Anda di halaman 1dari 13

BAB III

ANESTESI DASAR

Tugas utama profesi dokter adalah mempertahankan hidup dan mengurangi


penderitaan. Dengan berkembangnya waktu, ilmu kedokteran berkembang menjadi berbagai
spesialisasi yang landasan ilmunya dikembangkan dari ilmu kedokteran umum. Anestesiologi
dan reanimasi adalah salah satu cabang perkembangan ilmu kedokteran. Berkaca dari dua
tugas utama profesi dokter di atas, maka anestesiologi dan reanimasi menjabarkan bidang
kajiannya menjadi pengelolaan bantuan hidup serta pengelolaan stress dan nyeri.
Pada tahun 1900-an tugas pembiusan masih diserahkan kepada ahli bedah junior atau
mahasiswa kedokteran. Pada tahun 1905 baru dibentuklah organisasi ahli anestesi pertama di
Amerika Serikat. Dengan berjalannya waktu terjadi perubahan persepsi dan paradigma bahwa
pembedahan adalah suatu kegawatan yang terencana. Maka dari itu peran seorang dokter
anestesi makin berkembang. Selain mengelola life support (bantuan hidup) dan mengelola
stress dan nyeri, dokter anestesi wajib menciptakan kondisi optimal untuk pembedahan.
Dalam perjalanannya banyak ahli anestesi menyadari bahwa untuk mendapat keluaran
yang baik tidak cukup hanya melakukan bantuan hidup yang baik saat di kamar operasi.
Bantuan hidup yang baik perlu tetap diberikan sampai pasien berada di ruang pulih sadar
bahkan di Intesive Care Unit untuk pasien yang memerlukan prolonged life support. Dan
keluaran yang baik tak mungkin dapat diwujudkan apabila kondisi awal pasien sebelum
dioperasi tidak baik. Maka para ahli anestesi mengambil sebuah langkah lebih maju, yakni
memberikan bantuan hidup di Instalasi Gawat Darurat bahkan di tempat kejadian (pre
hospital) serta pada saat kejadian bencana.

3.1 Persiapan Tindakan Anestesi


Sebelum melakukan suatu prosedur anestesi, seorang dokter anestesi wajib melakukan
evaluasi praanestesi. Hal ini disebabkan karena komponen psikologis pasien merupakan
faktor yang amat penting dalam tindakan pembedahan. Ada tiga tujuan utama evaluasi
praanestesi, yaitu:
1. Apakah pasien dalam kondisi optimum?
2. Apakah kondisi pasien memerlukan perbaikan sebelum pembedahan?
3. Apakah terdapat masalah kesehatan atau penggunaan obat-obatan yang berpengaruh
terhadap proses anestesi dan perioperatif?

Dan berikut adalah beberapa tujuan khusus dari evaluasi praanestesi:


1. Mendapat informasi riwayat kesehatan dan kesakitan, untuk menentukan pemeriksaan
penunjang.
2. Menyimpulkan faktor risiko untuk perencanaan penanganan anestesi
3. Mendapatkan informed consent
4. Memberi edukasi kepada pasien
5. Efisiensi penanganan perioperatif

Evaluasi harus dilakukan dengan ketrampilan dan pertimbangan yang benar untuk
mendapatkan hasil akhir yang memuaskan dari suatu proses anestesi. Hal ini disebabkan
dengan kunjungan praanestesi yang berkualitas kita dapat meramalkan penyulit yang
mungkin terjadi sehingga dapat mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mengatasi
penyulit.

