Anda di halaman 1dari 40

WHAT HAPPEN TO MY PEE ??

Mrs Zein came to the clinic with haste, she said her urine are unusual, the color
now like a tea. Mrs Zein is a maid, 1 week ago she taking care of her employer in
the hospital because of hepatitis. Mrs Zein also lost her break time quite a lot to
accompany her employer in the hospital. After a physical examination and
laboratory obtained the following results :
Physical examination:
Eyes: CA - / -, SI + / +
C / P: dbn
Abdomen:
Liver 2 fingers BAC, taper, NT (+)
Lab examination:
AST: 500 U / L
ALT: 500 U / L
Total Bilirubin : 6.2 mg / 100ml
Direct Bilirubin: 3.0 mg / 100ml
Indirect Bilirubin : 3.2 mg / 100ml

1
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Hepatitis
Peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi
atau oleh toksin termasuk alkohol. (Elizabeth, 2000).
Suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan
serta bahan-bahan kimia. (Guyton and Hall, 2007)
2. Urin
Cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi. (Iqbal Ali, 2008)
3. Direct bilirubin
Bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air sehingga dalam
pemeriksaan mudah beraksi (Sherwood 2011)
4. Undirect bilirubin
Bilirubin bebas yang terikat dengan albumin sukar larut dalam air
(Sherwood 2011)
5. AST (Aspartat Transaminase)
enzim yang dilepaskan kedalam darah bila hati mengalami,
jantung, otak, otot mengalami luka. (Ganong.W.F, 2005)
Enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan
paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau
kematian sel pada jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya
enzim ini ke sirkulasi (DEPKES RI, 2011).
6. ALT (alanin amino transferase)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga
terdapat pada jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam
hati dibandingkanmjaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan
fungsi hati daripada AST (DEPKES RI, 2011).

BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

2
1. Apa yang menyebabkan warna urin Mrs. Zein seperti teh?
2. Apa hubungan kurang istirahat dengan keluhan yang dialami Mrs. Zein?
3. Bagaimana interpretasi data dari hasil pemeriksaan fisik Mrs. Zein?
4. Bagaimana intepretasi data dari hasil pemeriksaan lab Mrs. Zein?

BAB III

ANALISIS MASALAH

3.1. Apa yang menyebabkan urine Mrs zein berwarna seperti teh ?

Urobilinogen adalah sebuah pigmen coklat yang nantinya akan


mewarnai feses dalam bentuk urobilin dan sebagian akan diserap kembali
dan sebagian akan masuk ke sirkulasi dan difiltrasi oleh ginjal, sebagian

3
akan masuk ke hati lagi dan dimetabolisme menjadi bilirubin direct, hal ini
disebut siklus urobilinogen intrahepatic. Hal tersebut berhubungan jika
terjadi gangguan atau kerusakan pada hati siklus urobilinogen intrahepatic
akan terganggu, sehingga urobilinogen tidak dapat dimetabolisme ulang
menjadi bilirubin yang mengakibatkan peningkatan kadar urobilinogen
dalam sirkulasi yang nantinya akan difiltrasi oleh ginjal dan membuat
warna urin menjadi coklat pekat atau seperti teh. (W. Schrier. 2007)
(Tortora, 2011) (Biokimia Harper, 2013)

Untuk memahami lebih lanjut tentang hal ini maka kita perlu
mengetahui Metabolisme bilirubin, sebagai berikut :

a. Fase Pra - Hepatik

Pembentukan bilirubin

250 350 mg bilirubin / 4mg /kg / BBdi produksi setiap harinya

70-80% 20-30%
Pemecahan eritrosit early labelled billirubin

Pemecahan tersebut akan menghasilkan hemoglobin kemudian


heme berpisah dengan globin dan heme terus dilanjutkan
metabolismenya oleh hem oksidase mejadi biliverdin yang kemudian
oleh biliverdin reduktase menjadi unconjugated billirubin

Transport plasma

Unconjugated billirubin bersifat nonpolar sehingga tidak larut


air, bilirubin harus berikatan kuat dengan albumin sehingga tidak
dapat melalui memberan glomelurus oleh karena itu tidak muncul di
urin.

b. Fase Intra-Hepatik
Liver uptake

4
Konjugasi
Setelah unconjugated bilirubin yang berikatan dengan albumin
ditangkap oleh sel-sel hati maka unconjugated bilirubin
memisahkan diri dengan albumin kemudian dengan bantuan enzim
glukoronal transferase diubah menjadi conjugated bilirubin yang
akan disekresikan menuju usus melalui saluran empedu.
c. Fase Post- Hepatik

unconjugated
billirubin

Masuk ke dalam usus melalui


saluran empedu

usus
(kerja aktif bakteri flora normal)

Diubah menjadi
urobilinogen

Feses
Diserap kembali
(sterkobilin) oleh vena porta

Mencapai ginjal

Urin

3.2. Apa kaitan kurang istirahat dengan keluhan pasien ?(urobilin)

Selama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung bulan pada tahap


perkembangan ada usianya. Kebutuhan tidur yang cukup ditentukan selain
oleh faktor jumlah jam tertentu juga oleh faktor kedalaman tidur. Kurang
tidur yang sering terjadi dan berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan
fisik dan mempengaruhi sistem saraf menyebabkan terjadinya perubahan
suasana kurang tanda terhadap adanya rangsangan dan kurang
berkonsentrasi. ALT/AST dihasilkan oleh liver namun sebagian kecil

5
diproduksi oleh sel otot jantung pankreas dan ginjal. Itu sebabnya jika sel
sel otot mengalami kerusakan kadar enzim ini meningkat rusaknya bisa
disebabkan karena aktivitas fisik berat luka terauma atau kerokan (Erfandi,
2008)

3.3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien ?


