Anda di halaman 1dari 19

Presentasi kasus

SPINAL ANESTESI PADA


PRE EKLAMPSIA BERAT

OLEH :

Graciella Dhayinta
G. 0001100

PEMBIMBING :
dr. R.TH. Supraptomo, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2007
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus
dengan judul SPINAL ANESTESI PADA PRE EKLAMPSIA BERAT dapat
diselesaikan.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Keperawatan Intensif di FK UNS /
RSUD dr. Moewardi Surakarta.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. St. Mulyata, SpAnKIC, selaku kepala bagian Anestesi dan
Keperawatan Intensif FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta.
2. Dr. R. Th Supraptomo, SpAn, selaku staf ahli anestesi dan pembimbing
3. Dr. Soemartanto, SpAnKIC, selaku staf ahli anestesi.
4. Dr. H.Marthunus, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
5. Dr. MH. Sudjito, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
6. Dr. Benny Suryo, SpAn,. selaku staf ahli anestesi
7. Dr. Purwoko, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
8. Dr. Sugeng, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
9. Dr. Eko S. SpAn, selaku staf ahli anestesi
10. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
11. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya
penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan
semua pihak yang berkepentingan.

Surakarta, Mei 2007

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 2
BAB III. LAPORAN KASUS..................................................................... 7
BAB IV. PEMBAHASAN............................................................................ 14
BAB V. KESIMPULAN.............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan anestesi lokal ditandai dengan ditemukannya obat-obatan


anestesi lokal sintetis yang lebih dipercaya dan juga ditemukannya teknik baru
anestesi regional. Anestesi lokal sangat berguna karena alasan sebagai berikut :
1. Sederhana, harga terjangkau, merupakan zat yang mudah diinjeksikan dan
peralatan yang dibutuhkan minimal serta dapat mengurangi kebutuhan post
operatif.
2. Efek samping yang tidak diinginkan dari general anestesi dapat dihindari.
3. Metode ini sesuai dengan pasien rawat jalan, operasi singkat dan pada daerah
superfisial. Lokal anestesi sangat berguna bagi pasien yang kooperatif.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau
L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. Anestesi
ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain
hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain,
atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit
jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang
meninggi.

B. Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan yang penting disamping persiapan anestesi
lainnya.
Maksud dan tujuan premedikasi adalah :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien karena menghilangkan rasa cemas
dan takut, menimbulkan sedasi, amnesia dan analgesi.
2. Mencegah muntah.
3. Memudahkan induksi.
4. Mengurangi dosis obat anestesi.
5. Mencegah terjadinya hipersekresi traktus respiratorius.

2
3

Obat-obat premedikasi yang biasa digunakan adalah :


1. Sulfas Atropin
Obat ini dapat mengurangi sekresi traktus respiratorius dan
merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronkhial dan
kardial yang berasal dari parasimpatis akibat rangsangan obat anestesi atau
tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,4 - 0,6 mg) akan menimbulkan
bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus vagus.
Pada dosis yang lebih besar (>2mg) akan menghambat nervus vagus
sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu melemaskan tonus otot polos
dan menurunkan spasme gastro intestinal.
Atropin tersedia dalam bentuk Atropin sulfas dalam ampul 0,25 mg
dan 0,5 mg. Obat ini dapat diberikan secara intra muskuler, intra vena dan
subkutan. Untuk dosisnya adalah 0,5 mg atau 0,01 mg/kg BB untuk dewasa
dan 0,1-0,4 mg/kg BB untuk anak-anak.
2. Pethidin
Pethidin adalah derivat fenil disperidin, suatu obat sintetik dengan
rumus molekul yang berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek dan
efek samping yang hampir sama dengan morfin.
Efek anagesi hampir sama dengan morfin, tetapi mula kerja dan
masa kerjanya lebih singkat. Efek sedasi, euforia dan eksitasi hampir sama
dengan morfin tetapi pethidin dapat menyebabkan kedutan dan tremor
akibat rangsangan SSP.
Terhadap sistem respirasi akan mendepresi dan menekan reaksi
pusat pernapasan terhadap rangsangan CO2. Obat ini juga meningkatkan
kepekaan terhadap alat keseimbangan sehingga menimbulkan muntah,
pusing terutama pada penderita berobat jalan. Obat ini dapat mengatasi
kejang.
Pethidin biasanya digunakan untuk nyeri berat atau pada penderita
dengan terapi inhibitor monoamin oksidase, oleh karena tidak adanya
kemampuan untuk memetabolisme Pethidin sehingga dapat menyebabkan
4

