Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM

BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM

Disusun oleh:
Sanaul Laily
13/349179/PT/06555
XXII

Asisten: Eva Maulida

LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAK


BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pakan adalah salah satu komponen penting dalam suatu usaha
peternakan. Biaya pakan merupakan biaya tertinggi yang harus
dikeluarkan dalam suatu usaha peternakan. Pakan yang dibutuhkan harus
memiliki kualitas baik yaitu pakan yang mengandung seluruh nutrisi yang
dibutuhkan oleh ternak karena pakan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi ternak. Pakan tersebut nantinya akan berpengaruh pada
produktivitas ternak serta pertumbuhan dan perkembangan ternak. Fungsi
dari pakan antara lain untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan
serta untuk mempertahankan hidup. Bahan pakan yang diberikan pada
ransum ternak harus bermutu baik dan dalam jumlah cukup.
Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis kimia untuk
mengidentifikasi kandungan nutrisi pada suatu zat makanan dari bahan
pakan. Komponen fraksi yang dianalisis masih mengandung komponen-
komponen lain dengan jumlah yang sangat kecil, yang seharusnya tidak
masuk ke dalam fraksi yang dimaksud, itulah sebabnya mengapa hasil
analisis proksimat menunjukkan angka yang mendekati angka fraksi atau
nilai sesungguhnya. Analisis proksimat dapat juga diartikan sebagai
analisis atau pengujian kimia yang dilakukan untuk bahan baku yang akan
diproses lebih lanjut dalam industri menjadi barang jadi. Sistem analisis
proksimat dapat diketahui adanya 6 macam fraksi yaitu, (1) air atau
bahankering (dry matter), (2) abu (ash), (3) protein kasar (crude protein),
(4) lemak kasar (ekstrak ether), (5) serat kasar (crude fiber), dan (6)
ekstrak tanpa nitrogen (ETN).
Praktikum bahan pakan dan formulasi ransum bertujuan untuk
mengetahui fraksi-fraksi yang terkandung di dalam sebuah bahan pakan
dengan menggunakan analisis proksimat. Fraksi-fraksi yang diperoleh,
yaitu kadar air, abu, serat kasar, protein kasar, lemak kasar, dan ekstrak
tanpa nitrogen. Praktikum bahan pakan dan formulasi ransum
dilaksanakan agar praktikan dapat mengetahui kandungan nutrien suatu
bahan pakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) memerlukan


pakan hijauan sebagai sumber serat dan sumber energi. Serat dalam
pakan utamanya berfungsi sebagai sumber energi, selain itu juga
berfungsi untuk menjaga fungsi normal rumen dan aktivitas mikrobia
rumen (Widodo et al., 2012). Bahan pakan adalah segala sesuatu yang
dapat diberikan kepada hewan baik bahan organik maupun non organik
yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu
kesehatan. Kandungan gizi pakan buatan dapat disusun formulasinya
supaya kandungan gizinya lebih lengkap bila dibandingkan dengan pakan
alami. Kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tidak lepas dari
kandungan gizi bahan penyusunnya. Bahan pakan sebaiknya
memperhatikan persyaratan antara lain yaitu mudah diperoleh, murah
harganya, tidak bersaing dengan manusia, tidak beracun, mengandung
zat pakan sesuai dengan nutrisi yang optimal bagi ternak (Putri et al.,
2012). Sunarso dan Christiyanto (2012) menyatakan ransum adalah
campuran 2 atau lebih bahan pakan yang disusun untuk memenuhi
kebutuhan ternak selama 24 jam.
Pakan adalah satu macam atau campuran lebih dari satu macam
bahan pakan yang khusus disediakan untuk ternak. Ransum adalah
jumlah total bahan makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam.
Ransum merupakan faktor yang sangat penting di dalam suatu usaha
peternakan, karena ransum berpengaruh langsung terhadap produksi
ternak. Perubahan ransum baik secara kualitas maupun kuantitas maupun
perubahan pada komponennya akan dapat menyebabkan penurunan
produksi yang cukup serius sehingga untuk mengembalikan produksi
seperti semula sebelum perubahan ransum cukup sulit dicapai dan akan
memakan waktu cukup lama (Sinaga, 2009).
Sunarso dan Christiyanto (2012) menyatakan klasifikasi bahan
pakan dibagi menjadi delapan, yaitu pakan kasar (roughage), adalah
bahan pakan yang banyak mengandung serat kasar (lebih dari 18%) dan
rendah energinya, contoh: jerami (jerami dari padi, jagung, pucuk tebu),
hijauan kering. Hijauan segar (green forage, pasture), contoh: rumput atau
hijauan segar lainnya yang baru dipotong, padang rumput. Silase (silage)
adalah hijauan yang sengaja diawetkan melalui proses fermentasi secara
tanpa udara atau oksigen (anaerob) dalam suatu tempat yang disebut silo,
Sumber energi adalah pakan yang banyak mengandung energi
(kandungan energi lebih dari 2250 Kkal/kg), contoh: butir-butiran (jagung,
sorghum atau cantel, kedele), umbi-umbian (ketela pohon, ketela rambat,
kentang), minyak kelapa sawit, lemak hewan (tallow), hasil samping
industri pertanian (bekatul, pollard, tetes).
Bahan pakan kelas sumber protein, yaitu pakan yang mengandung
protein lebih dari 20%. Contoh: umumnya pakan asal hewani (tepung ikan,
tepung daging, susu skim, tepung darah dll.), kacang-
kacangan/leguminosa (kacang tanah, kedele, turi, gamal, lamtoro dll.);
bungkil (bungkil dari kelapa; kelapa sawit; kedele; kacang; kapok; kapas;
jagung dll). Sumber mineral. Contoh: tepung tulang, kerang, kapur,
dicaphos (dicalcium phosphate), tricaphos (tricalcium phosphate), garam.
Sumber vitamin. Contoh: buah-buahan, tauge, hijauan kacang-kacangan,
wortel. Bahan aditif adalah bahan yang perlu ditambahkan dalam jumlah
relatif sedikit yang kadangkala diperlukan untuk melengkapi ransum yang
disusun. Contoh: penambah aroma/cita rasa, asam amino/campuran
asam amino, vitamin mix (Sunarso dan Christiyanto, 2012).
Analisis proksimat dikembangkan dari Weende Experiment Station
Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, yaitu metode
analisis yang menggolongkan komponen yang ada pada makanan.
Analisis ini didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya
(Tillman et al., 1998), yang kemudian disebut sistem analisis proksimat
karena nilai yang diperoleh hanya mendekati nilai komposisi yang
sebenarnya. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan
nutrien bahan pakan sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam
penyusunan pakan (Widodo et al., 2012). Kamal (1998) menyatakan
dikatakan analisis proksimat karena hasil yang diperoleh hanya mendekati
nilai yang sebenarnya, oleh karena itu untuk menunjukkan nilai dari sistem
analisis proksimat selalu dilengkapi dengan istilah minimum atau
maksimum sesuai dengan manfaat fraksi tersebut. Sistem analisis
proksimat dapat diketahui adanya 6 macam fraksi yaitu air, abu, protein
kasar, lemak kasar (ekstrak ether), serat kasar, Ekstrak Tanpa Nitrogen
(ETN). Khusus untuk ETN nilainya dicari hanya berdasarkan perhitungan
yaitu 100% dikurangi jumlah dari kelima fraksi yang lain.
Hijauan adalah bahan makanan dalam bentuk daun-daunan,
kadang masih bercampur batang, ranting, serta kembang-kembangnya,
umumnya berasal dari tanaman-tanaman sebangsa rumput (graminae,
cypereceae) dan daun kacang-kacangan (leguminosae) atau lainnya.
Hijauan diberikan kepada ternak dalam keadaan segar (di lapangan atau
belum lama dipotong), warnanya masih hijau dan oleh karena itu banyak
mengandung air yakni 70 sampai 80 %. Sisanya 20 sampai 30 % terdiri
dari bahan kering yang tinggi manfaatnya ( Lubis, 1992).
Leguminosa mempunyai banyak sifat baik selaku bahan makanan.
Dari semua hijau-hijauan leguminosa mempunyai kadar protein yang
tertinggi. Kadar Ca sangat tinggi dibanding dengan pada rumput, bahkan
dapat dikatakan dari semua bahan makanan bahwa leguminosa yang
terbanyak mengandung kalsium dan fosfornya lebih tinggi dari rumput.
Leguminosa memiliki susunan zat makananya baik namun tidak dapat
diberikan semau kita terhadap ternak, karena hijauannya mengandung
racun (alkaloid, HCN) yang menyebabkan gangguan pencernaan. Pada
umumnya hanya dapat kita pergunakan dalam campuran makanan
hijauan setinggi-tingginya 50% dari jumlah makanan hijau itu. Oleh karena
itu leguminosa biasanya masih tercampur dengan ranting-rantingnya
(Lubis, 1992).
BAB III
MATERI DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum analisis proksimat antara
lain silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering 105 sampai
110C, timbangan analitik, tanur 550 sampai 600C, beaker glass 600 mL,
pemanas, saringan linen, serat gelas (glass wool), alat penyaring Buchner
atau Gooch crucible, gelas arloji, labu kjeldahl 650 mL, labu Erlenmeyer
650 mL dan 300 mL, gelas ukur 100 mL, buret, corong, alat dekstruktor,
desikator, seperangkat alat ekstraksi dan selongsong dari Soxhlet, labu
penampung, alat pendingin, kertas saring bebas lemak, kertas
pembungkus, dan pompa vacuum.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum analisis proksimat
antara lain cuplikan bahan pakan bungkil kedelai, H 2SO4 1,25% (0,255 N),
NaOH 1,25% (0,313 N), dan ethyl alcohol 95%, H2SO4 pekat, CuSO4 dan
K2SO4, kjeltab, NaOH 50%, HCl 0,1 N, H 3BO3 0,1 N, indicator mix, dan
petroleum benzene.
Metode
Pengamatan fisik. Cuplikan bahan pakan diamati dan dilakukan uji
organoleptik yang meliputi tekstur, warna, bau, dan rasa. Cuplikan bahan
pakan yang digunakan diprediksi sesuai dengan hasil pengamatan dan uji
organoleptik. Hasil pengamatan ditulis pada lembar kerja.
Penetapan kadar air. Silica disk dikeringkan dalam oven pengering
dengan suhu 105 sampai 110C selama 1 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator selama setengah jam. Sampel yang sudah dingin
ditimbang (X gram), lalu cuplikan bahan ditimbang 1,0312 gram (Y gram)
kemudian dimasukkan ke dalam silica disk setelah itu dikeringkan
bersama tutup yang terbuka di dalam oven pengering selama 8 sampai 24
jam pada suhu 105 sampai 110 0 C. Silica disk berisi cuplikan ditimbang (Z
gram), tutup dalam keadaan tertutup. Hasil perhitungan kadar air dapat
diperoleh dengan rumus berikut.
Kadar Air = ((X + Y) Z) X 100 %
Y
Kadar Bahan Kering = 100% - kadar air
Keterangan: X = bobot silica disk
Y = bobot sampel
Z = bobot silica disk + sampel setelah dioven 105C
Penetapan kadar abu. Silica disk yang sudah dibersihkan
dikeringkan dalam oven suhu 105 sampai 110C selama 1 jam lalu
didinginkan dan ditimbang (X gram). Cuplikan bahan ditimbang seberat 1
gram (Y gram) dan dimasukkan dalam silica disk kemudian ditanur 550
sampai 600C selama 3 jam hingga berwarna putih seluruhnya. Suhu
diturunkan hingga 120C kemudian dimasukkan ke dalam desikator
selama setengah jam, setelah dingin ditimbang (Z gram). Hasil
perhitungan kadar abu dapat diperoleh dengan rumus berikut.
(Z X )
Kadar Abu = Y 100%