a. Conjungtiva anemis -/-
b. Sclera ikterik +/+
Dapat diakibatkan adanya peningkatan conjugated bilirubin (adanya
gangguan pada jalur sekresinya) maupun unconjugated bilirubin
(adanya peningkatan pemecahan eritrosit ataupun gangguan pada
proses konjugasi), dimana konsentrasi bilirubin normal plasma rata-
rata sekitar 0, 5 mg/dl. Sehingga apabila melebihi kadar normal akan
mengakibatkan icterus terutama pada skelra karena skleran memiliki
afinitas tinggi terhadap bilirubin.
c. C /P dalam batas normal
d. Abdomen :
- Liver : 2 jari dibawah arcus costae ( hepatomegali )
- Lancip : normal
- NT + ( adanya proses peradangan ) (Lindseth, 2014)

3.4. Bagaimana Interpretasi hasil pemeriksaan laboratotium ?

AST : 500 U/L meningkat


ALT : 500 U/L meningkat
Total bilirubin : 6,2 mg/mL meningkat
Direct bilirubin : 3,0 mg/mL meningkat
Indirect bilirubin : 3,2 mg/mL meningkat
a. AST (aspartat amino transferase)
Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati,
Pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal
akut, luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya:
isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral.
Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan
diabetes mellitus.
Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase :
Asetominofen
Co-amoksiklav
HMGCoA reductase inhibitors

6
INH
Antiinfl amasi nonsteroid
Fenitoin
Valproat (DEPKES RI, 2011).
b. ALT (alanin amino transferase)
Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit
hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier dan hepatitis.
Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.
Nilai peningkatan yang signifi kan adalah dua kali lipat dari nilai
normal.
Nilai juga meningkat pada keadaan: obesitas, preeklamsi berat,
acute lymphoblastic leukemia (ALL) (DEPKES RI, 2011).
c. Bilirubin
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan
produk antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh
hati dan diekskresi ke dalam empedu sedangkan sejumlah kecil
ditemukan dalam serum. Peningkatan bilirubin terjadi jika terdapat
pemecahan sel darah merah berlebihan atau jika hati tidak dapat
mensekresikan bilirubin yang dihasilkan.
Terdapat dua bentuk bilirubin:
a) Tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat
dengan protein).
b) Langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam
serum.
Implikasi klinik:
Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi
pada gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi
saluran emped atau hemolisis sel darah merah.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada
anemia hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma
dan infark pulmonal.
Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan
penurunan fungsi hati hingga 50%.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat terjadi pada
kanker pankreas dan kolelitiasis Peningkatan kadar keduanya
dapat terjadi pada metastase hepatik, hepatitis, sirosis dan
kolestasis akibat obat obatan.
Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan bilirubin.

7
Obat-obat yang dapat meningkatkan bilirubin: obat yang bersifat
hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria (primakuin, sulfa,
streptomisin, rifampisin, teofi lin, asam askorbat, epinefrin,
dekstran, metildopa).
Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP :
Allopurinol, karbamazepin, kaptopril, klorpropamid,
siproheptadin, diltiazem, eritromisin, co-amoxiclav, estrogen,
nevirapin, quinidin, TMPSMZ (DEPKES RI, 2011)

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratotium.

AST : 500 U/L meningkat


ALT : 500 U/L meningkat
Total bilirubin : 6,2 mg/mL meningkat
Direct bilirubin : 3,0 mg/mL meningkat
Indirect bilirubin : 3,2 mg/mL meningkat
d. AST (aspartat amino transferase)
Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati,
pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit
ginjal akut, luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat,
misalnya: isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral.
Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan
diabetes mellitus.

Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase :


Asetominofen
Co-amoksiklav
HMGCoA reductase inhibitors
INH
Antiinfl amasi nonsteroid
Fenitoin
Valproat (DEPKES RI, 2011).
e. ALT (alanin amino transferase)
Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit
hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier dan hepatitis.
Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.
Nilai peningkatan yang signifi kan adalah dua kali lipat dari
nilai normal.

8
Nilai juga meningkat pada keadaan: obesitas, preeklamsi berat,
acute lymphoblastic leukemia (ALL) (DEPKES RI, 2011).
f. Bilirubin
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan
produk antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh
hati dan diekskresi ke dalam empedu sedangkan sejumlah kecil
ditemukan dalam serum. Peningkatan bilirubin terjadi jika terdapat
pemecahan sel darah merah berlebihan atau jika hati tidak dapat
mensekresikan bilirubin yang dihasilkan.
Terdapat dua bentuk bilirubin:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b) langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.
Implikasi klinik:
Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi
pada gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi
saluran emped atau hemolisis sel darah merah.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi
pada anemia hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran
hematoma dan infark pulmonal.
Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan
penurunan fungsi hati hingga 50%.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat terjadi pada
kanker pankreas dan kolelitiasis Peningkatan kadar keduanya
dapat terjadi pada metastase hepatik, hepatitis, sirosis dan
kolestasis akibat obat obatan.
Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan
bilirubin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan bilirubin: obat yang
bersifat hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria
(primakuin, sulfa, streptomisin, rifampisin, teofi lin, asam
askorbat, epinefrin, dekstran, metildopa).
Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP :
Allopurinol, karbamazepin, kaptopril, klorpropamid,
siproheptadin, diltiazem, eritromisin, co-amoxiclav, estrogen,
nevirapin, quinidin, TMPSMZ (DEPKES RI, 2011)

9
BAB IV

KERANGKA KONSEP

10
BAB V

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Apakah penyebab naiknya urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi?


