Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Respiratory Care

Pembimbing:

dr. Indra K. Ibrahim, Sp. An

Disusun oleh:

Richard Bun (2014-061-188)


Jonathan Christopher (2016-061-078)

Departemen Klinik Ilmu Anestesi


RSUD Syamsudin SH.
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
Periode 16 Februari 2017 18 Maret 2017

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
kasih karuniaNya, penulisan referat dengan judul Respiratory Care dapat
diwujudkan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Indra K.
Ibrahim, Sp. An atas bimbingan dan saran Beliau selama penulisan referat ini.
Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam penulisan referat ini.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan mohon maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini.
Oleh karena itu, segala saran atau kritik yang membangun akan dijadikan sebagai
pemacu untuk membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap
semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.

Sukabumi, 8 Maret 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................

2
1.1 Latar Belakang....................................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................
1.3 Manfaat Penulisan...............................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................

2. Perawatan Respirasi..............................................................................................
2.1 Terapi Gas...........................................................................................................
2.2 Klasifikasi Alat Terapi Oksigen..........................................................................
2.2.1 Low Flow atau variable Performance..........................................................
2.2.2 High Flow atau Fixed Performance...........................................................
2.3 Bahaya Terapi Oksigen.....................................................................................
2.3.1 Hipoventilasi..............................................................................................
2.3.2 Ateletaksis Absorpsi...................................................................................
2.3.3 Keracunan Pulmoner..................................................................................
2.3.4 Prematur Retinopati...................................................................................
2.3.5 Keracunan Oksigen Hiperbarik..................................................................
2.3.6 Bahaya Terbakar.........................................................................................
2.4 Ventilasi Mekanik.............................................................................................
2.4.1 Ventilator tekanan positif...17
2.4.2 Mode Ventilasi...........................................................................................
2.5 Perawatan pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik...........................
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Respiratory Care atau perawatan respirasi menyangkut terapi dan tes
diagnostik untuk membantu menentukan diagnosis pada kardiopulmonal dan
perawatan kritikal yang merupakan bagian integral sebagai seorang tenaga

3
kesehatan. Terapi gas medis diberikan pada hipoksia maupun hipoksemia, kondisi
yang seringkali ditemukan pada critical care. Selain dasar respiratory care,
beberapa peralatan yang digunakan pada praktik untuk terapi oksigen juga
memerlukan pemahaman yang mendetil. Namun dengan terapi oksigen terdapat
juga beberapa bahaya yang perlu dipahami.
Perlu juga pemahaman beberapa mode ventilasi yang umumnya digunakan
seperti CMV, AC, IMV, SIMV, PSV dan lain-lain, yang mempunyai indikasi
penggunaan, keuntungan dan kelemahan tersendiri.
Oleh karena itu, penulis ingin membahas mengenai respiratory care, mulai
dari terapi gas medis, alat yang digunakan untuk oksigenasi selama pembiusan,
bahaya dari terapi oksigen, ventilasi mekanik serta penggunaannya pada anestesi
dalam praktik terhadap critical care medicine.

1.2 Tujuan Penulisan


Memahami terminologi respiratory care, serta cakupan dari respiratory
care.
Memahami terapi gas medis.
Memahami hipoksia dan tatalaksana pada anestesi.
Memahami alat-alat oksigenasi dalam anestesi.
Memahami bahaya dan efek samping dari terapi oksigen.
Memahami mesin ventilator serta mode yang umumnya digunakan dalam
anestesi.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Manfaat dalam bidang akademik
Mengetahui peran, cara pemberian, dan alat-alat yang digunakan dalam
respiratory care.
1.3.1 Manfaat dalam perkembangan penilitian
Hasil dari penulisan ini dapat diharapkan dapat menjadi referensi bagi
dokter dalam mengetahui dan memahami intisari respiratory care.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2 Perawatan respirasi
Perawatan respirasi merupakan sebuah terapi dan tes diagnostik
untuk membantu menentukan diagnosis pada kardiopulmonal dan
perawatan kritikal. Beberapa hal seperti terapi gas, pengobatan aerosol,
manajemen jalan nafas, ventilasi mekanis, terapi tekanan positif jalan
napas (CPAP), pemantauan perawatan kritis, dan rehabilitasi
kardiopulmonar yang secara komphrehensif disebut fisioterapi dada.
Termasuk pemberian aerosol, membersihkan sekresi paru, reekspansi paru
atelektasis, dan melestarikan fungsi paru normal pasca operasi atau selama
sakit baru dimasukkan dalam kategori tersebut. Pengujian diagnostik dapat
berupa pengujian fungsi paru, analisis gas darah arteri, pengujian
elektrokardiografi, dan evaluasi dari gangguan pernapasan saat tidur.

2.1 Terapi Gas


Pemberian terapi gas dapat berupa pemberian oksigen, heliox (Helium
Oksigen), atau oksigen hiperbarik.
Oksigen
Tujuan utama pemberian oksigen adalah untuk mencegah
atau memperbaiki hipoksemia atau hipoksia jaringan. Namun
terapi oksigen yang diberikan dengan sendirinya kadang tidak
cukup. Untuk permasalahan alveolus kolaps butuh Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End-Expiratory
Pressure (PEEP). Pasien dengan hiperkapnia mendalam mungkin
perlu bantuan ventilator. Oksigen dalam konsentrasi tinggi perlu
diberikan untuk mengeluarkan gas lain seperti nitrogen dari
pembuluh darah atau rongga tubuh lainnya. Oksigen suplemental
diindikasikan untuk dewasa, anak, dan bayi bila Pao 2 kurang dari
60 mm Hg atau Spo2 kurang dari 90% saat istirahat bernapas udara
ruangan. Pada Neonatus terapi oksigen ini diberikan bila Pao2

5
kurang dari 50 mm Hg atau Spo2 kurang dari 88%. Kadang terapi
dapat diberikan saat mencurigai adanya hipoksemia atau hipoksia
berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan
Infark miokard, edema pulmoner kardiogenik, cedera paru akut,
sindrome distres respirasi akut, fibrosis pulmoner, keracunan
sianida, atau inhalasi karbon monoksida butuh suplemental
oksigen. Pemberian oksigen seharusnya diberikan sebelum
prosedur seperti bronkoskopi yang menyebabkan desaturasi arteri.

