnya, dan
Pajak dari perdagangan internasional, pajak impor dan pungutan administrasi ekspor.
b) Penerimaan bukan pajak (PNBP), semua penerimaan negara yang bukan pajak seperti
halnya uang sekolah (SPP), penerimaan dari penjualan bibit oleh departemen yang
membuat pembibitan untuk rakyat, aset milik pemerintah yang dijual kepada rakyat seperti
misalnya rumah dinas, mobil dinas, dan sebagainya.
2. Hibah, yang merupakan bantuan pihak ketiga (yang tidak mengikat) kepada pemerintah baik
yang datang dari dalam negeri maupun yang dari luar negeri.

Anggaran belanja negara/pemerintah terdiri dari :

1. Anggaran untuk pemerintah pusat dibedakan menjadi :


a) Pengeluaran rutin (administrasi pemerintahan)
b) Pengeluaran pembangunan.
2. Anggaran belanja negara untuk pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari:

16
a) Dana perimbangan terdiri dari :
Dana bagi hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
Dana alokasi umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang di alokasikan pada setiap daerah
Otonom di Indonesia sebagai dana pembangunan
Dana alokasi khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
b) Dana otonomi khusus (+penyeimbang).
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksaan otonomi
khusus suatu daerah. Contohnya : Aceh, dan Papua.
Dalam tulisan ini, sebagaimana biasa dijumpai dalam literatur ekonomi makro.
Diumpamakan bahwa dana yang bersumber dari pajak cukup, dan hanya cukup, tidak lebih dan
tidak kurang, untuk beban pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain diumpamakan terjadi
anggaran belanja seimbang. Baik pengeluaran pemerintah maupun pajak, keduanya mempunyai
pengaruh terhadap penghasilan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press

17
Imaduddin. Pola Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah, Neraca Pembayaran, Indonesia,
dan Neraca Perdagangan Indonesia. 10 April 2017.
http://imaduddin3110.blogspot.co.id/2015/03/pola-penerimaan
pemerintahpengeluaranne_20.html

18

Anda mungkin juga menyukai