Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

AKNE VULGARIS

DISUSUN OLEH:
HADI TRYADI - C 11112331
MUHAMMAD FUAD BIN ROZHAN C11113816
SITI FATIMAH BNTI MOHD ZAIDI C11113817

PEMBIMBING:
dr. Evi Arisandi

SUPERVISOR:
dr. Widya Widita, Sp.KK., M.Kes.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT AKNE VULGARIS

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

I. Nama : HADI TRYADI


NIM : C111 12 331
II. Nama : MUHAMMAD FUAD BIN ROZHAN
NIM : C111 13 816
III. Nama : SITI FATIMAH BNTI MOHD ZAIDI
NIM : C111 13 817

Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

adalah benar telah menyelesaikan referat yang berjudul AKNE VULGARIS dan
telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan residen pembimbing dan penasehat
akademik dalam rangka kepanitraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, 14 April 2017

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Widya Widita, Sp.KK., M.Kes. dr. Evi Arisandi

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I - PENDAHULUAN ..................................................................................... 4
BAB II - PEMBAHASAN ...................................................................................... 5
I. ANATOMI DAN HISTOLOGI ................................................................ 5
II. FISIOLOGI ............................................................................................. 10
III. DEFINISI ................................................................................................ 11
IV. EPIDEMIOLOGI .................................................................................... 11
V. ETIOLOGI .............................................................................................. 12
VI. PATOFISIOLOGI ................................................................................... 13
VII. KLASIFIKASI ........................................................................................ 15
VIII. GEJALA KLINIS .................................................................................... 15
IX. DIAGNOSIS ........................................................................................... 17
X. DIAGNOSIS BANDING ........................................................................ 19
XI. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 22
XII. PROGNOSIS ........................................................................................... 26
BAB III - KESIMPULAN ..................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang banyak sekali ditemui di


Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak membahayakan kehidupan tetapi sering
terjadi masalah kosmetik pada nentuk akne vulgaris yang berat akibat dari skar yang
ditimbulkan dan tidak jarang menjadi keluhan psikologis penderita terhadap
lingkungan sosial sekelilingnya bahkan menjadi penyebab kurang percaya diri pada
individu tersebut beberapa penelitian yang berhubungan dengan akne vulgaris
menyimpulkan bahwa penderita akne vulgaris mengalami masalah fungsional dan
emosional sebagai akibat dari penyakitnya. [1]
Akne vulgaris dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah
produksi sebum yang berlebihan, hiperkeratinasi folikular, proliferasi
Propionibacterium acnes, inflamasi dan genetik. [1]
Pada umumnya akne vulgaris dimulai pada usia 12- 15 tahun dengan puncak
tingkat keparahan pada 17-21 tahun. Akne vulgaris adalah penyakit terbanyak
remaja usia 15-18 tahun. Selain akne vulgaris, akne dapat digolongkan menjadi
beberapa tipe klinis lain yaitu akne juvenilis dan infatil, occupation acne, drug
induced acne, akne kosmetika, akne ekskorial dan gram negative folliculitis [2]

4
BAB II

PEMBAHASAN

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI


Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia, yang memberi massa
sekitar 15-20% dari total berat badan tubuh pada usia dewasa. Kulit terdiri dari
lapisan epidermis, lapisan epitel terluar dan dermis, lapisan jaringan ikat
mesodermal. Diantara kedua lapisan tersebut, terdapat bentuk lapisan yang tidak
teratur disebut papilla dermal yang berhubungan dengan jembatan epidermis
(epidermal ridges) yang berfungsi meningkatkan adhesi dari lapisan epidermis dan
dermis. [3]

Gambar 1.1: Ilustrasi lapisan dan struktur pada kulit [3]

5
Pada epidermis terdapat epitel berlapis gepeng bertanduk yang tersusun dari
sel keratinosit. Pada epitel tersebut terdapat tipe sel epidermis yang jumlahnya
sedikit, pigmen yang menghasilkan warna kulit yaitu melanosit, sel langerhans
sebagai antigen-presenting cell pad proses imun didapat, dan sel epitel taktil yaitu
sel Merkel. [3]

Gambar 1.2: Gambaran mikroskopik epidermis. Menunjukkan gambaran


epidermal pegs (EP) dan dermal papillae (DP) [3]

Pada epidermis, terdapat empat lapis dari keratinosit. Pada kulit yang tebal,
terdapat lima lapisan sedangkan kulit yang tipis terdapat empat lapisan (tanpa
stratum lusidum). Berikut akan dijelaskan secara berurutan dari lapisan terdalam
yang mendekati dermis hingga lapisan terluar. [3][4]
1. Stratum basale merupakan lapisan basofilik kuboid atau sel
kolumner pada lapisan terbawah epidermis pada dermal-epidermal
junction. Karakterisasi dari stratum basale yaitu terdapat aktivitas

