Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase
juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama,
seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau
schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar
peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh
para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak
berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan
memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan secara lebih jelasdapat
dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang
acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian
orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut
arbiter.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare
(Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para
sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan
bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh
hakim yangmereka pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu
proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh
para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-
bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase
yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh
para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi keduabelah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin
penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan
(judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court,
sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk
kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam
mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus
yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking
anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead
of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka
1Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo)
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa (Akta Kompromis)
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur
dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada
penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap
diperbolehkan.

2.1.2 Sejarah Arbitrase di Indonesia


Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op
deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur
dalam pasal615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan
tersebut sekarang inisudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999.
Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok
Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan
pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh
izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

2.1.3 Objek Arbitrase


Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999
(UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif
bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab
kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.

2.1.4 Jenis-jenis Arbitrase


Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30
Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL
Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian
yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan
yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan
dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh
berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri.
Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional
seperti TheRules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di
Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai
peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar
klausul arbitrasesebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan
dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International
Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau
sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah
tidaknya perjanjianakan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan
UNCITRAL.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum
dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa.
2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali
adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul
arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur
arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase
dibuat setelah sengketa timbul.

2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase


Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum
UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.
Keunggulan itu adalah :
Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapatdihindari;
Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para
pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan
arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian
sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu
bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia.
Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit
(arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-
sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak
mengetahuitentang kelemahan-kelemahan perushaan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase
jugamemiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia,
kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan
arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.
Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-
keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian
melaluiArbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari
Arbitrase dan ADR adalah :
a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam,
maupunmasyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
Sebaga icontoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan
dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga
engganmemasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini
dapatdilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-
lembaga Arbitrase yang ada.
c. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa
atau kewenanganmelakukan eksekusi putusannya.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yangdicapai
dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara,
baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan,gugatan pembatalan dan
sebagainya.
e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanismeextra
judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, sepertikejujuran dan
kewajaran.
f.
2.1.6 Hubungan Arbitrase dengan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,
misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU
Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal
para pihak tidak ada kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2.1.7 Pelaksanaan Arbitrase


a. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU
No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut
harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri,
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat
(seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar
Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan
itu tidak ada upaya hukum apapun.

b. Putusan Arbitrase Internasional


Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia
didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang
merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku
juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani
UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB
pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung
Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase
Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya
Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui
dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
2.1.8 Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses
penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa, Salah satu dari pihak yang
bersengketa meninggal dunia.
1. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami
kebangkrutan, inovasi(pembaharuan utang), dan insolvensi;
2. Pewarisan;
3. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
4. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
5. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;