2. Faktor resiko dan rute transmisi dari hepatitis
3. Bagaimanakah pengaruh kurang tidur dengan imunitas pada skenario?
4. Differential diagnosis hepatitis
5. Komplikasi dari hepatitis

BAB VI

BELAJAR MANDIRI

11
BAB VII

BERBAGI PENDAPAT

1. Penyebab warna urin seperti teh

Konjugasi unconjugated bilirubin


menjadi conjugated bilirubin

Sekresi melalui saluran empedu Bila ada obstruksi


saluran empedu/
adanya sumbatan

usus
Peningkatan conjugated
bilirubin
Oleh metabolisme flora normal menjadi
urobilinogen
Re-absorpsi menuju sistemik
melalui vena porta
Feses urin

(sterkobilin) (urobilin) Filtrasi pada ginjal

urin terdeteksi adanya

conjugated bilirubin
Peningkatan uribilin dapat
diakibatkan karena peningkatan
sekresi conjugated bilirubin
(Guyton et all, 2011)

2. Jalur transmisi penularan penyakit hepatitis dan faktor resiko


a. Hepatitis A
- Perilaku seks oral-anal
- Pemakaian bersama pada IVDU (intra vena drug user)
- Transmisi melalui maternal-noenatal
- Transmisi melalui transfusi darah, tetapi jarang
b. Hepatitis E
- Sumber penularan air
- Transmisi melalui transfusi darah, tetapi jarang
- Penularan bisa dari imigran daerah endemik

12
c. Hepatitis B
- Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis,
pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah.
- Transmisi seksual
- Penetrasi jaringan dan mukosa : tertusuk jarum, penggunaan ulang
peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan pisau cukur yang
bergantian, tato, akupuntur, tindik, penggunaan sikat gigi bersamaan.
- Transmisi maternal-neonatal
d. Hepatitis D
- Melalui darah
- Transmisi seksual
- Penyebaran maternal-neonatal
- IVDU
- Homoseksual
- Resipien donor darah
- Pasangan seksual
e. Hepatitis C
- Darah
- Transmisi seksual: frekuensi rendah
- Maternal-neonatal: frekuensi rendah (IPD, 2006)
Faktor Risiko Hepatitis :
a. Umur

Tingginya angka prevalensi dengan terjadinya hepatitis pada masa


dini kehidupan. Sebagian besar pengidap virus ini diduga mendapatkan
infeksi virus hepatitis melalui transmisi vertikal, sedangkan sebagian lain
melalui trasmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini. Pada usia
anak anak 25% dengan Hepatitis kronis dapat berkembang menjadi
sirosis hati, sedangkan orang dewasa dengan Hepatitis kronis
kemngkinanya 15% untuk berkembang menjadi sirosis hati. (Andre F,E
1998).
b. Jenis Kelamin
Berbagai penelitian menujukkan bahwa penderita Hepatitis lebih
banyak pria daripada wanita. Hal ini karena perbedaan pola perilaku dan
gaya hidup. Selain itu, faktor kesadaran untuk memeriksakan kesehatan
pria jauh lebih rendah dibandingkan dengan wanita. (WHO, 1999)
c. Pekerjaan
Pekerjaan yang berisiko tinggi terhadap penularan adalah
pekerjaan yang kontak langsung dengan darah atau bekerja sebagai tenaga
kesehatan. Kelompok yang mudah terinfeksi Hepatitis adalah petugas

13
medis (petugas laboratorium, transfusi darah, kamar bedah, dokter gigi,
dokter bedah dan lain - lain). Populasi yang bekerja di institusi kesehatan
sangat berisiko terhadap virus hepatitis karena profesi mereka sangat erat
kontak langsung dengan darah maupun sekret orang yang terinfeksi.
(Surya, 1995)
d. Imunitas
Semua orang rentan terhadap infeksi Hepatitis . Biasanya penyakit
lebih ringan dan sering Anicteric pada anak - anak, dan pada bayi biasanya
asimtomatis. Kekebalan protektif terbentuk setelah terjadi infeksi apabila
terbentuk antibodi terhadap virus hepatitis. (Surya, 1995)
e. Riwayat Penyakit
Seseorang dengan sindroma down, penyakit lymphoproliferative ,
infeksi HIV pasien dengan hemodialisis, yang selalu memerlukan transfusi
darah dan penderita yang mendapat terapi. Orang - orang yang memiliki
kelainan kekebalan seluler merupakan riwayat penyakit yang berisiko
terinfeksi HBV dan lebih mudah menderita infeksi kronis. (Sulaiman,
1995)
f. Gaya hidup
Beberapa faktor gaya hidup dapat berpengaruh menjadi faktor
risiko hepatitis. Contohnya, donor darah yang tidak steril, pembuatan tato
yang tidak steril, memakai obat obatan terlarang dengan media suntik,
berhubungan seksual dengan banyak orang dan tidak memakai pengaman,
hyeginitas yang rendah, atau bahkan bersentuhan langsung dengan cairan
penderita dapat menjadi faktor risiko dari hepatitis. (Sulaiman, 1995)

3. Pengaruh kurangnya tidur terhadap sakit yang di derita Ny. Zein.


Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan
oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obat dan bahan
kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule dan unit ini unik
karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya
inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan
terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis
dan kerusakan hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar menjadi rusak
dibuang dari satu buah respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel
hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang

14
mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal. Infeksi virus
parenkim hepar telah dikelompokkan berdasarkan agen spesifik yang
menginfeksinya.
dalam hal ini fungsi system imun sangat mempengaruhi proses penularan
virus hepatitis (Hudak & Gallo, 1996).
Fungsi Sistem Imun sendiri yaitu untuk :
Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan
dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri,
parasit, jamur, dan virus serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh
atau penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau yang rusak untuk
perbaikan jaringan (untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama
menjaga keseimbangan komponen tubuh yang telah tua).
Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal (sebagai
pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya) (Hudak & Gallo, 1996).

