Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan
lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsip-
prinsip hokum syariah Islam, seperti diatur dalam Al-Quran dan Al Hadist.
Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan sistem syariah (Hukum Islam). Usaha pembentukan sistem ini
berangkat dari larangan Islam untuk memungut dan meminjam berdasarkan bunga
yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,
misalnya dalam makanan, minuman, dan usaha-usaha lain yang tidak islami, yang
hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.


Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter
pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal
awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode
1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah
di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang (UU) yaitu UU No. 10 tahun
1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


Untuk lebih sistematis, maka Penulis akan merumuskan masalah-masalah
pokok yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan Bank Syariah ?
2. Bagaimana perkembangan Bank Syariah di Indonesia ?
3. Bagaimanakah karakteristik Bank Syariah

1.2 Tujuan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka Penulis akan memberikan
beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, diantaranya adalah :
1. Mengetahui definisi Bank Syariah
2. Mengetahui perkembangan Bank Syariah di Indonesia
3. Mengetahui dan memahami karakteristik Bank Syariah
2

BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bank Syariah

Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya


berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Usaha pembentukan sistem ini
didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam
dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-
usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem
perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin pesat dewasa
ini telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam
berbagai keunggulan kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum
(konvensional) akan menghadapi persaingan baru dengan kehadiran lembaga
keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini ditandai dengan
pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.

2.2 Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum


yang dilakukannya terhadap perbankan syariah, menenukan sedikitnya empat hal
yang menjadi tujuan pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu 1
:

1 Diakses dari Universitas Sumatera Utara: Tinjauan Umum Tentang Bank Syariah
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29480/3/Chapter%20ll.pdf pada
tanggal 1 Maret 2017 pukul 09.00
4

1) Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat
menerima konsep bunga.
2) Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasikan
terlaksananya sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan
baik dalam proses kompetisi yang sehat, dimana didukung oleh pola perilaku
bisnis yang bernilai dan bermoral.
3) Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
4) Mendorong peran perbankan dalam menggerakan sektor riil dan membatasi
segala bentuk eksploitasi yang tidak produktif serta menghasilkan nilai-nilai
moral.

Sebagai langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada


pertengahan tahun 1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah
pada seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diadakan pada tahun
1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diadakan Lembaga Studi Ilmu-
Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat Islam
Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembuus sejak saat itu.
Namun, usaha untuk merealisasikan ide perbankan syariah tersebut terhambat
oleh beberapa alas an, yaitu :

1) Operasi Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh
karena itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang
berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.
2) Konsep Bank Syariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan
bagian atau berkaitan dengan pembentukan Negara Islam, oleh Karena itu
tidak dikehendaki pemerintah.
3) Belum ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu,
sementara pendirian bank baru dari Negara Timur Tengah masih dicegah,
antara lain oleh kebijakan pem
5

4) batasan bank asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.

Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam
pengkajiannya adalah Karnaen A. Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M
Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Uji coba pada skala yang relatif
terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu dengan pembentukan Baitut
Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta, yang kedua
lembaga keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi. Pembentukan
ini juga didorong oleh keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni Tahun
1983, yang telah membuka belenggu penetapan bunga perbankan oleh
pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga kepada masing-
masing bank, maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol
persen) yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang
berdasarkan bagi hasil keuntungan. Namun, karena belum dimungkinkannya
pendirian bank baru pada saat itu, sedangkan bank-bank yang telah ada belum
tertarik mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai kurang
menguntungkan, maka bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia,
sehingga dibentuklah badan hukum koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.

Pada tahun 1988, gagasan mengeni bank syariah kembali muncul yang
dilatarbekalangi dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO)
yang berisi liberalisasi perbankan. Liberalisasi perbankn tersebut
memungkinkan didirikannya bank-bank baru selai yang telah ada. Maka dari
itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di
Indonesia, yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera,
BPRS Dana Mardhatillah, dan BPRS Amanah Rabaniah, yang beroperasi di
Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat
Indonesia pada 1 November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian
PT.
6

Bank Muamalat Indonesia terkumpul komitmen pembelian saham sebesar


Rp 84 Miliar. Sebelumnya, pada 18-20 Agustus 1990 diadakan lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih
mendalam dalam Musyawarah Nasional IV MUI pada 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah kelompok kerja
untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
semua pihak terkait.