2.2 Analisis Kasus


2.2.1 Kasus Arbitrase di Indonesia
Temasek Bisa Bawa Kasus Kepemilikan Silang ke Arbitrase Internasional
Jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan
Temasek terbukti melakukan praktek kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat,
makakemungkinan besar Temasek membawa kasus tersebut ke arbitrase
internasional, Temasek membeli Indosat, perusahaan asal Singapura tersebut sudah
mempersiapkan segalanya, termasuk semua perjanjian agar investasinya di
Indonesia aman.
Oleh sebab itu, katanya, jika perusahaan tersebut dianggap
melakukankepemilikan silang maka tentu akan membawa masalah tersebut ke
arbitraseinternasional. Jika Indonesia dikalahkan di arbitrase internasional maka
Indonesia bisa dikenakan denda yang sangat besar, KPPU menduga adanya
pelanggaran yang dilakukan Temasek terhadap Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999,
yakni terkait adanya kepemilikan silang (cross ownership) yang dilakukan Temasek
di Telkomsel dan PT.Indosat Tbk.
Temasek dilaporkan melalui dua anak perusahaannya yakni
SingaporeTelecommunications Ltd (SingTel) dan Singapore Technologies Telemedia
Pte. Ltd. (STT) memiliki saham di dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia itu.
Namun beberapa pihak mengatakan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Bila nantinya
Temasek terbukti melakukan kepemilikan silang dan melanggar UU nomor 5 tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka
adatiga sanksi yang bisa diberikan yaitu pertama menghentikan perilaku
kartel/anti persaingan dengan melepas salah satu kepemilikannya di Indosat atau
Telkomsel,kedua dikenakan denda berkisar Rp1 Miliar sampai Rp25 Miliar dan
ketiga pembayaran ganti rugi kepada negara.
Kepemilikan silang Temasek Holding pada Indosat dan Telkomsel
diduga membuat dua operator ponsel di Indonesia itu masih memberikan tarif tinggi
dibandingkan dengan operator lain, yang membawa dampak merugikan
bagi konsumen. Diberitakan, kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan KPPU terhadap
kasus tersebut tidak bulat karena salah satu anggotanya Benny Pasaribu
mempunyai pandangan yang berbeda dengan empat anggota lainnya.
Benny selanjutnya tidak masuk dalam Majelis Komisi untuk mengatakan
haltersebut bisa menimbulkan pertanyaan. Ini merupakan hal yang biasa jika
seseorang mempunyai pendapat yang berbeda.
Sementara itu Senior Vice President Internasional Operation STT, Jaffa
Sany, pernah mengatakan bahwa STT akan melakukan upaya banding apabila
KPPU menyatakan STT terbukti mempunyai kepemilikan silang.
Jaffa mengatakan banding tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan
diri hak STT terhadap saham yang dimilikinya di Indosat. "Pembelaan itu akan
dilakukan secara bertahap nantinya, Ini apabila memang STT dinyatakan bersalah
oleh KPPU," kata Jaffa.
Sedangkan Senior Vice President Strategic Relations
CorporateCommunications STT, Kuan Kwee Jee mengatakan Temasek Holding,
STT danSingTel merupakan perusahaan yang berbeda terbukti dari Dewan Direksi
yang terpisah, tidak adanya manajemen sentral dari induk perusahaan dan tidak ada
rencan akegiatan ekonomi sentral. "Sehingga kami tidak melanggar Undang-
undang Persaingan Usaha (dalam kepemlikan saham di Telkomsel dan Indosat),"
kata KweeJee.
Kwee Jee mengatakan saham Telkomsel dimiliki oleh Telkom sebanyak
65 persen sehingga Telkom mengontrol Telkomsel, sementara Temasek tidak
bisa mengontrol Telkomsel. Sementara pada Indosat, kata Kwee Jee, 40 persen
sahamnya dimiliki oleh STT bersama dengan Qatar Telecom, dan 14 persen
sahamnya lainnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan Golder share, serta 46
persen saham sisanya merupakan saham bebas.
Setelah vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada
Temasek dan Telkomsel, kini perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor
5 Tahun1999 Yang Berkaitan Dengan Kepemilikan Silang Yang Dilakukan Oleh
Temasek dan Praktek Monopoli Telkomsel kini sedang diuji di tingkat banding
keberatan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Jakarta
Selatan.
Pemeriksaan perkara ini akan sedikit rumit. Karena pihak
Telkomselmendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
sementara pihak Temasek Cs mendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, maka sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2005, Mahkamah Agung akan menunjuk salah satu Pengadilan Negeri
tersebut untuk memeriksa keberatan Temasek maupun Telkomsel.

Sejak awal perkara dugaan monopoli Temasek dan Telkomsel sudah


menarik perhatian. Banyak investor bersikap wait and see terhadap perkara ini.
Mereka menunggu apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan dalam perkara ini.
Keberadaan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat
diIndonesia adalah hal yang wajar dan berlaku pula di banyak Negara lain,
namun penerapan hukum anti monopoli dan anti persaingan usaha tidak sehat oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara ini masih
cukup membingungkan. Sulit untuk dimengerti bagaimana KPPU baru memutuskan
perkara ini setelah lebih satu tahun sejak perkara ini dilaporkan pada tanggal 18
Oktober 2006. Padahal jika dihitung berdasarkan Pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun
1999, jangka waktuKPPU untuk membuat keputusan tak lebih dari 160 hari.
Pembatasan waktu 160 hari oleh Undang-undang ini bertujuan menjaga adanya
kepastian hukum dan tidak dipergunakannya hukum tanpa due process of law.