6
mitosis yang tinggi dan sel progenitor pada seluruh lapisan. Tepat di
atas lapisan stratum basal, keratinosit epibasal memperbesar untuk
membentuk lapisan spinosus atau stratum spinosum.
2. Stratum spinosum merupakan lapisan epidermis paling tebal terdiri
dari sel kuboid atau agak gepeng dengan inti ditengah dengan
nucleolus dan sitoplasma yang aktif mensintesis filament keratin.
Tepat di atas lapisan basal, sejumlah sel masih membelah dan zona
in disebut stratum germinativum. Filament keratin membentuk
berkas yang tampak secara mikroskopis disebut dengan tonofibril
yang berkonvergensi dan berakhir pada sejumlah desmosom yang
menghubungkan secara kuat untuk menghindari gesekan. Epidermis
di area yang rentan mengalami gesekan dan tekanan secara kontinu
(seperti telapak kaki) memiliki stratum spinosum yang lebih tebal
dengan lebih banyak tonofibril dan desmosom.

Gambar 1.3: Mikroskopik lapisan epidermis dan dermis pada kulit dan ilustrasi [3]

7
3. Stratum Granulosum merupakan lapisan yang terdiri atas 3-5 lapis
sel polygonal gepeng yang mengalami diferensiasi terminal.
sitoplasma berisikan massa basofilik intens disebut granul
keratohialin. Di tempat ini, materi kaya lipid membentuk lembaran-
lembaran yang melapisi sel, yang kini lebih kecil daripada kantong
pipih yang terisi keratin dan protein terkait. Lapisan selubung lipid
merupakan komponen utama sawar epidermis terahadap kehilangan
air dari kulit. Keratinisasi dan produksi lapisan yang kaya lipid
memiliki efek pelindung yang penting di kulit, yang membentuk
sawar terhadap penetrasi sebagian besar benda asing.
4. Stratum lusidum merupakan lapisan yang hanya dimiliki pada kulit
yang tebal, dan terdiri atas lapisan tipis translusen sel eosinofilik
yang sangat pipih. Organel dan inti telah menghilang dan sitoplasma
hampir sepenuhnya terdiri atas filamen keratin padat yang
berhimpitan dalam matriks padat-elektron. Desmosom masih
tampak diantara sel-sel yang bersebelahan.
5. Stratum korneum merupakan lapisan yang terdiri atas 15-20 lapis sel
gepeng berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi
keratin filamentosa birefringen. Filamen keratin mengandung
sekurang-kurangnya 6 macam polipeptida dengan massa molekul
antara 40 kDa sampai 70 kDa. Komposisi tonofilamen berubah
sewaktu sel epidermis berdiferensiasi dan ketika massa tonofibril
bertambah dengan protein lain dari granula keratohialin. Setalah
mengalami keratinisasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf dan
fibrilar dan membrane plasma yang menebal dan disebut sisik atau
sel bertanduk. sel-sel tersebut secara kontinu dilepaskan pada
permukaan stratum korneum.

Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya


pada jaringan subkutan. Ketebalan dermis bervariasi, bergantung pada daerah
tubuh. dan mencapai ketebalan maksimal 4 mm di daerah punggung. Permukaan