Dalam menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip


syariah, Bank Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain
karena peraturan hukum tentang bank syariah belum spesifik mengatur dan
member ruang dalam pengembangan perbankan syariah, juga
ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan bank konvensional yang telal
memiliki jaringan yang kuat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Selain itu,
untuk menjaga likuiditas bank dan mempertahankan eksistensinya, yaitu
melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan yang sewajarnya melalui bagi
hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan
menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling potensial. Hal ini
yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan
kehadiran BMI sentuhan yang berarti pada mereka sebagai bank yang
mengusung nilai-nilai Islam.

Era reformasi kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam


perbankan syariah di Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah
mendapatkan paradigm baru dalam memandang perbankan Islam di Indonesia.
Krisis moneter yang dialami sebelunmnya ternyata memberikan implikasi
positif dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia. Bentuk
perkembangan paling besar bank syariah pada masa itu ditandai dengan
disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang merupakan
regulasi mengenai perbankan untuk bangkit dari krisis ekonomi yang melanda
pada waktu itu.
6

Dalam Undang-undang tersebut member arahan bagi bank-bank


konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi diri secara
total menjadi bank syariah. Hal tersebut disambut antusias oleh kalangan
perbankan konvensional yang ingin mulai memasuki usaha bisnis perbankan
syariah, untuk itu Bank Indonesia mengadakan Pelatihan Perbankan Syariah
bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang
berkaitan langsung dengan DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset dan moneter. Beberapa
lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang syariah pada masa-
masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank Syariah Mandiri,
dan Bank BNI Divisi Syariah.

Pada masa ini, ada beberapa permasalahan yang belum terlesaikan dari
sistem hukum maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal
ini sebagaimana digambarkan Umar Chappra dan ditindaklanjuti oleh
Muhammad SyafiI Antonimo dalam kajian Tazkia Institute. Persoalan-
persoalan itu adalah sebagia berikut:

1) Pada umumnya produk-produk perbankan syariah, belum memiliki standar


peraturan yang baku dan seragam. Ketika MUI/DSN bersama Bank Indonesia
tengah mempersiapkan pembakuan Akad Mudharabah, musyarakah, dan
murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya belum disiapkan.
2) Perbankan syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset
dan akses pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari
total asset perbankan nasional sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk
melakukan ekspansidan diversifikasi usaha.
3) Dalam kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi
konvensional belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan
lembaga
8

4) penunjang lainnya. Juga belum memadai untuk keperluan likuiditas dan


pengelolaan risiko.
5) Belum ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan
syariah, termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas
pengatur maupun investor mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan
dalam menilai kinerja perbankan syariah. Peran Accounting for Islamic
Institution di Bahrain belum sepenuhnya dapat mengantisipasi kekurangan ini.
Perkembangan terakhir menunjukkan semakin membaiknya kinerja lembaga
ini dalam menjalankan tugas-tugasnya.
6) Perlakuan oleh pihak perbankan syariah disatu sisi dengan masalah pada sisi
lainnya belum berlangsung sesuai dengan prinsip kesetaraan. Masih seperti
yang diperaktikkan dalam perbankan konvensional, dimana posisi pihak
perbankan masih jauh lebih kuat dibanding nasabahnya. Idealnya, perbankan
syariah memperlakukan nasabah sebagai mitranya yang sejajar sehingga tidak
terkesan sebagai hubungan kemitraan yang berdasarkan hubungan keyakinan
semata, melainkan juga harus rasional dan objektif.

Pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya


peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah,
serta dibentuknya badan-badan khusus yang bertugas membenahi sistem
perbankan syariah di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 perbank syariah
tumbuh dengan volume usaha yang tinggi yaitu sebesar 43,99% meningkat
dari tahu sebelumnya sebesar 26,55% dengan pertumbuhan dana yang
dihimpun maupun pembiayaan yang relative tinggi, serta penyediaan akses
jaringan yang meningkat dan menjangkau kebutuhan masyarakat luas
sehingga masih cukup kuat untuk memanfaatkan potensi membaiknya
perekonomian nasional.

2.3 Karakteristik Bank Syariah


8

Lembaga keuangan syariat memiliki karakteristik yang membedakannya dari


bank-bank ribawi, diantaranya adalah2:

1) Lembaga keuangan syariah harus bersih dari semua bentuk riba dan muamalah
yang dilarang syariat. Ini menjadi jorgan dan syiarutamanya. Tanpa ini satu
lembaga keuangan tidak boleh dinamakan lembaga keuangan syariat. Dr. Ghorib
al-Gamal menyatakan : Karakteristik bersih dari riba dalam muamalat perbankan
syariat adalah karakteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya seiring
dengan tatanan yang benar untuk masyarakat Islami. (Lembaga keuangan syariat)
harus mewarnai seluruh aktivitasnya dengan ruh yang kokoh dan motivasi akidah
yang menjadikan para praktisnya selalu merasa bahwa aktivitas yang mereka
geluti tidak sekedar aktivitas bertujuan merealisasikan keuntungan semata, namun
perlu ditambahkan bahwa itu adalah salah satu cara berjihad dalam mengemban
beban risalah dan persiapan menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang
menyelisihi norma dasar Islam. Diatas itu semua para praktisi hendaknya merasa
bahwa aktivitasnya tersebut adalah ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan
pahala dari Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkan. 3
Mengarahkan segala kemampuan pada pertambahan (at-Tanmiyah) dengan jalan
its-titsmar (pengembangan modal)tidak dengan jalan hutang (al-Qardh) yang
member keuntungan. Lembaga keuangan syariat harus dapat mengelola hartanya
dengan salah satu dari dua hal berikut yang telah diakui syariat:
a) Investasi pengembangan modal langsung (al- its-titsmar al-Mubaasyir) dalam
pengertian Bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam
proyek-proyek riil yang menguntungkan.

Diakses dari http://ekonomisyariat.com/karakteristik-bank-syariah/ pada tanggal 1


Maret 2017 pukul 09.30

Kitab Al-Mashorif Wa Buyut at-Tamwiel al-Islamiyah, DR. Gharib al-Jamal hal. 47


10

b) Investasi modal dengan musyarakah dalam pengertian Bank menanam


saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank syariat tersebut
sebagai syariek (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut dan
berperan dalam administrasi, manajemen dan pengawasan serta menjadi
syariek juga dalam semua yang dihasilkan proyek tersebut baik berupa
keuntungan atau kerugian dalam prosentase yang telah disepakati
diantara para syariek.

c) Karena bank syariat dibangun di atas asas dan prinsip


Islam, maka seluruh aktivitas mereka tunduk kepada standar halal dan
haram yang telah ditentukan syariat Islam. Hal ini menuntut lembaga
keuangan berbuat beberapa hal berikut4:

a. Mengarahkan pengembangan modalnya (investment) dan


memusatkannya pada lingkaran produk barang dan jasa yang dapat
memenuhi kebutuhan umum kaum muslimin.
b. Menjaga jangan sampai produknya terjerumus dalam lingkaran haram.
c. Menjaga setiap tahapan-tahapan produknya tetap berada dalam
lingkungan halal.
d. Menjaga setiap sebab produknya (sistem operaso dan sejenisnya)
bersesuaian dalam lingkaran halal.
e. Memutuskan dasar kebutuhan masyarakat dan maslahat umum
sebelum melihat kepada profit yang akan didapat individunya.
d)
e) Mengikat perkembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga
keuangan syariat tidak hanya sekedar mengikat pengembangan ekonomi
dan pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan
sosial masyarakat sebagai asas yang tidaklah pengembangan ekonomi
memberikan hasilnya tanpa memperlihatkan hal ini. Dengan demikian