3.1.1 Kunjungan Pra Anestesi


Setiap pasien yang akan mengalami anestesi harus dilihat dan diperiksa dulu oleh
dokter yang akan melakukan pembiusan setidaknya satu hari sebelum dioperasi apabila
tindakan pembedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan oleh ahli bedah pada
pembedahan darurat. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan kunjungan praanestesi
antara lain:
1. Riwayat medik:
- Kondisi kesehatan
- Penyakit yang diderita
- Penyakit lain
- Riwayat penyakit keluarga
- Alergi
- Penggunaan obat tertentu
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
Semua catatan dalam dokumen medik baik yang baru maupun yang terdahulu harus
dipelajari secara teliti. Harus diperhatikan mengenai pengalaman operasi dan anestesi
sebelumnya dan perubahan fisiologik yang ditimbulkan oleh penyakit yang direncanakan
akan dibedah, maupun penyakit lain yang menyertainya.
Kemampuan toleransi terhadap efek obat anestesi sangat tergantung keadaan fungsi
respirasi dan sirklulasi, fungsi homeostasis dari hepar, endokrin dan saraf pusat. Keadaan ini
dapat diketahui apabila dilakukan kunjungan pra bedah. Kunjungan pra bedah dan melakukan
dialog dengan pasien tidak dapat diganti dengan cara lain, misalnya dengan pemberian obat
penenang. Kunjungan pra bedah merupakan proses belajar baik bagi pasien maupun
dokternya. Oleh karena itu pada waktu melakukan anamnesis tidak boleh tergesa-gesa.
Masalah obat-obat yang digunakan oleh pasien harus dicatat dengan baik. Hal-hal lain yang
harus diperhatikan adalah masalah emosi atau psikis pasien.
Dengan kunjungan prabedah ini maka dokter dapat memberi pengertian kepada pasien
dan keluarganya mengenai apa yang akan mereka alami sebelum anestesi, misalnya mengapa
perlu puasa, mengapa perlu diberi obat pencahar, akan mendapat suntikan obat premedikasi.
Pasien juga diberi penjelasan mengenai apa yang akan mereka alami sesudah pembedahan
misalnya akan berada di suatu ruangan yang tidak dikenal yaitu ruang pulih sadar, timbul rasa
sakit, mungkin terasa pusing atau mual. Kepada pasien dapat dilatihkan bagaimana cara
mengambil napas panjang dan batuk yang efektif agar tidak terjadi penyulit paru pasca bedah
seperti atelektasis. Dapat dijelaskan pula masalah nyeri pasca bedah dan bagaimana
perjalanan hilangnya nyeri tersebut. Dari kotak pertama dengan pasien kita dapat melihat
kemungkinan penyulit seperti masalah yang dapat timbul selama anestesi misal pada pasien
dengan leher pendek rawan terjadi obstruksi jalan napas.
Setelah anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Besarnya cadangan
kardiovaskuler dapat diperkirakan dengan menanyakan toleransi pasien terhadap latihan fisik.
Pasien juga diiminta berjalan atau naik tangga untuk medeteksi sesak atau nyeri di tungkai
(claudicatio). Apabila ada riwayat infark miokard maka perlu dipikirkan lebih lanjut
mengenai aliran darah koroner apakah dapat mencukupi kebutuhan oksigen saat pembiusan
dan pembedahan.
Pemeriksaan ini bertujuan menemukan penyakit yang pernah diderita, yang sedang
diderita dan riwayat pemakaian obat-obat. Dengan hasil penemuan ini dapat disimpulkan
apakah anestesi nanti berresiko atau tidak, dapat timbul penyulit atau tidak, sehingga dapat
dipersiapkan dengan baik. Pemeriksaan selalu didahului dengan anamnesa dan pemeriksaan
fisik untuk menentukan penyakit yang pernah diderita dan penyakit yang sedang diderita
selain penyakit yang akan dibedah.

A. Pernapasan
Jalan napas diperiksa untuk menyingkirkan adanya sumbatan partial atau total dan
radang akut dari jalan napas. Pharyngitis, tonsillitis dan pilek mudah menyebarkan kuman-
kuman secara descending-infection ke paru menjadi pneumonia pasca bedah dan dapat
berakibat fatal hingga spasme jalan napas pada saat induksi atau saat extubasi. Sekret yang
dihasilkan dapat membuntu jalan napas karena pada waktu anestesia, refleks protektif batuk
hilang dan pembuntuan ini mengakibatkan hipoksia. Pembedahan elektif harus ditunda
sampai radang akut ini sembuh. Gerak leher untuk mengangguk dan menengadah serta
menoleh kekiri dan kekanan dengan bebas diperiksa untuk memastikan bahwa jalan napas
dapat ditolong dengan mudah jika terjadi obstruksi. Rahang bawah yang pendek dan tumor di
leher akan menyulitkan pemasangan pipa trakhea (intubasi).

Pemeriksaan paru meliputi pola napas dan suara napas tambahan untuk
menyingkirkan spasme bronchus (asthma bronchiale), ronkhi (bronchopneumonia) dan
sebagainya. Gerak cuping hidung dan cekungan sela iga waktu inspirasi menandakan adanya
kerja otot napas berlebihan yang sering disebabkan gangguan di bronchioli atau alveoli.
Penyakit paru yang kronis diupayakan untuk menjadi tenang, tidak dalam keadaan kambuh
akut (exacerbation). Pasien dengan asma bronchiale diberi terapi terlebih dahulu dan
ditunggu pada saat bebas serangan. Orang tua atau perokok berat sering menderita Chronic
Obstructive Pulmonary Disease, pasien dengan COPD harus ditunggu tidak ada infeksi
(sputum jernih tidak kuning atau hijau). Pasien dengan TB dipayungi dengan triple-drugs
terlebih dahulu pada pembedahan dapat ditunda, ditunggu sampai open TB menjadi closed.

Pasca anestesia biasanya kemampuan batuk menurun, lebih-lebih pada pembedahan


rongga perut (laparotomi). Masalah ini diperberat oleh adanya nyeri luka operasi sehingga
mudah terjadi retensi sputum, atelektasis dan pneumonia. Penyulit ini dapat dihindari dengan
melakukan latihan napas dan batuk efektif yang dimulai sejak pra bedah.

Evaluasi dengan foto sinar X dada diperlukan terutama pada kasus trauma, untuk menemukan
patah iga, pneuomothorax, hemothorax, edema paru dan lain sebagainya. Pasien penyakit
paru menahun dan gagal napas akut memerlukan pemeriksaan gas darah arterial untuk
menilai faal oksigenasi (pO2) dan ventilasi (pCO2)

B. Sirkulasi

Jantung diperiksa kekuatan kontraksi ototnya, irama denyutnya, ada tidaknya


gangguan koroner dan infark miokard. Gangguan kontraksi otot myocard (decompensatio
cordis) perlu diperbaiki sampai optimal dulu sebab sebagian besar obat anestesia umumnya
menyebabkan depresi kontraksi otot jantung. Derajat payah jantung ditentukan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik biasa serta melihat tekanan vena sentral di leher pasien.
Pemeriksaan ECG ditujukan untuk melihat gangguan irama, aliran koroner dan infark.

Obat anestesia yang sebagian besar membuat depresi napas dan gangguan kontraksi
otot jantung, dalam keadaan hipoksia dapat timbul aritmia yang kadang-kadang diperlukan
terapi. Pasien dengan gangguan irama jantung diupayakan untuk diberikan terapi terlebih
dahulu. Gangguan irama (aritmia) dibagi menjadi aritmia supraventrikuler jika sumber
masalah berada di atrium sampai AV node; dan aritmia ventrikuler jika sumber di ventrikel.
Aritmia ventrikuler jauh lebih berbahaya daripada yang supraventrikuler.

Perfusi koroner yang tidak stabil memberikan keluhan angina pectoris. Ischemia
miokard yang sudah menetap mudah dikenali dengan adanya perubahan EEG berupa depresi
segmen ST dan gelombang T terbalik. Infark miokard tampak dari adanya gelombang Q yang
dalam, gelombang QS, dan pada fase akut nampak adanya elevasi segment ST. Semua
pembedahan elektif harus ditunda pada pasien infark akut sampai 6 bulan sesudahnya karena
sebelum itu resiko infark ulang sangat besar dan mortalitasnya sangat tinggi.

Pengukuran tekanan darah sejak saat pasien masuk rumah sakit menentukan apakah
pengobatan hipertensi harus diberikan atau diintensifkan agar pada waktu pembedahan tidak
timbul krisis hipertensi, infark atau payah jantung akut. Pasien memakai obat betablocker
dosis diatur seminimal mungkin sebab sinergisme dengan obat anestesia halothan misalnya
akan menyebabkan hipotensi atau syok yang sukar diatasi. Beta-blocker tidak boleh
dihentikan mendadak karena hal ini menyebabkan reaksi withdrawl yang berbahaya. Pasien
cacad jantung bawaan atau kelainan katub karena infeksi rheuma perlu dipayungi antibiotika
untuk mencegah terjadinya SBE (Subacut Bacterial Endocarditis)

Masalah kadar Hb penting dalam kaitan transport oksigen. Jika pembedahan dapat
ditunda 2-4 minggu, banyak pasien anemia yang dapat diperbaiki dengan meningkatkan gizi
dan sediaan besi (Fe). Sebaiknya untuk bedah elektif, Hb sama atau lebih dari 10 mg/dl.
Ketentuan ini tidak mengikat. Seorang pasien hernia berumur 30 tahun dengan Hb 8 mg/dl
tidak perlu diberi transfusi dulu, karena dia dapat menjalani pembedahan seperti biasa. Tetapi
seorang wanita 60 tahun dengan Hb 8 mg/dl yang akan menjalani hysterectomy perlu
mendapat transfusi pra bedah, karena selain trauma bedahnya cukup besar, juga kondisi umur,
jantung dan organ lain tidak dapat mentolerir anemia.
Pada pembedahan darurat karena perdarahan, syarat untuk dapat dimulainya anestesia
dan pembedahan bukan kadar Hb tetapi apakah volume intravaskuler sudah cukup atau belum.
Transfusi sedapat mungkin ditunda sampai sumber perdarahan sudah dapat dihentikan.

C. Faal Hati
Pasien dengan hepatitis akut menjadi berat bukan karena masalah obat anestesianya
hepato-toxic, tetapi menjalani anestesia/pembedahan merupakan tambahan stress. Proses
ini dapat dikenali dengan pemeriksaan kadar bilirubin direct dan total (test heymans v.d
Bergh) serta SGOT dan SGPT. Langkah-langkah mengisolasi pasien yang mengandung
antigen hepatitis B perlu diambil agar tidak menular ke pasien lain.

D. Faal Ginjal
Gagal ginjal akut mudah dikenali karena adanya oliguria meskipun ada juga gagal
ginjal akut dengan produksi air seni normal. Test ureum darah (BUN) dan creatinin sangat
membantu menentukan keadaan ginjal. Gagal ginjal kronik sangat mungkin mengalmi
episode akut jika menerima beban pembedahan atau infeksi (Acute on chronic renal failure).
Secara umum, jika produksi air seni diikuti sejak awal pra bedah dan seterusnya tidak ada
episode oliguria (produksi kurang dari 0,5 ml/kg/jam), karena ginjal dalam keadaan aman.
Faal ginjal mempunyai kaitan dengan obat anesthesia atau yang berkaitan dengan tindakan
anesthesia yang mempunyai metabolisme dan eksresi melelui ginjal.