Heliox
Dalam terapi ini, helium digabungkan dengan oksigen. Rasio yang
paling sering digunakan adalah 79% helium dan 21% oksigen karena
memiliki densitas 40% dari oksigen murni.
Penggunaan heliox dalam anestesi dapat mengurangkan tekanan
yang diperlukan untuk memventilasikan pasien dengan pipa trakeal
diameter kecil. Heliox juga dapat digunakan pada pasien obstruksi jalan
napas atas untuk menghilangkan gangguan pernapasan akut sampai
pemeliharaan lebih lanjut dapat diberikan, namun hasilnya tidak terlalu
baik untuk pasien COPD atau asma akut. Kombinasi heliox juga dapat
dipakai untuk gas pendorong nebulizer volum kecil pada terapi

6
bronkodilator. Jika menggunakan heliox maka aliran nebulizer perlu
ditingkatkan sampai 11 L/min dibandingkan dari normalnya 6-8 L/min.

Oksigen Hiperbarik
Terapi ini menggunakan sebuah ruangan tekanan untuk
mempaparkan pasien dengan oksigen yang melebihi tekanan barometrik
normal. Dengan ruang hiperbarik kapasitas 1 orang, oksigen 100%
digunakan untuk memberikan tekanan pada ruangan tersebut. Ruang
multiplace menggunakan udara bebas untuk meningkatkan tekanan
ruangan, namun pasien mendapatkan 100% oksigen dari masker,
kerudung, atau pipa trakeal. Indikasi dari pemakaian oksigen hiperbarik
adalah dekompresi, emboli udara, gangren gas, keracunan karbon
monoksida, dan untuk menyembuhkan beberapa luka.

2.2 Klasifikasi Alat Terapi Oksigen


Oksigen dapat diberikan dengan atau tanpa udara bebas kepada pasien.
Alat terapi oksigen ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan
memberikan tingkatan aliran adekuat dan tingkatan Fio2. Alat Low Flow atau
Variable Performance memberikan oksigen dengan aliran tetap yang diinspirasi
bersama dengan udara. Alat tersebut diberikan pada pasien dengan pola
pernapasan yang stabil. Sistem Low Flow adekuat untuk pasien yang memiliki
ventilasi menit kurang dari 8 L/min, frekuensi napas kurang dari 20 napas/min,
volume tidal kurang dari 800 mL, dan aliran inspirasi yang normal (10 30
L/min). Alat High Flow atau Fixed Performance menghantarkan gas dengan Fio2
yang telah ditetapkan dalam aliran tinggi. Pasien dispneik atau hipoksemik
memerlukan aliran 100% oksigen sebanyak 100 L/min. Sistem High Flow adekuat

7
untuk pasien yang memerlukan Fio2 konsisten, aliran inspirasi besar (>40 L/min).

2.2.1 Alat Low Flow atau Variable Performance


Untuk alat low flow atau variable performance terdapat beberapa
jenis seperti kanul nasal, masker nasal, masker oksigen Simple, dan
masker dengan reservoir gas.
Kanul Nasal
Kanal nasul merupakan sebuah pipa plastik lentur yang
menghubungkan flowmeter dengan lubang hidung. Pasien dengan
perawatan lama biasa menggunakan kanul nasal karena tidak mengganggu
proses berbicara, makan, dan minum. Aliran oksigen bersifat konstan,
maka sekitar 80% oksigen terbuang saat pasien ekspirasi, namun ada
beberapa kanul nasal yang memiliki reservior sehingga menampung
oksigen hingga pasien memulai inspirasi.

8
Fio2 aktual yang diinspirasikan oleh pasien dengan kanul nasal
bergantung pada aliran oksigen, volume nasofaringeal, dan aliran inspirasi
pasien (dipengaruhi oleh volume tidal dan lama inspirasi). Kanul nasal
dapat meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sampai 30-35% dengan
aliran oksigen 3-4 L/min, namun 40-50% dapat dicapai dengan aliran lebih
dari 10 L/min. Hanya saja aliran yang melebihi 5 L/min dapat
menyebabkan ketidaknyamanan pasien karena kecepatan gas yang tinggi
masuk ke nasal sehingga nyeri dan mukosa hidung menjadi kering.
Untuk beberapa kasus pasien dengan penyakit tertentu dapat
memerlukan aliran oksigen yang berbeda. Dalam klinis, aliran harus
disesuaikan dengan tanda-tanda vital, pulse oximetry, dan pengukuran gas
darah arteri. Contohnya seperti pasien COPD yang hipoventilasi saat
diberikan aliran oksigen yang sedikit, namun menjadi hipoksemik bila
bernapas pada udara ruangan. Pasien tersebut dapat bernapas dengan baik
bila diberikan aliran oksigen 1-2 L/min.
Untuk ukuran anak tersedia kanul nasal pediatrik. Karena anak
memiliki volume menit yang lebih rendah, maka aliran kanul nasal juga
harus disesuaikan. Biasa diberikan aliran oksigen 1-3 L/min.