100
Kadar Abu dalam Bahan Kering (BK) = BK Kadar Abu

Keterangan: X = bobot silica disk kosong


Y = bobot sampel
Z = bobot silica disk + sampel setelah dibkat dalam tanur
Penetapan kadar serat kasar. Cuplikan bahan ditimbang
sebanyak 1,0136 gram (X gram) kemudian dimasukkan ke dalam beaker
glass 600 mL dan ditambahkan H2SO4 200 ml 1,25% lalu dipanaskan
hingga mendidih, setelah mendidih kemudian dihitung selama 30 menit.
Setelah itu cuplikan tersebut disaring melalui saringan linen. Hasil
saringan (residu) dimasukkan dalam beaker glass dan ditambahkan 200
ml NaOH 1,25% (0,313 N) kemudian dididihkan selama 30 menit dihitUng
saat sudah muncul gelembung. Sampel kemudian disaring dengan
menggunakan crucible yang telah dilapisi glass wool lalu dicuci dengan air
panas dan 15 mL ethyl alkohol 95%. Hasil saringan (termasuk glass wool)
dimasukkan pada alat pengering suhu 105 sampai 110C selama 1 malam
kemudian didinginkan dalam desikator selama setengah jam dan
ditimbang (Y gram). Crucible dan isinya dibakar pada tanur bersuhu 550
sampai 600C sampai berwarna putih seluruhnya (bebas karbon).
Crucible dan isinya dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator lalu
ditimbang (Z gram). Hasil perhitungan kadar serat dapat diperoleh dengan
rumus berikut.
Kadar Serat Kasar = (X Z ) 100%
Y
Kadar Serat Kasar dalam Bahan Kering = 100 Kadar Serat Kasar
BK
Keterangan: X = bobot sampel setelah dikeringkan dalam oven 105C
Y = bobot sampel
Z = bobot sisa pembakaran 550C
Penetapan kadar protein kasar. Destruksi. Cuplikan bahan
ditimbang seberat 0,555 gram (Z gram) tergantung dari macam bahan.
H2SO4 pekat 20 mL dan seperempat tablet kjeltab disiapkan kemudian
cuplikan dimasukkan ke dalam tabung destruksi yang bersih dan kering.
Kompor destruksi dihidupkan kemudian tabung destruksi ditempatkan
pada lubang yang ada pada kompor dan pendingin dihidupkan. Skala
yang ada pada kompor destruksi diset kecil kurang lebih 1 jam. Destruksi
diakhiri bila larutan berwarna jernih kemudian didinginkan dan dilanjutkan
proses destilasi.
Destilasi. Hasil akhir destruksi diencerkan dengan air sampai
volumenya 300 mL kemudian digojok agar larutan homogen. Erlenmeyer
650 mL disiapkan lalu diisi dengan 50 mL H 3BO3 0,1 N dan 100 mL air
serta 3 tetes indikator mix. Penampung dan labu kjeldahl dipasang dalam
alat destilasi. Air pendingin dihidupkan (panas maksimum pendingin 80 0 F)
dan tombol ditekan hingga menyala hijau. NaOH 50% dimasukkan dengan
cara dispersing ditekan ke bawah dan harus melalui dinding tabung.
Handle steam diturunkan ke bawah sehingga larutan dalam tabung
mendidih. Destilasi diakhiri jika destilat telah mencapai 200 mL, lalu
blanko dibuat menggunakan cuplikan berupa H 2O dan didestilasi seperti
cara di atas.
Titrasi. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai timbul
perubahan warna menjadi tidak berwarna. Hasil perhitungan kadar protein
kasar dapat diperoleh dengan rumus berikut.
Kadar Potein Kasar = ((X Z) N 0,014 6,25 ) 100%
Y
Kadar Protein Kasar dalam Bahan Kering = 100 x Kadar Protein Kasar
BK
Keterangan: X = jumlah titrasi sampel (mL)
Y = bobot sampel
Z = jumlah titrasi blanko (mL)
N = normalitas HCl
Penetapan kadar lemak kasar. Cuplikan bahan ditimbang sekitar
0,7 gr dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak, diambil sampel
sebanyak 3 bungkus. Masing-masing bungkusan bungkil kedelai
dimasukkan ke dalam oven pengering 105C sampai 110C selama 24
jam. Hasil tersebut kemudian dimasukkan dalam desikator selama 15
menit lalu ditimbang (X gram). Bungkusan bungkil kedelai kemudian
dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu penampung diisi
dengan petroleum benzene sekitar volume labu penampung, alat
ekstraksi Soxhlet juga diisi sekitar volume dengan petroleum benzene.
Labu penampung dan tabung Soxhlet dipasang, kemudian penangas dan
pendingin dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama sekitar 16 jam atau
sampai petroleum benzene dalam alat ekstraksi berwarna jernih.
Pemanas dimatikan kemudian sampel diambil lalu diangin-anginkan,
kemudian sampel dipanaskan dalam oven pengering (105C sampai
110C) selama 24 jam. Bungkusan bungkil kedelai dimasukkan ke dalam
desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
Hasil perhitungan kadar ekstrak ether dapat diperoleh dengan rumus
berikut.
Kadar Lemak Kasar = (X Z) 100%
Y
Kadar Lemak Kasar dalam Bahan Kering = 100 Kadar Lemak Kasar
BK
Keterangan: X = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven
105C (belum diekstraksi)
Y = bobot sampel
Z = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven
105C (setelah diekstraksi)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Fisik
Karakteristik atau sifat bahan makanan ternak sangat berpengaruh
dalam proses pengolahan bahan pakan. Banyak jenis pakan lokal yang
ketersediannya cukup potensil tetapi penggunaan bahan baku lokal ini
sering menimbulkan kesulitan bagi pengelola pabrik pakan yang
menangani dan memprosesnya, karena adanya perbedaan sifat.
Pengetahuan tentang sifat fisik pakan belum berkembang dibanding
dengan sifat fisik pada bahan pangan yang telah banyak diteliti (Zardian,
2001). Sampel bahan pakan diketahui merupakan bungkil kedelai karena
telah diuji secara fisik. Sesuai dengan praktikum yang dilakukan,
didapatkan hasil dari pengamatan fisik bungkil kedelai adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Pengamatan fisik bahan pakan
Parameter Pengamatan 1 Pengamatan 2
Tekstur Kasar Kasar
Warna Kuning Kuning
Bau Tidak menyengat Gurih
Rasa Hambar Seperti kacang

Berdasarkan hasil pengamatan fisik yang dilakukan ternyata mirip dengan


literatur bahwa teksturnya keras, warna kuning, bau tidak menyengat,
harum seperti kacang-kacangan, rasa hambar yang menunjukkan bahwa
sampel yang diamati merupakan bungkil kedelai. Bungkil kedelai adalah
produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya
secara mekanis (ekspeller) atau secara kimia (solvent). Bungkil kedelai
yang dihasilkan secara mekanis lebih banyak mengandung minyak dan
serat kasar, serta lebih sedikit kandungan proteinnya dibandingkan
dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan larutan
hexan (Suryahadi et al., 1997).
Bungkil kedelai
Bungkil kedelai sebagai bahan pakan sumber protein asal
tumbuhan belum dapat digantikan oleh bahan jenis lainnya. Kandungan
proteinnya berkisar antara 44% sampai 51%. Beragamnya kualitas bungkil
kedelai selain disebabkan oleh perbedaan kualitas kedelai dan macam
proses pengambilan minyak. Bungkil kedelai merupakan bahan pakan
sumber dwi guna, sebagai sumber protein dan energi. Energi
metabolismenya mencapai 2240 kcal/kg dan lemak kasar yang
terkandung adalah sebesar 5.2%, serta serat kasarnya sebesar 7% (Agus,
2007). Bungkil kedelai mengandung 1,79 mcal net energi laktasi, 48%
protein kasar, 86% bahan kering, 3,4% serat kasar, 2,01% kalsium, dan
1,2% phosfor (Hartadi, 2005).
Tabel 2. Komposisi nutrien bungkil kedelai
Nutrien Kandungan Nutrien (%)
Bahan Kering 86
Protein Kasar 48
Lemak Kasar 5,2
Serat Kasar 3,4
Air 12
Abu 7-8
(Hartadi, 2005).
Bungkil kedelai adalah salah satu bahan pakan yang sering
digunakan peternak sebagai bahan penyusun konsentrat pakan ternak
ruminansia. Bungkil kedelai merupakan salah satu bahan pakan
berkualitas tinggi dengan kandungan protein kasar lebih dari 41%,
terdegradasi 60% di rumen (Preston, 1990). Menurut Klopenteins dalam
Parakkasi (1999) bungkil kedelai terdegradasi di rumen sampai 75%.
Sedangkan menurut hasil penelitian Orkov, bahwa pada laju pengosongan
isi rumen (passage rate) 0,02% tingkat degradasi protein bungkil kedelai
80,8%
Bungkil kedelai adalah produk sampingan dari ekstraksi minyak
dari kedelai utuh. Minyak dipindahkan dengan ekstraksi solven atau
dengan proses expeller dimana kacang dipanaskan dan diperas. Protein
yang mengalami proses pemanasan, bungkil yang diproses dengan
expeller lebih tahan pada degradasi rumen daripada protein yang
terkandung pada bungkil hasil ekstraksi solven. Bahan pakan ini adalah
pakan yang palatabel dan dapat digunakan sebagai sumber suplemen
protein utama pada pakan sapi perah (Agus, 2007).
Bungkil kedelai agak rendah mengadung kalsium (0.27%).
Kandungan phospor lebih rendah dibandingkan dengan bungkil biji kapas
yaitu rata-rata 0.63%. Bungkil kedelai tidak menyediakan carotin dan
vitamin D. Bungkil kedele tidak kaya riboflavin tetapi kandungannya lebih
tinggi dibandingkan dengan jagung dan butiran lainnya. Kandungan niacin
tidak tinggi. Kandungan thiamin bungkil kedelai sama dengan butiran
lainnya. Bungkil kedelai mengandung -Mannan, sebuah serat anti-nutrisi
yang menghambat kinerja ayam pedaging hidup. Hemicell mendegradasi
dan menghilangkan -Mannan. Hemicell adalah produk nontransgenik
(Chemgen Corporation, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian Waldroup et al., (1985) bahwa
perlakuan panas yang diberikan pada kedelai mentah menyebabkan
penghambat tripsin berkurang bahkan sampai hilang, sehingga mampu
meningkatkan protein efisiensi rasio (PER) sebesar 40%. Selain
penghambat tripsin, berkurangnya ketersediaan asam amino dan
penurunan nilai nutrisi dalam bungkil kedelai disebabkan pula oleh proses
pemanasan yang berlebih.
Analisis Proksimat
Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data hasil
analisis proksimat dari sampel bungkil kedelai adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat
Parameter Nilai % I Nilai % 2 Rata-rata