Miat Sual wa Miat Jawaab Haula al-Bunuk al-Islamiyah hal.45-46


10

bank syariat harus menutupi dua sisi ini dan komitmen terhadap
perbaikan masyarakat dan keadilannya. Tidak mengarah seperti bank
ribawi yang mengarah kepada proyek-proyek yang memiliki prospek
yang menjanjikan keuntungan yang lebih banyak tanpa memperlihatkan
perkara pertumbuhan sosial kemasyarakatan, karena hal itu adalah
kekurangan yang memiliki akibat bahaya dalam masyarakat.
2) Mengumpulkan harta yang menganggur dan menyerahkannya kepada
aktivitas its-titsimar dan pengelolaan dengan target pembiayaan (tamwiel)
proyek-proyek perdagangan, industri dan pertanian, karena kaum
muslimin yang tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank ribawi
berharap adanya bank syariat unyuk menyimpan harta mereka disana.
3) Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran
perdagangan langsung (Harakah at-Tabaadul at-Tijaari al-Mubasyir)
sedunia Islam dan bekerja sama dalam bidang tersebut dengan seluruh
lembaga keuangan syariat dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan
sesempurna mungkin.
4) Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank
sendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu manajemen
lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut. Karena
lembaga keuangan syariat tunduk kepada pengelolaan harta untuk
muamalat Islami dan hak-hak wajib pada harta-harta tersebut.
5) Membangun baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu
yang dikelola langsung manajemennya oleh lembaga keuangan tersebut.
6) Menanamkan kaedah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan
kerugian dan menjauhkan unsur ihtikaar (penimbunan barang agar
menaikkan harga) dan meratakan kemaslahatan sebanyak mungkin pada
jumlah kaum muslimim setelah sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya
milik pemilik harta yang besar dan tidak peduli dari jalan mana
mendapatkannya.

f)
10

7) BAB III
8) PENUTUP
9)
10) 3.1 Kesimpulan
11) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbankan
Islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan
konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan
kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi
sebuah kesalahan, maka agama Islam termasuk didalamnya umat Islam
itu akan bersalah secara agamma.
12) Perkembangan Bank Syariah di Indonesia hingga saat ini,
dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan khusus yang
mengatur mengenai bank syariah, serta dibentuknya badan-badan khusus
yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah di Indonesia.
Sepanjang tahun 2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha
yang tinggi yaitu sebesar 43,99% meningkat dari tahun sebelumnya
sebesar 26,55% dengan pertumbuhan dana yang dihimpun maupun
pembiayaan yang relatif tinggi, serta penyediaan-penyediaan akses
jaringan yang meningkat dan menjangkau kebutuhan masyarakat secara
luas sehingga masih cukup kuat untuk memanfaatkan potensi
membaiknya perekonomian nasional.
13) Bank syariah adalah bank yang mempunyai karakteristik
yang bersih dari segala bentuk riba, mengumpulkan harta yang
menganggur dan menyerahkannya kepada aktivitas its-titsmar dan
pengelolaan, memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar
gerakan pertukaran perdagangan langsung, menghidupkan tatanan zakat
dengan membuat lembaga zakat dengan membuat lembaga zakat dalam
bank sendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut, membangun
baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu yang
dikelola langsung manajemennya oleh lembaga keuangan tersebut,
menanamkan kaedah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan
kerugian dan menjauhkan unsur ihtikaar.
14)
15) 3.2 Saran
10

16) Menyadari bahwa Penulis masih jauh dari kata sempurna, maka
Penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah
diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan.

17)
10

18) DAFTAR PUSTAKA


19)
20)
21) Al-Jamal Gharib, Kitab Al-Mashorif Wa Buyut at-Tamwiel al-Islamiyah
22) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29480/3/Chapter%20ll.pdf
23) http://ekonomisyariat.com/karakteristik-bank-syariah/
24) Miat Sual wa Miat Jawaab Haula al-Bunuk al-Islamiyah

25)

Anda mungkin juga menyukai