8
dermis ireguler dan memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling
mengunci dengan rabung epidermis. Membran basal selalu dijumpai antara stratum
basale dan lapisan papilar dermis dan mengikuti kontur interdigitasi antara kedua
lapisan tersebut. Membran basal terdiri dari lamina basal dan lamina reticular.
Nutrien untuk keratinosit berdifusi kedalam epidermis avaskular dari vascular
dermis melalui membran basal. [3]
Pada kulit terdapat dua jenis kelenjar, antara lain kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat yang akan dibagi menjadi dua, yaitu kelenjar ekrin dan kelenjar
apokrin. Kelenjar sebasea terbenam dalam dermis pada sebagian besar permukaan
tubuh, kecuali pada kulit tebal yang tidak berambut (glaborous skin) di telapak
tangan dan telapak kaki. Terdapat sekitar 100 kelenjar per cm2, tetapi jumlah ini
meningkat mencapai sekitar 400 900/cm2 pada bagian wajah dan kulit kepala.
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar asinar bercabang dengan sejumlah asini yang
bermuara ke dalam saluran pendek dan biasanya berakhir di bagian atas folikel
rambut. Kelenjar sebasea dapat diasosiasikan terhadap folikel-folikel rambut,
terkecuali pada daerah-daerah antara lain daerah tarsal pada kelopak mata (kelenjar
Meibomian), mukosa buccal dan perbatasan vermilion pada bibir (Fordyce spot),
prepusium dan mukosa lateral frenulum penis (kelenjar Tyson), labia minora, dan
areola perempuan (tuberkulum Montgomery). Asini terdiri atas lapisan basal sel-sel
epitel gepeng tak berdiferensiasi yang terletak di atas lamina basalis. Sel-sel ini
berproliferasi dan bergeser ke arah pertengahan asinus, yang mengalami
diferensiasi terminal berupa sebosit besar penghasil lipid, dengan sitoplasmanya
yang terisi dengan droplet lemak kecil. Intinya berangsur mengkerut dan
mengalami autofagi di sepanjang organel lain, dan di dekat duktus sel akan terpisah-
pisah dan melepaskan lipid melalui sekresi holokrin. Hasil proses tersebut adalah
sebum, yang secara berangsur berpindah secara kontinyu ke permukaan kulit di
sepanjang duktus atau folikel rambut. [3][5]
Sebum merupakan suatu campuran lipid yang mencakup ester malam (wax),
skualen, kolesterol dan trigliserida yang dihidrolisis oleh enzim bakteri setelah
disekresi. Sekresi dari kelenjar sebasea sangat meningkat saat pubertas, yang
terutama dirangsang oleh testosterone pada pria dan oleh androgen ovarium dan

9
adrenal pada wanita. Fungsi spesifik sebum nampaknya membantu
mempertahankan stratum korneum dan rambut, mencegah evaoparasi, serta efek
antibakteri dan antijamur yang lemah pada permukaan kulit. [3]
Kelenjar keringat adalah derivate epitel yang tertanam di dermis yang
membuka ke permukaan kulit atau ke dalam folikel rambut. Kelenjar keringat ekrin
dan kelenjar keringat apokrin memiliki perbedaan distribusi, fungsi dan rincian
struktur. Kelenjar ekrin merupakan kelenjar yang terdistribusi luas di kulit dan
paling banyak pada telapak kaki (+ 620/cm2). Secara kolektif, 3 juta kelenjar
keringat ekrin pada rerata individu setara dengan massa sebuah ginjal dan dapat
menghasilkan sebanyak 10 liter/hari, jauh melebihi laju sekresi kelenjar eksokrin
lainnya. Keringat adalah respon fisiologis tubuh terhadap peningkatan suhu tubuh
selama aktifitas fisik atau stress termal, dan merupakan mekanisme termoregulasi
terefektif. [3]
Kelenjar keringat apokrin terdapat terbatas pada kulit regio aksila dan
perianal. Perkembangannya bergantung pada hormone kelamin dan tidak tuntas
hingga mencapai usia pubertas, namun berbeda dengan aktivitas fungsionalnya.
Perbedaan histologist paling jelas antara kedua jenis kelenjar keringat ini adalah
bahwa lumen kelenjar apokrin lebih besar; bagian sekretorik kelenjar apokrin terdiri
atas selapis sel kuboid eosinofilik dengan sejumlah besar granula sekretorik yang
mengalami eksositosis; lumen kelenjar apokrin sering menunjukkan simpanan
prduk yang kaya protein dan sel mioepitelial membantu memindahkannya ke dalam
muara duktus ke dalam folikel rambut; dinding selnya serupa; secret tipe kelenjar
ini agak kental dan awalnya tidak berbau, namun dapat memiliki bau khas akibat
aktifitas bakteri. Produksi feromon oleh kelenjar apokrin sangat jelas pada banyak
mamalia dan mungkin juga pada manusia. Kelenjar ini dipersarafi oleh serabut
adrenergic, sedangkan untuk kelenjar keringat ekrin menerima sinyal dari serabut
kolinergik. [3]

II. FISIOLOGI
Kelenjar sebasea terdapat di setiap tempat pada kulit mulai dari tangan
sampai kaki. Tempat yang memiliki jumlah kelenjar sebasea yang banyak dan

10
menonjol adalah kepala, leher, dada, dan punggung. Kelenjar sebasea merupakan
bagian dari unit pilosebasea, dan produksinya yang kaya lemak (sebum) mengalir
melalui duktus masuk ke dalam folikel rambut. Kelenjar ini merupakan kelenjar
holokrin-sebum yang cenderung terbentuk karena hancurnya sel-sel kelenjar dan
bukan karena proses sekresi yang aktif. Kelenjar sebasea termodifikasi yang
membuka langsung di permukaan kulit terdapat pada kelopak mata, bibir, puting
susu, glans penis dan prepusium. [6]