Pertahanan tubuh juga berpengaruh pada pola istirahat di karenakan


saat tidur tubuh akan memproduksi hormon melatonin yang
merupakan salah satu hormon yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
memproduksi sel darah yang cukup bagi tubuh untuk dapat menangkal
sel racun, kegiatan ini terjadi pada saat tubuh sedang tertidur.
Penangkal sel kanker yang bernama TNF yang dihasilkan dari sel
pemuluh darah ketika manusia sedang tertidur. Jadi apabila tubuh
kurang tidur maka imunitas tubuh akan menurun dan melemah
sehingga membuat ketahanan tubuh terhadap penyakit-penyakit
menjadi lebih mudah masuk dan tubuh akan rawan terkena penyakit
(Hudak & Gallo, 1996).

4. Diagnosis Banding
a. Abses hepar
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber
dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Dan sering

15
timbul sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu
(Sudoyo, Aru W, 2007).

Bakteri ini bisa sampai ke hati melelui:


a. kandung kemih yang terinfeksi.
b. Luka tusuk atau luka tembus.
c. Infeksi didalam perut., dan
d. Infeksi dari bagian tubuh lainnya yang terbawa oleh aliran darah.
Pada umumnya abses hati dibagi dua yaitu abses hati amebik (AHA)
dan abses hati pyogenik (AHP). AHA merupakan komplikasi
amebiasis ekstraintestinal yang sering dijumpai di daerah tropik/
subtropik, termasuk indonesia. Abses hepar pyogenik (AHP) dikenal
juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess
of the liver, bacterial hepatic abscessPada era pre-antibotik, AHP
terjadi akibat komplikasi appendisitis bersamaan dengan pylephlebitis.
Bakteri phatogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena
portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakteremia sistemik,
ataupun menyebabkan komplikasi infeksi intra abnominal seperti
divertikulitis, peritonitis dan infeksi post operasi (Sudoyo, Aru W,
2007).
Patogenesis
Hati adalah organ yang paling sering terjadinya abses. Abses hati
dapat berbentuk soliter atau multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya
infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara

16
sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut.
Manifestasi klinis
Manifestasi sistemik AHP lebih berat dari pada abses hati amebik.
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan
membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya.
Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan
lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan
keadaan syok. Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan
terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah
kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang
unintentional.
Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat ditegakan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, serta pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik, hepatomegali terdapat pada semua penderita, yang
teraba sebesar tiga jari sampai enam jari arcus-costarum.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang di periksa adalah darah rutin
termasuk kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, kecepatan endap
darah dan percobaan fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total
protein dan kadar albumin dan glubulim dalam darah.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukositosis yang
tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap
darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase
dan serum bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu
protrombin yang memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan
fungsi hati yang disebabkan AHP (Sudoyo, Aru W, 2007).
b. Hepatitis non infeksi/ hepatitis alkoholik.
Hepatitis alkoholik terjadi ketika hati dirusak oleh alkohol
yang diminum. Etanol-zat turunan dari alkohol dalam bir, anggur dan
minuman keras menghasilkan bahan kimia yang sangat beracun,
seperti asetaldehida. Zat ini memicu peradangan kimia yang

17
menghancurkan sel-sel hati. Kemudian, jaringan-jaringan seperti
bekas luka, dan knot kecil jaringan menggantikan jaringan hati
yang sehat, mengganggu kemampuan hati untuk berfungsi.
Jaringan parut ini bersifat ireversibel, yang disebut sirosis,
merupakan tahap akhir dari penyakit hati alkoholik (Setyohadi et.al,
2006).
Faktor resiko :
1. Faktor genetik. Setelah mutasi pada gen tertentu yang
mempengaruhi metabolisme alkohol dapat meningkatkan resiko
penyakit hati alkoholik serta alkohol terkait kanker dan komplikasi
lain dari minum berat.
2. Jenis hepatitis lainnya. Jangka panjang penyalahgunaan alkohol
memperburuk kerusakan hati yang disebabkan oleh jenis lain dari
hepatitis, khususnya hepatitis C.
3. Malnutrisi. Banyak orang yang minum sangat kekurangan gizi,
baik karena mereka sering menggantikan alkohol untuk makanan,
atau karena alkohol dan produk sampingan yang beracun
mencegah tubuh menyerap nutrisi, khususnya protein, vitamin
tertentu dan lemak. Dalam kedua kasus, kurangnya nutrisi
berkontribusi terhadap kerusakan sel hati (Setyohadi et.al, 2006).

Komplikasi :

1. Peningkatan tekanan darah dalam vena portal.


Darah dari lien, usus dan pankreas memasuki hepar melalui
pembuluh darah besar yang disebut vena portal. Jika
jaringan parut memperlambat sirkulasi normal melalui hati,
darah ini tersumbat, yang menyebabkan peningkatan tekanan
dalam pembuluh darah (hipertensi portal) (Setyohadi et.al,
2006).
2. Pembesaran pembuluh darah (Varises).
Ketika sirkulasi melalui vena portal diblokir, darah dapat kembali
ke pembulu darah lainnya di perut dan kerongkongan. Pembuluh
darah ini berdinding tipis, dan karena pembuluh ini penuh dengan
darah lebih dari yang dapat dibawa, maka sewaktu-waktu dapat
pecah dan mengalami pendarahan. Perdarahan masif di perut