Bahan Kering 89,51 88,11 88,81


Kadar air 10,49 11,89 11,19
Protein Kasar 39,278 41,197 40,237
Serat Kasar 3,758 3,56 3,659
Lemak Kasar 1,698 0,2945 0,996
Abu 9,428 7,74 8,584
BETN 45,838 47,51 46,674
Penetapan kadar air. Air merupakan unsur nutrisi terpenting dan
mutlak dibutuhkan oleh makhluk hidup. Air memiliki peran lebih dari 50%
berat badan ternak. Unsur air mengisi sel-sel tubuh dengan konsentrasi
antara 70% sampai 90%. Air yang dimaksud dalam analisis proksimat
adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan selama beberapa
waktu pada suhu 100 sampai 105C dengan tekanan udara bebas. Peran
penting unsur nutrisi air adalah sebagai bahan pelarut, sebagai media
transportasi sisa-sisa metabolisme dan sebagai pengatur temperatur
tubuh (Kartadisastra, 1997). Prinsip penentuan kadar air dengan cara
pengeringan adalah menguapkan air yang ada dalam suatu bahan
dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan.
Tahap analisis kadar air yaitu mula-mula silica disk dibersihkan dan
dikeringkan dalam oven 105 sampai110C selama 1 jam lalu dimasukkan
dalam desikator 1 jam supaya sampel tidak terkontaminasi udara luar dan
juga berfungsi untuk mendinginkan sampel. Apabila sampel
terkontaminasi udara luar, maka bobot sampel akan bertambah. Desikator
telah diberi zat penyerapan air. Penyerapan air atau uap ini dapat
menggunakan kapur aktif,asam sulfat, silica gel, kalium klorida, kalium
hidroksid, kalium sulfat atau barium oksida. Bahan penyerap air yang
digunakan dalam praktikum adalah silika gel. Sudarmadji (2007)
menyatakan Silika gel yang digunakan sering diberi warna guna
memudahkan untuk mengetahui bahan tersebut sudah jenuh dengan air
atau belum, jika sudah jenuh akan berwarna merah muda, dan bila
dipanaskan menjadi kering berwarna biru.
Penetapan kadar air diawali dengan menimbang sampel bungkil
kedelai dengan timbangan analitik kemudian sampel diletakkan pada
silica disk yang telah dioven pada suhu 105oC sampai 110oC. Sampel
beserta silika disk kemudian dioven kembali pada suhu 105 oC sampai
110oC selama 8 sampai 24 jam. Tujuan dilakukan pengovenan pada suhu
105oC sampai 110oC selama 8 sampai 24 jam adalah agar seluruh
kandungan air yang terdapat di dalam bahan pakan dapat menguap
seluruhnya karena dipanaskan pada suhu 105 oC sampai 110oC
merupakan titik uap air sehingga diperoleh bobot bahan yang tertinggal
dan dapat diketahui kandungan air dalam bahan tersebut.
Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil
bahwakadar air bungkil kedelai I adalah 10,49 % dengan BK 89,51 %,
sedangkan kadar air bungkil kedelai II 11,89% dan BK 88,11%. Berdasar
SNI. 01-4227-1996 menyatakan bahwa kadar air bungkil kedelai adalah
12 % dengan kandungan BK adalah 86 %. Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa kadar air bungkil kedelai kedua kelompok lebih
rendah daripada literatur sedangkan BK yang terkandung dalam bungkil
kedelai yang digunakan kedua kelompok pada saat praktikum adalah
lebih tinggi daripada kisaran normal. Perbedaan kadar air tersebut dapat
dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan bahan pakan. Perbedaan kadar
air pada bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketika panen dan
pengolahan pasca panen (Kamal, 1994). Faktor yang mempengaruhi
kadar air yaitu pengeringan dan kandungan air dari suatu bahan pakan
(Sutardi dan Rahayu, 2003).
Berdasarkan sumbernya air dapat diperoleh ternak melalui pakan
yang dikonsumsinya dan dalam bentuk air minum. Jumlah air yang
dibutuhkan ternak tergantung pada jenis ternak, temperatur lingkungan,
jumlah konsumsi pakan, jenis dan macam pakan, kelembapan udara, dan
tingkat produksi ternak (Kartadisastra, 1997). Kebutuhan cairan bagi tubuh
sapi dapat terpenuhi melalui air minum dan pakan hijauan atau rumput.
Bahan pakan ini kandungan airnya dapat mencapai 50% sampai 85%.
Pakan dari biji-bijian juga mengandung air walaupun jumlahnya sangat
kecil. Maka sapi harus diberi minum sampai dengan 45 liter per hari
(Akoso, 1996).
Penentuan kandungan kadar air dari suatu bahan sebetulnya
bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut
(Kamal, 1999). Sampel makanan disebut sampel bahan kering dan
pengurangannya dengan sampel bahan pakan disebut persen air atau
kadar air (Tilman et al., 1998).
Air adalah zat makanan yang paling sederhana, namun adalah yang
paling sukar penentuannya dalam analisis proksimat. Penentuan kadar air
dilakukan dengan pemanasan 105C secara terus menerus sampai
sampel bahan beratnya tidak berubah lagi (konstan). Namun, untuk
produk-produk biologik, bila dipanaskan dengan temperatur melebihi
70C, akan kehilangan zat-zat volatil (zat-zat yang mudah menguap).
Penentuan kadar air yang tepat yaitu pemanasan dengan temperatur yang
lebih rendah dan dengan menggunakan desikator yang dapat divakumkan
(Hartadi et.al., 2005).
Penetapan kadar abu. Abu diperoleh dari sisa pembakaran
sempurna dari suatu bahan. Bahan yang digunakan saat praktikum
merupakan hasil dari penetapan kadar air yang kemudian dibakar dalam
tanur dengan suhu 550oC sampai 600oC. Pembakaran sempurna pada
tanur mengakibatkan bahan organik dalam bahan pakan akan menguap
menjadi CO2, H2O dan gas-gas lain sehingga yang tertinggal adalah
oksida mineral yang disebut dengan abu. Abu mengandung bahan
anorganik berupa mineral. Abu adalah bahan yang tersisa apabila
biomassa dipanaskan hingga berat konstan. Penetapan kadar abu
menggunakan silica disk sebagai wadah sampel. Penetapan kadar abu
menggunakan silica disk agar saat bahan beserta wadahnya ditanur pada
suhu 550oC sampai 600oC wadah tidak pecah karena silica disk memiliki
titik leleh yang tinggi (Hernawati, 2012).
Hartadi et al. (1991) menyatakan bahwa kadar abu pada bungkil
kedelai adalah 6,7%. Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan,
didapatkan persentase kadar abu I adalah 9,428%, sedangkan presentase
kadar abu II 6,82, sehingga kadar abu I hasil praktikum berasa di atas
kisaran normal, sedangkan kadar abu II sudah sesuai dengan literatur.
Perbedaan kadar abu tersebut dapat dipengaruhi oleh lamanya
penyimpanan bahan pakan. Komponen abu pada analisis proksimat tidak
memberikan nilai makna yang penting karena abu tidak mengalami
pembakaran sehingga tidak mengasilkan energi. Jumlah abu dalam bahan
pakan hanya penting untuk menentukan perhitungan bahan ekstrak tanpa
nitrogen. Abu terdiri dari komponen mineral, namun bervariasinya
komposisi unsur mineral dalam bahan pakan asalnya menyebabkan abu
tidak dapet dipakai sebagai indeks untuk menetukan jumlah unsur mineral
tertentu. Sampel dibakar dengan suhu tinggi bahan organik yang ada
akan terbakar dan sisanya merupakan abu (Suparjo, 2010).
Mineral yang terdapat pada abu dapat juga berasal dari senyawa
organik misalnya fosfor yang berasal dari protein dan sebagainya. Mineral
yang dapat menguap sewaktu pembakaran diantaranya Natrium (N), khlor
(Cl), kalium (K), fosfor (P), dan belerang (S), oleh karena itu abu tidak
dapat digunakan untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan
secara tepat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif (Kamal,
1999).
Faktor yang mempengaruhi kadar abu yaitu perbedaan asal bahan
baku, lokasi pembudidayaan, perbedaan jenis, dan mutu dari bahan
tersebut (Barry, 2004). Komponen abu dalam analisis proksimat tidak
memberikan nutrien yang penting. Jumlah abu bahan pakan hanya
penting untuk menentukan perhitungan BETN. Kombinasi unsur-unsur
mineral dalam bahan pakan dapat berasal dari tanaman yang bervariasi
sehingga nilai abu tidak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan
jumlah unsur mineral tertentu (Tillman et al., 1998).
Abu terdiri dari campuran berbagai oksida mineral sesuai dengan
macam mineral dalam bahan pakan serta mineral tersebut dapat berasal
dari senyawa organik seperti fosfor oksida, yang berasal dari protein
(Utomo, 2012). Li et al (2006) menyatakan abu menggambarkan
kandungan bahan organik yang terdapat dalam bahan pakan. Perbedaan
kadar abu tersebut dapat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan bahan
pakan. Suhu tanur juga dapat berpengaruh terhadap kadar abu suatu
bahan pakan. Semakin tinggi suhu ekstraksi maka kadar abu yang
didapatkan cenderung semakin turun. Menurut Suparjo (2010) komponen
abu pada analisis proksimat tidak memberikan nilai makanan yang penting
karena abu tidak mengalami pembakaran sehingga tidak menghasilkan
energi. Jumlah abu dalam bahan pakan hanya penting untuk menentukan
perhitungan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Meskipun abu terdiri dari
komponen mineral, namun bervariasinya kombinasi unsur mineral dalam
bahan pakan asal tanaman menyebabkan abu tidak dapat dipakai sebagai
indeks untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu.
Penetapan kadar serat kasar. Serat kasar mempunyai pengertian
sebagai fraksi dari karbohidrat yang tidak larut dalam basa dan asam
encer setelah pendidihan masing-masing 30 menit. Campuran
hemisellulosa, sellulosa dan lignin yang tidak larut merupakan bagian dari
serat kasar, dalam analisa ini diperoleh fraksi lignin, sellulosa dan
hemisellulosa yang justru perlu diketahui komposisinya khusus untuk
hijauan makanan ternak atau umumnya pakan berserat. Metode analisa
serat Van Soest dapat dilakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat
tentang fraksi lignin dan sellulosa (Hernawati, 2012).
Penetapan kadar serat kasar dilakukan dengan merebus sampel bahan
pakan dalam larutan H2SO4 1,25% (0,255 N) dan larutan NaOH 1,25%
(0,313 N) secara berurutan masing-masing selama 30 menit. Fungsi
perebusan dengan larutan asam terlebih dahulu baru kemudian larutan
basa adalah karena disesuaikan dengan sistem pencernaan pada hewan
monogastrik yang tidak bisa mencerna serat kasar. H 2SO4 digunakan
untuk mencerminkan keadaan di lambung sedangkan NaOH untuk
mencerminkan keadaan di usus halus. Serat kasar merupakan fraksi yang
sukar dicerna (tahan terhadap asam dan basa lemah) sehingga digunakan
sebagai pembatas kualitas suatu bahan pakan (Utomo, 2012).
Sitompul dan Martini (2005) menyatakan bahwa kandungan serat
dalam contoh ditentukan dengan menghidrolisisnya dalam asam sulfat
encer dan natrium hidroksida encer. Asam sulfat berfungsi untuk
menghidrolisis protein dan karbohidrat, sedangkan natrium hidroksida
berfungsi untuk saponifikasi lemak. Etil alkohol ditambahkan setelah
penambahan asam dan basa dan berfungsi untuk menghilangkan sisa-
sisa lemak yang masih terdapat pada sampel bahan pakan.
Bahan pakan yang telah direbus disaring menggunakan glass wool
dan crucible. Glass wool digunakan karena pori-porinya sangat kecil
sehingga seluruh bahan organik yang tidak larut dapat tersaring
seluruhnya. Penyaringan bahan dibantu dengan pompa vakum yang
berfungsi untuk menyerap asam dan basa setelah perebusan untuk
menghasilkan filtrat.
Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa kadar serat kasar bungkil kedelai I adalah 3,758% dan kelompok II
3,138 %. Hartadi (2005) menyatakan bahwa kadar serat kasar bungkil
kedelai adalah 3,4%. Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan I
yang dibandingkan dengan literatur maka di atas kisaran normal,
sedangkan pada pengamatan II sesuai literatur. Perbedaan kadar serat
kasar tersebut dapat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan bahan
pakan. Serat kasar mengandung selulosa dan beberapa hemislulosa dan
polisakarida lain yang berfungsi sebagai bahan pelindung tanaman. Serat
kasar juga mengandung lignin. Perbedaan kadar serat kasar yang
terdapat dalam bahan pakan dipengaruhi oleh umur tanaman, dan jenis
tanaman yang digunakan sebagai sampel dalam analisis (Tillman et al,
2005). Salah satu manfaat mengetahui kadar serat kasar suatu bahan
pakan adalah untuk klasifikasi bahan pakan yang digunakan (Ali, 2012).
Penetapan kadar protein kasar. Pengertian protein kasar adalah
semua zat yang mengandung nitrogen. Rata-rata kandungan protein
adalah nitrogen 10% (kisaran 13 sampai 19%). Metode yang sering
digunakan dalam analisa protein adalah metode Kjeldhal yang melalui
proses destruksi, destilasi, titrasi dan perhitungan. Analisis kadar protein
kasar menganalisis unsur nitrogen bahan, sehingga hasilnya harus
dikalikan dengan faktor protein untuk memperoleh nilai protein kasarnya,
apabila diketahui secara tepat macam pakan yang dianalisis misal air