III. DEFINISI
Akne vulgaris merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri berupa
peradangan kronis folikel pilosebasea dengan penyebab multifaktor dan manifestasi
klinis berupa komedo, papul, pustul, nodus dan kista. [2]
Akne vulgaris terutama mengenai wajah, leher, badan bagian atas dan
lengan atas. Penyakit ini merupakan self limiting desease tetapi bisa menyebabkan
pembentukan skar hipertrofi sepanjang hidup. [7]

IV. EPIDEMIOLOGI
Akne vulgaris adalah kondisi kulit yang paling umum yang mempengaruhi
remaja di seluruh dunia. Menurut studi Global Burden of Disease (GBD), akne
vulgaris mempengaruhi ~85% dari orang dewasa muda berusia 12-25 tahun. Akne
vulgaris secara konsisten mewakili tiga kondisi kulit yang paling umum pada
populasi umum, seperti yang ditemukan dalam penelitian besar di Inggris, Perancis,
dan USA serta dilaporkan pada orang dewasa muda di berbagai negara di seluruh
dunia. Produksi androgen selama pubertas menjelaskan, sebagian, mengapa akne
vulgaris adalah begitu umum dalam populasi ini tanpa dipengaruhi status sosial
ekonomi, bangsa, atau jenis kelamin. [8]
Akne vulgaris diperkirakan terjadi pada 9,4 persen dari populasi global,
sehingga menjadi penyakit yang paling umum kedelapan di seluruh dunia. Studi
epidemiologis telah menunjukkan bahwa akne vulgaris ini adalah masalah yang
paling umum dalam kalangan remaja pasca pubertas, dengan remaja laki-laki paling

11
sering terkena, terutama dengan bentuk yang lebih parah dibandingkan dengan
perempuan dari kelompok umur yang sama. [9]
Sebuah survei cross-sectional berbasis populasi pada 2895 orang,
dilaporkan bahwa prevalensi akne vulgaris lebih besar pada orang Afrika-Amerika
dan Hispanik dibandingkan dengan orang Kaukasia, Asia dan benua India. [10]

V. ETIOLOGI

Gambar 5.1: Skema Etiologi dari Akne Vulgaris. [17]

Meskipun etiologi yang pasti pada penyakit ini belum diketahui, namun ada
berbagai faktor yang berkaitan dengan patogenesis penyakit. [2]
1. Perubahan pola keratinisasi dalam folikel. Keratinisasi dalam folikel yang
biasanya berlangsung longgar berubah menjadi padat sehingga proses
keratinisasi tidak mudah lepas dari saluran folikel tersebut.
2. Produksi sebum yang meningkat dan menyebabkan peningkatan unsur
komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi akne.
3. Terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya proses
inflamasi folikel dalam sebum dan kekentalan sebum yang penting pada
patogenesis penyakit.
4. Peningkatan jumlah flora folikel (Propionibacterium acnes, dulu:
Corynebacterium acnes, Pityrosporum ovale dan Staphylococcus

12
epidermidis) yang berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta
pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum.
5. Terjadinya respon hospes berupa pembentukan circulating antibodies yang
memperberat akne.
6. Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid,
gonadotropin serta ACTH yang mungkin menjadi faktor penting pada
peningkatan kegiatan kelenjar sebasea.
7. Terjadinya stres psikik yang dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea, baik
secara langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis.
8. Faktor lain: usia, ras, familial, makanan, cuaca/musim yang secara tidak
langsung dapat memacu peningkatan proses patogenesis tersebut.

VI. PATOFISIOLOGI
Akne vulgaris adalah disebabkan oleh proses yang dinamis dan melibatkan
banyak faktor. Etiopatogenesis dari akne vulgaris ini terdiri dari beberapa faktor
seperti hiperkeratosis dan infrainfundibulum dan duktus kalenjar sebasea,
hiperaktivitas dari kalenjar sebasea, hiperproliferasi Proprionibacterium acnes, dan
reaksi inflamasi dan immunologi. Selain itu, ia juga boleh melibatkan beberapa
faktor dari tubuh itu sendiri seperti metabolisme vitamin A atau retinoid yang
berperan pada keratin, hormon androgen, sitokin proinflamasi serta faktor dari
lingkungan seperti kolonisasi P. acnes, stress, sinar ultraviolet, diet, trauma, dan
merokok. [1]
Empat faktor yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris, yaitu
produksi sebum yang berlebihan, hiperproliferasi epidermis, aktifitas
Propionibacterium acnes, dan proses inflamasi. [11]
1) Peningkatan produksi sebum oleh kelenjar sebasea.
Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea, yang merupakan bagian dari unit
pilosebaseus di kulit. Sebum akan diuraikan oleh Propionibacterium acnes
menjadi asam lemak bebas, sehingga meningkatkan kolonisasi
Propionibacterium acnes, menginduksi respon inflamasi dan bersifat
komedogenik.

13
2) Hiperproliferasi folikel.
Hiperproliferasi epitel folikel menyebabkan obstruksi folikel dan
penumpukan keratin, sebum dan bakteri di dalam folikel sehingga terbentuk
mikrokomedo.
3) Aktivitas Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes adalah bakteri gram-positif anaerob yang hidup di
folikel kelenjar sebasea. Konsentrasi bakteri ini meningkat pada pasien akne
vulgaris. Dinding sel Propionibacterium acnes mengandung antigen
karbohidrat yang dapat menstimulasi pembentukan antibody.
4) Proses inflamasi.
Inflamasi pada akne vulgaris diinduksi oleh reaksi imunologi terhadap
Propionibacterium acnes. Banyak sitokin yang terlibat dalam proses
inflamasi akne vulgaris, terutama IL-1, IFN-, TGF-, dan IL-4. IL-1,
yang disekresi oleh keratinosit, akan memicu peradangan di folikel
pilosebasea dan kemotaksis neutrofil polimorfonuklear.

Gambar 6.1: Skema Patogenesis Akne Vulgaris

Selain itu, androgen berperan penting pada patogenesis akne. Akne mulai
terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan
dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita akne memiliki kadar
androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal,
meskipun kadar androgen serum penderita akne masih dalam batas normal.
Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi

14
sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus
seboglandularis dan akroinfundibulum.

VII. KLASIFIKASI

Pada tahun 1956 Pillsbury, Shelly dan Kligman mempublikasi sistem


grading yaitu: [1]
Derajat 1: komedo dan beberapa kista kecil pada wajah
Derajat 2: komedo dengan beberapa pustule dan kista kecil pada wajah
Derajat 3: banyak komedo papul dan pustule inflamasi kecil dan besar lebih
luas tetepi hanya terbatas pada wajah
Derajat 4: banyak komedo dan lesi-lesi dalam yang dapat menyatu
melibatkan wajah dan tubuh bagian atas

Klasifikasi akne vulgaris berdasarkan Combined Acne Severity


Classification adalah: [1]
a. Akne vulgaris ringan: bila jumlah komedo <20 atau lesi inflamasi <15 atau
lesi total berjumlah < 30 buah
b. Akne vulgaris sedang: bila jumlah komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-
50 atau lesi total berjumlah 30-125 buah
c. Akne vulgaris berat: bila jumlah komedo > 100 atau lesi inflamasi >50 atau
jumlah lesi total > 125 buah atau kista berjumlah >5

VIII. GEJALA KLINIS


Akne vulgaris mempunyai tempat predileksi di wajah dan leher (99%)
punggung (60%) dan dada (15%) serta bahu dan lengan atas. Kadang-kadang pasien
mengeluh gatal dan nyeri. Sebagian pasien merasa terganggu secara estetis. Kulit
akne vulgaris cenderung lebih berminyak atau sabore tetapi tidak semua orang
dengan sabore disertai akne vulgaris. Efloresensi akne berupa komedo hitam
(terbuka) dan komedo putih (tertutup, papul, pustule, nodus, kista, jaringan parut,

15
perubahan pigmentasi, komedo terbuka dan komedo tertutup merupakan lesi non
inflamasi, papul pustule, nodus dan kista merupakan lesi inflamasi. [2]

Gambar 8.1: Papul dan pustul pada Gambar 8.2: Nodul dan kistik pada
pasien laki-laki 20 tahun dengan Akne Akne vulgaris. Distribusi secara
Vulgaris. [15] simetris pada remaja laki-laki. [15]

Gambar 8.3: Komedo pada Akne vulgaris. [17]

16
Gambar 8.4: Skema Evolusi dari Akne Vulgars[17]

IX. DIAGNOSIS
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan
ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum, yaitu pengeluaran
sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang

17
menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak
seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam. [2]
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum
di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat
pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan
keratin yang lepas. [2]
Pemeriksaan mikrobiologi dari lesi akne untuk menemukan
Propionibacterium acnes kadang tidak dibutuhkan karena tidak mempengaruhi
penatalaksanaan yang akan diberikan, dan keberhasilan pemberian antibiotik tidak
memberikan hasil yang berarti dari penurunan jumlah bakteri. Pada kondisi
folikulitis gram negatif, yang memberikan gambaran erupsi pustul uniformis pada
daerah perioral dan perinasal, dapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi yang
bertujuan untuk memperlama pemberian tetrasiklin pada lesi. Kondisi tersebut
dapat diakibatkan dari beberapa bakteri, seperti Klebsiella dan Serratia yang tidak
dapat memberi perbaikan yang cukup dengan pengobatan akne secara
konvensional. Kultur dilakukan untuk menilai pemberian antibiotik apa yang cocok
pada kasus tersebut. Infeksi kutaneus Staphylococcus aureus yang memberikan
gambaran mirp dengan akne dapat menggugurkan differensial diagnosis penyakit
tersebut dengan melakukan kultur swab. [12]
Evaluasi endokrinologis dapat dilakukan pada beberapa kasus akne,
mengingat peran dari androgen pada patogenesis akne yang diketahui secara pasti.
Indikasi pemeriksaan pada pasien yang memberikan gambaran klinis berupa
hiperandrogenisme. Peningkatan androgen pula dapat ditemukan pada kasus
polycystic ovarian syndrome. Pemeriksaan hormon yang dilakukan antara lain
testosteron total, dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S), androstenedione,
luteinizing hormone, dan follicle-stimulating hormone. Growth hormone, insulin-
like growth factor, lipid levels, insulin, hormon seksual, indeks androgen bebas,
prolaktin, estrogen, dan progesteron dalam jumlah abnormal dapat dijumpai pada
beberapa kasus akne. [12]

18
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids)
dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam lemak
bebas meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara
untuk menurunkannya. [2]

X. DIAGNOSIS BANDING

1) Folikulitis
Folikulitis secara anatomi terdapat sel inflamasi pada dinding dan
osteum dari folikel rambut sehingga terbentuk pustule pada dasar folikel. Akne
vulgaris dan folikulitis sama-sama mempunyai dasar folikel sehingga yang
membedakan tidak mudah. Folikulitis dibagi menjadi dua bentuk superfisial
dan profunda. [1]

Gambar 10.1: Gambaran klinis pada pasien folikulitis

2) Dermatitis periorifasial
Dermatitis periorifisial atau sering disebut perioral merupakan suatu
kelainan dengan etiologi yang belum diketahui. Biasanya ditemukan pada
perempuan yang berkulit putih dengan gambaran papul pustul dengan dasar
erimatous. Perbedaan antara dermatitis perioral dan akne vulgaris adalah
pada dermatitis perioral tidak dijumpai komedo. [1]

19
Gambar 10.2: Gambaran klinis pada pasien dermatitis periorifasial. [7]

3) Milia
Milia merupakan kelainan jinak yang sering dijumpai berupa kista yang
berisi keratin. Lesi kulit berupa papul serupa yang superfisial berwarna
putih hingga kekuningan dengan ukuran 1-2mm. predeleksi milia adalah
bulu mata dan bagian atas pipi. lesi berbatas tegas dan persisten [1]

Gambar 10.3: Gambaran klinis pada pasein milia. [4]


4) Rosasea
Seperti akne vulgaris rosasea dijumpai sebagai papulpustulosa pada wajah
tetapi disertai dengan kemerahan masif dan telangiektasis. Secara tipikal
rosasea pustule non folikular dan tidak dijumpai komedo. Rosasea sering

20
dijumpai pada perempuan yang berkulit putih dan perempuan berusia
decade ketiga dan keempat [1]

Gambar 10.4: Gambaran klinis pada pasein rosasea. [7]

5) Hiperplasia sebasea
Merupakan kelainan kelenjar sebasea jinak yang sering dijumpai. Bisa
dimukan pada usia dewasa pertengahan atau yang lebih tua tetapi jarang
pada remaja. Lesi dapat tunggal dan multiple bewarna kuning lunak berupa
papul kecil pada wajah tersering pada pipi, hidung dan dahi berukuran
bervariasi dari 2-9mm [1]

Gambar 10.5: Gambaran klinis pada pasien hiperplasia sebasea. [4]

21
XI. PENATALAKSANAAN
Untuk tujuan pengobatan, akne vulgaris diklasifikasikan menjadi ringan,
sedang dan berat. Akne vulgaris dianggap ringan ketika hanya ada lesi terutama lesi
non-inflamasi dan Hanya beberapa lesi inflamasi superfisial. Pada akne vulgaris
berat, ada lesi inflamasi yang dalam hingga mengakibatkan jaringan parut.
Manakala akne vulgaris sedang adalah lesi diantara ringan dan berat. [13]

Ringan Sedang Berat


Gambar 11.1: Gambaran klinis pada pasein akne vulgaris berdasarkan tipe

Gambar 11.2: Tabel Rekomendasi Tatalaksana Pengobatan Akne Vulgaris. [13]

Pada kasus akne vulgaris ringan, pengobatan secara topikal biasanya sudah
memadai. Perlu untuk menentukan apakah akne vulgaris yang dialami adalah
bersifat komedogenik, inflamasi atau bukan inflamasi, atau campuran kedua jenis

22
lesi. Pasien dengan akne vugaris tipe komedogenik harus ditangani dengan agen
topikal dengan aktivitas komedolitik seperti retinoid, senyawa kimia berhubungan
dengan vitamin A yang berperan dalam membuat proses hiperkornifikasi menjadi
normal dan berperan juga untuk masalah komedo. Retinoid juga mempunyai
aktivitas anti inflamasi. Terdapat tiga sediaan, antara lain krim 0,025%, 0,05%, dan
0,1%, gel 0,01, dan solusio 0.05%. [1][13]

Gambar 11.3: Algoritma penatalaksanaan pada kasus Akne Vulgaris [16]

23
(BPO = benzoyl peroxide, clinda = clindamycin, dashed line = optional
Path)
Dalam pengobatan akne vulgaris ringan, benzoil peroksida (2,5-10%)
adalah terapi lini pertama yang efektif. Benzoil peroksida berkerja dengan
menurunkan populasi bakteri dan penurunan hidrolisis trigliderida. Obat ini tersedia
dalam bentuk krim, losion, gel dan tampon. Bentuk gel umumnya dianggap lebih
efektif. Tetapi harus diperhatikan pada pengobatan dengan benzoil peroksida
adalah obat ini dapat menyebabkan kekringan yang signifikan dan iritasi. Jika
hasilnya tidak memuaskan, tretinoin topikal atau adapalene boleh ditambahkan.
[1][14]

Bagi akne vulgaris derajat sedang, terapi kombinasi telah menunjukkan


hasil yang paling menguntungkan dan biasanya terdiri dari rejimen termasuk
benzoil peroksida, antibiotik topikal, dan retinoid topikal (tretinoin, adapalene, atau
tazorotene). Tretinoin, adapalene, dan tazorotene menunjukkan efektivitas yang
sama dalam pengurangan inflamasi dan jumlah total lesi setelah 12 minggu
pengobatan. Antibiotik oral mungkin boleh diberikan untuk pasien dengan lesi
dominan inflamasi yang tidak merespon baik terhadap perawatan topikal di atas.
Tetrasiklin (250mg-1g/hari) dan eritromisin (4x250mg/hari) yang paling umum
diberikan. [13][14]
Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa stimulasi androgenic pada
kalenjar sebasea berperan menyebabkan akne vulgaris. Tujuan terapi hormonal
pada kasus akne vulgaris adalah untuk menekan efek androgen pada kalenjar
sebasea. Tujuan ini bisa dicapai dengan pemberian estrogen dan reseptor blocker
androgen (cyproterone asetat). Terapi hormonal bekerja baik pada kasus akne
vulgaris yang onsetnya di masa dewasa, yang tipe lesinya terdiri dari peradangan
persisten papula dan nodul paling umumnya melibatkan wajah bagian bawah dan
leher. [13]
Bagi kasus akne vulgaris berat, isotretinoin oral adalah terapi yang paling
efektif. Isotretinoin adalah satu-satunya obat yang mempengaruhi semua
patofisiologi yang berkontribusi pada patogenesis akne vulgaris. Isotretinoin
menurun produksi sebum sehingga dapat menurunkan konsentrasi P. acnes,

24
menghambat komedogenesis dan juga memiliki aktivitas anti-inflamasi.
Isotretinoin adalah satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan jerawat, bahkan
yang paling parah seperti tipe nodulosistik. Isotretinoin tersedia baik secara topikal
dan sistemik. Isotretinoin topikal diyakini bekerja terutama dengan menghambat
komedogenesis, dan juga bisa menembus ke dalam kalenjar sebasea dan
mengurangi sekresi sebum. [13]
Pada kasus akne vulgaris yang berat, penggunaan antibiotik sistemik dengan
kombinasi benzoyl peroxide, dengan atau tanpa topikal, dapat menjadi salah satu
pilihan pengobatan. Pada pasien yang tidak dapat mengonsumsi obat isotretinoin
atau terjadi intoleransi dapat menjadi pilihan pengobatan. Untuk perempuan, terapi
hormonal yang dikombinasikan dengan obat oral kontrasepsi dapat diperhitungkan
pula. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan yaitu lymecycline 408 mg atau
doxycycline 100 mg dosis tunggal. Penggunaan tetrasiklin tidak dianjurkan pada
umur dibawah 12 tahun, pada perempuan yang sedang hamil maupun menyusui,
dan gangguan fungsi renal. Eritromisin 500 mg atau Trimetoprim 200-300 mg
merupakan salah satu alternatif pemilihan antibiotik. Pengobatan dengan antibiotik
harus diberikan selama setidaknya 6 bulan. [16][17]