18
bagian atas atau kerongkongan dari pembuluh darah adalah
keadaan darurat yang mengancam nyawa yang membutuhkan
perawatan medis segera (Setyohadi et.al, 2006).
3. Retensi cairan.
Ketika alkoholik hepatitis menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke
ginjal-ginjal untuk menahan garam dan air didalam tubuh.
Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam
jaringan dibawah kulit pergelangan- pergelangan kaki karena
efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini
disebut edema atau pitting edema (Setyohadi et.al, 2006).
4. Memar dan pendarahan.
Hepatitis alkoholik mengganggu produksi protein yang membantu
darah untuk membeku. Akibatnya, pasien mungkin memar dan
berdarah lebih mudah dari biasanya (Setyohadi et.al, 2006).
c. Hepatitis virus
a. Hepatitis virus A dan E
1. Defenisi
Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati.
Hepatitis A adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi
Hepatitis A Virus dan E virus (Sudoyo, Aru W, 2007).
2. Etiologi
Virus ini termasuk virus RNA, serat tunggal, dan tidak
mempunyai selubung (Sudoyo, Aru W, 2007).
3. Patofisiologi

19
4. Manifestasi klinik.
Fase inkubasi.
Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus
dan timbulnya gejala atau ikterus. fase inkubasi dapat
berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata 28-30
hari.
Fase Prodromal (pra ikterik).
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau
insidious ditandai dengan malaise umum, nyeri otot,
nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan
anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan
dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam
derajat rendah umunya terjadi pada hepatitis A akut.
Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat
dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolesistitis.

20
Fase ikterus.
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Fase
konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan
menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya
nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik
dalam 2-3 minggu (Sudoyo, Aru W, 2007).
5. Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan hepatitis A virus dan E virus sebagian besar
adalah terapi suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan
ikterus mereda, diet tinggi kalori, penghentian dari pengobatan
yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi
alkohol (Sudoyo, Aru W, 2007).
b. Hepatitis B, C dan D virus.
1. Defenisi.
Hepatitis B, C dan D adalah suatu penyakit hati yang
disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili
hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut
atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau
kanker hati (Sudoyo, Aru W, 2007).
2. Etiologi.
Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein,
sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core
(Sudoyo, Aru W, 2007).
3. Patofiologi.

21
(Sudoyo, Aru W, 2007).
4. Manifestasi klinik.
Akut.
a. Fase inkubasi.
Merupakan waktu antara masuknya virus dan
timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi
Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
ratarata 60-90 hari.
b. Fase prodromal (pra ikterik).
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama
dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat
atau insidous ditandai dengan malaise umum,
mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas
atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat
terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum,
kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi
jarang menimbulkan kolestitis.
c. Fase ikterus.
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala.
Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan

22
gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.
d. Fase konvalesen (penyembuhan).
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan
lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi
hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat
dan kembalinya nafsu makan (Sudoyo, Aru W,
2007).
Kronik.
a. Fase imunotoleransi.
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga
konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak
terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis
B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg
yang sangat tinggi.
b. Fase Imunoaktif (Clearance).
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat
terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan,
terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance
menandakan pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
c. Fase residual.
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan
menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi
VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase
residual ditandai dengan titer HBsAg rendah,
HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang
menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal
(Sudoyo, Aru W, 2007).
5. Komplikasi.
Hepatis fulminant.
Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita
hepatitis fulminan yang berhasil hidup biasanya

23
mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik.
Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah
transplantasi hati.
Sirosis hepatis.
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati
tergantikan oleh jaringan parut yang terjadi bertahap.
Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah
struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati.
Maka sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang
menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan
kehilangan fungsinya. (Sudoyo, Aru W, 2007).
6. Tatalaksana
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas.
Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat
pasien merasa lebih baik. Diperlukan diet tinggi kalori dan
hendaknya asupan kalori utama diberikan pada pagi hari karena
banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari. Terapi
antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B
kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan
Entecavir (Sudoyo, Aru W, 2007).

Perbedaan hepatitis menurut Departemen Kesehatan Indonesia

24
(DEPKES RI, 2006).

5. Komplikasi
1. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis
hati progresif yang ditandai ole distorsi arsitektur hati dan
pembentukan nodul regerenatif. (Sudoyo et al, 2014)
a. Patogenesis
Sirhep terjadi karena cidera parenkim hati yang
menyebabkan timbulnya jaringan ikat dan pembentukan nodul.
Fibrosis terjadi karena adanya aktivasi sel stellate hati. Aktivasi
sel stellate dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan sel
hepatosit dan sel kupffer. Jika sel stellate dihasilkan, maka akan
terbentuk deposit ECM (matriks ekstraseluler) yang memicu
perubahan bentuk kan kapilarisasi pembuluh darah. (Sudoyo et
al, 2014)
b. Etiologi

Etiologi SH

25
Penyakit hati alkoholik

Hepatitis C Kronik

Hepatits B Kronik dengan atau tanpa hepatitis D

Sirosis billier primer

Kolangitis sklerosing primer

Hepatitis autoimun

Hemokromatosis herediter

(Sudoyo et al, 2014)

c. Manifestasi klinis

Tanda Penyebab

Spider nevi Estradiol meningkat

Palmar eritema Gangguan metabolisme


hormon seks

Ikterus Bilirubin meningkat

Asites Hipertensi portal

Ginekomastia Estradiol menigkat

Kaput medusa Hipertensi portal

Splenomegali Hipertensi portal

(Sudoyo et al, 2014)

d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk SH

Jenis pemeriksaan Hasil

AST dan ALT Normal atau sedikit meningkat

Alkali fostatase (ALP) Sedikit meningkat

26
Gamma-glutamil transferase Korelasi dengan ALP, spesifik
khas akibat alkohol sangat
meningkat

Bilirubin Meningkat pada SH

Albumin Menurun pada SH lanjut

Globulin Meningkat terutama IgG

Waktu Protombin Meningkat

Natrium darah Menurun akibat peninkatan


ADH dan aldosteron

Leukosit dan netrofil Menurun

Anemia Makrositik, normokromik dan


mikrositik

Trombosit Menurun

(Sudoyo et al, 2014)

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebab


- Serologi virus hepatitis:
o HBV HbSAg, HbeAg, HBc, HBV-DNA
o HCV Anti HCV, HCV-RNA
- Autoantbodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun
hepatitis
- Saturasi transferin dan feritin untuk hematokromatosis
- AMA untuk sirosis bilier
- Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer
(Sudoyo et al, 2014)
e. Pemeriksaan Pencitraan
USG kurang sensitif untuk mendeteksi SH namun cukup
baik bila penyebabnya jelas
Hasil : ekodensitas hati meningkat, ada pembesaran lobus
caudatus, splenomegali, dan gambaran vena hepatis terputus-
putus. (Sudoyo et al, 2014)
f. Endoskopi
Dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan
gaster pada penderita SH.
g. Diagnosis

27
Penegakan diagnosis untuk SH adalah melalui biopsi hati
melalui perkutan, transjugular, laparoskopi atau dengan biopsi
jarum halus. (Sudoyo t al, 2014)
h. Tatalaksana
Tatalaksana SH adalah dengan cara transplantasi hati. Karena
jika SH tidak ditindak lanjuti dengan baik maka akan menjadi
gagal hati. Ketika sudah terjadi gagal hati, fungsi hati secara
keseluruhan sudah menurun. (Sudoyo et al, 2014)

i. Komplikasi
- Hipertensi portal
- Asites
- Varises esofagus
- Peritonitis bakterial spontan
- Ensefalopati hepatikum
- Sindrom hepatorenal (Sudoyo et al, 2014)
2. Fatty Liver

Perlemakan hati adalah keadaan dimana lemak dihati


melebihi 5% dari berat hati

a. Etiologi
Penyebab perlemakan hati dapat dibagi dua kelompok
besar yaitu
1. Perlemakan hati alkoholik (Alkoholic fatty liver (AFL))
biasanya berupa steatosis makrovesikuler. Kelompok ini
mencangkup hepatitis alkoholik dan sirosis.
2. Perlemakan hati non alkoholik (non-alkoholic fatty liver
(NAFL)) kelompok ini mencangkup:
a. Steatosis makrovesikular:
- Obesitas
- Diabetes mellitus tipe 2, hyperlipidemia
- Malnutrisi protein-kalori
- Bedah pintas jejeno-ileal
- Nutrisi parental total (NPT)
- Obat-obatan (kortikosteroid atau estrogen dosis tinggi)
b. Steatosis mikrovesikular
- Perlemakan hati akut pada kehamilan
- Obat-obatan (tetrasiklin)
- Sindrom Reyes

b. Pathogenesis

28
Dalam keadaan normal trigliserida di hati bersama
apoprotein disekresikan ke sirkulasi plasma dalam bentuk
lipoprotein densitas sangat rendah atau very low density
lipoprotein (VLDL). Bila terjadigangguan keseimbangan
antara sintesis trigliserida peningkatan atau penurunan
dengan sekresi VLDL, akan terjadi timbunan lemak pada
sel hati. Mekanisme terjadinya perlemakan hati disebabkan
oleh empat cara yaitu
1. Peningkatan transportasi atau suplai asam lemak dari
hati ke perifer.
2. Penurunan transportasi asam lemak dari hati ke perifer
dalam bentuk VLDL.
3. Penurunan oksidasi asam lemak.
4. Peningkatan oksidasi asam lemak.

Hubungan antara perlemakan hati dengan anemia


adalah dimana eritrosit mempunyai umur 120 hari sebelum
di metabolism oleh hati pada kegagalan fungsi hati yang
berat terjadi penimbunan kolesterol dalam membrane
eritrosit tanpa penimbunan letisin. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya sel taji (spur cell). Dengan
terbentuknya sel taji maka jelas masa hidup eritrosit
menjadi memendek.
Ada tiga factor yang perlu dipertimbangkan sebagai
penyebab perubahan lipid dalam eritrosit pada kegagalan
fungsi hati yaitu:

1. Menurunnya aktivitas LCAT (Lecithin,


Cholesterol Achetil Transferase).
2. Retensi garam empedu.
3. Peningkatan rasio kolesterol bebas dan
fosfolipid dalam plasma.
c. Gejala klinis
Pada penderita perlemakan hati kebanyakan
penderita tidak merasakan gejala atau asimptomatik tetapi
terkadang ditemukan penderita perlemakan hati dengan

29
gejala seperti sakit kuning (jaundice), mual, muntah,
kembung dan nyeri tumpul di perut kanan atas.
d. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari gejala yang muncul,
pada pemeriksaan fisik didapati pembesaran hati.
Pemeriksaan penunjang dengan USG, pengambilan sampel
sel hati dengan jarum (biopsi hati) meskipun tidak lazim
dilakukan, pemeriksaan albumin dan bilirubin biasanya
masih normal. SGOT dan SGPT meningkat 2-3 kali nilai
normal deikian juga alkalifosfat meningkat setengah samapi
satu kali nilai normal. Kadar trigliserid dan kolesterol juga
meningkat. Pada kasus perlemakan hati primer, semua
tanda hepatitis C harus negative. (Djanas W.S. 2001)

3. Hepatoma
Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak
normal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam
hati yang memiliki kemampuan membelah/mitosis disertai
dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.(Hussodo,
2006)

Patogenesis

30
Etiologi
Virus Hepatitis B (HBV)
Virus Hepatitis C (HVC)
Sirosis Hati
Aflaktosin
Alkohol
(Hussodo, 2006)
Manifestasi Klinik
Gambaran klinis berupa rasa nyeri tumpul umumnya
dirasakan oleh penderita dan mengenai perut bagian kanan
atas, diepigastrium atau kedua tempat epigastrium dan
hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut tidak berkurang
dengan pengobatan apapun juga. Nyeri yang terjadi terus-
menerus sering menjadi lebih hebat bila bergerak. Terdapat
benjolan didaerah perut bagian kanan atas atau diepigastrium.