susu maka faktor proteinnya adalah 6,38, tetapi secara umum biasanya
menggunakan 6,25 (Hernawati, 2012).
Prinsip penentuan protein kasar yaitu berdasarkan kenyataan
bahwa asam sulfat (H2SO4) pekat dengan katalisator CuSO4 dan K2SO4
dapat memecah senyawa nitrogen yang selanjutnya berubah menjadi
(NH4)2SO4, kecuali nitrat dan nitrit. Amonia (NH 3) akan dilepas (NH4)2SO4
pada suasana alkalis yang selanjutnya ditampung dalam asam sulfat
(H2SO4 0,1N). Penampung dan blanko dititrasi dengan NaOH 0,1N atau
HCl 0,1N, dengan demikian dapat diketahui jumlah amonianya yang
berarti juga dapat diketahui jumlah nitrogennya dan akhirnya dapat
dihitung jumlah protein kasarnya (Kamal, 1999).
Praktikum penetapan kadar protein kasar mengunakan metode
kjeldahl. Metode kjeldahl memiliki tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi
dan titrasi. Proses destruksi menggunakan H 2SO4 pekat dan pil kjeltab
sebagai katalisator yang berfungsi untuk mempercepat reaksi. Pil kjeltab
berisi CuSO4 dan K2SO4, pil kjeltab yang digunakan hanya seperempat pil
saja, hal ini dimaksudkan untuk efisiensi bahan. Proses destruksi
memutuskan ikatan pada N organik sampel dan akan bereaksi dengan
H2SO4 menjadi (NH4)2SO4. Cuplikan bahan pakan dimasukkan ke dalam
tabung destruksi yang bersih dan kering kemudian kompor destruksi
dihidupkan. Tabung destruksi ditempatkan pada lubang yang ada pada
kompor dan pendingin dihidupkan. Skala yang ada pada kompor destruksi
diset kecil kurang lebih 1 jam. Awal proses destruksi larutan berwarna
keruh dan diakhiri bila larutan berwarna jernih kemudian didinginkan dan
dilanjutkan proses destilasi.
Destruksi dilakukan bertujuan untuk melepaskan N organik sampel
dengan adanya penambahan H2SO4, prosesnya yaitu zat organik + H2SO4
CO2 + H2O + (NH4)2SO4 + SO2, perubahan N-protein menjadi amonium
sulfat ((NH4)2SO4). Sampel dipanaskan dengan asam sulfat (H 2SO4) pekat
dan katalisator yang akan memecah semua ikatan N dalam bahan pakan
menjadi amonium sulfat kecuali ikatan N=N, NO dan NO 2. CO2 dan H2O
terus menguap. SO2 yang terbentuk sebagai hasil reduksi dari sebagian
asam sulfat juga menguap. Destruksi dihentikan jika larutan berwarna
hijau jernih (Suparjo, 2010).
Tahap setelah proses destruksi adalah destilasi yang bertujuan
untuk melepaskan NH3 yang kemudian ditangkap oleh H3BO3. Proses
destilasi ini menggunakan labu erlenmeyer yang berfungsi sebagai tempat
penampung sampel yang selanjutnya juga digunakan untuk proses titrasi.
Labu erlenmeyer tersebut diisi dengan H 3BO3 yang berfungsi menangkap
NH3 yang terlepas saat proses destilasi berlangsung. Erlenmeyer yang
digunakan tidak hanya berisi H3BO3, ada juga penambahan indikator mix,
yaitu bromocresol green dan methyl red yang berfungsi sebagai indikator
warna. Penambahan NaOH juga dilakukan pada tahap ini, karena NaOH
dapat berfungsi memberikan suasana basa atau sebagai pensuasana
basa (Triyono, 2010).
Tahap terakhir yang dilakukan adalah tahap titrasi. Proses titrasi ini
bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah N yang terdestilasi.
Caranya yaitu hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1N sampai terlihat
adanya perubahan warna, yaitu menjadi perak yang memiliki pH netral.
Asam khlorida (HCl) dalam hal ini berfungsi menangkap NH 3 yang terlepas
pada saat destilasi. Penampung destilat digunakan asam khlorida maka
sisa asam khorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH
standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna
larutan menjadi perak dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan
indikator PP, sedangkan apabila penampung destilasi digunakan asam
borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat
diketahui dengan titrasi menggunakan asam khlorida 0,1N dengan
indikator BCG (Bromocresol Green) dan MR (Methyl Red). Akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi perak
(Suparjo, 2010).
Timbangan analitik digunakan untuk menimbang cuplikan bahan
pakan agar berat yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan. Labu kjeldahl
berfungsi untuk tempat bahan yang akan diuji. Labu erlenmeyer berfungsi
untuk tempat bahan H3BO3 0,1 N, air, dan indikator mix. Gelas ukur
berfungsi untuk mengukur bahan cair agar sesuai. Buret berfungsi untuk
alat titrasi. Corong berfungsi untuk membantu menuangkan cairan agar
tidak tumpah. Pipet ukur berfungsi untuk mengambil cairan dengan ukuran
tertentu. Alat destruksi berfungsi untuk mendestruksi bahan. Alat destilasi
berfungsi untuk mendestilasi bahan. Fungsi H 2SO4 pekat untuk memecah
ikatan N organic menjadi (NH4)2SO4. Fungsi Cu2SO4 dan K2SO4 sebagai
katalisator untuk mempercepat reaksi. Kjeltab berfungsi untuk
mempercepat suatu reaksi, pada saat praktikum hanya digunakan
tablet kjeltab karena reaksi yang dihasilkan antara 1 tablet kjeltab dengan
tablet kjeltab adalah sama, selain itu penggunaan tablet kjeltab juga
untuk menghemat tablet kjeltab agar efisien. NaOH 50% berfungsi untuk
melepaskan NH3. Fungsi HCl 0,1 N untuk menangkap N saat titrasi.
Fungsi H3BO3 0,1 N untuk mengetahui hasil titrasi karena perubahan
warnanya akan stabil. Indikator mix yang terdiri dari bromkresol green,
metil red, dan methanol berfungsi untuk memberikan warna saat titrasi,
supaya dapat diketahui bahwa titrasi tersebut sudah selesai atau belum
selesai. Batu didih berfungsi agar tidak terjadi letupan saat pemanasan.
Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa kadar protein kasar dari bungkil kedelai I adalah 39,278%,
sedangkan kadar protein kasar II 36,299%. Hartadi (2005) menyatakan
bahwa kadar protein kasar bungkil kedelai adalah 48%. Hasil praktikum
menunjukkan bahwa kadar protein kasar kedua kelompok berada dibawah
kisaran normal. Perbedaan kadar protein kasar tersebut dipengaruhi oleh
lama penyimpanan dan kualitas pakan. Pakan yang banyak mengandung
protein berasal dari sumber protein nabati dan hewani. Contohnya adalah
tepung daging, tepung ikan, susu skim, tepung darah, kacang tanah,
kacang kedelai, turi, gamal, lamtoro, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit,
bungkil kedelai, bungkil kacang, dan bungkil jagung. Sumber protein yang