Masker Nasal
Masker nasal merupakan campuran dari kanul nasal dan masker
wajah. Masker nasal memberikan suplemen oksigen yang sama hasilnya
dengan kanul nasal. Keuntungannya hanya masker nasal lebih nyaman
dari kanul nasal karena tidak menyebabkan nyeri pada eksternal hidung
dan aliran oksigen tidak secara langsung ditembakkan kedalam kavitas
nasal.

Masker Oksigen Simple


Masker oksigen merupakan plastik ringan yang menutupi bagian
mulut dan hidung dan tidak memiliki kantung reservoir. Masker ini jarang
tertutup rapat sehingga pasien masih dapat menginspirasi udara ruangan.
Bentuk utama masker oksigen merupakan reservoir untuk oksigen dan

9
karbon dioksida tereskpirasi. Batas minimal aliran oksigen 5 L/min
diterapkan pada masker oksigen untuk mencegah rebreathing dan
peningkatan usaha respirasi. Dengan menggunakan masker oksigen,
proses berbicara terganggu dan makan minum menjadi lebih sulit.
Diperkirakan Fio2 0,3-0,6 didapatkan pada aliran oksigen 5-10
L/min. Tingkat oksigen dapat ditingkatkan dengan volume tidal yang kecil
atau laju pernapasan yang lebih lama.
Masker tanpa reservoir oksigen lebih baik digunakan untuk pasien
yang membutuhkan konsentrasi oksigen yang lebih besar dari kanul nasal
namun membutuhkan terapi oksigen yang adekuat untuk jenjang waktu
yang singkat. Contohnya seperti saat transfer pasien atau terapi di
postanesthesia care unit. Masker oksigen tidak cocok untuk pasien
penyakit respirasi berat dengan hipoksemik, takipneik, atau tidak dapat
menjaga jalan napas dari aspirasi.

Masker dengan Reservoir Gas


Terdapat 2 tipe masker reservoir yaitu partial rebreathing mask dan
nonrebreathing mask. Keduanya ringan dan memiliki plastik transparan
untuk reservoir pada daerah dibawah dagu. Reservoir tersebut dapat
menampung kurang lebih 600 mL. Sebutan partial rebreather digunakan
karena sebagian dari volume tidal pasien masuk kedalam reservoir, namun
gas tersebut merupakan dead space yang tidak menyebabkan inspirasi
kembali karbon dioksida yang bermakna.
Nonrebreather menggunakan sistem yang sama seperti rebreather
namun memiliki katup flap antara masker dan reservoir dan juga pada
salah satu lubang ekshalasi masker. Masuknya udara ruangan saat inspirasi
cepat merupakan hal normal. Untuk penggunaan masker dengan baik
diperlukan aliran oksigen yang tinggi sehingga kantung reservoir setengah
penuh saat inspirasi. Aliran minimum untuk oksigen adalah 10-15 L/min
sehingga dapat memberikan Fio2 0,35-0,60. Kedua jenis masker dapat
digunakan untuk pasien hipoksemia dengan ventilasi menit spontan yang

10
normal. Contohnya adalah pasien trauma, infark miokard, atau pajanan
karbon dioksida.

2.2.2 Alat High Flow atau Fixed Performance


Untuk alat high flow atau fixed performance terdapat beberapa jenis seperti
bag-mask-valve system, masker venturi air-entraining, air-entraining nebulizers,
sistem udara-oksigen high-flow, dan kerudung oksigen.

Bag-Mask-Valve System
Bentuknya mengikuti nonrebreathing reservoir mask namun
dengan beberapa komponen tambahan. Masker dibentuk untuk mencegah
adanya kebocoran saat melakukan ventilasi manual. Aliran ke dalam
reservoir harus tetap tinggi sehingga kantung reservoir tidak mengempis
terus-menerus. Saat menggunakan kantung anestesi, operator dapat
mengatur aliran oksigen dan katup pengeluaran untuk dapat menyesuaikan
kebutuhan pasien.
Sistem yang paling sering digunakan untuk kantung self-inflating
menggunakan aliran gas satu arah. Katup inlet tidak dapat terbuka untuk
napas spontan. Pembukaan katup tersebut memerlukan tekanan negatif
rekoil kantung setelah kompresi.
Pemberian Fio2 dapat mencapai 1.0 dengan kantung anestesi atau
kantung self-inflating. Pasien yang bernapas spontan hanya dapat
menginspirasi isi dari sistem bila masker tertutup erat.
Pada kantung anestesi terdapat katup berpegas yang harus
dikontrol untuk mencegah distensi kantung berlebihan. Kantung self-
inflating akan selalu terlihat sama saat aliran oksigen cukup maupun tidak
karena akan terisi oleh udara ruangan sehingga dapat mengurangi Fio2.

Masker Venturi Air-Entraining

11
Pemberian gas dengan masker air-entraining berbeda dengan
reservoir oksigen. Tujuannya adalah untuk membuat sistem terbuka
dengan aliran tinggi kepada mulut dan hidung dengan Fio2 yang tetap.
Oksigen dialirkan kedalam tempat pencampuran dengan aliran udara,
sehingga konsentrasi oksigen bergantung pada jumlah udara yang masuk
kedalam tempat pencampuran.
Masker air-entraining cocok untuk pasien yang membutuhkan Fio 2
lebih besar dari yang dapat dicapai oleh kanul nasal, contohnya seperti
pasien COPD. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dapat
terobstruksinya pipa masuknya udara sehingga Fio2 dapat meningkat.
Analisis langsung dari Fio2 saat menggunakan masker tersebut
susah dilakukan. Analisis gas darah arteri dan frekuensi napas pasien dapat
membantu untuk memantau apakah kebutuhan pasien tercukupi oleh aliran
masker.