E. Interaksi Obat-Obat Yang Dipakai


Pasien yang menggunakan beberapa jenis obat tertentu dapat mengalami penyulit
selama menjalani anestesia dan pembedahan. Hal ini dapat dimengerti karena respons
fisiologi mereka jadi berubah karena pengaruh obat-obat tersebut.
Digitalis digunakan untuk mengobati payah jantung atau aritmia supra ventrikuler.
Bagi pasien payah jantung, kadar digitalis dalam darah harus dijaga tetap stabil dengan tetap
memberikan dosis maintenance oral pada saat minum terakhir sebelum puasa pra bedah dan
pada masa pasca bedah secepatnya kembali ke dosis berikutnya. Pasien laparotomi bukan
reseksi lambung masih diperbolehkan minum air 2-4 sendok (50 cc) untuk menelan obat.
Perlu diperhatikan bahwa miokard pasien pada dasarnya dalam kondisi yang tidak baik
sehingga sangat peka terhadap pengaruh halothan misalnya, pada dosis yang untuk orang
normal tidak menimbulkan masalah apa-apa pada mereka dapat menyebabkan syok berat.
Pemakai digitalis cenderung mudah mengalami aritmia ventrikuler jika mendapat efedrin atau
adrenalin.
Diuretika yang banyak digunakan adalah jenis hidrochlorothiazide atau frusemide.
Kedua jenis ini mudah menyebabkan pasien menjadi hipovolemia. Selama masih sadar,
refleks vasokonstriksi masih mampu menjaga tekanan darah. Tetapi setelah anestesia dimulai,
refleks vasokonstriksi hilang dan tekanan darah akan meluncur turun. Frusemide cenderung
membuang banyak kalium. Pasien yang hipokalemia mudah mengalami peracunan digitalis,
mudah mengalami aritmia dan cenderung menderita kelemahan otot.
Beta-blocker menyebabkan bradikardia dan penurunan kekuatan kontraksi otot
jantung. Interaksi dengan halothan menyebabkan syok yang refrakter (bandel) terhadap
berbagai obat vasopresor. Dosis beta blocker harus diatur pra bedah agar seminimal mungkin
agar dengan demikian interaksi juha minimal. Jangan menghentikan pengobatan mendadak
karena reaksi withdrawal yang bersamaan dengan stress anestesia dan pembedahan sangat
membahayakan jiwa.
Obat anti hipertensi pada dasarnya seprti beta-blocker juga harus diminum terus
sampai mulai puasa sebelum pembedahan. Golongan clonidin sering menyebabkan kenaikan
tekanan darah lagi (rebound) jika dihentikan. Respons vasokonstriksi pasien umumnya lemah
sehingga mudah mengalami hipotensi pad waktu anestesia
Insulin/ Oral Anti Diabetics (OAD) yang digunakan untuk terapi Diabetes Mellitus
harus juga diatur kembali agar tidak menyebabkan krisis hipoglikemi maupun hiperglikemia.
Kadar gula darah puasa (BS) harus dapat diusahakan kurang dari 200 mg/dl. Jika pada masa
pasca bedah pasien tidak dapat segera makan dan menelan pil OAD maka pasien harus diatur
sejak pra bedah dengan menggunakan regular insulin. Pada hari pembedahan dan sesudahnya,
diberikan 2/3 dari dosis total insulin pra bedah. Dosis ini dibagi dalam 3x pemberian sehari
dengan selalu diiringi infus yang berisi Dextrose 5% untuk sumber kalori dan hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan reaksi hipoglikemia.
Corticosteroid yang digunakan dalam jangka pendek (kurang dari 3 hari), tidak
banyak merugikan. Tetapi pasien yang menggunakannya dalam jangka panjang dapat
mengalami adrenal insufisiensi yang mengakibatkan hipotensi yang tidak mudah diberikan
terapi dan kembalinya kesadaran setelah anestesia umum sangat lama. Bila hal tersebut diatas
terjadi maka diberikan injeksi dexamethason sebagai supplement.
Sementara itu hasil pemeriksaan penunjang dapat diteliti. Bila ada hal-hal yang perlu
diperiksa maka dapat dilakukan pemeriksaan tambahan. Apabila seluruh pemeriksaan telah
selesai, diberikan penjelasan pada pasien tentang cara anestesi yang akan dilakukan, tentang
apa yang akan dialami pasien selama pasca anestesi dan pembedahan. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang kita dapat mengetahui status fisik pasien serta dinilai risiko
terhadap anestesi.
Dalam anestesiologi dikenal lima kelas status fisik yang semula diusulkan dan
digunakan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA), sebagai berikut:

1. Klas 1
Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik.
Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak
menyebabkan gangguan sistemik.
2. Klas 2
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik
oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh
proses patofisiologis.
3. Klas 3
Pasien dengan ganguan sistemik yang berat, apapun penyebabnya.
4. Klas 4
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa yang tidak
selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan.
5. Klas 5
Moribund: Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk bertahan
hidup
Operasi darurat: setiap pasien dari masing-masing kelas tersebut di atas yang
mengalami pembedahan darurat dipertimbangkan masuk dalam kondisi fisik
yang lebih jelek. Dibelakang angka yang menunjukkan kelasnya ditulis huruf
D yang berarti Darurat atau E yang berarti Emergency.

Hubungan status fisik dan mortalitas perioperatif


Status fisik (ASA) Mortalitas
1 0,006 0,008 %
2 0,27 - 0,4 %
3 1,8 - 4,3 %
4 7,8 - 23 %
5 9,4% - 51%
Hal terakhir namun yang tak kalah penting dengan semua hal di atas adalah informed consent,
yaitu suatu persetujuan untuk melakukan tindakan medik yang diberikan oleh pasien (atau
keluarganya pada keadaan tertentu) kepada dokter, setelah pasien (keluarga) mendapat
informasi sejelas-jelasnya tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien.

3.2.2 Premedikasi
Tujuan utama pemberian obat premedikasi adalah membebaskan pasien dari rasa
cemas, takut, rasa sakit, ketegangan otot dan aktifitas syaraf simpatis menjelang pembedahan
dengan memberikan sedasi psikis untuk melindungi keadaan basal fisiologis melawan stress
mental tersebut.

Adanya rasa takut dan nyeri rasa takut dan nyeri timbul reaksi fisologis somatic dan
simpatetik. Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk
bertahan atau menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi
terhadap manifestasi efek tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang.
Reaksi simpatetik ini tidak dapat disembunyikan oleh pasien sehingga menimbulkan
perubahan dalam berbagai derajat pada setiap organ tubuh. Perubahan suplai darah kejaringan
ini sebagian karena naiknya kadar katekholamin dalam sirkulasi dan stimulasi eferen simpatis
ke pembuluh darah.

Tujuan premedikasi selain menghilangkan nyeri yang ada pada masa prabedah adalah
membantu efek obat anestesia serta mengurangi efek samping obat anestesia. Premedikasi
tepat kerjanya, menghasilkan pasien menjadi mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan tidak
mengalami depresi napas maupun sirkulasi. Pasien menjadi mudah untuk bekerja sama.

Macam obat premedikasi

Obat premedikasi yang dapat digunakan antara lain, sedativa, narkotik antikholinergik,
anti histamin, antasida dan H2 antagonis

A. Sedativa
Yang termasuk golongan sedativa adalah barbiturat, benzodiazepin atau butyrophenon

Barbiturat

Kebanyakan pasien yang direncanakan operasi diberikan hipnotik pada malam


harinya, untuk mengatasi rasa cemas terhadap operasi dan keadaan sekitar yang belum dapat
menyesuaikan diri . Keadaan ini dapat menyebabkan imsomnia. Selain diberikan berupa obat
per-oral pada malan hari dapat juga dipakai sebagai obat premedikasi Keuntungan pemakaian
barbiturat adalah depresi respirasi dan sirkulasi yang minimal, tidak menimbulkan efek mual
dan muntah. Kerugian pemakaian obat ini adalah tidak memiliki efek analgesik, sehingga bila
diberikan pada pasien yang sudah mengalami kesakitan akan terjadi disorientasi. Antagonis
obat barbiturat tidak ada. Pasien dengan intermitten porphyria merupakan kontra indikasi.

Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja
pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti anxiety yang selektif. Pada dosis
sedatif tidak menimbulkan depresi napas, mual atau muntah. Kerugian pemakaian diazepam
dapat terjadi sedasi yang berkepanjangan, rasa sakit didaerah suntikan intramuskuler dan
absorbsi sistemik yang lambat. Dengan diketemukannya Midazolam yang efeknya lebih kuat,
absorbsinya lebih cepat dan tidak menimbulkan sakit pada daerah penyuntikan, tetapi harus
waspada dengan adanya depresi napas. Dosis diazepam 0,2-0,3 mg/kg dan Midazolam 1/3
diazepam.

Butyrophenon

Pemakaian sedatif golongan butyrophenon mempunyai keuntungan adanya efek anti


emetik yang kuat, yang bekerja secara sentral pada pusat muntah dimedula. Obat ini ideal
untuk operasi yang keberhasilan operasinya sangat dipengaruhi oleh peristiwa muntah,
misanya operasi mata, pada pasien yang dari anamnesa mempunyai riwayat sering muntah
dan pasien dengan predileksi terjasi muntah yaitu pada pasien obese. Kadang-kadang
pemberian ini menimbulkan disphoria(perasaan takut mati) atau gejala ekstrapiramidal akibat
adanya blokade reseptor dopaminergik. Efek alpha adrenergik antagonik sangat merugikan
pada pasien dengan hipovolemia relatif karena akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah
perifer. Efek ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipertermi sebelum diberikan kompres
basah pada tubuh, namun perlu diingat adanya relatif hipovolemia. Pasien dengan riwayat
alergi atau rinitis vasomotorika sebaiknya dihindari penggunaannya . Dosis yang dipakai
adalah 0,1-0,2 mg/kg, atau 2,5 5 mg

B. Narkotik
Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Keuntungan
obat ini adalah mempermudah induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan
analgesia pra dan pasca bedah, mempermudah pemberian napas buatan dan mempunyai obat
antagonis noloxon. Narkotik ini mempunyai efek vasodilatasi perifer, sehingga pemberian
pada pasien dengan hipovolemi akan semakin berat dan dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik

Berbeda dengan barbiturat narkotik menimbulkan depresi pusat napas di medulla.


Mual dan muntah yang terjadi karena stimulasi narkotik pada puast muntah di medulla.
Apabila pasien dalam posisi tidur akan dapat mengurangi efek tersebut. Dosis pethidin 1
mg/kg dan morfin adalah 1/10 pethidin

C. Antikholinergik
Atropin adalah obat antikholinergik yang banyak dipakai sebagai obat premedikasi.
Atropin memunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari acetycholine.
Atropin ini dapat menembus bloodbrain barrtier, placenta barrie dan traktus gastrointestinal.
Reaksi yang timbul pada pemberian antikholinergik adalah efek antisialagog, mengurangi
sekresi ion H asam lambung, menghambat reflek bradikardia dan memberikan efek sedasi
dan amnesi (terutama pada scopolamine). Efek yang kurang menyenangkan adalah adanya
gelisah, agitasi naiknya nadi, midriasis, cycloplegia, kenaikan suhu dan mengeringnya secret
jalan napas. Scopolamin mempunyai khasiat mengeringkan yang lebih kuat tetapi pasien
sering mengalami berbagai halusinasi. Dosis atropin 0,01 mg/kg dan maksimal 0,5 mg pada
orang dewasa.

D. Anti histamin
Antihistamin dapat digunakan sebagai sedativa, karena mempunyai khasiat
samping sedasi. Khasiat utama yang diharapkan adalah untuk anti alergi dan brochodilatasi
sehingga dipakai untuk pasien dengan asthma bronchiale. Promethazin (Phenergan) dapat
diberikan 1 mg/kg)

E. Antasida dan Histamin H2 receptor antagonis


Pemberian antasida 15-30 menit sebelum induksi hampir 100% efektif untuk
menaikan pH asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui aspirasi asam lambung dengan pH
yang rendah akan mengakibatkan Acid aspiration pneumonitis atau Mendelson syndrome,
yang mempunyai angka kematian yang tinggi. Antasida yang dianjurkan yang berisi
Magnesium trisilikat. Histamin H2 receptor antagonis melawan kemampuan histamin dalam
meningkatkan sekresi asam lambung yang mengandung ion H tinggi.Tujuan pemberian
cimetidin/ranitidine oral 300 mg 1 1,5 jam sebelum induksi dapat menaikan pH asam
lambung diatas 2,5 sebanyak 80%. Untuk pemberian intravena diberikan 2 jam sebelum
induksi.

