Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator keberhasilan
layanan kesehatan di suatu negara. Kematian ibu dapat terjadi karena beberapa
sebab, diantaranya karena anemia. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka
kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang
non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan
dengan anemia.
Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan
ibu. Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu
hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi pada
masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi. Hal ini juga
diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992, bahwa sekitar 70 % ibu hamil di
Indonesia menderita anemia gizi. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah
gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Dengan
frekuensi yang masih cukup tinggi, berkisar antara 10% dan 20%.
Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa
prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%, serta
semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. 1,3% Anemia
defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang
daripada negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400 juta
orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara yang sedang berkembang
menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8%
(atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang. Di Indonesia
prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 40,1% (SKRT 2001).
Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II
didapati 23 (74%) menderita anemia, dan 13 (42%) menderita kekurangan besi.
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada wanita hamil
dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan obat ?

1
b. Apa definisi dari anemia ?
c. Terapi apa saja yang diberikan pada pasien anemia ?
d. Bagaimana proses farmakokinetik obat anemia ?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui definisi dan penjelasan dari obat secara umum.
b. Mengetahui definisi dan penjelasan dari anemia.
c. Mengetahui pengobatan/terapi untuk pasien anemia.
d. Mengetahui proses farmakokinetik dari obat anemia.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Obat


Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah, meringankan, dan
menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang dimaksud obat adalah suatu
bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan
termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.

2.2 Definisi Anemia

2
Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan atau masa haemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratoris, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar haemoglobin serta
hitung eritrosit dan hematokrit dibawah normal. Batasan yang umum digunakan
adalah kriteria WHO, dinyatakan sebagai anemia bila terdapat nilai dengan kriteria
sebagai berikut:
a. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dl
b. Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dl
c. Perempuan hamil Hb < 11 gr/dl

2.3 Terapi Anemia


a. Terapi Non Farmakologi
Makanan yang mengandung Fe dalam kadar tinggi (lebih dari 5 mg/100 g)
adalah hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang,kacang-kacangan dan buah-
buahan yang tertentu. Makanan yang mengandung besi dalam jumlah sedang(1-
5mg/100g) termasuk diantaranya daging, ikan, unggas, sayur-sayuran yang
berwarna hijau dan biji-bijian. Sedangkan susu atau produknya dan sayuran yang
kurang hijau mengandung besi dalam jumlah rendah (kurang dari 1 mg/100 g).

b. Terapi Farmakologi
1) Anemia Defisiensi Besi
a) Terapi : besi.
b) Mekanisme : zat besi membentuk inti dari cincin heme Fe-porfirin yang
bersama-sama dengan rantai globin membentuk hemoglobin.
c) Besi oral

d) Indikasi : pencegahan dan pengobatan anemia defisiensi besi


e) Absorpsi : garam ferro 3x lebih cepat diabsorpsi daripada Ferri. Makanan
menurunkan absorpsi sampai 50%, namun intoleransi gastrik
mengharuskan pemberian bersama makanan.
f) Dosis : 200 mg per hari dalam 2 3 dosis terbagi.
g) Kontraindikasi : hemokromatosis, anemia hemolitik, hipersensitivitas.
h) Peringatan : penggunaan pada kondisi kehamilan (kategori A).
i) Efek samping : noda pada gigi, nyeri abdominal, konstipasi, diare, mual,
warna feses gelap.

3
j) Interaksi obat
Antasid : menurunkan absorpsi besi
Asam askorbat : meningkatkan absorpsi besi
Garam kalsium : menurunkan absorpsi besi
Kloramfenikol : meningkatkan konsentrasi plasma besi
Antagonis histamin H2 : menurunkan absorpsi besi
PPI : menurunkan absorpsi besi
Kaptopril : besi dapat menginaktivasi kaptopril
Fluoroquinolon : membentuk kompleks dengan besi menurunkan
absorpsi fluoroquinolon
L-dopa : membentuk khelat dengan besi menurunkan absorpsi L-dopa
MMF : besi menurunkan absorpsi MMF
Tetrasiklin : membentuk kompleks dengan besi absorpsi besi dan
tetrasiklin turun

2) Anemia Defisiensi Asam Folat


a) Terapi : asam folat.
b) Mekanisme : folat berperan dalam sintesis nukleoprotein dan
pemeliharaan eritropoiesis normal.
c) Indikasi :
Anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat.
Peningkatan kebutuhan asam folat pada kondisi kehamilan.
Profilaksis defisiensi asam folat pada pemakaian antagonis asam folat.