Gambar 11.4: Perubahan lesi pada akne vulgaris setelah diberikan isoretinoin
selama 4 bulan [17]

25
XII. PROGNOSIS
Umumnya prognosis penyakit baik. Akne vulgaris umumnya sembuh
sebelum mencapai usia 30-40an. Jarang terjadi akne vulgaris yang menetap hingga
umur lanjut atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu di rawat inap di
rumah sakit. [2]

26
BAB III

KESIMPULAN

Akne vulgaris merupakan kondisi kulit yang paling umum yang


mempengaruhi remaja di seluruh dunia sehingga menjadi penyakit yang paling
umum kedelapan di seluruh dunia. Studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa
akne vulgaris ini adalah masalah yang paling umum dalam kalangan remaja pasca
pubertas.
Akne vulgaris adalah disebabkan oleh proses yang dinamis dan melibatkan
banyak faktor termasuklah faktor lingkungan internal seperti masalah metabolism
retinoid, masalah hormon androgen, sitokin proinflamasi serta faktor dari
lingkungan seperti kolonisasi P. acnes, stress, sinar ultraviolet, diet, trauma, dan
merokok.
Untuk tujuan pengobatan, akne vulgaris diklasifikasikan menjadi ringan,
sedang dan berat. Akne vulgaris dianggap ringan ketika hanya ada lesi terutama lesi
non-inflamasi dan Hanya beberapa lesi inflamasi superfisial. Pada akne vulgaris
berat, ada lesi inflamasi yang dalam hingga mengakibatkan jaringan parut.
Manakala akne vulgaris sedang adalah lesi diantara ringan dan berat.

27
DAFTAR PUSTAKA

REFERAT AKNE VULGARIS

1. Anis Irawan Anwar., 2013. Tata Laksana Akne Vulgaris. Dua Satu Press.
pp.4-25
2. Sitohang. S. Wasitaatmadja, Syarif. Akne vulgaris, Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin, Badan Penerbit FKUI Jakarta, 2015, Edisi Ketujuh.
3. Mescher, Anthony L. Skin, dalam Junqueiras Basic Histology Text and
Atlas, 13th edition, International edition. United States: McGraw Hill
Education. 2013. Chapter 18.
4. E.M. Griffiths, Christopher dkk., dalam Rooks Textbook of Dermatology,
9th edition, International dition. United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd.
2016. 2.5 s.d. 2.6
5. D.James, William dkk. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology 12th Edition, International Edition. Philadelphia: Elsevier,
Inc. 2016
6. Brown, R.G, & Burns, T., 2002. Lecture Notes on Dermatologi. 8th Ed.
Blackwell Science Ltd. pp.6
7. Goldsmith, LA., Andrea L. Zaenglein Katz, SI, Glichrest, BA., Paller, AS.,
Leffell, DJ., dan Wolff, K. 2012. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine 8th Edition. New York: McGraw Hill Companies.
8. Lynn, D. et al., 2016. The epidemiology of acne vulgaris in late adolescence.
Adolescent Health, 2016, pp.1325. Available at:
http://griffith.summon.serialssolutions.com
9. Tan, J.K.L. & Bhate, K., 2015. A global perspective on the epidemiology of
acne. British Journal of Dermatology, 172(S1), pp.312.
10. Bhate, K. & Williams, H.C., 2013. Epidemiology of acne vulgaris. British
Journal of Dermatology, 168(3), pp.474485.
11. Movita, T., 2013. Acne vulgaris. Continuing Medical Education, 40(4),
pp.269272.

28
12. Andrea L. Zaenglein dkk. 2016. Guidelines of Care for The Management of
Acne Vulgaris. J Am Acad Dermatol. Dapat diakses pada
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2015.12.037
13. Jacyh, W. K. 2011. Acne Vulgaris. Grades of Severity and Treatment
Options. Department of Dermatology, University of Pretoria.
14. Whitney. M. K. & Ditre C.M. 2011. Management Strategies For Acne
Vulgaris. Dove Medical Press Ltd. Philadelphia, USA
15. Klaus Wolff, Richard A.J. 2009, Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology 6th Edition. McGraw-Hill Medical.
16. Yuka Asai, dkk. 2015. Management of Acne: Canadian Clinical Practice
Guideline. CMAJ. Published at www.cmaj.ca
17. Richard Ashton, dkk. 2014. Differential Diagnosis in Dermatology 4th
Edition. CRC Press Taylor & Francis Group. Boca Raton, New York.

29

Anda mungkin juga menyukai