Penentuan dosis obat premedikasi


Dosis premedikasi ditentukan berdasar pertimbangan atas faktor-faktor:
1. Berat badan
Pada pasien gemuk karena banyak lemak, dosis yang diberikan harus dibawah angka
perhitungan dari berat badan

2. Umur
Bayi sampai 2 tahun dan orang tua lebih dari 60 tahun, kedua kelompok ini sangat
peka terhadap sedatif dan narkotik, dosis harus dikurangi hingga sampai 1/3 dosis
pasien normal

3. Status fisik, keadaan umum dan penyakit pasien saat itu.


Pasien yang syok membutuhkan obat jauh lebih sedikit. Narkotik tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan napas karena menyebabkan hipoventilasi yang lebih
berat. Pasien hipovolemia bila diberikan golongan narkotik atau obat yang
mempunyai efek vasodilatasi menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah
sampai syok. Narkotik juga harus dihindari pada trauma kepala karena hipoventilasi
yang terjadi akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat dan mengakibatkan
herniasi otak. Pasien dengan lambung penuh atau distensi, tidak boleh diberi sedatif
karena bahaya aspirasi.

4. Obat anestesia yang akan dipakai.


Untuk eter dan ketamin yang menyebabkan hipersekresi kelenjar bronchus dan
hipersalivasi, diberikan atropin yang efeknya mengerikan. Halothan yang tidak
mempunyai khasiat analgesia, diberikan pethidin atau morfin. Atropin juga diberikan
pada anestesia halothan bukan untuk mengatasi hipersekresi tetapi untuk mencegah
bradikardia.

5. Tingkat kecemasan pasien.


Makin cemas tentu makin tinggi dosis sedatif yang diperlukan. Dalam hal ini, perlu
pendekatan psikologis pada waktu kunjungan pra bedah

6. Lama pembedahan dan apakah pasien tersebut rawat jalan.


Karena pertimbangan-pertimbangan di atas, premedikasi tidak boleh dikerjakan
sebagai hal rutin saja karena kebutuhan masing-masing pasien dapat berbeda-beda.
Premedikasi diberikan satu jam sebelum induksi anestesiaa biasanya secara suntikan
intramuskuler. Hanya untuk kasus bedah darurat dapat diberikan secara intra vena
setelah pasien berada didalam kamar bedah.

Pada umumnya diberikan kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang
diinginkan, misalnya
1. Narkotik, benzodiazepin dan atropin.
2. Narkotik, droperidol dan atropin
3. Narkotik, antihistamin dan atropin

Kunjungan pra anestesi dan pembedahan merupakan rangkaian untuk menentukan


premedikasi apa yang akan diberikan, tanpa melihat pasien akan menyebabkan kesalahan
dosis obat premedikasi yang dapat merugikan pasien. Perhatian khusus pada bayi dibawah 2
tahun dan orang tua diatas 60 tahun. Menentukan dosis obat premedikasi yang tepat
merupakan permulaan dari keamanan tindakan anestesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth
Edition a Lange Medical Book. 2013.
2. Robert K. Stoelting. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice,
4th Edition. 2006
3. Lorraine M. Sdrales, Ronald D. Miller. Miller's anesthesia review. 2nd
ed 2013
4. Atkinson R.S.,Rushman G.B.,Alferd Lee J., A synopsis of Anesthesia.
10th John Wright & Sons Ltd, Bristol, 1988. Halaman:107-117
5. Dripps R.D., EkkenhoffJ.E., Vandam L.D. Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto,
1988
Halaman:13-21.

6. Aitkenhead A.R., Smith G. Texbook of Anesthesia. Second edition


Churchil Livingstone, Edinburgh, London Melbourne and New York
1990. Halaman:333-344

7. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar.


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
1999/2000.
8. Snow J.S., Manual of Anesthesia. 1th edition Little, Brown and Company
1977. Halaman: 3-9

Anda mungkin juga menyukai