4
d) Absorpsi : asam folat dari makanan harus mengalami hidrolisis, reduksi,
dan metilasi pada saluran pencernaan agar dapat diabsorpsi. Perubahan
asam folat menjadi bentuk aktifnya, tetrahidrofolat, membutuhkan
vitamin B12 (sianokobalamin).
e) Dosis : folat oral 1 mg setiap hari selama 4 bulan.
f) Kontraindikasi : pengobatan anemia pernisiosa dimana vitamin B12 tidak
efektif.
g) Efek samping : perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi, iritabilitas,
anoreksia, mual, distensi abdominal, flatulensi.
h) Interaksi obat :
Asam aminosalisilat : menurunkan konsentrasi plasma folat.
Inhibitor dihidrofolat reduktase : menyebabkan defisiensi folat.
Sulfalazin : menyebabkan defisiensi folat.
Fenitoin : menurunkan konsentrasi plasma folat

2.4 Proses Farmakokinetik


a. Absorpsi
Absorpsi Fe mulai saluran cerna terutama berlangsung di duodenum dan jejunum
proksimal, makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah
diabsorpsi dalam bentuk fero. Transpornya melalui sel mukosa usus terjadi secara
transporaktif. Ion fero yang sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion feri dalam
sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara
transferin,atau diubah menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus.
Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi
rendah,maka lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila cadangan rendah atau
kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sel
mukosa ke sum-sum tulang eritropoesis. Eritropoesis dapat meningkat sampai
lebih dari 5 kali pada anemia berat atau hipoksia.
Pada individu normal efeisiensi Fe jumlah Fe yang diabsorpsi 5-10% atau sekitar
0,5-1 mg/hari. Absorpsi Fe meningkat bila cadangan rendah atau kebutuhan Fe
meningkat. Absorpsi meningkat menjadi 1-2 mg/hari pada wanita menstruasi,
pada wanita hamil dapat menjadi 3-4 mg/hari. Kebutuhan Fe juga meningkat pada
bayi dan remaja. Absorpsi dapat ditingkatan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin
C, HCL, suksinat dan senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion feri menjadi
fero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak
larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat fosfat atau antasida
misalnya kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Fe

5
yang terdapat pada makanan hewani misalnya daging umumnya diabsorpsi lebih
mudah dibandingkan dengan makanan nabati.
Fe yang didapatkan pada hemoglobin dan mioglobin daging lebih mudah
diabsorpsi karena diabsorpsi dalam bentuk utuh, tidak memerlukan pemecahan
lebih dahulu menjadi elemen Fe.
Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe. Absorpsi ini
meningkat pada keadaan defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe dan meningkatnya
eritropoesis. Selain itu, bila Fe diberikan sebagai obat, bentuk sediaan, dosis dan
jumlah serta jenis makanan dapat mempengaruhi absorpsinya.
b. Distribusi
Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin), suatu
beta 1-glubolin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan,
terutama kesum-sum tulang depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe
dalam plasma sebanding dengan jumlah total transferin plasma, tetapi jumlah Fe
dalam plasma tidak selalu menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini.
Selain transferin, sel-sel reticulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk
keperluan eritropoesis, dan juga berfungsi sebagai gudang Fe.
c. Metabolisme
Bila tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe mengikat suatu protein yang disebut
apoferitin dan membentuk feritin. Fe disimpan terutama pada sel mukosa usus
halus dan dalam sel-sel retikuloendotelial (di hati, limpa dan sum-sum tulang).
Cadangan ini tersedia untuk digunakan oleh sum-sum tulang dalam proses
eritropoesis, 10% diantaranya terdapat dalam labile pool yang cepat dapat
dikerahkan untuk proses ini, sedangkan sisanya baru digunakan bila labile
pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam parenkim jaringan tidak dapat
digunakan untuk eritropoesis.
Bila Fe diberikan IV,cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang membentuk
feritin) dan disimpan terutama di dalam hati,sedamgkan setelah pemberian per
oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari
pemecahan eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa. Penimbunan Fe dalam
jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat transfusi darah berulang-ulang atau
akibat penggunaan preparat Fe dalam jumlah berlebihan yang diikuti absorpsi
yang berlebihan pula.

d. Ekskresi

6
Jumlah Fe yang diekskresi setiap hari sedikit sekali biasanya sekitar 0,5-1 mg
seehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna
yang terkelupas, melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang
dipotong. Pada proteinuria jumlah yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat
bersama dengan sel yang mengelupas. Pada wanita usia subur dengan siklus haid
28 hari, jumlah ekskresi Fe yang diekskresi sehubungan dengan haid diperkirakan
sebanyak 0,5-1 mg sehari.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh
semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah, meringankan,
dan menyembuhkan penyakit.
Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan atau masa haemoglobin
yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh.

7
Dalam pemberian terapi anemia terdapat dua terapi yaitu: terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi. Dimana terapi farmakologi terdapat proses
farmakokinetik dalam tubuh yaitu: absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.

3.2 Saran
Dalam pemberian terapi anemia hendaknya sesuai dengan etiologi/penyebab
terjadinya anemia. Pemberian dosis dan penggunaan obat hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan.
Semoga makalah ini dapat menjadi sumber bacaan dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Sabrini, dkk. 2010. Farmakoterapi Anemia. Bandung: Sekolah Farmasi Institut Teknologi
Bandung

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC

Sulistyo, Andi dan Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai