2.1.1 Arbitrase Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan secara lebih jelasdapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter. Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama. Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yangmereka pilih. H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti- bukti yang diajukan oleh para pihak. H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi keduabelah pihak. Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani. Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) 2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis) Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
2.1.2 Sejarah Arbitrase di Indonesia
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang inisudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
2.1.3 Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.
2.1.4 Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti TheRules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrasesebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu: 1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. 2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah : Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ; Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapatdihindari; Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil; Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ; Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan. Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: 1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat. 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper- sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahuitentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase jugamemiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan- keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melaluiArbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah : a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupunmasyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebaga icontoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI. b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga engganmemasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapatdilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga- lembaga Arbitrase yang ada. c. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenanganmelakukan eksekusi putusannya. d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yangdicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan,gugatan pembatalan dan sebagainya. e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanismeextra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran. f. 2.1.6 Hubungan Arbitrase dengan Pengadilan Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2.1.7 Pelaksanaan Arbitrase
a. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
b. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. 2.1.8 Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa, Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia. 1. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, inovasi(pembaharuan utang), dan insolvensi; 2. Pewarisan; 3. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok; 4. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; 5. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;
2.2 Analisis Kasus
2.2.1 Kasus Arbitrase di Indonesia Temasek Bisa Bawa Kasus Kepemilikan Silang ke Arbitrase Internasional Jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan Temasek terbukti melakukan praktek kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat, makakemungkinan besar Temasek membawa kasus tersebut ke arbitrase internasional, Temasek membeli Indosat, perusahaan asal Singapura tersebut sudah mempersiapkan segalanya, termasuk semua perjanjian agar investasinya di Indonesia aman. Oleh sebab itu, katanya, jika perusahaan tersebut dianggap melakukankepemilikan silang maka tentu akan membawa masalah tersebut ke arbitraseinternasional. Jika Indonesia dikalahkan di arbitrase internasional maka Indonesia bisa dikenakan denda yang sangat besar, KPPU menduga adanya pelanggaran yang dilakukan Temasek terhadap Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni terkait adanya kepemilikan silang (cross ownership) yang dilakukan Temasek di Telkomsel dan PT.Indosat Tbk. Temasek dilaporkan melalui dua anak perusahaannya yakni SingaporeTelecommunications Ltd (SingTel) dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) memiliki saham di dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia itu. Namun beberapa pihak mengatakan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Bila nantinya Temasek terbukti melakukan kepemilikan silang dan melanggar UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka adatiga sanksi yang bisa diberikan yaitu pertama menghentikan perilaku kartel/anti persaingan dengan melepas salah satu kepemilikannya di Indosat atau Telkomsel,kedua dikenakan denda berkisar Rp1 Miliar sampai Rp25 Miliar dan ketiga pembayaran ganti rugi kepada negara. Kepemilikan silang Temasek Holding pada Indosat dan Telkomsel diduga membuat dua operator ponsel di Indonesia itu masih memberikan tarif tinggi dibandingkan dengan operator lain, yang membawa dampak merugikan bagi konsumen. Diberitakan, kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan KPPU terhadap kasus tersebut tidak bulat karena salah satu anggotanya Benny Pasaribu mempunyai pandangan yang berbeda dengan empat anggota lainnya. Benny selanjutnya tidak masuk dalam Majelis Komisi untuk mengatakan haltersebut bisa menimbulkan pertanyaan. Ini merupakan hal yang biasa jika seseorang mempunyai pendapat yang berbeda. Sementara itu Senior Vice President Internasional Operation STT, Jaffa Sany, pernah mengatakan bahwa STT akan melakukan upaya banding apabila KPPU menyatakan STT terbukti mempunyai kepemilikan silang. Jaffa mengatakan banding tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri hak STT terhadap saham yang dimilikinya di Indosat. "Pembelaan itu akan dilakukan secara bertahap nantinya, Ini apabila memang STT dinyatakan bersalah oleh KPPU," kata Jaffa. Sedangkan Senior Vice President Strategic Relations CorporateCommunications STT, Kuan Kwee Jee mengatakan Temasek Holding, STT danSingTel merupakan perusahaan yang berbeda terbukti dari Dewan Direksi yang terpisah, tidak adanya manajemen sentral dari induk perusahaan dan tidak ada rencan akegiatan ekonomi sentral. "Sehingga kami tidak melanggar Undang- undang Persaingan Usaha (dalam kepemlikan saham di Telkomsel dan Indosat)," kata KweeJee. Kwee Jee mengatakan saham Telkomsel dimiliki oleh Telkom sebanyak 65 persen sehingga Telkom mengontrol Telkomsel, sementara Temasek tidak bisa mengontrol Telkomsel. Sementara pada Indosat, kata Kwee Jee, 40 persen sahamnya dimiliki oleh STT bersama dengan Qatar Telecom, dan 14 persen sahamnya lainnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan Golder share, serta 46 persen saham sisanya merupakan saham bebas. Setelah vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada Temasek dan Telkomsel, kini perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 Yang Berkaitan Dengan Kepemilikan Silang Yang Dilakukan Oleh Temasek dan Praktek Monopoli Telkomsel kini sedang diuji di tingkat banding keberatan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan. Pemeriksaan perkara ini akan sedikit rumit. Karena pihak Telkomselmendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara pihak Temasek Cs mendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005, Mahkamah Agung akan menunjuk salah satu Pengadilan Negeri tersebut untuk memeriksa keberatan Temasek maupun Telkomsel.