Air-Entraining Nebulizers
Alat ini dapat memberikan volume besar, aliran tinggi dan
memberikan terapi kabut dengan pengaturan Fio2 sehingga membantu saat
ekstubasi pada pasien yang memerlukan nebulizer. Sistem nebulizer ini
dapat digabungkan dengan berbagai ragam alat lainnya seperti aerosol,
kubah trakeostomi, tenda wajah, dan adapter T-piece. Karena tidak
terdapatnya katup maka pasien dapat menarik udara ruangan. Penggunaan
kantung reservoir sebelum T-piece dan pipa reservoir pada distal T-piece
dapat memberikan volume gas yang lebih besar. Operator dapat menilai
apakah alirannya sudah adekuat dengan cara memantau kabut, bila kabut
yang terlihat menghilang saat inspirasi maka aliran tersebut tidak adekuat.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah kondensasi dari aerosol
dapat terakumulasi sehingga dapat mengobstruksi aliran gas. Kondensasi
ini juga dapat mengiritasi saluran napas sehingga menimbulkan
bronkospasme atau laringospasme. Bila hal tersebut terjadi maka sistem
nonaerosol harus digunakan.

12
Sistem Udara-Oksigen High-Flow
Flowmeter udara-oksigen atau blender udara-oksigen sering
digunakan untuk continuous positive airway pressure (CPAP) atau untuk
tambahan pada sistem ventilator. Sistem ini berbeda dengan air-entraining
nebulizer, karena total pengeluaran aliran tidak menurun pada Fio 2 lebih
dari 0,4. Pengaturan besarnya aliran dan Fio2 dapat ditentukan secara
terpisah tergantung pada kebutuhan pasien dengan cara menggunakan
kantung reservoir besar atau aliran konstan dari 50-100 L/min. Sistem ini
dapat digunakan pada masker aerosol, tenda wajah, atau sistem
nonrebreathing dengan blender udara-oksigen. Aliran tinggi gas tersebut
membutuhkan pelembab penghangat yang terdapat pada ventilator. Karena
alirannya yang tinggi maka sistem tersebut biasa digunakan untuk CPAP
pada pasien bernapas spontan.

Kerudung Oksigen
Alat kerudung oksigen hanya menutupi bagian kepala anak
sehingga akses pada bagian tubuh tidak terganggu meski dengan
menggunakan inkubator standar atau penghangat radian. Penggunaan
kerudung oksigen ini sangat cocok untuk terapi oksigen singkat pada
neonatus dan bayi. Namun untuk terapi oksigen yang lama lebih
disarankan menggunakan kanul nasal, masker wajah, atau kandang tidur
penuh untuk mobilitas yang lebih baik.
Pada umumnya oksigen dan udara digabungkan dahulu dengan
blender udara-oksigen dan melewati penglembab penghangat. Nebulizers
harus dihindari karena alat tersebut dapat membuat suara keras lebih dari
65dB yang dapat merusak pendengaran neonatus dan udara dingin dapat
menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Kerudung sistem ini dapat
berupa box plexiglas atau sistem yang menutup bukaan pada leher. Tidak
ada usaha untuk menutup kedap sistem ini karena dibutuhkan aliran
konstan udara untuk membuang karbon dioksida dengan aliran minimal
diatas 7 L/min.

13
2.3 Bahaya Terapi Oksigen
2.3.1 Hipoventilasi
Komplikasi ini biasa dapat dilihat pada pasien COPD yang
memiliki retensi karbon dioksida kronik. Pasien ini dapat memiliki
kepekaan sistem respirasi yang berbeda sehingga dengan oksigen arteri
yang normal dapat menimbulkan hipoventilasi. Sebaliknya pada pasien
stabil dengan hiperkarbia ( Paco2 > 80 mm Hg) yang sedang diterapi
oksigen suplemental tidak perlu diberhentikan terapi oksigennya. Terapi
oksigen berbahaya bila diberikan pada pasien yang menerima opioid untuk
rasa nyeri. Opioid dapat menyebabkan hipoventilasi sampai 2 kali tiap
menit namun karena terapi oksigen diberikan maka tidak dapat dipantau
dari saturasi oksigen.

2.3.2 Atelektasis Absorpsi


Pemberian oksigen dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan
atelektasis pulmoner di area yang rasio V/Q nya rendah. Saat nitrogen
sedang di Washed Out dari paru, penurunan tekanan gas pada kapiler
darah pulmoner dapat menyebabkan peningkatan pengambilan gas
alveolar dan atelektasis absorpsi.

2.3.3 Keracunan Pulmoner


Tingkat keracunan ditentukan oleh tekanan parsial oksigen pada
gas yang diinspirasi dan lamanya paparan. Tingkat tekanan oksigen pada
alveolar lebih penting dibanding arterial. Paparan 100% oksigen selama
10-20 jam termasuk aman. Konsentrasi lebih dari 50-60% tidak disarankan
diberikan secara berlebih karena dapat menyebabkan keracunan pulmoner.

Oksigen molekular memiliki elektron yang tidak berpasangan


sehingga memiliki sifat paramagnetik yang membuat pengukuran
konsentrasi oksigen lebih mudah. Penggabungan molekul oksigen dengan
atom besi atau molekul xanthine dapat membuat spesies kimiawi yang
beracun. Keracunan oksigen diduga terjadi karena sifat superoksidasi dan
ion hydroxyl dan hidrogen peroksida. Konsentrasi tinggi oksigen dapat

14
membuat metabolit sitotoksik karena mudah bereaksi dengan sel DNA,
protein sulhydryl, dan lipid. Terdapat 2 enzim yaitu dismutase superoksida
dan katalase untuk proteksi terhadap racun dengan mengkonvert
superoksida pertama menjadi hidrogen peroksida kemudian menjadi air.
Proteksi tambahan seperti antioksidan dapat diberikan namun bukti dari
hal tersebut berguna sangat kurang.