koma. Dosis Pethidin untuk dewasa 1 mg/kgBB IM. Efek analgetik tercapai
dalam 15 menit, efek puncak 45-60 menit durasinya 3-4 jam.

2. Diazepam (Valium)
Merupakan obat hipnotik sedatif sebagai premedikasi untuk
menghilangkan rasa takut dan gelisah serta sebagai anti konvulsi yang baik.
Dapat mendepresi pusat pernafasan dan sirkulasi.
Sediaan dalam bentuk ampul berisi diazepam 10 mg/ml injeksi. Dosis
0,2-0,5/kgBB untuk anak 5-10 mg. Pemberian IV, 30 menit sebelum induksi.

3. Analgesi Spinal
1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat analgesi spinal adalah sebagai
berikut:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus /
Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
2. Teknik anestesi :
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat
anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.
5

d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titikl tertinggi krista iliaka


kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi
hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000
ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
Lidodex.
Lidokain merupakan aminostilamid, anestetik lokal kuat yang
digunakan secara luas dengan cara topikal atau suntikan. Pada anestesi
spinal akan terjadi cepat, lebih lama dan lebih efektif dari pada prilain.
Onset tercapai dalam 2 menit dan lama kerja 1,5 jam, bila dengan
vasokonstriktor lama kerja 2 jam. Anestetik ini efektif bila digunakan tanpa
vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbsi dan toksisitas bertambah dan
masa kerjanya lebih pendek. Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan
dan dapat melewati sawar darah otak. Lidokain di metabolisme di hati dan
diekskresikan melalui ginjal.
Dosis :
a. Analgesi infiltrasi dan blok :
6

Larutan 0,5 2 %, 2 60 ml dengan atau tanpa epinefrin, dosis


maksimal 300 mg tanpa epinefrin dan 500 mg dengan epinefrin.
b. Analgesi epidural :
Larutan 1-2%, 15-30 ml dengan atau tanpa epinefrin.
c. Analgesi topikal :
Larutan 2-4% untuk kornea, faring, laring, pipa trakeobronkhial, dosis
maksimal 250 mg. Jeli digunakan untuk endoskopi urethra.
d. Analgesi spinal :
Larutan 5% dengan dekstrosa 7,5% dosis yang digunakan adalah 40-50
mg untuk persalinan perabdominal, 75-100 mg untuk pembedahan
ekstremitas bawah dan abdomen bawah, dan 100-150 mg untuk anestesi
spinal yang tinggi. Gejala yang timbul pada pemakaian over dosis
adalah drowiness dan amnesia khususnya pada penggunaan tanpa
epinefrin. Hipotensi, nausea, vomitus, twitching, dan kejang juga dapat
terjadi. Reaksi hipersensitivitas akibat lidokain jarang terjadi.
4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal :
a. Keuntungan
1. Respirasi spontan
2. Lebih murah
3. Ideal untuk pasien kondisi fit
4. Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada
pasien dengan perut penuh
5. Tidak memerlukan intubasi
6. Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7. Fungsi usus cepat kembali
8. Tidak ada bahaya ledakan
9. Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1. Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2. Menyebabkan post operatif headache.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 26 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jaten, Karanganyar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Diagnosis Pre Operasi : Pre eklampsi berat respon terapi pada sekundigravida,
hamil aterm.
Macam Operasi : SCTP Emergensi
Macam Anestesi : Regional Anestesi dengan teknik spinal anestesi
Tanggal masuk : 23 Mei 2007
Tanggal Operasi : 23 Mei 2007
No CM : 80 45 48