Umumnya terdapat keluhan mual dan muntah, perut teasa


penuh, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
dengan cepat. Yang paling penting dri manifestasi klinis sirosis

31
adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan terjadinya
hipertensi portal yang meliputi asites, perdarahan karena
varises esofagus, dan ensefalopati.

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hati diperlukan


beberapa pemeriksaan seperti misalnya pemeriksaan radiologi,
ultrasonografi, computerized tomography (CT) scan,
peritoneoskopi dan pemeriksaan laboratorium. Deteksi lesi
noduler hati dengan imaging tergantung pada perbedaan yang
kontras antara parenkim hati normal dan lesi noduler. Adanya
fibrosis dapat mempengaruhi sensitivitas dari modalitas
imaging sehingga dapat mengganggu deteksi dan karakterisasi
tumor hati.

Ultrasonografi

Gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik, sonolusensi


perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul
fibrotik, dan peningkatan akustik posterior.(5) KHS yang masih
berupa nodul kecil cenderung bersifat homogen dan hipoekoik,
sedangkan nodul yang besar biasanya heterogen

CT-scan dan angiografi

KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter,


massa yang dominan dengan lesi satelit di sekelilingnya, massa
multifokal, atau suatu infltrasi neoplasma yang sifatnya difus.
CT -scan telah banyak digunakan untuk melakukan
karakterisasi lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui
ultrasonografi. CT-scan dan angiografi dapat mendeteksi tumor
hati yang berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih
sensitif dari angiografi dalam mendeteksi karsinoma hati,
tetapi angiografi dapat lebih memberikan kepastian diagnostik

32
oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang tampak pada
angiografi.

MR imaging

Magnetic resonance (MR) imaging umum digunakan


secara rutin untuk screening penderita-penderita dengan
sirosis.

Biopsi

Tujuan utama biopsi adalah untuk mengetahui stadium


hepatoma.

Uji faal hati

Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi


saluran empedu atau merusak sel-sel hati oleh karena
penekanan massa tumor atau karena invasi sel tumor hingga
terjadi gangguan hati yang tampak pada kelainan SGOT,
SGPT, alkali fosfatase, laktat dehidrogenase. Gangguan faal
hati ini tidak spesifik sebagai petanda tumor. Alfa-fetoprotein
(AFP) adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar
70,000. AFP disintesis oleh hati, usus dan yolk sac janin.

Penatalaksanaan

Secara umum, tatalaksana bedah (surgical management)


seperti reseksi dan transplantasi dianggap pengobatan yang
ideal untuk KHS. Kemajuan teknik bedah dan perawatan
perioperatif telah mampu untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat operasi, bahkan pada penderita-penderita
sirosis.

Pengobatan non-bedah

33
a. Percutaneous ethanol injection (PEI)

PEI dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan etanol


murni (95%) ke dalam tumor dengan panduan radiologis untuk
mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini efektif
untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-
penderita dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi
permukaan, PEI tidak dianjurkan

b. Chemoembolism

Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan


sebagai terapi lokal (targeted chemoembolism) atau regional
(segmental, lobar chemoembolism ) tergantung dari ukuran,
jumlah dan distribusi lesi . Lipoidol diberikan dengan obat
kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel
tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-
maligna. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan
kolagen.

c. Kemoterapi sistemik

Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-


fluoro uracil (5-FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik
atau secara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain yang sering
digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau
adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas
badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3 minggu sekali
atau dapat juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas
badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3
minggu sekali.

PENUTUP

34
A. KESIMPULAN

Pada skenario keempat kali ini, Ny. Zein mengeluh urinasinya tidak sepeti
biasanya, warna urinnya berwarna sepert teh. Sebelumnya, beliau merawat
majikannya dirumah sakit yang terkena hepatitis selama beberapa hari. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri tekan, ada pembesaran hati,
dan terdapat ikterik. Selain itu, dari hasil pemeriksaan laboratorium juga
didapatkan peningkatan bilirubin terkonjugasi, tak terkonjugasi dan biilrubin total.
Selain bilirubin, kada ALT dan ASTnya pun meningkat.

Jika dihubungkan keluhan urin berwarna seperti teh dan hasil pemeriksaan
bilirubin, didapatkan korelasi bahwa peningkatan bilirubin terutama bilirubin
terkonugasi akan menyebabkan warna urin menjadi lebih coklat gelap seperti teh.
Hal ini terjadi karena bilirubin terkonjugasi akan diubah menjadi urobilinogen
oleh bakteri di usus yang kemudian akan diubah lagi menjadi pewarna feses
(stercobilin) dan pewarna urin (urobilin). Selain peningkatan bilirubin,
peningkatan ALT dan AST merupakan suatu tanda adanya cidera sel hati.
Memang jika dilihat dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
semuanya mengarah ke penyakit hati khususnya hepatitis, apalagi Ny. Zein juga
mendapat faktor resiko besar tertular majikan yang dirawatnya. Tetapi hasil
pemeriksaan fisik dan laboratorium saja tidak bisa menegakkan diagnosis
hepatitis. Untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut yaitu pemeriksaan serologik
untuk mengetahui ada atau tidaknya virus hepatitis di dalam darah.

Tatalaksana yang bisa diberikan kepada pasien hepatitis yaitu pemberian


vaksin sesuai dengan virus penyebabnya, kemudian diberikan imunoglobulin, dan
vitamin. Selain kausatif, pengobatan simptomatiknya juga harus diberikan, seperti
pemberian antipiretik dan analgesik, tetapi golongannya harus diperhatikan.
Selain terapi medis, terapi non medis yang bisa diberikan yaitu menghindari obat-
obatan yang hepatotoksik, tirah baring, menjaga higienitas agar terjaga dari virus
hepatitis, dan menghindari konsumsi alkohol.