Percobaan pada model binatang menunjukkan bahwa kerusakan


membran kapiler alveolar yang dihasilkan oleh oksigen tidak dapat
dibedakan dengan ARDS. Trakeobronkitis dapat timbul pada beberapa
pasien dan keracunan oksigen pada neonatus ditunjukan dengan tanda
displasia bronkopulmoner.

2.3.4 Prematur Retinopati


Prematur retinopati merupakan kelainan pada bayi prematur
dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu. Hal ini terjadi dengan
proliferasi vaskular dan fibrosis yang menyebabkan pelepasan retina dan
kebutaan. Didapatkan bahwa hiperoxia dan hipoksia merupakan faktor
risiko namun bukan penyebab utama prematur retinopati. Risiko neonatus
mengalami prematur retinopati meningkat dengan berat badan lahir yang
kurang dan komorbid yang kompleks seperti sepsis. Prematur retinopati
lebih dapat dihubungkan dengan tekanan oksigen arterial dibanding
dengan alveolar. Konsentrasi oksigen arteri yang direkomendasikan adalah
50-80 mm Hg.

2.3.5 Keracunan Oksigen Hiperbarik


Tekanan oksigen yang tinggi dengan oksigen yang hiperbarik lebih
berisiko untuk keracunan oksigen. Besarnya risiko dan tingkatan
keracunan ditetapkan oleh besarnya tekanan dan durasi terpaparnya.
Lamanya terpapar oksigen dengan tekanan parsial yang melebihi 0,5 dari
atmosfer dapat menyebabkan keracunan oksigen pada pulmoner. Hasil ini
dapat digambarkan oleh rasa terbakar retrosternal, batuk, dan dada yang
sesak. Pasien yang terpapar dengan tekanan oksigen 2 atmosfer atau lebih
dapat berisiko keracunan sistem saraf pusat yang ditunjukkan oleh mual,

15
muntah, vertigo, dan konvulsi.

2.3.6 Bahaya Terbakar


Oksigen merupakan gas yang sangat kondusif mendukung
kombustio.

2.4 Ventilasi Mekanik


Ventilasi mekanik dapat menggantikan suplementasi ventilasi spontan
normal. Pada umumnya digunakan untuk mengatasi masalah utamanya yaitu
pengeluaran karbon dioksida yang terganggu, namun dapat diberikan sebagai
terapi tambahan pada pasien hipoksemia. Terdapat 2 macam ventilasi mekanik
yaitu ventilasi tekanan positif dan ventilasi tekanan negatif. Ventilasi tekanan
negatif tidak memerlukan intubasi trakea, namun tidak bisa mengatasi resistensi
saluran napas atau penurunan daya penyesuaian paru, juga membatasi akses pada
pasien.

Saat ventilasi tekanan positif, pengembangan paru terjadi dengan


pemberian tekanan positif pada masker atau pipa trakeal. Peningkatan resistensi
saluran napas dan penurunan daya penyesuaian paru dapat diatasi dengan
memanipulasikan tekanan dan aliran udara inspirasi. Kerugian menggunakan
ventilasi tekanan positif adalah perubahan hubungan ventilasi-perfusi, efek
sirkulasi yang merugikan, dan risiko terjadinya barotrauma dan volutrauma.
Penurunan curah jantung terjadi karena aliran kembali vena yang terganggu oleh
peningkatan tekanan intratorakal. Barotrauma terjadi karena inflasi dengan
tekanan tinggi, volutrauma dapat terjadi karena kolaps dan reekspansi alveoli yang
berulang.

2.4.1 Ventilator tekanan positif


Ventilator tekanan positif membuat gradient tekanan antara mesin
dan alveoli sehingga menyebabkan aliran gas inspirasi. Untuk proses
ekspirasi terjadi secara pasif. Aliran gas ini dapat langsung masuk ke
pasien (single-circuit system) atau mengkompresi kantung reservoir yang
merupakan sirkuit pasien (double-circuit system).

16
Semua ventilator memiliki 4 fase yaitu fase inspirasi, perubahan
dari inspirasi ke ekspirasi, ekspirasi, dan perubahan dari ekspirasi ke
inspirasi. Fase-fase ini diartikan dengan volume tidal, kecepatan ventilasi,
lama inspirasi, aliran gas inspirasi, dan lama ekspirasi.

2.4.2 Mode Ventilasi


Mode ventilasi didefinisikan sebagai metode ventilator berpindah
dari ekspirasi ke inspirasi dan juga apakah pasien dapat bernapas dengan
spontan. Ventilator modern memiliki beberapa mode dan ventilator
microprocessor-controlled dapat menggunakan 2 mode secara bersamaan.
Ventilator modern dapat memberikan napas dengan cara kontrol-volume
(inspirasi diberikan oleh mesin dan berhenti saat volume yang ditetapkan
sudah diberikan), bantuan-volum (inspirasi oleh pasien dibantu dengan
mesin dan berhenti saat volume yang ditetapkan sudah diberikan), kontrol-
tekanan (inspirasi diberikan dengan tekanan yang ditetapkan dan berhenti
saat waktu yang ditetapkan telah berlalu), bantuan-tekanan (inspirasi oleh
pasien dibantu dengan tekanan yang ditetapkan dan akan berhenti saat
wantu yang ditetapkan telah berlalu).