Sejak awal perkara dugaan monopoli Temasek dan Telkomsel sudah
menarik perhatian. Banyak investor bersikap wait and see terhadap perkara ini. Mereka menunggu apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan dalam perkara ini. Keberadaan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diIndonesia adalah hal yang wajar dan berlaku pula di banyak Negara lain, namun penerapan hukum anti monopoli dan anti persaingan usaha tidak sehat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara ini masih cukup membingungkan. Sulit untuk dimengerti bagaimana KPPU baru memutuskan perkara ini setelah lebih satu tahun sejak perkara ini dilaporkan pada tanggal 18 Oktober 2006. Padahal jika dihitung berdasarkan Pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun 1999, jangka waktuKPPU untuk membuat keputusan tak lebih dari 160 hari. Pembatasan waktu 160 hari oleh Undang-undang ini bertujuan menjaga adanya kepastian hukum dan tidak dipergunakannya hukum tanpa due process of law.
2.2.2 Kasus Arbitrase Internasional
Kasus Gresik-Cemex ke Arbitrase Internasional Dalam klausul perjanjian antara Cemex dan Semen Gresik memangdisebutkan jika terjadi permasalahan, maka akan membawa ke arbitrase internasional. Namun, ada baiknya Semen Gresik maupun Semen Padang melihat permasalahan iniuntuk kepentingan yang lebih besar lagi. Bapepam saat ini tengah menunggu penjelasan dari manajemen Semen Gresik atas kasus ini. Tapi, hingga kini penjelasan itu belum ada. "Urusan antar pemegang saham biasanya tidak akan mengganggu kinerja emiten yang bersangkutan. Biasanya Dispute antar pemegang saham mestinya tidak mengganggu kinerja," ungkapnya. Mengenai laporan keuangan Semen Gresik, dapat diselesaikan tepat waktu seperti yang sudah diputuskan. Seperti diberitakan, kasus Cemex-Semen Gresik muncul akibat berlarut- larutnya penyelesaian laporan keuangan Semen Gresik karena belum selesainya laporan keuangan Semen Padang. Cemex sebelum mengajukan kasus ini ke arbitrase telah menawarkan sejumlah alternatif penyelesaian. Diantaranya Cemex akanmembeli saham pemerintah di Semen Gresik hingga menjadi mayoritas, atau sebaliknya pemerintah membeli saham Cemex di Semen Gresik. Menteri Negara BUMN saat itu Laksamana Sukardi, di tempat yang sama mengatakan pemerintah saat ini tidak memiliki dana untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan Cemex di Semen Gresik sebesar 400 juta dolar AS hingga 500 juta dolar AS. Kita tidak punya dana dan juga APBN kita kan defisit, itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Untuk mengatasi permasalahan di Semen Gresik, kemungkinan pemerintah akan menjual saham milik Cemex kepada pihak ketiga. Ia optimis industri semen masih memiliki prospek sangat baik. Namun, hal itu tergantung pembangunan fisik di Indonesia. "Kalau tumbuh terus pembangunan fisiknya, infrastruktur dan konstruksi, saya kira permintaan terhadap perusahaan semen sangat baik. Tidak semata-mata pemerintah yang harus beli. Pemerintah bisa menjembatani pada pihak ketiga." Namun ketika disinggung pihak mana yang sudah menyatakan minatnya untuk membeli saham milik Cemex, dia mengaku belum bisa menyebutkan dengan alasan masih rahasia. Soalnya, saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan Cemex untuk mencari solusi terbaik. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atauschiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaanmenyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikena ldengan perwasitan secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang- undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat bandingterhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter. Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saatini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainyaReglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene IndonesischReglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karenasemula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of derechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak digunakan lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Keunggulan Arbitrase Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahu itentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Kelemahan Arbitrase, Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah darilembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
3.2 Saran
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,
misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3) )dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasiona lmaupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan seharusnya lembaga arbitrase sudah dapat berdiri sendiri, demi menjunjung keIndependenan lembaga ini.