B. SARAN

35
1. Sebaiknya setiap anggota agar tetap fokus dalam jalannya diskusi, sehingga
ketika ada pengulangan setiap anggota bisa mengulangi penjelasan temannya
dengan baik dan benar.
2. Sebaiknya sebelum melakukan diskusi PBL, anggota lebih mempersiapkan
diri hafalan Al-Quran, agar pada saat pengecekan, setiap anggota hafal dan
lancar.
3. Setiap anggota sebaiknya tetap diam dan memperhatikan ketika ada anggota
lain yang sedang mempresentasikan hasil belajar mandiri dirumah.
Diharapkan anggota tidak mengobrol sendiri.
4. Ketua diskusi sebaiknya dapat mengatur jalannya diskusi agar diskusi bisa
berjalan lancar. Selain itu, ketua juga harus bisa menyimpulkan setiap
pendapat yang diajukan oleh anggota lain.
5. Sebaiknya tiap anggota sudah harus mempersiapkan materi yang akan
didiskusikan, sehingga bisa saling bertukar pendapat dan melaksanakan
diskusi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology,
Baylor College of Medicine

Ari, S (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI.
Jakarta. PT. Rineka Cipta.

36
Basavanthappa, B.T, 2009. Foundamentals of Nursing, 2 nd Edition, New Delhi :
Jaypee Brother Medical Publisher

Berardi R.R., Welage L.S. 2005. Peptic Ulcer Disease. In Dipiro J.T., Talbert
R.L.,Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M. ed:
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. 6th ed. USA:
McGraw-Hill Companies. p. 630

Brooks G.F, Butel J.S, Morse S.A. 2004. Vibrios, Campylobacter, Helicobacter, &
Associated Bacteria. In Jawetz, Melnick, & Adelbergs: Medical
Microbiology. 23th ed. Boston: Mc Graw Hill.

Corwin J.Elizabeth. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya


Media

Djojoningrat,. D (2009) Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid I, edisi 5. Jakarta : InternaPublishing.

Doenges, Marilynn E.dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih
Bahasa: I Made Kriasa.EGC.Jakarta

Dorland, W.A., 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th ed, 2001

Hoogerwerf WA and Pasricha PJ. Pharmacotherapy of Gastric Acidity, Peptic


Ulcers, and Gstro Esophageal Reflux Disease. In: Brunton LL, Lazo
JS, and Parker KL. Goodman and Gillman's The Pharmacological
Basis of Therapeutics 11th edition.USA:The McGraw-Hill
Companies; 2008

Hudak C.M.,Gallo B.M. 2004. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI,
Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

37
Katzung.G.Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian ke
II.Jakarta:Salemba Medika

Kurt j. Isselbacher et al. Editor Edisi Bahasa Indonesia. Ahmad H. Asdie. Harrison
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. EGC. 1999

Longo, D.L., Fauci, A.S.,penyunting, Harrisons Gastroenterology and


Hepatology. 17th Ed. United States:The McGraw-Hill Companies;
2010; 16: 174-95.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid I. FKUI.Jakarta.

Muttaqin, A dan Kumala, S (2011). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Median.

Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Volume 1. Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta

Price, Sylvia A. Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-


proses Penyakit, Volume 2. Jakarta : EGC

Richard e. Behrman, Robert m. Kliegman, ann m. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak


Nelson Vol 2. Jakarta. EGC. 1999.

Simadibarata, Marcellus, Syam, Ari Fahrial, Rani, A. Aziz., 2011. Buku Ajar
Gastroenterologi Edisi Kesatu. Jakarta: Interna Publishing.

Simadibrata MK. Diagnosis of NSAID gastropathy and its complications.In:


Simadibrata MK, Abdullah M, Syam AF, editors. Procedings of the
4th international endoscopy workshop & international symposium on
digestive disease. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI;
2008. p. 85-7

Soll, S.H, Graham D.Y., 2009. Peptic Ulcer Disease. Dalam: Yamada, T., (ed).
Textbook of Gastroenterology. Oxford: Blackwell Publlishing Ltd.

38
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing

Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.

Tarigan, P. 2001. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-
271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Vakil, N., 2010. Peptic Ulcer Disease. Dalam: Feldman, M., Friedman, L.S.,
Brandt ., L.J., (eds).Sleisenger and Fodtrans Gastrointestinal and
Liver Disease: Pathophysiology/ Diagnosis/Management.
Philadelphia: Saunders Elsevier.

Wannmacher, L. 2011. Antacids and Other Antiulcer Medicines. 18th Expert


Committee on the Selection and Use of Essential Medicines.

Warren JR, Marshal BJ. Unidentified curved bacilli on gastric epithelium in active
chronic gastritis. Lancet 2011

Murray, Robert K, Daryl K. Granner, Peter A Mayers, Victor W. Rodwell.


2014. Biokimia Harper. Jakarta: EGC

Guyton,AC.Hall (2011) Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta :


EGC

Snow, R. W., and Gilles, H.M., 2002. The Epidemiology of Malaria. Bruce-
Chwatts Essential Malariology.

Warrell, D. A. 2002. Clinical Features of Malaria. Bruce-Chwatts Essential


Malariology.

39
Wintrobe M.M. ; Clinical Haematology , Lea & Febiger Philadelphia, Eighth
Edition, 1985.

Andrianto, Petrus. 1990. Gangguan Fisiologis Manusia dan Mekanisme


Penyakit. Jakarta : ECG.

Purwati, Susi. 2001. Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan.


Jakarta : Penebar Swadaya.

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal


Hyperbilirubinemia in Manual of Neonatal Care. Philadelphia:
Lippincort Williams and Wilkins,

A.H. Markum.1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.

Djanas W.S. 2001 Perlemakan Hati Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Jakarta ; EGC.

40

Anda mungkin juga menyukai