Continuous Mandatory Ventilation (CMV)

Pada mode ini, ventilator berpindah dari ekspirasi ke inspirasi


setelah waktu yang ditentukan berlalu. Volume tidal dan frekuensi napas
dapat ditentukan tersendiri tanpa dipengaruhi oleh usaha napas pasien.
Pembatasan tekanan inspirasi dapat mencegah barotrauma. Ventilasi
terkontrol tepat diberikan untuk pasien yang memiliki usaha napas yang
kecil atau bahkan tidak ada. Pasien sadar dengan ventilasi aktif perlu
sedasi dan juga paralisis otot.

Ventilasi Assist-Control (AC)

Adanya sensor pada sirkuit ventilator AC dapat mendeteksi usaha


napas pasien yang kemudian mencetuskan fase inspirasi. Sensor ini dapat
dikontrol sehingga pada usaha napas tertentu akan diberikan bantuan

17
inspirasi. Bila usaha napas tidak terdeteksi maka mesin akan kembali ke
mode kontrol. Pada umumnya ventilator AC digunakan dengan format
volume-terbatas, namun juga dapat digunakan dengan format tekanan-
terbatas.

Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)

Dengan IMV, ventilasi spontan masih terjadi selagi menggunakan


ventilator. VT dan frekuensi dari pernapasan spontan ditentukan oleh
kemampuan ventilasi pasien dan kekuatan otot pernapasan. IMV dapat
diatur untuk mempertahankan minute ventilation yang ingin dicapai. IMV
mempunyai peran terbesar sebagai teknik Weaning. Synchronized
Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV) menyesuaikan ventilasi
dengan pernapasan spontan, mencegah tumpang tindih yang menyebabkan
VT yang terlalu besar. Seperti CMV dan AC, penyesuaian untuk
membatasi tekanan inspirasi melindungi dari barotrauma pulmoner.
Beberapa keuntungan SIMV adalah kenyamanan pasien, dan pada
weaning, pernapasan mekanik berperan sebagai cadangan apabila
pernapasan pasien lemah.

Mandatory Minute Ventilation (MMV)

Dengan MMV, pasien dapat bernapas dengan spontan dan


menerima pernapasan mekanik dari SIMV, selagi mesin memonitor minute
ventilation. Pada mode ini mesin menyesuaikan angka pernapasan
mekanik SIMV sehingga jumlah ventilasi spontan dan mekanik adalah
minute ventilation yang ingin dicapai.

Pressure Support Ventilation (PSV)

PSV didesain untuk meningkatkan VT oleh pernapasan spontan


dan menekan peningkatan pertahanan inspirasi dari trakea, sirkuit
pernapasan, dan ventilator, mempertahankan tekanan positif selama
inspirasi. PSV level rendah (5-10 cm H2O) pada umumnya sudah cukup

18
untuk melawan pertahanan oleh aparatus pernapasan. Level lebih tinggi
(10-40 cm H2O) dapat berfungsi sebagai mode ventilasi tersendiri jika
pasien mempunyai ventilasi spontan yang cukup dan mekanik paru-paru
yang stabil. Keuntungan dari PSV adalah kemampuan membantu VT
spontan, menurunkan usaha nafas, dan meningkatkan kenyamanan pasien.
Namun jika mekanik jantung berubah, VT dapat menjadi inadekuat, dan
tidak terdapat cadangan frekuensi pernapasan, sehingga PSV seringkali
digunakan bersamaan dengan IMV yang berguna sebagai backup.

Pressure Control Ventilation (PCV)

PCV mirip dengan PSV yaitu tekanan jalan napas maksimal


terkontrol namun berbeda adanya pengaturan frekuensi tetap dan waktu
inspirasi. PCV dapat digunakan pada AC dan IMV. Pada AC, semua
pernapasan (mekanik maupun spontan) bersiklus dan dibatasi tekanannya.
Pada IMV, pernapasan mekanik yang bersiklus dan dibatasi tekanannya.
Pasien dapat bernapas spontan diantara frekuensi yang diatur, dan VT dari
pernapasan spontan ditentukan oleh kekuatan otot pernapasan pasien.
Keuntungan PCV yaitu dengan membatasi tekanan inspirasi, risiko
barotrauma dan volutrauma menurun. Dan dengan memperpanjang waktu
inspirasi, penggabungan dan rekrutmen yang lebih baik dari alveolus yang

19
kolaps dapat tercapai. Kerugian dari mode PCV konvensional yaitu VT
tidak terjamin, perubahan komplians atau pertahanan nafas akan
mempengaruhi VT. Hal ini menjadi masalah pada pasien dengan cedera
paru akut karena apabila komplians menurun dan batas tekanan tidak
meningkat, VT tidak akan adekuat. Sehingga pada pasien cedera paru akut
atau ARDS PCV digunakan dengan waktu inspirasi yang diperpanjang
atau ventilasi rasio I:E invers (IRV) sebagai upaya untuk merekrut
alveolus yang kolaps, dengan kerugian yaitu pasien harus dalam
pembiusan yang dalam dan lumpuh untuk dapat mentoleransi mode
ventilasi ini.

Inverse I:E Ratio Ventilation (IRV)

IRV memutar rasio normal 1: 3 dari inspirasi:ekspirasi menjadi


lebih dari 1:1. Hal tersebut dicapai dengan menambah jeda akhir inspirasi,
menurunkan aliran inspirasi puncak pada volume-cycled ventilation
(CMV), atau dengan mengatur waktu inspirasi yang lebih panjang dari
ekspirasi saat PCV (PC-IRV). PEEP intrinsik dapat terproduksi saat IRV
dan disebabkan oleh air trapping atau pengosongan inkomplit oleh paru
sebelum pernapasan berikutnya. Air trapping ini meningkatkan FRC
sampai ekuilibrium yang baru tercapai. Mode ini tidak menyebabkan
pernapasan spontan dan membutuhkan sedasi yang berat atau blokade
neuromuskular. IRV dengan PEEP efektif dalam meningkatkan oksigenasi
pada pasien dengan penurunan FRC.