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI


1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Ingin melahirkan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Penderita konsulan dari baghan obsgyn dengan diagnosa PEB yang
akan dilakukan SCTP emergensi. Datang seorang G 2P0A0, kiriman
bidan dengan keterangan Pre eklampsia berat dan proteinuria +4,
merasa hamil 9 bulan, belum merasa kenceng-kenceng, darah (-), air
ketuban (+), gerakan janin masih dirasakan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi selama kehamilan (+)
Riwayat Asma (-)

7
8

Riwayat Alergi Obat/Makanan (-)


2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital :
T : 150/80 mmHg R : 20 X/menit
N : 88 X/menit S : 36,5 C
BB : 56 kg
b. Keadaan umum : baik, compos mentis, gizi cukup.
c. Mata : conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
isokor, reflek cahaya +/+.
d. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-).
e. Telinga : tak ada infeksi, pendengaran baik.
f. Mulut : mukosa dalam batas normal, sianosis (-).
g. Leher : pembesaran limfonodi (-), JVP tidak meningkat.
h. Thorax : Cor/Pulmo : Dalam batas normal
i. Abdomen : I : Perut membuncit, linea fuscha (+), striae
gravidarum (+).
P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
TFU 38 cm, taksiran berat janin 3500 gram,
teraba janin tunggal, presentasi kepala, bagian
terendah belum masuk panggul, His (-).
A : Denyut jantung janin (+) 12-12-12.
j. Genital : VT : Vulva dan urethra tenang, dinding vagina licin,
portio mencucu, pembukaan (-), presentasi
kepala, kulit ketuban (+).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 15,8 gr/dl AT : 274.103 L
Hct : 47,8% Gol darah : A
AL : 11.8. 103 L GDS : 63 mg/dL
Ureum : 24 BT : 2 30
Creatinin : 0,4 CT : 4 30
9

4. Kesimpulan
Kelainan sistemik ringan (-)
Kegawatan bedah (-)
Kegawatan Obstetri (+)
Status fisik ASA II E

C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
- Persetujuan tertulis (+)
- Puasa 6 jam
- Infus RL 2 cc/kg BB/jam : 28 tetes/menit
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
3. Teknik Anestesi : Anestesi Spinal
4. Premedikasi : Diazepam 10 mg (IV)
5. Obat Anestesi Regional : Lidodex 50 mg
Pethidin 25 mg
6. Maintenance : O2 2 liter/menit
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 10 menit
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

D. TATALAKSANA ANESTESI
1. Di Ruang Persiapan
- Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita.
- Pemeriksaan tanda-tanda vital :
T : 150/100 mmHg N : 90 X/menit
R : 20 X/menit S : 36,5 C
- Cek obat dan alat anestesi.
- Infus RL 28 tts/menit
2. Di Ruang Operasi
- Jam 17.40 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang.
10

- Jam 17.45 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai


berikut:
a. Pasien diminta duduk dengan punggung fleksi maksimal.
b. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah
pasien dengan menggunakan larutan Iodin 1%.
c. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan menyuntikkan jarum spinal no. 23 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal ke arah
kranial pada ruang antar vertebra lumbal 3-4.
d. Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan
menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan lidodex 50 mg
dan pethidin 25 mg.
e. Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban.
f. Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 2 liter/menit.
- Jam 17.53 Operasi dimulai, tanda vital dimonitor.
- Jam 17.55 diberi Canul O2 3lt/menit.
- Jam 18.00 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin laki-
laki, berat badan 3500 gram, APGAR 8-9-10, anus (+).Berikan
methergin 1 ampul IV, Sintosinon 1 ampul per drip.
- Jam 18.14 plasenta dilahirkan per abdominal lengkap dengan
insersio parasentral.
- Jam 18.25 infus RL habis diganti infus NaCl.
- Jam 18 .45 diinjeksi remopain 30 mg dan ketamin 25 mg.
- Jam 19.05 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.
11

Monitoring selama operasi.


Jam Tensi (mmHg) Nadi (X/menit) Sp O2 (%)
17.45 140/90 78 99%
17.55 160/110 75 99%
18.05 150/105 82 99%
18.15 130/105 90 99%
18.25 125/80 92 99%
18.35 90/60 90 99%
18.45 110/70 89 98%
18.55 130/88 88 98%
19.05 145/90 90 98%

3. Di Ruang Pemulihan

Skala bromage

nilai Melipat lutut Melipat jari


Blok tak ada + ++
Blok partial - -
Blok hamper lengkap - -
Blok lengkap - -
Skor UPPA

nilai Skor
Kesadaran 2
Warna 2
Aktivitas 2
Respirasi 2
Kardiovaskuler 2

- Jam 19.10 pasien di ruang pemulihan, posisi Fowler, diberi oksigen 2


lt/menit, dimonitor tanda vital, infus RL 25 tts/menit.
- Jam 19.25 pasien bisa menggerakkan kaki.
- Jam 19.45 pasien dapat mengangkat kaki
- Jam 19.55 pasien pindah bangsal.
12

TERAPI CAIRAN

Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 56 kg)


Defisit cairan karena puasa 6 jam = 2 X 56 X 6 = 672 cc
Kebutuhan cairan selama operasi + kebutuhan operasi besar (lama 1,2
jam) :
= (2 X 56 X 1,2) + (8 X 56 X 1,2)
= 134,4 + 537,6
= 672 cc
Perdarahan selama operasi 500 cc
EBV pada pasien ini = 70 X 56 kg = 3920 cc. Persentase perdarahan
= 500/3920 X 100% = 12,35 % dari EBV.
Jadi kebutuhan cairan total = 672 + 672 + 500 = 1844 cc Jumlah
cairan yang telah diberikan :
1. Pra operasi : 500 cc
2. Saat operasi : 1000 cc
Total cairan yang diberikan 1500 cc, jadi masih kurang 344 cc
sehingga pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di
bangsal.
13

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki


keuntungan yaitu :
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam
keadaan sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
3. Analgesi yang cukup kuat.
A. Permasalahan dari segi medik
1. Emergensi.
2. Menyangkut 2 nyawa yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Diphragma terdorong keatas, sehingga timbul sesak nafas.
4. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu.
Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
5. Khawatir adanya Mendelson syndrome.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli bedah untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.
2. Perdarahan
3. Trauma
C. Permasalahan dari segi Anestesi
Pemberian Obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Premedikasi : Diazepam 10 mg
2. Anestesi spinal : Lidodex 5 % 50 mg dan Pethidin 25 mg.
3. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
Pada kasus ini terjadi defisit cairan sebanyak 344 cc, ini diperoleh dari
kebutuhan cairan total ( terdiri dari : defisit cairan karena puasa 6 jam, kebutuhan
dasar selama operasi, kebutuhan operasi besar dan kehilangan darah selama
operasi ) yang total sebanyak 1844 cc. Sedangkan cairan yang masuk sebanyak
14

1500 cc. Untuk mengatasi defisit cairan ini maka diperlukan penambahan cairan
saat pasien masuk bangsal.
Pada kasus ini, yang dilakukkan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi
penurunan tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal
biasanya sering terjadi. Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk
menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan
oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus.
Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi
spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
2. Penurunan resistensi perifer.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernapasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernapas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang
adekuat.
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilakukan anestesi regional dengan menggunakan teknik anestesi


spinal pada penderita pre eklampsia berat dengan ASA II E dengan menggunakan
induksi Lidodex 50 mg, Pethidin 25 mg, maintenance O2 2 lt/menit.
Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi,
melalui pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga komplikasi anestesi
dapat diantisipasi ataupun ditekan seminimal mungkin.
Secara umum penatalaksanaan operasi dan penatalaksanaan anestesi pada
kasus ini berjalan lancar tetapi masih terdapat adanya defisit cairan sehingga perlu
dipenuhi pada pasca operasi di bangsal.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Karyadi Wirjoatmojo, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk


Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 1999/2000.

2. Sulistia Ganiswara, Farmakologi dan Terapi, FK UI, Jakarta, 1996.

3. Michael B. Dobson, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta, 1994.

Anda mungkin juga menyukai