baik apabila kadar proteinnya lebih dari 20% (Sarmono, 2007).
Faktor yang menentukan kualitas protein antara lain nilai kecernaan
dan susunan asam amino esensialnya. Protein yang memiliki kualitas
yang tinggi adalah protein yang memiliki nilai kecernaan yang tinggi dan
dapat menyediakan semua asam amino esensial dalam perbandingan
yang menyamai kebutuhan manusia. Nilai kecernaan protein memberikan
gambaran tentang persentase protein makanan yang dapat dicerna oleh
tubuh (Handajani, 2007).
Penetapan kadar ekstrak eter. Lemak kasar atau ekstrak eter
merupakan campuran dari berbagai senyawa yang larut dalam pelarut
lemak (pelarut non polar). Lemak dapat diekstraksi menggunakan ether
atau zat pelarut lemak lain menurut Soxhlet, kemudian eter diuapkan dan
lemak dapat diketahui bobotnya (Ketaren, 2008). Uji Ekstrak Ether (lemak
kasar) pada saat praktikum menggunakan menggunakan tiga cuplikan
bahan pakan masing-masing seberat 0,7 gram. Bahan pakan dibungkus
dengan menggunakan kertas saring bebas minyak. Menurut Sriyana
(2005) pembungkusan sampel dengan menggunakan kertas saring bebas
minyak bertujuan untuk menghindari adanya lemak yang tertinggal pada
kertas. Penggunaan tiga cuplikan bahan pakan ini dilakukan kerena
merupakan replikasi yang dianggap paling baik dan hal ini juga dilakukan
untuk menanggulangi penyerapan uap air yang memungkinkan perubahan
hasil analisis, kemudian bahan tersebut dioven pada suhu 105 sampai
110C selama 24 jam. Menurut Sriyana (2005), tujuan pengovenan ini
adalah untuk memperoleh bahan pakan dalam keadaan dry matter.
Menurut Sriyana (2005), sampel yang telah dioven kemudan ditimbang
dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxhlet yang telah diisi petroleum
benzene dan telah terpasang dengan baik serta telah dilengkapi dengan
penangas dan pendingin, kemudian diekstraksi selama 16 jam. Tujuan
penambahan petroleum benzene adalah untuk melarutkan lemak karena
sifat petroleum benzene adalah non polar. Penetapan kadar lemak
dengan metode Soxhlet menggunakan petroleum ether sebagai pelarut
(Richana dan Sumarti, 2004). Ekstraksi selama 16 jam bertujuan
melarutkan lemak secara sempurna. Setelah ekstraksi, cuplikan sampel
diambil dan dioven kembali pada suhu 105C selama semalam. Hal ini
bertujuan untuk mengembalikan bahan pada kondisi bahan kering.
Berdasarkan literatur, maka cara analisis yang dilakukan pada saat
praktikum telah sesuai.
Sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa kandungan ekstrak eter dalam bungkil kedelai I adalah 1,698%,
sedangkan kandungan ekstrak eter bungkil kedelai II adalah 0,2945%.
Ketaren (2008) menyatakan bahwa kandungan ekstrak eter dalam bungkil
kedelai adalah 5,2%. Berdasarkan literatur maka hasil pengamatan I dan
II di bawah kisaran normal. Perbedaan antara hasil dan literatur yang jauh
disebabkan oleh kemungkinan masih tersisanya bahan organik lain
maupun air selain lemak kasar pada residu, selain itu juga dipengaruhi
oleh umur pemotongan tanaman. Koten et al. (2014) menyatakan bahwa
tingkat kedewasaan tanaman merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi produksi dan nilai nutrisi hijauan, selain itu juga lemak juga
merupakan bagian dari protoplas akan berkurang disebabkan
meningkatnya fase pertumbuhan tanaman dari vegetatif ke generatif.
Lemak kasar adalah campuran beberapa senyawa yang larut di
dalam pelarut lemak misalnya eter, petroleum eter, dan petroleum
benzene, oleh karena itu lemak kasar lebih tepat disebut ekstrak eter.
Lemak kasar merupakan campuran dari beberapa senyawa yang larut
dalam pelarut lemak. Penentuan lemak kasar dapat dikerjakan dengan
jalan ekstraksi menggunakan zat pelarut lemak menurut Soxhlet, bila
sudah larut dan kemudian pelarutnya diuapkan maka yang ketinggalan
adalah lemak kasar (Kamal, 1994). Labu penampung dan tabung Soxhlet
dipasang, pendingin dan pemanas dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama
sekitar 16 jam atau sampai petroleum benzene dalam alat ekstraksi
berwarna jernih. Pemanas dimatikan, kemudian sampel diambil dan
dipanaskan dalam oven pengering pada suhu 105 sampai 110 0C selama
semalam,dimasukkan dalam desikator selama satu jam lalu ditimbang,
kadar berat yang hilang ketika ekstraksi merupakan kadar lemak.
Penetapan kadar lemak kasar dilakukan dengan 3 replikasi supaya
mendapatkan data yang akurat.
Bahan ekstrak tanpa nitrogen. Ekstrak tanpa nitrogen dalam arti
umum adalah sekelompok karbohidrat yang kecernaannya tinggi,
sedangkan dalam analisis proksimat yang dimaksud ekstrak tanpa
nitrogen adalah sekelompok karbohidrat yang mudah larut dalam
perebusan dengan larutan H2SO4 1.25 % atau 0.255 N dan perebusan
dengan larutan NaOH 1.25 % atau 0.313 N yang berurutan masing-
masing 30 menit (Hartadi et al., 2005).
Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dapat ditentukan dengan
cara perhitungan 100% dikurangi (Air + Abu + Protein Kasar + Lemak
Kasar + Serat Kasar)% (Ridla, 2003). Ridla (2003), kemudian juga
menjelaskan jika manfaat mengetahui kadar BETN yaitu merupakan suatu
tolak ukur secara kasar kandungan karbohidrat pada suatu pakan/ransum.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui jika
kadar BETN dari bungkil kedelai yaitu 45,838%.
Hasil yang didapat saat praktikum yaitu kelompok I setelah
dilakukan perhitungan adalah sebesar 45,838%, sedangkan kadar bahan
ekstrak tanpa nitrogen dari kelompok II adalah sebesar 51%. Hartadi et al.
(2005) menyatakan bahwa kadar BETN dalam bungkil kedelai adalah
35,3%. Kadar ETN milik kelompok I dan kelompok II lebih tinggi daripada
kisaran normal literatur. Perbedaan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen ini
dipengaruhi oleh faktor spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan
bagian yang digunakan untuk sampel, dan kesuburan tanah (Tillman et
al., 1998). Penentuan kadar ETN dalam suatu bahan pakan penting
karena ETN merupakan sekelompok karbohidrat yang memiliki kecernaan
tinggi. Karbohidrat sendiri merupakan bahan pakan sumber energi,
sehingga penentuan kadar ETN dalam bahan pakan menjadi penting
karena berhubungan dengan pembuatan ransum seimbang (Kamal,
1999).
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa


sampel yang digunakan adalah bungkil kedelai yang telah digiling. Secara
fisik, bungkil kedelai memiliki ciri-ciri tekstur kasar dengan warna kuning.
Bahan pakan tersebut berbau harum dan rasanya hambar. Bungkil kedelai
memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga memiliki kualitas yang
bagus untuk dijadikan sebagai bahan pakan. Bungkil kedelai termasuk
bahan pakan kelas 5 yaitu sumber protein, karena mengandung SK
kurang dari 18% atau dinding sel kurang dari 35% dan protein kasar lebih
besar sama dengan 20% dalam bahan kering. Berdasarkan hasil analisis
proksimat dapat diketahui kandungan nutrien bungkil kedelai, yaitu bahan
kering sebesar 89,51%, kadar air 10,49%, protein kasar 39,278%, serat
kasar 3,758%, lemak kasar 1,698%, abu 9,428%, BETN 45,838%.
Kandungan nutrien bungkil kedelai menurut literatur yaitu bahan kering
sebesar 86%, kadar abu 6,7%, kadar serat kasar 3,4%, kadar protein
48%, dan kadar ekstrak eter 5,2%. %. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan kualitas bahan pakan, lama pemrosesan, zat kimia yang
digunakan, dan kontaminasi dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1990. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja, dan Perah. Kanisius.
Yogyakarta.
Adiati, U et.al. 2004. Peluang Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam Sebagai
Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Agus, A. 2007. Membuat Pakan Ternak Secara Mandiri. PT Citra Adi
Parama. Yogyakarta.
Akoso, B.T. 1996. Kesehatan Sapi, Panduan bagi Petugas Teknis,
Mahasiswa, Penyuluh dan Peternak. Kanisius. Jakarta.
Balitnak. 2002. Bulu Unggas untuk Pakan Ruminansia. Balai Penelitian
Ternak. Bogor.
Hartadi. H.S., Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. D.A. 1997. Tabel
Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hartadi. H.S., Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. D.A. 2005. Tabel
Komposisi Pakan untuk Indonesia.Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hernawati. 2012. Teknik Analisis Nutrisi Pakan, Kecernaan Pakan, dan
Evaluasi Energi pada Ternak. Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung.
Howie, SA., Calsamiglin And M.D. Stern. 1996. Variation In Ruminant
Degradation And Intestinal Digestion Of Animal By Product Protein.
Anim. Feed Sci. Tech. 63(1-4) : 1-7.
Iskandar, T. 2012. Identifikasi Nilai Kalor Biochar dari Tongkol Jagung san
Sekam Padi pada Proses Pirolisis. Jurusan Teknik Kimia Vol.7,
No.1, September 2012.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kamal, M. 1996. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kamal, M. 1999. Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak
Jurusan nutrisi dan Makanan ternak Fakultas Peternakan
UGM.Yogyakarta.
Kartadisastra, H.R. 1997. Pengelolaan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan
Keuntungan Agribisnis Unggas. Kanisius. Yogyakarta.
Ketaren, N. 2008. Tesis Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber
Protein Ayam Pedaging dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sarmono. 2007. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University.
Yogyakarta.
Savitha, G. et.al. 2008. Isolation Identification and Characterization of a
Feather Degrading Bacterium. Departement Of Biotechnology. B. V.
B. College Of Engineering and Technology. Vidyanagar. Hubii- 31.
Karnataka. India. International Journal Of Poultry Science 6(9) :
689-693.
Sinaga, S. 2009. Nutrisi dan Ransum Babi. Kanisius. Yogyakarta.
Siregar, A.P., Sabrani, M dan Pramu, S. 2003. Teknik Beternak Ayam
Pedaging di Indoensia Margie Group. Jakarta.
Sitompul, S. dan Martini. 2005. Penetapan Serat Kasar dalam Pakan
Ternak Tanpa Ekstraksi Lemak.Prosiding Temu Teknis Nasional
Tenaga Fungsional Pertanian. 96-99.
Sunarso. 2012. Manajemen Pakan. Access by
:http://nutrisi.awardspace.com/download/MANAJEMEN
%20PAKAN.pdf. Diakses pada 3 April 2015.
Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan secara Kimiawi: Analisis Proksimat
dan Analisis Serat. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi.
Tillman, A. D; H. Hartadi; S. Reksohadiprojo; Prawirokusumo; S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi keempat.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Triaz. 2008. Bahan Makanan Ternak. Erlangga. Jakarta.
Utomo, Ristianto. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif.
Cetakan ke-10. Citra Aji Parama, Yogyakarta.