Airway Pressure Release Ventilation (APRV)

20
APRV atau ventilasi bilevel menggunakan PEEP yang tinggi,
walaupun pasien dapat bernapas spontan. Level PEEP menurun secara
intermiten untuk membantu eliminasi CO2. Minute ventilation ditentukan
durasi inspirasi dan ekspirasi, level PEEP dan aktivitas pernapasan
spontan. Keuntungan APRV yaitu depresi sirkulasi minimal, barotrauma
pulmoner, dan sedasi yang diperlukan ringan. Digunakan sebagai alternatif
PC-IRV pada pasien komplians paru yang menurun dengan tekanan
inspirasi puncak tinggi.

High-Frequency Ventilation (HFV)

HFV tersedia dalam 3 bentuk, High-frequency positive pressure


ventilation yaitu pemberitan VT dengan frekuensi 60-120 pernapasan/
menit. High-frequency jet ventilation (HFJV) menggunakan kanula kecil
pada atau didalam jalan pernapasan yang memberikan pulsasi jet gas
tekanan tinggi pada frekuensi tetap 120-600 kali/ menit (2-10 Hz). Jet
udara akan memerangkap udara (efek Bernoulli) dan meningkatkan VT.
High-frequency oscillation menggunakan piston membentuk pernapasan
dengan frekuensi 180-3000 kali/ menit (3-50 Hz).
Ketiga ventilasi tersebut membentuk VT pada atau dibawah anatomic
dead space. Ventilasi jet berperan besar pada manajemen jalan pernapasan
darurat saat intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif konvensional
tidak berhasil.

Differential Lung Ventilation

Teknik ini disebut juga ventilasi paru independen, digunakan pada


pasien dengan penyakit paru berat unilateral, atau pasien dengan fistula
bronkopleura. Ventilasi tekanan positif konvensional dan PEEP pada kasus
tersebut akan memperberat mismatch ventilasi/perfusi atau tidak
memberikan ventilasi adekuat ke paru yang sehat pada pasien fistula
bronkopleura. Setelah separasi kedua paru dengan tuba double-lumen,

21
ventilasi tekanan positif diberikan secara independen pada masing-masing
paru menggunakan dua ventilator.

2.5 Perawatan pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik

Intubasi trakeal
Intubasi trakeal untuk ventilasi mekanik umumnya dilakukan pada
pasien di ICU untuk manajemen kegagalan pernafasan pulmoner. Kedua
jenis intubasi baik nasotrakeal maupun orotrakeal relatif aman 2-3 minggu.
Namun intubasi nasal mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan
nasal, bakteremia transien, diseksi submukosal dari nasofaring atau
orofaring, sinusitis, dan otitis media.
Umumnya intubasi dapat dilakukan tanpa sedasi maupun
penggunaan pelumpuh otot karena pasien dalam nyeri hebat maupun tidak
sadar. Tetapi, anestesi topikal dari saluran pernapasan dan sedasi
ditemukan bermanfaat pada pasien yang reflek jalan pernapasan masih
aktif. Beberapa agen jangka pendek seperti midazolam, etomidat, dan
propofol dapat digunakan pada pasien tidak kooperatif. Suksinilkolin atau
NDNM dapat berikan sebagai paralitik setelah diberikan agen hipnotik.
Setelah 2-3 minggu, terjadi predisposisi pasien terhadap subglotik
stenosis. Jika penggunaan ventilasi mekanik dengan jangka waktu lebih
panjang dibutuhkan, tuba trakeal seharusnya diganti dengan cuffed tuba
trakeostomi. Atau penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang dapat
diantisipasi dengan melakukan trakeostomi segera setelah intubasi.

Pengaturan ventilator awal


Ventilasi mekanik dapat diatur untuk memberikan dukungan
pernapasan parsial maupun ventilasi penuh tergantung dari kegagalan
nafas. Untuk dukungan penuh pernapasan umumnya digunakan CMV, AC
atau PCV dengan frekuensi 10-12 pernapasan/ menit dan VT 8-10 mL/kg.
VT lebih rendah (6-8 mL/kg) disarankan pada beberapa pasien yang lebih
rentan untuk menghindari barotrauma dan volutrauma. Dukungan ventilasi

22
parsial umumnya menggunakan pengaturan SIMV rendah (<8 pernapasan/
menit), tanpa dukungan tekanan. Pasien bernafas spontan dalam mode
SIMV akan menerima pertahanan dari tuba trakeal, katup mesin dan
sirkuit pernapasan dari ventilator yang akan meningkatkan usaha napas.
Tuba kecil (<7.0 mm) pada dewasa akan menambah tekanan tersebut dan
harus dihindari.

Sedasi dan paralisis


Sedasi dan paralisis diperlukan pada pasien agitasi dan melawan
ventilator. Batuk berulang (bucking) dan straining dapat mempunyai
efek besar terhadap hemodinamik, dapat mengganggu pertukaran gas, dan
dapat mengakibatkan barotrauma. Sedasi menggunakan paralitik maupun
tanpa paralitik disarankan pada pasien yang terus takipnea walaupun sudah
diberikan frekuensi pernapasan mesin yang tinggi (>16-18 napas/ menit).
Sedatif yang digunakan umumnya golongan opioid (morfin,
fentanyl), benzodiazepin (midazolam), propofol, dan dexmetomidine.
Dapat digunakan tersendiri maupun kombinasi. Paralitik non-depolarizing
digunakan secara kombinasi dengan sedatif saat sedatif dan upaya ventilasi
pasien lainnya telah gagal.