2.2.2 Kasus Arbitrase Internasional


Kasus Gresik-Cemex ke Arbitrase Internasional
Dalam klausul perjanjian antara Cemex dan Semen Gresik
memangdisebutkan jika terjadi permasalahan, maka akan membawa ke arbitrase
internasional. Namun, ada baiknya Semen Gresik maupun Semen Padang melihat
permasalahan iniuntuk kepentingan yang lebih besar lagi. Bapepam saat ini tengah
menunggu penjelasan dari manajemen Semen Gresik atas kasus ini. Tapi, hingga
kini penjelasan itu belum ada.
"Urusan antar pemegang saham biasanya tidak akan mengganggu
kinerja emiten yang bersangkutan. Biasanya Dispute antar pemegang saham
mestinya tidak mengganggu kinerja," ungkapnya. Mengenai laporan keuangan
Semen Gresik, dapat diselesaikan tepat waktu seperti yang sudah diputuskan.
Seperti diberitakan, kasus Cemex-Semen Gresik muncul akibat berlarut-
larutnya penyelesaian laporan keuangan Semen Gresik karena belum selesainya
laporan keuangan Semen Padang. Cemex sebelum mengajukan kasus ini ke
arbitrase telah menawarkan sejumlah alternatif penyelesaian. Diantaranya Cemex
akanmembeli saham pemerintah di Semen Gresik hingga menjadi mayoritas,
atau sebaliknya pemerintah membeli saham Cemex di Semen Gresik.
Menteri Negara BUMN saat itu Laksamana Sukardi, di tempat yang sama
mengatakan pemerintah saat ini tidak memiliki dana untuk mengganti investasi yang
telah dikeluarkan Cemex di Semen Gresik sebesar 400 juta dolar AS hingga 500 juta
dolar AS. Kita tidak punya dana dan juga APBN kita kan defisit, itu sudah tidak perlu
dipertanyakan lagi. Untuk mengatasi permasalahan di Semen Gresik, kemungkinan
pemerintah akan menjual saham milik Cemex kepada pihak ketiga.
Ia optimis industri semen masih memiliki prospek sangat baik. Namun, hal
itu tergantung pembangunan fisik di Indonesia. "Kalau tumbuh terus
pembangunan fisiknya, infrastruktur dan konstruksi, saya kira permintaan terhadap
perusahaan semen sangat baik. Tidak semata-mata pemerintah yang harus beli.
Pemerintah bisa menjembatani pada pihak ketiga."
Namun ketika disinggung pihak mana yang sudah menyatakan minatnya
untuk membeli saham milik Cemex, dia mengaku belum bisa menyebutkan dengan
alasan masih rahasia. Soalnya, saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan
Cemex untuk mencari solusi terbaik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase
juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama,
seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage
atauschiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti
kekuasaanmenyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia
dikena ldengan perwasitan secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat
bandingterhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang
ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare
(Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para
sarjana saatini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
dipakainyaReglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene
IndonesischReglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg),
karenasemula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of
derechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak digunakan
lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Keunggulan Arbitrase Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahu itentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.
Kelemahan Arbitrase, Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh
masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis
sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui
keberadaan dan kiprah darilembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.

3.2 Saran

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,


misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase
berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter
dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3) )dan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase nasiona lmaupun internasional yang harus dilakukan
melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan seharusnya lembaga arbitrase
sudah dapat berdiri sendiri, demi menjunjung keIndependenan lembaga ini.

Anda mungkin juga menyukai