Widodo, F. Wahyono, dan Sutrisno. 2012. Kecernaan Bahan Kering,


Kecernaan Bahan Organik, Produksi VFA dan NH 3 Pakan Komplit
dengan Level Jerami Padi Berbeda secara In Vitro. Jurnal Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang.

Zardian. 2001. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Penerbit Angkasa.


Bandung.
LAMPIRAN

Perhitungan hasil analisis proksimat


Sampel : Tepung bulu

1. Kadar Air
Kadar Air =
x y ( x z ) x100%
z
Kadar bahan kering = 100% - kadar air

Keterangan : x = bobot gelas timbang (vochdoos)


y = bobot cuplikan pakan
z = bobot cuplikan setelah dioven 105 - 110C

Kadar Air I II
Bobot sampel : 1,0312 gr 1,0891gr
Nomor silika disk :D C
Bobot silika disk : 18,0064 gr 18,889 gr
Bobot silica disk+ sampel : 19,037 gr 19,978 gr
Bobot silica disk+ sampel (oven 1050C) : 18,929 gr 19,803 gr
Kadar air dari oven 1050C : 10,49% 11,89%
19,03718,929
X 1 00
Kadar Air I = 1,0312

= 10,49 %

Bahan Kering I = 100 % - 10,49 %


= 89,51 %

2. Kadar Abu
Kadar Abu =
z y
x100%
y
Keterangan : x = bobot silica disk kosong
y = bobot sampel sebelum dibakar dalam ditanur
z = bobot sampel + silica disk setelah ditanur

Kadar Abu I II
Bobot silica disk : 18,0064gr 18,8893gr
Bobot sampel : 1,0312gr 1,0358gr
Bobot silica disk + sampel : 18,9294gr 19,9251gr
Bobot silica disk + sampel (stlh tanur) : 18,0843gr 18,960gr
Kadar Abu (dalam BK) : 9,428% 7,74%
18,929418,0843
Kadar Abu I = X 1 00
1,0312

= 9,428%
3. Kadar Serat Kasar
Kadar serat kasar =
yz
x100%
x
Keterangan : x = bobot sampel awal
y = bobot sampel setelah dikeringkan oven 105C
z = bobot sisa pembakaran 550 - 600C

Kadar Serat Kasar I II


Bobot sampel : 1,0136gr 1,0036gr
Bobot sampel+crucible+glasswool (oven1050C) : 19,3417gr 21,4245gr
Bobot sampel+crucible+glasswool (tanur5500C) : 19,3076gr 21,3930gr
Kadar Serat Kasar (dalam BK) : 3,758% 3,56%

19,341719,3076
Kadar Serat Kasar I = X 1 00
1,0136

= 3,758 %

4. Kadar Protein Kasar


Kadar protein kasar =
x y xNx0,014 x6,25 x100%
z
Keterangan : x = jumlah titrasi sampel (ml)
y = jumlah titrasi blanko (ml)
N = normalitas HCl
z = bobot sampel (gram)

Kadar Protein Kasar I II


Bobot sampel : 0,5559 gr 0,5038 gr
Volume titrasi blanko : 0,3 ml 21,2 ml
Volume titrasi sampel : 22,6 ml 0,3 ml
Kadar Protein Kasar (dalam BK) :39,278 % 41,197 %
( 22,60,3 ) x 0,1 x 0 ,0 14 x 6,25
Kadar protein kasar I = X 1 00
0,5559

= 39,278%

5. Kadar Ekstrak Eter


Kadar ekstrak eter =
yz
x100%
x
Keterangan : x = bobot sampel awal
y = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah
oven 105C (sebelum diekstraksi).
z = bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah
oven 105C (setelah diekstraksi)

Kadar Ekstrak Eter I


Bobot kertas saring : 0,4773 gr
Berat sampel : 0,7659 gr
Bobot kertas saring + sampel : 1,2432 gr
Bobot kertas saring + sampel (oven 1050C) : 1,1328 gr
sebelum ekstraksi
Bobot kertas saring + sampel (oven 1050C) : 1,1128 gr
setelah ekstraksi
Kadar Ekstraksi Eter (dalam BK) : 1,69 %
1,13281,1128
Kadar lemak kasar (I) = X 100
0,7659

= 1,69 %

6. Kadar Ekstrak Tanpa Nitrogen


Kadar ETN (DM) =100% - (% abu + % protein kasar + % lemak kasar +
% serat kasar)
ETN = 100% - (9,408 % + 39,278% + 1,69% + 3,758 %)
= 45,838%

Anda mungkin juga menyukai