Monitoring
Monitoring pada umumnya berupa elektrokardiografi dan pulse
oximetry. Monitoring tekananan intraarterial dapat dilakukan untuk
sampling berkala terhadap analisis gas pernapasan. Perlu juga dilakukan
monitoring intake cairan dan output untuk keseimbangan cairan. Pada
pasien yang tidak stabil hemodinamiknya dapat dimonitor CVP (Central
venous pressure). Diperlukan radiografi toraks berkala untuk
mengkonfirmasi penempatan tuba trakeal dan posisi kateter kateter vena
dan evaluasi barotrauma, penyakit paru, dan tanda edema paru.

Pemberhentian ventilasi mekanik

23
Terdapat dua fase, tes kesiapan menggunakan parameter
weaning, penilaian subjektif dan objektif, dan weaning/ liberation. Tes
kesiapan harus menyangkut apakah proses yang awalnya membuat pasien
memerlukan ventilasi mekanik sudah berhasil diatasi. Faktor komplikasi
seperti bronkospasme, gagal jantung, malnutrisi, infeksi, asidosis
metabolik, alkalosis metabolik, anemia, peningkatan CO2 akibat
peningkatan karbohidrat, gangguan kesadaran dan kekurangan tidur harus
ditatalaksana dengan baik. Pasien yang gagal pada fase weaning walaupun
telah dinilai siap pada umumnya memiliki PPOK atau gagal jantung
kronis.
Weaning atau Liberation bergantung apakah pasien sudah menemui
kriteria bahwa tidak diperlukan ventilasi mekanik. Pada umumnya yaitu
pH > 7.25, saturasi oksigen arterial adekuat saat menerima FIO 2 < 0.5,
dapat bernapas spontan, stabil hemodinamik, dan tidak ada tanda iskemi
miokardial.

Kriteria ekstubasi ventilasi mekanik.

Reflek jalan pernapasan, dan pasien yang kooperatif juga


merupakan suatu keharusan dalam memulai proses weaning dan ekstubasi.
Oksigenasi adekuat yang harus ditemukan adalah saturasi arterial > 90%
pada O2 40-50% dengan PEEP <5cm H2O). Indeks RSBI (Rapid shallow
breathing index) digunakan pada umumnya untuk menentukan pasien yang
dapat berhenti menggunakan ventilasi mekanik, dengan pasien bernafas
secara spontan, VT dan frekuensi napas (f) dinilai dengan rumus

24
Pasien dengan RSBI < 100 dapat ekstubasi dengan sukses. Apabila
RSBI > 120, masih diperlukan suatu dukungan ventilasi mekanik.
Weaning dapat dilakukan dengan SIMV, PSV maupun T-Piece atau
CPAP. Pada weaning SIMV, jumlah pernapasan mekanik diturunkan secara
progresif 1-2 pernapasan/ menit sambil memonitor saturasi oksigen
arterial. Pada PSV, terjadi penurunan progresif level 2-3 cm H 2O
sedangkan VT, tekanan gas arterial dan frekuensi pernapasan dimonitor,
dengan tujuan VT 4-6 mL/ kg dan f < 30, PaO2 dan PaCO2 yang stabil.
Saat tercapai 5-8 cm H2O, pasien sudah dianggap bebas dari ventilasi
mekanik. Weaning menggunakan T-piece yang tersambung ke tuba trakeal
dan sumber oksigenasi. mengobservasi pernapasan pasien yang tidak
dibantu pernapasan mekanik, dan dimonitor tanda-tanda retraksi, takipnea,
takikardia, aritmia, hipertensi dan hipotensi yang menandakan pasien tidak
dapat mentoleransi ekstubasi/ weaning. Apabila RSBI <100 ventilasi
mekanik dapat dihentikan.

25
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Perawatan respirasi merupakan sebuah terapi dan tes diagnostik untuk
membantu menentukan diagnosis pada kardiopulmonal dan perawatan kritikal.
Pemberian terapi gas dapat berupa pemberian oksigen untuk mencegah atau
memperbaiki hipoksemia atau hipoksia jaringan, heliox untuk mengurangi upaya
napas akibat obstruksi, NO sebagai vasodilator selektif pulmoner, dan oksigen
hiperbarik untuk dekompresi, emboli gas, gangren gas, dan keracunan CO.
Peralatan pemberian gas dibedakan menjadi Variable-performance
equipment dan Fixed-Performance (High flow) equipment. Terapi oksigen bukan
tanpa bahaya, beberapa kondisi seperti hipoventilasi, toksisitas pulmoner,
atelektasis absorpsi, prematuritas retinopati, toksisitas oksigen hiperbarik serta
bahaya konduksi api oleh oksigen harus dicegah dan diatasi dengan baik.
Ventilasi mekanik mempunyai peran yang penting pada pasien dengan
penyakit kritis, karena kemampuan eliminiasi karbon dioksida yang terganggu,
beberapa parameter indikasi penggunaan ventilasi mekanik seperti tekanan
oksigen arteri, frekuensi napas dan tidal volume telah dibahas. Beberapa mode
ventilasi telah dibahas mengenai indikasi, keuntungan dan kelemahan dari setiap

26
mode tersebut. Setelah penggunaan ventilasi mekanik, poin penting selanjutnya
adalah perawatan pada pasien tersebut yang menyangkut intubasi trakeal,
pengaturan ventilator, sedasi dan paralisis, monitoring. Pada respiratory care, titik
akhir yang dijadikan sasaran adalah proses weaning yaitu kemampuan pasien
untuk berhenti menggunakan pernapasan buatan mekanik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan and Mikhail's clinical


anesthesiology. 1st ed. New York: MacGraw-Hill Professions Division; 2013.

27

Anda mungkin juga menyukai